T1 802009108 Full text

REGULASI EMOSI PERSONIL BATALYON ARTILERI MEDAN 12 NGAWI

OLEH
BERNIKE GRASIKA TAMEDYA
802009108

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

REGULASI EMOSI PERSONIL BATALYON ARTILERI MEDAN 12 NGAWI

Bernike Grasika Tamedya
Jusuf Tjahjo Purnomo

Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses regulasi emosi personil militer Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) yang tergabung dalam Batalyon Artileri Medan
(Yon Armed) 12 Ngawi. Partisipan penelitian merupakan tiga orang personil Yon Armed 12
Ngawi, berjenis kelamin pria, masing-masing berusia 42 tahun, 26 tahun dan 48 tahun dan
minimal satu kali sudah pernah diikutsertakan dalam penugasan pengamanan daerah rawan
(pamrahwan). Pengumpulan data menggunakan metode kualitatif dengan wawancara, observasi
dan telaah beberapa dokumen terkait. Pedoman wawancara dan indikator proses regulasi emosi
disusun berdasarkan teori proses pembentukan emosi serta jenis regulasi emosi yang
dikemukakan oleh Gross dan Thompson (2007) serta faktor stres personil militer yang dicatat

oleh Harms et al. (2013) dan Kensing (2014). Ketiga partisipan mengembangkan strategi
regulasi emosi seleksi situasi, modifikasi situasi, penyebaran atensi distraksi dan konsentrasi,
reappraisal dan modulasi respons suppression maupun fisik disesuaikan dengan tujuan dan
konteks situasi stressful yang dihadapi dalam domain penugasan pamrahwan, latihan tempur dan
rutinitas harian. Mengenali emosi dan mengembangkan strategi regulasi emosi merupakan
ketrampilan yang penting untuk dimiliki dan dapat dikembangkan sehingga personil militer
dapat memberikan performa terbaik dalam menyelesaikan tugas dan mengatasi situasi stressful.
Kata kunci: emosi, regulasi emosi, personil militer, tentara, artileri medan

i

Abstract

This research has been conducted to examine Artillery Battalion (Yon Armed) 12 Ngawi
soldiers’ emotion regulation process in varied stressful situations. Three male Indonesian Army
soldiers of that battalion have been involved to be participants. They were 42 years old, 26 years
old and 48 years old. They have been in combat deployment or securing conflict region
operation at least once. This research used qualitative method, data were collected by using
depth interview, direct observation and analysis of


relevant documents or materials. The

interview guide and emotion regulation indicators were arranged according to Gross and
Thompson’s (2007) emotion formation and emotion regulation theory and explanations of
military member’s stress factors by Harms et al. (2013) and Kensing (2014). Results indicated
that all of the participants developed all of the emotion regulation strategies, those strategy were
situation selection, situation modification, attention development (distraction and consentration),
reappraisal and response modulation (suppression and physically). Participants developed
emotion regulation strategy according to their own goals in the stressful situation’s contexts
when they were deployed in conflict region, battle simulation and daily routinity at the
headquarter. The results showed that is important for military members to own skill in
understanding emotion condition and knowing how to do emotion regulation so that they can
perform excellently in completing military task and overcome various stressful situations in daily
life.
Keywords: emotion, emotion regulation, military member, soldiers, artillery

ii

1


PENDAHULUAN
Kensing (2014) dalam suatu situs mengenai pekerjaan di Amerika Serikat menyajikan
hasil survei profesi yang memiliki tingkat stres paling tinggi pada tahun 2014 yang
menunjukkan bahwa profesi sebagai personil militer berada pada peringkat pertama.
Menurut hasil survei tersebut, pekerjaan militer dinilai memiliki tingkat stres paling tinggi
karena memenuhi beberapa faktor, di antaranya pekerjaan tersebut berada pada kondisi
yang tidak menentu, para personil militer berpotensi tinggi menghadapi bahaya yang dapat
terjadi dengan segera, situasi-situasi yang dihadapi para personil sangat berisiko dan
adanya tuntutan untuk memiliki keberanian yang sangat tinggi.
Harms et al. (2013) yang meneliti kesehatan mental personil militer Amerika dan
Inggris menambahkan bahwa tingkat stres yang tinggi dalam pekerjaan militer
diindikasikan dengan faktor-faktor stres yang meliputi adanya ancaman fisik (terluka atau
terbunuh), berada jauh dari tempat tinggal dan keluarga dalam kurun waktu yang relatif
lama, adanya tuntutan fisik untuk selalu siap dan sigap namun juga berpotensi besar
mengalami kelelahan, menjadi sorotan masyarakat luas serta bertanggung jawab atas
keselamatan diri sendiri dan orang lain, serta bersinggungan dengan rutinitas dalam latihan
dan komando yang terstruktur.
Kondisi kehidupan personil militer yang stressful tersebut juga dialami oleh personil
militer di Indonesia. Situs resmi Tentara Nasional Indonesia memaparkan bahwa para
personilnya bertanggungjawab dalam lingkup penugasan yang meliputi operasi militer

perang maupun operasi militer selain perang untuk mengatasi ancaman keamanan dalam
negeri (“Peran, Fungsi, dan Tugas”, t.t). Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, para
tentara di Indonesia juga mengalami faktor-faktor stres yang dipaparkan oleh Kensing
(2014) dan Harms et al. (2013) tersebut. Hal ini juga diperkuat dengan hasil sebuah

2

wawancara kepada seorang personil Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 12 Ngawi pada
30 Mei 2013 yang menunjukkan bahwa para personil kesatuan tersebut mengungkapkan
perasaan cemas dan takut ketika akan menghadapi simulasi tempur dengan senjata yang
disebut peluru tajam, yaitu peluru yang dapat mengakibatkan cidera ringan, serius, hingga
kematian. Selain itu, selama latihan tempur berlangsung, beberapa personil kedapatan
mengeluh atau mengumpat ketika harus berjalan dalam barisan dalam kondisi lelah.
Halonen dan Santrock (1999) mengemukakan bahwa ungkapan kemarahan, kecemasan dan
ketakutan mencirikan adanya pengalaman afek negatif yang juga mencakup perasaan
bersalah dan sedih.
Harms et al. (2013) mengemukakan bahwa stres dalam pelaksanaan tugas militer
merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan performa prajurit dalam
melaksanakan tugas, kondisi emotional well-being serta hasil kerja dari prajurit tersebut.
Stressor yang dialami individu bersifat terus-menerus muncul dan berubah dari satu situasi

kepada situasi yang lain, namun kondisi ini tidak kemudian membuat individu menjadi
terbiasa terhadap kondisi stressful yang dialaminya dalam berbagai bidang kehidupan
(Diener et al., 2006, dalam Harms et al., 2013). Hal ini menjelaskan pengalaman emosi
negatif selama penugasan, juga berdampak dalam kehidupan sehari-hari para personil
militer. Berdasarkan model emotional well-being prajurit yang dicetuskan oleh Mental
Health Advisory Team 5 (2008) serta Bliese dan Castro (2003), Harms et al. menjelaskan
bahwa kondisi stressful yang dialami oleh personil militer dapat mengakibatkan kondisi
post traumatic stress disorder, kecenderungan bunuh diri, penyalahgunaan alkohol dan
obat-obatan, menurunnya performa kerja serta kecenderungan untuk mengundurkan diri
dari pekerjaan tersebut. Harms et al. menambahkan bahwa ketidakmampuan personil
militer meregulasi emosi negatif yang merupakan dampak dari pekerjaannya, akan

3

menyebabkan mereka mengalami kecerobohan dalam bekerja, keterbatasan dalam
mengoptimalkan kemampuan mereka, masalah emosional, dan mempertimbangkan
perceraian dengan pasangan. Ward et al. (2008, dalam Lane et al., 2013) mengemukakan
bahwa emosi negatif, khususnya kecemasan menghambat prajurit untuk memroses
informasi, kaitannya dalam pemrosesan dan pelaksanaan instruksi dalam penugasan.
Beberapa berita yang disajikan dalam situs harian Tempo mencatat bahwa personil

militer kerap kali terlibat dalam kasus kekerasan dan setelah melalui pemeriksaan tindakan
tersebut dilatarbelakangi adanya pengalaman stres atau trauma pasca penugasan militer.
Salah satu berita yang ditulis oleh Joniansyah (2013) melaporkan peristiwa pemukulan
yang dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa sebab oleh seorang anggota polisi terhadap
seorang warga. Kepala Polisi Sektor setempat menjelaskan perilaku anggota polisi tersebut
disebabkan oleh kondisi depresi yang dialaminya pasca penugasan terkait penanganan
dampak tsunami di Aceh. Selain itu, Rofiuddin (2013) juga menuliskan berita tentang
seorang perwira polisi yang dilaporkan telah melakukan tindak kekerasan yang
mengakibatkan adanya luka selama beberapa kali kepada kekasihnya. Suatu situs berita
Jayapura juga mempublikasikan tulisan Mambor (2010) yang mengemukakan hasil survei
Pusat Jaringan Pelayanan Perempuan dan Anak (Pujaprema) Kabupaten Jayapura
mengenai 3 dari kasus kekerasan dalam rumah tangga sepanjang tahun 2009 hingga Juni
2010 melibatkan aparat TNI, POLRI, dan PNS sebagai pelaku kekerasan.
Selain beberapa temuan dan berita yang menunjukkan bahwa kondisi stressful dalam
pekerjaan militer memengaruhi kehidupan sehari-hari personilnya, Lane et al. (2012)
menambahkan bahwa cara personil militer menghadapi situasi stressful dalam kehidupan
sehari-hari menjadi suatu prediktor kemampuannya meregulasi emosi dalam tugas mereka.

4


Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu strategi regulasi emosi baik dalam lingkup
penugasan para personil militer maupun dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Regulasi

emosi

merupakan

serangkaian

strategi

untuk

mengendalikan

atau

memengaruhi emosi yang dialami individu dan kapan terjadinya emosi tersebut (Gross,
1998, dalam Gross & John, 2003), memulai atau memunculkan, mempertahankan,

memodifikasi atau menampilkan emosi, baik secara otomatis atau terkontrol, sadar
(conscious) atau tidak sadar (unconscious), serta dapat menimbulkan dampak pada proses
pembentukan emosi (Gross & Thompson, 2007, dalam Lane et al., 2012). Thompson
(1994) melengkapi dengan pendapat bahwa regulasi emosi merupakan proses ekstrinsik
maupun intrinsik yang bertanggungjawab untuk memonitor, mengevaluasi dan
memodifikasi reaksi emosional khususnya pada bagian intensitas emosi agar tujuan
individu tercapai.
Dalam memahami proses regulasi emosi, Gross dan Thompson (2007) memberikan
fokus pertama pada situasi yang dialami oleh individu karena emosi merupakan respons
dari adanya keterbangkitan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari interaksi antara
individu dengan situasi yang dimaknai relevan dengan tujuannya. Gross dan Thompson
mengemukakan sebuah konsep terbentuknya emosi dengan skema sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Teori Pembentukan Emosi oleh Gross dan Thompson (2007)
Dalam suatu laporan penelitian, Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa
timbulnya suatu emosi diawali dengan adanya evaluasi terhadap suatu situasi yang

5

kemudian disebut sebagai emotion cues. Situasi menjadi suatu variabel yang memicu

(Gross & John, 2003) yang kemudian mendapatkan atensi individu sehingga dipersepsikan
sedemikian rupa dan melalui proses appraisal untuk mengevaluasi lingkungannya
(Ellsworth & Scherer, 2003). Lane et al. (2012) mengemukakan bahwa kondisi yang
menantang dan stressful berpotensi besar menimbulkan suatu emosi yang intens.
Sedangkan emosi, khususnya dengan intensitas tinggi, memiliki kualitas komando (Gross
& Thompson, 2007). Frijda (1986, dalam Gross & Thompson, 2007) menyebutnya dengan
istilah control precedence yang mengacu pada bagaimana emosi dapat menginterupsi apa
yang sedang dilakukan individu dan mendesak masuk dalam area kesadaran (awareness),
oleh sebab itu Gross dan Thompson (2007) mengemukakan bahwa strategi regulasi emosi
berfokus pada kondisi emosional yang terlalu intens yang dapat menghambat individu
dalam mencapai tujuannya.
Berdasarkan skema pembentukan emosi (Gambar 1), Gross dan Thompson (2007)
mengembangkan suatu konsep proses regulasi emosi dengan skema sebagai berikut:

Gambar 2. Skema Teori Proses Regulasi Emosi oleh Gross dan Thompson (2007)
Terhadap situasi yang stressful dan potensial menimbulkan emosi, individu melakukan
strategi regulasi emosi yang melibatkan serangkaian tindakan intervensi terhadap situasi
yang dialami, yaitu situation selection (seleksi situasi) dan situation modification
(modifikasi situasi) (Gross & Thompson, 2007). Strategi seleksi situasi melibatkan


6

beberapa tindakan dengan tujuan sampai pada situasi yang sekiranya menimbulkan emosi
yang diinginkan atau yang tidak diinginkan. Bentuk perilaku seleksi situasi meliputi
tindakan menghindari situasi yang dapat memicu munculnya emosi negatif dan
menciptakan suatu situasi yang berpotensi menimbulkan emosi positif. Strategi seleksi
situasi juga dapat dilakukan secara ekstrinsik oleh individu yaitu mengarahkan orang lain
untuk menghindari situasi stressful atau memilih menghadiri situasi yang potensial
menimbulkan emosi positif, dengan adanya penyesuaian terhadap kapasitas regulasi diri
orang yang menadi sasaran strategi tersebut dalam mengelola timbulnya perubahan emosi.
Apabila individu sudah terlanjur berada dalam situasi yang stressful, Gross dan
Thompson (2007) mengemukakan bahwa individu dapat melakukan modifikasi situasi
dengan melakukan serangkaian tindakan untuk mengubah suatu situasi stressful menjadi
suatu situasi dengan intensitas stres yang lebih kecil atau lebih besar sehingga mencapai
suatu kondisi emosi yang diinginkan. Strategi modifikasi situasi berfokus untuk mengubah
situasi eksternal atau lingkungan fisik. Rimé (2007, dalam Gross & Thompson, 2007)
menyebutkan bahwa salah satu bentuk modifikasi situasi ekstrinsik yang cukup efektif
adalah mengekspresikan emosi.
Ketika individu tidak dapat mengubah atau memodifikasi situasi eksternal, individu
meregulasi emosinya dengan strategi attentional deployment (penyebaran atensi) yang
mengacu pada serangkaian tindakan individu mengarahkan atensi pada satu aspek dalam
situasi yang memengaruhi emosi (Gross & Thompson, 2007). Gross dan Thompson
menyebut penyebaran atensi sebagai bentuk seleksi situasi internal yang memungkinkan
individu memilih poin apa yang akan mereka perhatikan dalam suatu situasi sehingga
emosi yang mereka alami tidak terlalu intens. Strategi penyebaran atensi dapat dilakukan
dengan distraksi dan konsentrasi. Distraksi merupakan strategi memperhatikan aspek lain

7

dalam situasi atau mengalihkan perhatian dari situasi tersebut ke situasi yang lain (Rothbart
& Sheese, 2007; Sifter & Moyer, 1991, dalam Gross & Thompson, 2007), sedangkan
konsentrasi merupakan strategi mengarahkan atau memusatkan perhatian pada aspek emosi
dalam suatu situasi dengan tujuan mencapai suatu kondisi emosi tertentu (Gross &
Thompson, 2007).
Strategi regulasi emosi berikutnya adalah cognitive change (perubahan kognitif) yang
mengacu pada tindakan individu mengubah cara menilai situasi dengan tujuan mengubah
tingkat pengaruh aspek emosionalnya (Gross & Thompson, 2007).

Perubahan yang

diupayakan meliputi perubahan pada persepsi individu terhadap lingkungan atau persepsi
individu terhadap kemampuannya untuk menghadapi kondisi emosi yang berpotensi
muncul. Gross dan Thompson mengemukakan 3 bentuk strategi perubahan kognitif yaitu
downward social comparison yang merupakan tindakan membandingkan kondisi yang
sedang dialami dengan kondisi orang lain yang kurang beruntung sehingga terjadi
perubahan konsep dan berkurangnya emosi negatif (Taylor & Lobel, 1989; Wills, 1991,
dalam Gross & Thompson, 2007); mempersepsikan situasi sebagai hal yang dapat
meningkatkan kualitas individu daripada memaknainya sebagai hal yang melemahkan; dan
cognitive reappraisal yaitu strategi perubahan kognitif yang melibatkan tindakan
menguraikan atau mengevaluasi situasi yang berpotensi memicu munculnya emosi dengan
suatu cara yang dapat mengubah dampak emosional (Lazarus & Alfert, 1964, dalam Gross
& John, 2003). Gross dan John (2003) menekankan bahwa strategi cognitive reappraisal
merupakan strategi regulasi emosi yang efektif untuk mengurangi pengalaman dan perilaku
emosi negatif.
Keempat strategi regulasi emosi tersebut termasuk dalam strategi regulasi emosi
antecedent-focused atau berfokus pada hal-hal yang memicu munculnya emosi khususnya

8

hal-hal yang terjadi sebelum proses appraisal kemudian memunculkan tendensi respons
emosional secara penuh (Gross & Munoz, 1995, dalam Gross & Thompson, 2007). Ketika
emosi sudah terjadi, individu dapat melakukan strategi regulasi emosi response-focused
(Gross & Munoz, 1995, dalam Gross & Thompson, 2007). Gross dan Thompson (2007)
mengemukakan strategi emosi kelima yang berfokus pada respons emosi yaitu response
modulation (modulasi respons) yaitu strategi yang mengacu pada serangkaian tindakan
menyesuaikan respons fisiologis, pengalaman, serta perilaku secara langsung dan segera
sesuai dengan situasi setelah munculnya tendensi emosi. Bentuk-bentuk strategi modulasi
respons adalah penggunaan obat-obatan dengan tujuan memengaruhi aspek fisiologis
dalam kondisi emosi, olahraga dan relaksasi untuk memengaruhi aspek fisiologis dan
pengalaman ketika menghadapi suatu kondisi emosi, dan meregulasi ekspresi emosi
(Gross, Richard & John, 2006, dalam Gross & Thompson, 2007). Salah satu bentuk
regulasi ekspresi emosi yang mendapat perhatian secara khusus karena berpotensi
menimbulkan berbagai dampak secara afektif, sosial dan memengaruhi psychological wellbeing individu adalah expressive-suppression (Gross & John, 2003) yang merupakan
serangkaian tindakan individu menghalangi munculnya perilaku ekspresi dari emosi yang
sedang dialami (Gross, 1998, dalam Gross & John, 2003). Gross dan John (2003)
menambahkan bahwa strategi expressive suppression efektif untuk mengurangi perilaku
ekspresi negatif namun memiliki efek samping mengurangi kemampuan individu
mengekspresikan emosi positif dan berpotensi menimbulkan akumulasi kondisi emosi
negatif.
Efektivitas strategi regulasi emosi yang digunakan oleh individu disesuaikan dengan
konteks tujuan dan situasi yang dihadapi (Gross & Thompson, 2007). Lane et al. (2012)
mengemukakan beberapa hasil studi yang menunjukkan bahwa strategi regulasi emosi

9

digunakan untuk membantu performa individu, yaitu individu cenderung untuk
meningkatkan pengalaman emosi yang tidak menyenangkan seperti kemarahan untuk
melakukan tugas yang melibatkan konfrontasi (Tamir, 2009) dan temuan bahwa kalangan
atlet percaya bahwa kemarahan dapat meningkatkan energi serta kecemasan dapat
membantu mereka untuk fokus pada informasi yang relevan dengan tugas yang harus
mereka kerjakan (Eysenck & Calvo, 1992; Harris, Hancock & Harris, 2005; Janelle, 2002).
Lane et al. (2012) juga menyebutkan bahwa regulasi emosi berhubungan dengan
performa individu dalam area hidup yang beragam, meliputi bidang penerbangan, edukasi,
kegiatan di bidang hukum, kedokteran bedah dan olahraga. Proses regulasi emosi juga
terjadi dalam antar-domain kehidupan individu itu sendiri. Lane et al. mengusulkan supaya
penelitian mengenai regulasi emosi khususnya yang dialami para personil militer tidak
difokuskan pada satu domain mengenai aktivitas mereka dalam lingkup penugasan sebagai
personil militer saja, tetapi juga melihat transferabilitas strategi regulasi emosi pada
domain lain seperti aktivitas olahraga dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Selain itu,
Harms et al. (2013) juga menyarankan adanya eksplorasi penelitian terhadap hubungan
para prajurit dengan keluarga dan pernikahan, kepemimpinan, karakteristik kepribadian
dan kegiatan pelatihan yang diikuti dalam kesatuan.
Berdasarkan uraian latar belakang fenomena yang ditemui dan tinjauan teori yang
mendukung, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran proses regulasi emosi
personil Yon Armed 12 Ngawi ketika menghadapi situasi-situasi stressful dalam
kehidupannya sebagai prajurit artileri.

10

METODE
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu
bentuk inkuiri sosial yang berfokus pada bagaimana individu memaknai atau memahami
seluruh pengalaman mereka (Holloway, 1997, dalam Wahyuni, 2012), hal ini sesuai
dengan tujuan peneliti mengungkap pengalaman emosi dan strategi regulasi emosi yang
secara subjektif dialami oleh para partisipan.. Penelitian kualitatif melibatkan setting
penelitian natural dan pengumpulan materi empiris yang mendeskripsikan peristiwa rutin
dan problematis serta makna-makna dalam hidup individu (Denzin & Lincoln, 2004, dalam
Wahyuni, 2012).
Partisipan
Penentuan partisipan dalam penelitian ini diawali dengan telaah dokumen data
demografis prajurit Yon Armed 12 Ngawi serta dokumen deskripsi peran dan jabatan
prajurit dalam kesatuan, kemudian menggunakan teknik snowball sampling dengan
meminta informasi mengenai subjek yang tepat melalui Koordinator Sesi Anggota dan
Organisasi Yon Armed 12 Ngawi.
Partisipan penelitian ini berjumlah 3 orang laki-laki, personil aktif Yon Armed 12
Ngawi yang minimal satu kali pernah diikutsertakan dalam penugasan pengamanan daerah
rawan (pamrahwan). Berikut ini merupakan deskripsi partisipan secara umum:

Pangkat

Usia
Pendidikan terakhir
sebelum menjadi prajurit

PARTISIPAN 1
(P1)

PARTISIPAN 2
(P2)

PARTISIPAN 3
(P3)

Sersan Mayor
(Serma)

Prajurit Satu
(Pratu)

Kopral Kepala
(Kopka)

42 tahun

26 tahun

48 tahun

SMK

SMA

SMP

11

Status marital

18 tahun menikah
dengan seorang
istri dan memiliki
2 orang anak, lakilaki dan
perempuan.

Lama menjadi prajurit
Jabatan dalam kesatuan

23 tahun
Seksi Administrasi
Markas
(mengemban
beban kerja
Pembantu Letnan
Satu, dua tingkat
pangkat lebih
tinggi)
Menyelenggarakan Merawat dan
kegiatan
membersihkan
administratif
meriam
terkait
perkembangan
karir dan
kesejahteraan
personil dalam
kesatuan

Tanggung jawab harian
khusus dalam kesatuan

Pengalaman
diikutsertakan dalam
tugas pamrahwan

 Pamrahwan
perbatasan
Atambua, NTT
dengan Timor
Leste selama 16
bulan, berlokasi di
pos Komando
Utama wilayah
Kota Kabupaten
Kefamenano

Belum menikah,
anak bungsu dari 2
bersaudara, kakak
subjek dan
beberapa anggota
keluarga besar
berprofesi sebagai
tentara.
4 tahun
Pembantu
Penembak Senjata
Manual Regu
Keamanan
Lapangan

 Pamrahwan
Maluku Utara
selama 6 bulan,
berlokasi di pos
Dumdum, Ternate

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian

24 tahun menikah
dengan seorang istri
dan memiliki 3 anak,
2 anak perempuan
dan satu anak lakilaki, menjalani long
distance relationship
sejak masa pranikah.
30 tahun
Pengemudi Bengkel
Seksi Harian Markas
(mengemban beban
kerja Prajurit Kepala,
tiga tingkat pangkat
lebih rendah)

Merawat dan
memperbaiki
kendaraan-kendaraan
kesatuan serta
memastikan
kesiagaan tiap-tiap
kendaraan
 Pamrahwan Maluku
selama 13 bulan,
berlokasi di pos Kota
Masohi dan
mengalami beberapa
perpindahan
 Pamrahwan
perbatasan Atambua,
NTT dengan Timor
Leste selama 16
bulan, berlokasi di
pos Komando Utama
wilayah Kota
Kabupaten
Kefamenano

12

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan 4 metode yang diusulkan oleh Yin (2003, dalam
Wahyuni, 2012) yaitu partisipasi peneliti dalam lingkungan penelitian secara langsung,
observasi langsung, wawancara mendalam dan analisis dokumen atau materi yang relevan.
Pedoman wawancara dan observasi disusun berdasarkan teori proses pembentukan
emosi serta jenis regulasi emosi yang dikemukakan oleh Gross dan Thompson (2007)
sehingga penelitian ini akan berfokus pada situasi-situasi yang mendapatkan atensi subjek,
proses appraisal, gambaran emosi serta kualitas dan intensitas yang muncul, serta
bagaimana subjek memodulasi respons emosi. Pengumpulan data akan berfokus pada
situasi dalam penugasan yang meliputi faktor-faktor risiko yang berpotensi menimbulkan
pengalaman emosional seperti pengalaman perang, risiko cidera perang, lamanya
penugasan dan berada jauh dari rumah, adanya multi penugasan dan hubungan rekan kerja
dalam tim (Mental Health Advisory Team 5, 2008; Bliese & Castro, 2003, dalam Harms et
al., 2013). Fokus penelitian juga meliputi situasi-situasi yang dihadapi partisipan dalam
kehidupan sehari-hari seperti hubungan dengan keluarga, kehidupan pernikahan, hubungan
dengan pemimpin dan rekan kerja. Berdasarkan teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu
tersebut, berikut pedoman wawancara yang disusun:
FAKTOR STRES
Pengalaman
perang
Risiko cidera
perang
Lama penugasan
dan berada jauh
dari rumah

Multi penugasan

GAMBARAN RESPONS YANG INGIN DIKETAHUI
Mengenai peristiwa dan pengalaman yang dialami partisipan ketika
diikutsertakan dalam penugasan operasi militer atau perang
Mengenai pengalaman terluka atau cidera saat menjalankan
penugasan operasi militer atau perang
Mengenai lamanya partisipan menjalankan penugasan operasi
militer, meliputi pengamanan daerah rawan (pamrahwan) dan
latihan tempur, serta pengalaman emosional yang dialami selama
berada di lokasi penugasan yang membuat mereka terpisah dari
keluarga dalam kurun waktu tertentu
Mengenai frekuensi pengalaman bertugas dalam operasi militer
serta peran dan tanggung jawab partisipan dalam penugasan
tersebut

13

Hubungan dengan
rekan kerja dalam
tim
Bahaya fisik

Tuntutan fisik
Menjadi sorotan
masyarakat
Bertanggungjawab atas
keselamatan orang
lain
Kondisi penugasan

Mengenai hubungan dan pengalaman interspersonal partisipan
dengan rekan kerja sesama prajurit, baik dalam lingkup penugasan
maupun di luar kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan
Mengenai peristiwa yang menurut partisipan mengancam
keselamatan atau kesehatan fisik serta pengalaman emosioal ketika
menghadapi peristiwa tersebut
Mengenai tuntutan untuk tetap dalam keadaan prima secara fisik
sehingga dapat melaksanakan tugas dengan optimal
Mengenai respons masyarakat di daerah penugasan pamrahwan dan
latihan tempur serta di lingkungan sosial partisipan terhadap
kehadiran partisipan sebagai personil militer
Mengenai pengalaman subjek ketika dituntut untuk
bertanggungjawab menentukan kondisi atau keselamatan rekan
kerja atau orang lain, terutama dalam situasi bahaya atau mendesak
Mengenai deskripsi daerah penugasan pamrahwan atau latihan
tempur, meliputi deskripsi geografis maupun demografis
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut
Tabel 2. Pedoman Wawancara

Seluruh prosedur pengumpulan data dilakukan oleh peneliti di markas kesatuan Yon
Armed 12 Ngawi sejak 14 Februari 2014 hingga 22 April 2015. Prosedur pengumpulan
data meliputi wawancara dan observasi partisipan, serta melakukan telaah beberapa
dokumen terkait data demografis, deskripsi peran dan jabatan, serta data keikutsertaan
partisipan dalam penugasan pamrahwan.
Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan prosedur yang dikemukakan Miles dan Huberman
(1984, dalam Sugiyono, 2008) yaitu dengan melakukan reduksi data, pemetaan data dan
melakukan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Berikut ini merupakan tabel indikator
strategi regulasi emosi berdasarkan paparan teori Gross dan Thompson (2007) untuk
menganalisis strategi regulasi emosi yang dikembangkan partisipan ketika merespons
situasi-situasi stressful yang dihadapi sebagai prajurit:
STRATEGI
Seleksi situasi, melibatkan beberapa tindakan
dengan tujuan sampai pada situasi yang
sekiranya menimbulkan emosi yang kita

BENTUK PERILAKU
Menghindari situasi yang dapat memicu
munculnya emosi negatif
Menciptakan suatu situasi yang

14

inginkan atau yang tidak kita inginkan

Modifikasi situasi, melibatkan serangkaian
tindakan untuk memodifikasi atau mengubah
suatu situasi stressful menjadi suatu situasi
dengan intensitas stres yang lebih kecil
maupun yang lebih besar sehingga mencapai
suatu kondisi emosi yang diinginkan.
Penyebaran atensi distraksi, memperhatikan
aspek selain emosi dalam situasi atau
mengalihkan perhatian dari situasi tersebut ke
situasi yang lain.

berpotensi menimbulkan emosi positif
Menyarankan atau mengondisikan orang
lain berada pada situasi dengan tingkat
stres tidak intens
Mengubah suatu situasi eksternal atau
lingkungan fisik yang stressful
Mengekspresikan emosi yang sedang
dialami

Memperhatikan aspek lain dalam situasi
Mengalihkan perhatian dari situasi
stressful kepada situasi yang lain yang
tidak memicu emosi yang tidak
diinginkan
Memanggil memori yang tidak konsisten
dengan kondisi emosi yang tidak
diinginkan
Penyebaran atensi konsentrasi, mengarahkan Mengarahkan perhatian pada aspek emosi
atau memusatkan atensi pada aspek emosi
dalam suatu situasi
dalam suatu situasi dengan tujuan mencapai
Melakukan penarikan atensi secara fisik
suatu kondisi emosi tertentu.
Mengikuti pengalihan yang dilakukan
orang lain
Perubahan kognitif, tindakan individu
Mengubah penilaian terhadap lingkungan
mengubah cara menilai situasi dengan tujuan
Mengubah persepsi terhadap kemampuan
mengubah tingkat pengaruh aspek
menghadapi lingkungan
emosionalnya.
Downward social comparison
Mempersepsikan situasi sebagai hal yang
dapat meningkatkan kualitas individu
Modulasi respons, serangkaian tindakan
Penggunaan obat-obatan, olahraga,
menyesuaikan respons fisiologis, pengalaman, relaksasi, merokok, mengonsumsi
serta perilaku seefektif dan seefisien mungkin
makanan tertentu
sesuai dengan situasi setelah munculnya
Menghalangi atau menunda munculnya
tendensi emosi
ekspresi emosi yang dialami
(suppression)
Tabel 3. Indikator Strategi Regulasi Emosi
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai regulasi emosi personil Yon Armed 12 Ngawi menghasilkan data
yang meliputi situasi-situasi stressful dan pengalaman emosional yang dihadapi para
partisipan sepanjang karirnya sebagai personil militer serta strategi dan bentuk tindakan

15

atau perilaku regulasi emosi yang dikembangkan para partisipan ketika menghadapi situasi
tersebut.
SITUASI STRESSFUL
STRATEGI REGULASI EMOSI YANG
YANG DIALAMI
DIKEMBANGKAN
A. KETIKA BERTUGAS DALAM PAMRAHWAN
P1 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
A.1. Menerima
pemberitahuan
tersebut
bahwa subjek
P2 & P3 : Penyebaran atensi konsentrasi terhadap perasaan
akan
bersemangat (excited) dan perasaan ingin tahu (curiosity)
diikutsertakan
dengan membangun pemikiran bahwa dengan diikutsertakan
dalam
dalam pamrahwan membuat pengalamannya sebagai tentara
pengamanan
menjadi lengkap
daerah rawan
(pamrahwan)
P1 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
A.2. Dituntut untuk
selalu siap
tersebut
tempur dalam
P2 & P3 :
keadaan apapun
 Modulasi respons suppression dan penyebaran atensi
distraksi terhadap emosi jengkel dan cemas dengan
menghambat atau menahan ekspresi emosi tersebut.
 Penyebaran atensi konsentrasi terhadap pengalaman
submission (kepatuhan terhadap pihak otoritas)
P1 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
A.3. Latihan tempur
pra penugasan
tersebut
pamrahwan
P2 : Penyebaran atensi konsentrasi terhadap kecemasan dengan
memikirkan kemungkinan terjadinya kontak senjata selama
pamrahwan berlangsung.
P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
tersebut
P1 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kecemasan dan
A.4. Perjalanan
selama beberapa
kejenuhan, tindakan regulasinya berupa bepergian dan
hari dari markas
mengenal daerah penugasan.
kesatuan menuju P2 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kondisi fisik yang tidak
lokasi penugasan
nyaman dan kejenuhan karena perjalanan berhari-hari
pamrahwan
dengan kapal laut, tindakan regulasinya berupa tidur dan
bergurau bersama rekan-rekan sesama prajurit.
P3 :
 Modifikasi situasi terhadap emosi cemas dan antisipasi
terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan dalam
perjalanan, tindakan regulasinya berupa melakukan
serangkaian pengaturan pada situasi pekerjaan untuk
mengurangi potensi terjadinya kecelakaan.
 Penyebaran atensi distraksi terhadap emosi tersebut dengan
mengalihkan fokus dari kecemasan terhadap keyakinan
religiusnya.

16

A.5.

Masa awal
berada di lokasi
penugasan
pamrahwan

A.6.

Kejenuhan
selama berada di
lokasi penugasan
pamrahwan

A.7.

Menghadapi
kerusuhan,
kekacauan atau
konflik
bersenjata

P1 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kecemasan, tindakan
regulasinya berupa bepergian dan mengenal daerah
penugasan.
P2 : Penyebaran atensi distraksi terhadap kejenuhan, tindakan
regulasinya berupa bepergian dan mengenal daerah
penugasan.
P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
tersebut
P1 :
 Modifikasi situasi dengan mengupayakan hal-hal yang dapat
diakses seperti komunikasi acak dengan penduduk sekitar
menggunakan radio HT.
 Regulasi emosi ekstrinsik dengan mengarahkan rekan-rekan
satu kelompok pasukan untuk melakukan hal-hal
menyenangkan.
P2 : Cognitive reappraisal dengan mempertimbangkan banyak
hal positif yang ia dapatkan selama berada di lokasi
penugasan.
P3 :
 Penyebaran atensi distraksi dengan mengalihkan atensi dari
kejenuhan kepada kegiatan lain yang berpotensi meredakan
intensitas kejenuhan dengan beraktivitas bersama penduduk
sekitar.
 Seleksi situasi dengan membantu penduduk sekitar
menyeberangkan kapal ikan ke pulau lain di luar lokasi
penugasan.
P1 :
 Seleksi situasi terhadap emosi antisipasi dan kecemasan
dengan tindakan tetap tinggal di pos komando yang letaknya
jauh dari titik terjadinya kerusuhan.
 Modifikasi situasi dengan membangun hubungan baik
dengan masyarakat sekitar untuk meregulasi kekecewaan
yang disebabkan penolakan dari penduduk sekitar terhadap
kehadiran personil militer.
P2 :
 Cognitive reappraisal dengan membangun pemikiran bahwa
ia mampu menemukan solusi untuk mengatasi situasi
konflik yang mengancam keselamatannya sebagai regulasi
terhadap perasaan bingung, terkejut, panik dan cemas.
 Mengembangkan strategi problem-focused coping.
P3 :
 Modulasi respons suppression untuk menahan munculnya
ekspresi emosi marah sehinggga tidak muncul dalam
perilaku agresif.
 Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kemarahan
dalam bentuk perilaku agresif kepada pihak yang dianggap
sebagai provokator.

17

A.8.

Mengalami
kecelakaan
dalam perjalanan
dinas

A.9.

Berada jauh dari
keluarga dan
akses
komunikasi yang
sangat terbatas
selama
penugasan
pamrahwan

P1 & P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
tersebut
P3 :
 Penyebaran atensi distraksi dari pengalaman emosi panik
dan cemas terhadap konsep keyakinan religius yang
dimiliki, mencirikan adanya strategi emotion-focused
coping.
 Modifikasi situasi dengan segera melakukan perbaikan
kendaraan yang mengalami kecelakaan, mencirikan
problem-focused coping.
P1 :
 Modulasi respons suppression dengan menghambat ekspresi
emosi sedih dan menahan dorongan untuk berkomunikasi
via telepon.
 Penyebaran atensi distraksi dengan bepergian dan
beraktivitas bersama masyarakat sekitar lokasi.
 Reappraisal terhadap emosi cemas dengan berpikir bahwa
ada banyak pihak yang merawat keluarganya selama ia
bertugas.
 Modifikasi situasi untuk mempertahankan emosi positif
yang muncul karena adanya kesempatan berkomunikasi
dengan keluarga melalui tindakan beberapa kali suratmenyurat dan berkirim foto.
P2 :
 Penyebaran atensi distraksi dengan beraktivitas bersama
masyarakat sekitar lokasi penugasan.
 Reappraisal dengan mempertimbangkan kondisi di lokasi
penugasan yang lebih senggang dibandingkan dengan
rutinitas di markas kesatuan, status maritalnya yang belum
menikah, dan respons keluarga yang tidak terlalu
mencemaskan kepergiannya bertugas di daerah rawan, serta
interaksi dengan masyarakat di lokasi penugasan yang
semakin membaik.
P3 :
 Penyebaran atensi distraksi dari pengalaman emosi sedih,
takut dan cemas kepada emosi submission.
 Penyebaran atensi distraksi dengan berdansa dan minum
minuman beralkohol di diskotik yang tersedia di lokasi
penugasan, kemudian tidur.
 Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kecemasan dan
ketakutan melalui percakapan via telepon kepada istrinya.
 Penyebaran atensi konsentrasi terhadap tendensi emosi
antisipasi yang muncul karena kecemasan dengan selalu
berhati-hati dan waspada dalam menjalankan setiap
pekerjaan dan aktivitas selama penugasan.

18

A.10. Jadwal
meninggalkan
lokasi penugasan
yang simpang
siur

P1 :
 Penyebaran atensi distraksi terhadap perasaan kecewa,
frustrasi dan jenuh, dengan bepergian dan beraktivitas
bersama rekan-rekan sesama prajurit dan penduduk sekitar.
 Regulasi emosi ekstrinsik dengan mengondisikan rekanrekannya terlibat dalam kegiatan yang berpotensi
menimbulkan emosi positif karena subjek menyadari bahwa
rekan-rekannya juga mengalami emosi negatif yang
cenderung sama dengannya.
P2 & P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
tersebut
P1 : Reappraisal terhadap tendensi emosi sedih dan perasaan
A.11. Meninggalkan
lokasi penugasan
berat hati dengan mengubah makna perjalanan pulang yang
dan berpisah
tadinya dipersepsi sebagai perpisahan menjadi situasi yang
dengan
dimaknai sebagai pertemuan yang lebih cepat dengan
penduduk sekitar
keluarga yang sudah ditinggalkan.
yang sudah akrab P2 : Modifikasi situasi dengan mengungkapkan secara verbal
membangun
kesedihan yang dirasakan kepada rekan-rekan sesama
interaksi
prajurit yang juga menceritakan perasaan serupa selama
perjalanan pulang ke markas kesatuan.
P3 :
 Penyebaran atensi konsentrasi terhadap emosi lega dan
antusias yang muncul karena akan segera bertemu dengan
keluarga.
 Modulasi respons terhadap emosi lega dan antusias dengan
berulang kali membicarakan tentang kepulangannya baik
kepada keluarga yang akan ditemuinya maupun terhadap
keluarga di lokasi penugasan yang sudah akrab dengannya
selama penugasan berlangsung.
A.12 Berada kembali
P1 :
di dalam markas
 Modulasi respons pada aspek fisik dengan mengistirahatkan
kesatuan
tubuh sehingga intensitas emosi positif tetap dipertahankan
dan menjadi lebih tinggi.
 Penyebaran atensi konsentrasi terhadap pengalaman emosi
positif yang dialami selama penugasan pamrahwan untuk
meregulasi perasaan asing dan kebingungan ketika
beradaptasi kembali dengan suasana markas kesatuan.
P2 : Seleksi situasi untuk meningkatkan intensitas emosi lega dan
senang yang dirasakan dengan bertemu dengan orang tua
dan menceritakan pengalaman yang menyenangkan selama
ikut serta dalam penugasan.
P3 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
tersebut
KETIKA BERTUGAS DALAM LATIHAN TEMPUR
B.1. Menerima
P1, P2 & P3:
pemberitahuan
 Modulasi respons untuk mempertahankan intensitas emosi
bahwa subjek akan
excited dan gembira
diikutsertakan

19

B.2.

B.3.

B.4.

 Seleksi situasi dengan mempersiapkan segala
perlengkapan latihan tempur dengan sebaik mungkin
P1 & P2 : Penyebaran atensi distraksi dengan tidur, bercanda
dengan rekan-rekan sesama prajurit dan memperhatikan
pemandangan selama perjalanan untuk mengurangi
intensitas kejenuhan.
P3 :
 Modulasi respons suppression untuk menahan munculnya
ekspresi kemarahan terhadap rekan kerja yang dinilainya
kurang bertanggungjawab sehingga tidak bisa menangani
masalah pada kendaraan dinas.
 Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kemarahan
melalui tindakan memukul maupun memaki rekan kerja
yang dinilainya kurang bertanggungjawab, ketika subjek
tidak mampu menahan emosi yang sangat intens.
Mengikuti latihan P1 : Perubahan kognitif reappraisal terhadap kecemasan akan
tempur yang
kegagalan yang dialami dalam membidik dengan
melibatkan
membangun pemikiran bahwa kecemasan yang ia alami
pengoperasian
dapat menurunkan ketelitiannya dan mempertimbangkan
senjata militer
bahwa ia mampu menyelesaikan tugasnya dan terdapat
dengan setting
rekan-rekannya yang dapat dengan baik mendukung
situasi yang sangat
penyelesaian tugasnya.
mirip dengan
P2 :
pertempuran yang
 Modulasi respons suppression dengan menunda
nyata, termasuk
munculnya ekspresi emosi delight yang muncul dari
penggunaan peluru
keterkejutan dan kesenangan ketika berhasil
yang sebenarnya
menyelesaikan tugas.
 Penyebaran atensi distraksi dari pengalaman delight
terhadap penyelesaian tugas yang diharapkan.
P3 :
 Modulasi respons suppression dengan menahan ekspresi
cemas
 Penyebaran atensi distraksi pengalaman cemas terhadap
kesadaran mengenai nilai-nilai kesiapan dan kesiagaan
seorang prajurit.
 Penyebaran atensi konsentrasi dengan tujuan memperbesar
intensitas pengalaman emosi bangga akan kemampuannya
dan excited terhadap jalannya prosesi menembak .
Kelelahan fisik
P1 & P2 : Penyebaran atensi distraksi dari tendensi kemarahan
selama
yang sangat intens terhadap situasi penugasan yang baru
menjalankan tugas
dan jarang mereka peroleh dan terhadap kesempatan untuk
dan tuntutan untuk
bergurau dengan rekan-rekan yang mengaku mengalami
selalu waspada
emosi yang sama.
P3 : Modifikasi situasi dengan menyelesaikan tugas-tugas yang
jika segera diselesaikan dapat mengurangi intensitas emosi
negatif yang dialami.
dalam latihan
tempur
Menempuh
perjalanan dari
markas kesatuan
menuju lokasi
latihan tempur
melalui laut
dan/atau darat

20

C.1.

C.2.

C.3.

C.4.

C. KETIKA MENJALANKAN RUTINITAS HARIAN
Menjalankan
P1 :
rutinitas tugas
 Penyebaran atensi distraksi terhadap pengalaman jenuh yang
harian internal
disebabkan oleh pekerjaan dengan sejenak berjalan-jalan di
markas
sekitar kantor atau berinteraksi dengan rekan-rekan sesama
kesatuan
prajurit yang bekerja di seksi lain.
 Seleksi situasi terhadap kecemasan yang disebabkan oleh
peran subjek untuk bertanggungjawab terhadap pemenuhan
kesejahteraan para personil kesatuan.
P2 :
 Modulasi respons suppression terhadap pengalaman jenuh
dan burnout dengan menghambat munculnya ekspresi emosi
tersebut.
 Modifikasi situasi dengan mempersiapkan kondisi tubuh agar
selalu siap menghadapi rutinitas harian.
P3 :
 Modulasi respons suppression terhadap emosi negatif yang
disebabkan oleh beban kerja yang berlebih dari yang
seharusnya.
 Penyebaran atensi distraksi terhadap emosi negatif karena
pengalaman overload sehingga memungkinkan subjek lebih
berfokus pada tugas yang harus ia selesaikan.
 Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kemarahannya
melalui tindakan memaki atau membentak terhadap rekan
atau atasan yang dianggapnya menghambat atau mencela
hasil kerja kerasnya.
 Perubahan kognitif reappraisal terhadap pengalaman cemas
ketika melaksanakan tugas dengan kondisi kendaraan cacat
dengan membangun pemikiran bahwa ia tidak perlu
mencemaskan persoalan hidup dan mati karena semua sudah
diatur oleh Tuhan.
Berolahraga
P1, P2 & P3: Penyebaran atensi konsentrasi terhadap pengalaman
secara teratur
emosi senang, excited dan tertantang dengan terus menerus
bersama
melakukan pengulangan aktivitas tersebut dan memusatkan
dengan rekanperhatian terhadap pengalaman emosi yang diperoleh.
rekan sesama
prajurit
Kemampuan
P1 & P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi
fisik mulai
tersebut
menurun
P3 : Penyebaran atensi distraksi dari emosi sedih, kecewa dan
frustrasi terhadap menurunnya kemampuan fisiknya,
mengalihkannya kepada pengalaman bangga dan excited
terhadap kemampuannya menembak yang dinilainya masih
sangat baik dibanding dengan rekan-rekan seusianya.
Relasi
P1 :
interpersonal
 Seleksi situasi dengan mengupayakan adanya interaksi yang
dengan rekanjarang diperoleh dengan rekan-rekan kerja karena banyaknya

21

rekan kerja

C.5.

Penghasilan
yang diterima
sebagai prajurit

C.6.

Menilai

pekerjaan yang harus diselesaikan selama berada di markas.
 Modifikasi situasi dengan mengarahkan rekan-rekan yang
dipimpinnya agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
sebaik mungkin.
P2 :
 Modulasi respons suppression dengan menunda munculnya
ekspresi emosi jengkel ketika bekerja bersama rekan satu tim
dalam kondisi yang tegang dan penuh tekanan.
 Penyebaran atensi konsentrasi dengan memusatkan perhatian
sebesar-besarnya terhadap pengalaman emosi nyaman dan
gembira yang diperoleh dari interaksi dengan rekan-rekan.
P3 :
 Modifikasi situasi dengan mengekspresikan kemarahan jika
rekan-rekannya tidak bekerja dengan baik dan mengarahkan
mereka agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik
mungkin.
 Perubahan kognitif reappraisal untuk meregulasi perasaan
lelah baik fisik maupun emosional ketika ia banyak dimintai
bantuan oleh rekan-rekan sesama prajurit dengan
mengembangkan pemikiran bahwa ia memang
bertanggungjawab untuk menolong rekannya dan mampu
melakukan hal itu.
P1 :
 Modulasi respons suppression dengan mengembangkan sikap
legowo, menerima dengan ikhlas tanpa mengajukan protes
ketika mengalami emosi kecewa terhadap penghasilan yang
belum cukup mengapresiasi beban kerja yang dilaksanakan
selama ini.
 Perubahan kognitif reappraisal dengan bentuk downward
social comparison yang muncul dalam tindakan menilai
kondisi keuangan keluarga yang sudah jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan kondisi ekonomi yang serba
berkekurangan pada masa awal pernikahan.
 Seleksi situasi dengan pengelolaan keuangan sebaik-baiknya
dan mengupayakan sejumlah usaha untuk menambah
penghasilan.
P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut
P3 :
 Perubahan kognitif reappraisal dengan bentuk downward
social comparison yang muncul dalam tindakan menilai
kondisi keuangan keluarga yang sudah jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan kondisi ekonomi yang serba
berkekurangan pada masa awal pernikahan.
 Seleksi situasi dengan pengelolaan keuangan sebaik-baiknya
dan mengupayakan sejumlah usaha untuk menambah
penghasilan.
P1 :

22

perjalanan karir
sebagai tentara

C.7.

Relasi
interpersoal
dengan anggota
keluarga

 Modulasi respons terhadap tuntutan, beban pekerjaan dan
tanggung jawab yang dirasanya semakin lama semakin berat
dengan terus-menerus mengasah dan meningkatkan
kemampuan sesuai dengan tuntutan pekerjaan tersebut.
 Mempertahankan intensitas emosi bangga terhadap
profesinya sebagai tentara yang juga mendapat penilaian
positif dan apresiasi dari lingkungan sosialnya.
P2 :
 Modulasi respons suppression dengan menghambat ekspresi
kejengkelan, kekecewaan, dan kejenuhan yang muncul
bersamaan dengan pengalaman submission yang disebabkan
oleh kewajibannya untuk selalu berada di bawah aturan yang
bersifat sangat mengikat dan kekuasaan pihak senior.
 Penyebaran atensi distraksi dengan mengalihkan perhatian
dari emosi jengkel, kecewa dan jenuh kepada penyelesaian
tugas yang harus dicapai.
P3 :
 Penyebaran atensi konsentrasi dengan memfokuskan
perhatian kepada emosi bangga, senang, excited, termotivasi
pada keberhasilan dan bangga terhadap profesinya sebagai
tentara kemudian mengarahkan emosi tersebut sebagai
dorongan untuk mencapai suatu keberhasilan tugas.
 Seleksi situasi dengan tidak mengikuti ujian kenaikan pangkat
karena pangkat sebagai Kopral dinilainya dapat memberikan
kekuasaan yang lebih besar.
 Modulasi respons suppression dengan menghambat ekspresi
kesedihan yang sangat intens yang timbul ketika subjek
menyadari bahwa selama ia menjalani profesinya sebagai
prajurit, sangat sedikit kesempatan yang ia miliki untuk
bersama keluarga.
P1 :
 Perubahan kognitif reappraisal untuk meredam
kekhawatirannya terhadap perubahan perilaku anaknya
dengan memahami kondisi psikologis anaknya yang
memasuki masa remaja dan mengevaluasi berbagai cara
untuk mengarahkan anaknya melakukan hal-hal yang
dianggap baik
 Seleksi situasi dan penyebaran atensi konsentrasi dengan
berada dalam lingkungan keluarga yang menimbulkan
perasaan nyaman, bangga dan gembira.
P2 : tidak melaporkan pengalaman emosi terhadap situasi tersebut
P3 :
 Modifikasi situasi dengan mengekspresikan emosi senang,
gembira dan penuh harapan melalui perilaku yang penuh
kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya setiap kali
memiliki kesempatan untuk berinteraksi.
 Modulasi respons suppression terhadap tendensi melakukan

23

tindakan agresif dan ekspresi kemarahan ketika menghadapi
konflik dengan anggota keluarga.
 Seleksi situasi ketika menghadapi konflik, dengan
meninggalkan rumah sejenak, merokok dan meminum kopi di
tempat lain kemudian kembali ke rumah untuk membicarakan
masalah dengan tenang.
Tabel 4. Deskripsi Strategi Regulasi Emosi Partisipan
PEMBAHASAN
Ketiga partisipan dalam penelitian ini, Serma, Pratu dan Kopka, menghadapi situasisituasi stressful dalam penugasan daerah rawan (pamrahwan), latihan tempur, dan rutinitas
kerja harian dalam markas kesatuan. Dalam “Peran, Fungsi, dan Tugas” (t.t) dipaparkan
bahwa personil militer dituntut untuk bertanggungjawab penuh dalam lingkup penugasan
yang meliputi operasi militer perang maupun operasi militer selain perang untuk mengatasi
ancaman keamanan dalam negeri. Didukung dengan pemaparan Harms et al. (2013) dan
Kensing (2014) mengenai faktor-faktor penyebab stres personil militer, dapat disimpulkan
bahwa berada dalam situasi penugasan pamrahwan merupakan domain paling stressful
yang dialami oleh para partisipan.
Setiap situasi stressful memunculkan respons emosional masing-masing partisipan.
Gross dan Thompson (2007) mengemukakan bahwa emosi muncul ketika individu berada
dalam situasi yang dimaknai relevan dengan tujuannya. Gross dan Thompson
menambahkan bahwa emosi yang terlalu intens dapat menginterupsi individu dalam
pencapaian tujuan, oleh sebab itu individu melakukan serangkaian strategi regulasi emosi
sehingga dapat mengatasi kondisi emosional yang muncul sebagai respons situasi stressful
sehingga mereka dapat mencapai tujuan keberhasilan melaksanakan tugas.
Tabel 4 memaparkan perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh para partisipan sebagai
bentuk strategi atau proses regulasi terhadap emosi yang dialami pada masing-masing
situasi stressful. Dalam pemaparan tersebut juga dapat diketahui bahwa beberapa

24

partisipan tidak melaporkan adanya pengalaman emosi pada situasi tertentu. Ketika
menerima pemberitahuan mengenai keikutsertaannya dalam pamrahwan (A.1) dan
terhadap tuntutan untuk selalu siap tempur (A.2.), Serma (P1) tidak melaporkan adanya
pengalaman emosi. Serma tidak memandang kedua situasi tersebut stressful karena
kedudukannya pada seksi administrasi dalam situasi penugasan tersebut yang memperkecil
kemungkinannya akan mengalami kontak senjata di lapangan.
Pada situasi stressful ketiga dalam domain penugasan pamrahwan (A.3.), ketika
partisipan mengikuti latihan tempur pra-penugasan yang memberikan gamba