Pelaksanaan Putusan Pailit Pengadilan Asing Berdasarkan Perjanjan Internasional

  Dasril Adnin: Aspek-aspek Internasional dalam Hukum Kepailitan

  69 ASPEK-ASPEK INTERNASIONAL DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh :

  Dasril Adnin Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai

  ABSTRAK

  Kegiatan perdagangan telah mengenyampingkan batas-batas negara, bahkan satu pelaku usaha dari suatu

negara kerap melakukan investasi di beberapa negara. Perusahaan yang melakukan investasi di banyak negara

yang disebut sebagai perusahaan multinasional (multinational companies) memiliki anak perusahaan di beberapa

negara yang menghasilkan komponen-komponen untuk dirakit di negara yang berbeda. Demikian pula bisnis

waralaaba yang telah merambah ke berbagai pelosok negara untuk mengeksploitasi pasar dunia. Aspek

internasional dalam kepailitaan debitur melintasi batas-batas suatu negara. Artinya,aspek internasional dari

kepailitan akan tampak dari adanya harta kekayaan debitur yang terletak atau berada di dua atau lebih dari dua

negara. Masalah kepailitan terkait dengan masalah hukum perdata internasional apabila terjadi suatu keadaan

dimana sebuah perusahaan telah dinyatakan pailit di suatu negara dan perusahaan tersebut mempunyaai anak

perusahaan yang berada di negara lain dan didirikan berdasarakan hukum setempat, tentu akan membawa

konsekwensi terhadap anak-anak perusahaan diluar negaranya.

  ________________________________

  Keywords: Kepaititan, Hukum Internaasional

  PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan dan kemajuan pengetahuan dan teknologi telah memacu pertumbuhan ekonomi dunia. Kemajuan teknologi telah mempertinggi produksi dan menu- runkan biaya produksi. Teknologi telah mempermudah transaksi lintas Negara di era globalisasi ini. Di era globalisasi, batas-batas suatu Negara bukan menjadi hambatan lagi dalam transaksi bisnis dan keuangan.

  Terintegrasinya perekonomian dunia telah membawa dampak pada meningkatnya kegiatan perdagangan antar pelaku usaha, yang mana kegiatannya tidak hanya terbatas pada jual beli barang atau jasa, melainkan lebih luas lagi di mana tercakup kegiatan penanaman modal yang menghasilkan barang untuk diekspor dan lain sebagainya.

  Kegiatan perdagangan telah menyampingkan batas-batas negara, bahkan satu pelaku usaha dari suatu negara kerap malakukan investasi di beberapa negara. Perusahaan yang melakukan investasi di banyak Negara yang disebut sebagi perusaha- an multinasional (multinational com-

  panies ) memiliki anak perusahaan di

  beberapa negara yang menghasilkan komponen-komponen untuk dirakit di negara yang berbeda. Demikian pula bisnis waralaba yang telah merambah ke berbagai pelosok negara untuk mengeksploitasi pasar dunia.

  Transaksi Bisnis Internasional esensinya adalah masalah hukum perdata internasional yang terkait dengan kegiatan bisnis. Pelaku usaha yang melakukan transaksi bisnis internasional akan terekspor oleh hukum nasional dari dua negara atau lebih. Salah satu bidang yang terkait dengan transaksi bisnis Internasional adalah kepailitan.

  Aspek internasional dalam kepailitan akan muncul apabila kepailitan debitur melintasi batas- batas suatu Negara. Artinya, aspek internasional dari kepailitan akan tampak dari adanya harta kekayaan debitur yang terletak atau berada di dua atau lebih dari dua Negara ( Jono. 2008).

  Masalah kepailiatan terkait dengan masalah hukum perdata internasional apabila terjadi suatu keadaan dimana sebuah perusahaan telah dinyatakan paili di suatu negara dan perusahaan tersebut mempunyai anak perusahaan yang berada di negara lain dan didirikan berdasarkan hukum setempat, Beberapa contoh yang dapat dikemukakan di sini, antara lain adalah : PT Prudential Life Assurance (Asuransi Prudential), PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, bahkan contoh aktual yang ada di Indonesia adalah di pailitkannya perusahaan retail asal Jepang, Sogo, putusan pailit perusahaan tersebut tentunya membawa kosekwensi terhadap perusahaan retail yang menggunakan nama sogo di Indonesia.

  Dari berbagai kasus di atas terlihat keadaan dimana suatu perusahaan yang pailit mempunyai asset lebih dari satu negara atau keadaan di mana beberapa kreditur berada di negara yang berbeda dengan negara lain dimana proses kepailitan terhadap debitur berlang- sung secara kongkrit, keterkaitan masalah kepailitan dengan hukum perdata internasional terletak pada bagaimana keberlakuan putusan pailit pengadilan asing di suatu negara , bagi negara dimana putusan pailit harus dilaksanakan muncul permasalahan hukum

  Berdasarkan uraian di atas yang menjadi permasalahan adalah : Apakah putusan pailit pengadilan Indonesia juga mencakup harta debitur yang terletak diluar negeri ? atau sebaliknya Apakah putusan pailit pengadilan Asing dapat menjangkau harta debitur di Indonesia ? DAN Bagaimana pengaturan Aspek-aspek Internasional dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ?

  PEMBAHASAN Sebelum menjawab permasa- lahan di atas, kiranya penting untuk mengetahui terlebih dahulu asas atau prinsip hukum kepailitan yang umumnya diterima atau dianut oleh Negara-negara di dunia.

  Menurut Jono ada dua prinsip atau asas yang penting berkenaan dengan persoalan apakah putusan kepailitan luar negeri tentang kepailitan juga diakui atau mempunyai akibat hukum di dalam wilayah Negara sendiri (Jono. 2008). Dua prinsip tersebut adalah:

  1. Prinsip Universalitas (Unite

  Universalite Exterritorialite de la faillite ) ; Menurut prinsip ini suatu

  putusan kepailitan yang diucap- kan di suatu Negara mempunyai akibat hukum dimanapun saja dimana orang yang dinyatakan pailit mempunyai harta benda. Dengan prinsip ini seorang debitur yang dinyatakan pailit akan memberikan konsekwensi hukum terhadap harta kekayaan dimanapun harta tersebut terletak.

  2. Prinsip Teritorialitas (Pluralite de

  faillites, territorialite de la faillite );

  Menurut prinsip ini kepailitan hanya mengenai bagian-bagian harta benda yang terletak di dalam wilayah Negara tempat putusan pailit diucapkan. Dengan prinsip ini, seorang debitur dimungkinkan beberapa kali dinyatakan pailit.

  Berbicara tentang putusan pailit yang diputus oleh pengadilan asing yang akan dieksekusi di suatu negara, pada prinsipnya akan terkait dengan pertanyaan apakah putusan pengadilan asing dapat dieksekusi di suatu negara . Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan sistem hukum yang dinut oleh banyak negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing.

  Kecenderungan ini tidak saja berlaku pada Negara-negara yang menganut sistem Civil Law tetapi berlaku juga bagi Negara-negara yang menganut sistem Common Law . Penolakan eksekusi terhadap putusan pengadilan asing terkait erat dengan konsep kedaulatan Negara. Sebuah Negara yang memiliki kedaulatan tidak akan mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi. Kecuali Negara tersebut secara sukarela menundukkan diri, Mengingat penga- dilan merupakan alat perlengkapan yang ada dalam suatu Negara maka wajar apabila pengadilan tidak akan melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan pengadilan asing (Istiqomah. 2007. Makalah. Relevansi

  Hukum Kepailitan dalam Transaksi Bisnis Internasional ).

  Pelaksanaan Putusan Pailit Pengadilan Asing Berdasarkan Perjanjan Internasional

  Sebenarnya perjanjian interna- sional yang mengatur tentang eksekusi putusan pengadilan asing sudah sejak lama ada yang dikenal dengan nama convention on

  Juricdiction and Enforcement of Judgements in Civil and Commercial Matters (selanjutnya disebut “ kon-

  vensi Pelaksanaan Putusan Penga- dilan”). Hanya saja dalam pasal 1 Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan disebutkan secara tegas bahwa Konvensi tidak berlaku pada masalah kepailitan. Ketentuan pasal 1 ini berarti bahwa apabila ada negara yang telah menandatangani Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan, ia tidak mempunyai kewajiban untuk melaksanakan putusan pailit pengadilan asing.

  Melihat kelemahan yang terda- pat pada Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan banyak negara yang menginginkan agar dibentuk sebuah perjanjian internasional yang secara khusus mengatur kepailitan yang bersifat lintas batas. Hingga saat ini belum tersedia perjanjian internasional yang mengatur secara khusus kepailitan yang bersifat lintas batas yang dapat diikuti oleh negara manapun (bersifat universal).

  Pada saat ini yang telah ada adalah perjanjian internasional bagi kepailitan yang bersifat lintas batas yang dilakukan secara regional (regional arrangement). Sebagai contoh di masyarakat Uni Eropa telah berlaku sebuah perjanjian internasional yang mengatur hal ini. Perjanjian interna- sional ini dinamakan Convention on

  Insolvency Proceedings (selanjutnya

  disebut “Konvensi insolvensi”) Tujuan dari konvensi insolvensi adalah pembentukan satu wilayah kepailitan (the creation of a single

  bankruptcy territory ) yang berarti

  bahwa “the bankruptcy curts of one state

  must have jurisdiction to commence aprincipal cross border bankruptcy case”

  Hal ini ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) Konvensi Insolvensi yang menyebutkan bahwa : Any jugdement

  opening insolvency proceedings handed down by a court of a member state which has jurisdiction pursuant to article 3 shall be recognized in all the other Member State from the time that it becomes effective in the State of the opening of proceedings.

  Dengan demikian di Uni Eropa telah dimungkinkan putusan pailit pengadilan dari suatu negara anggota uni Eropa untuk dieksekusi di negara anggota Uni Eropa lainnya.

  Sikap Indonesia Terhadap Kepailitan Yang Berdimensi Internasional

  Sebagaimana dinyatakan terda- hulu, bahwa ada dua (2) prinsip hukum yang berlaku sehubungan dengan persoalan apakah suatu keputusan pengadilan asing (luar negeri) tentang kepailitan juga berlaku atau mempunyai akibat-akibat hukum di wilayah Negara sendiri. Dua prinsip tersebut adalah prinsip universalitas dan prinsip teritorialitas.

  Menurut Martin Wolft, sistem teritorialitas dianut di Amerika Serikat, sistem universalitas dianut di Jerman, Swis. Untuk Negara Inggris prinsip yang dianut adalah prinsip universalitas, kecuali hal berlakunya putusan hakim asing terhadap barang-batang tak bergerak yang terletak di Negara Inggris, maka berlaku prinsip teritorialitas. Menurut sistem hukum perdata internasional Belanda, keputusan kepailitan memakai prinsip teritorialitas. Pada pokoknya suatu keputusan pailit yang diucapkan di luar negeri tidak mempunyai akibat hukum di dalam negeri (Adrian Sutedi. 2009).

  Sikap negara Indonesia dalam persoalan kepailitan yang berdimensi Internasional dapat dilihat dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004. Sikap Indonesia tersebut harus ditinjau dari dari dua sisi, yaitu sisi putusan pailit pengadilan asing terhadap harta debitur yang berada di Indonesia dan sisi putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Indonesia terhadap harta debitur yang berada di luar negeri.

  Putusan pailit Pengadilan Asing Terhadap Harta Debitur yang Berada di Indonesia .

  Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, menentukan bahwa : Kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata.

  Sebagaimana diketahui bahwa hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia adalah Herziene Indonesisch

  Reglement/ Rechtsreglement Buitenge- westen (HIR dan RBg). Rv sudah tidak

  berlaku lagi di Indonesia, tetapi masih dijadikan sebagai pedoman, apabila hal ini diperlukan guna dapat merealisasi hukum materiil. Ini berarti hukum acara kepailitan yang berlaku bagi kepailitan di Indonesia adalah HIR/RBg di samping Rv sebagai pedomannya (Jono. 2008).

  Berdasarkan ketentuan Pasal 436 Rv (Rechtverordering), putusan hakim asing tidak dapat dijalankan di Indonesia. Bunyi ketentuan Pasal 436 Rv adalah sebagai berikut : 1) Di luar keadaan-keadaan yang disebutkan dalam pasal 724 Kitab

  Undang-Undang Hukum Dagang dan undang-undang lain, maka putusan-putusan Hakim negeri asing tidak dapat dijalankan di dalam wilayah hukum Negara Indonesia. 2) Perkara-perkara yang bersang- kutan dapat diajukan, diperiksa dan dapat diputuskan lagi di muka Pengadilan Indonesia. 3) Dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan pada ayat (1), putusan-putusan hakim negeri asing hanya dapat dijalankan sesudah dibuatkan suatu permohonan dan terdapat izin dari hakim di Indonesia, dimana putusan itu harus dijalankan. 4) Dalam hal memohon dan memberikan izin ini, perkaranya tidak akan diperiksa kembali (Wirjono Prodjodikoro).

  Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan territorial (principle of territorial souvereignty), berarti keputusan Hakim Asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah Negara lain atas kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjan- jian internasional antara Indonesia dan Negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan keputusan-keputusan asing di wilayah Republik Indonesia (Adrian Sutedi. 2009).

  Dengan demikian, dalam hukum kepailitan Indonesia dapat ditafsirkan bahwa Pengadilan Niaga tidak akan mengeksekusi putusan pailit pengadilan asing. Penafsiran ini didasarkan pada ketentuan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang esensinya adalah memberlakukan hukum acara perdata pada Pengadilan Niaga.

  Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dari segi pelaksanaan terhadap putusan pailit pengadilan asing terhadap harta debitur yang berada di Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menganut asas territorial. Dalam arti, seorang debitur yang dinyatakan pailit di luar negeri, pernyataan tersebut tidak mencakup harta debitur yang berada di Indonesia.

  Putusan Pailit Pengadilan Indonesia terhadap Harta Debitur yang Berada di Luar Negeri .

  Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan menentukan bahwa : Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 21 tersebut, secara formil putusan pengadilan niaga atas permohonan pernyataan pailit meliputi seluruh harta debitur, baik harta debitur yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar negeri. Dengan demikian terhadap harta debitur yang berada di luar negeri Indonesia menganut asas atau prinsip universalitas.

  Pada umumnya, suatu negara hanya memperbolehkan eksekusi putusan kepailitan dari negara lain, apabila ada perjanjian internasional (traktat) antara kedua Negara tersebut, termasuk juga Indonesia.

  Dengan demikian, secara materil putusan pengadilan niaga Indonesia tidak mampu menjangkau harta debitur yang berada di luar negeri, karena asas sovereignty yaitu tiap Negara mempunyai kedaulatan hukum yang tidak dapat ditembus atau digugat oleh hukum dari negara lain (Jono, 2008).

  Dari uraian di atas, terlihat bahwa Indonesia menganut asas universalitas terhadap putusan pengadilan niaganya, tetapi disisi lain memberlakukan asas territorial terhadap putusan pailit pengadilan asing. Sikap demikian seolah-olah terlihat bahwa Negara Indonesia hanya mau mengambil sisi-sisi yang menguntungkan saja.

  Menurut penulis, jika penerapan politik hukum Indonesia mengenai sisi internasional dari kepailitan seperti ini, jelas bahwa putusan Pengadilan Niaga tidak akan berjalan efektif terhadap harta debitur yang berada di luar Indonesia, karena Negara lainpun akan menerapkan politik hukum yang sama. Apalagi Indonesia sampai saat ini belum terikat oleh traktat apapun mengenai persoalan kepailitan lintas Negara tersebut.

  Oleh karena sikap pengadilan niaga dan mahkamah agung dalam perkara kepailitan ternyata mencer- minkan inkonsistensi dalam penerapan hukum kepailitan yang pada akhirnya melahirkan ketidakpastian hukum, konsekwensinya sampai saat ini pengadilan niaga belum mampu melakukan paksaan terhadap debitur yang tidak mematuhi putuan pengadilan, sehingga banyak debitur yang lepas jerat dari kepailitan.

  SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa transaksi lintas batas negara mempunyai keterkaitan dengan hukum kepailitan.

  Permasalahan-permasalahan yang muncul tidak bisa tidak harus diselesaikan. Untuk itu ada baiknya dalam perubahan terhadap undang- undang kepailitan dipikirkan tentang masalah kepailitan lintas negara.

  Bagi Indonesia dapat memilih salah satu dari dua opsi yang ada. Pertama membentuk dalam hukum kepailitannya ketentuan yang mengakomodasi kemungkinan putusan pailit pengadilan asing untuk dapat diakui dan dilaksanakan oleh pengadilan Indonesia sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur. Apabila alternative ini yang diambil maka ada baiknya pembentuk undang-undang merujuk pada Model

  law yang dipersiapkan oleh UNCITRAL. Alternatif kedua, Indonesia ikut serta dalam perjanjian internsional yang bersifat bilateral ataupun multilateral yang mengatur putusan pailit dari pengadilan suatu negara yang memungkinkan untuk dieksekusi di pengadilan niaga dan sebaliknya putusan pailit oleh pengadilan niaga dapat dieksekusi di pengadilan luar negeri.

  DAFTAR PUSTAKA Cita-citra winda, Pria pantja, 2001

  “Beberapa Pemikiran Tentang

  Penyelesaian Hak di Pengadilan Niaga ; sebuah tinjauan

  akademi”Jakarta. Juwana, Hikmananto. 2002. Bunga

  rampai hukum ekonomi dan hukum internasional . Lentera hati.

  Jakarta.

  Jono. 2008. Hukum Kepailitan. Sinar Grafika. Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono. 1954. Asas- Asas Hukum Perdata Internasional .

  N.V. Van Dorp & Co. Jakarta. Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Kepailitan . Ghalia Indonesia.

  Ciawi-Bogor Schollmeyer, Eberhard, “The New

  European Convention on International Insolvency,

  http: www.law.emory.edu/BDJ/volu mes /spring97/SCHOLL.html . http : www.uncitral.org/english/ texts/insolvency.html . Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

  Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).