T1 802011078 Full text

HUBUNGAN PROACTIVE COPING DENGAN RESILIENSI PADA ATLET
PEKAN OLAHRAGA NASIONAL (PON) 2016, SULAWESI SELATAN

OLEH
ERIC JOHNATAN
802011078

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

HUBUNGAN PROACTIVE COPING DENGAN RESILIENSI PADA ATLET
PEKAN OLAHRAGA NASIONAL (PON) 2016, SULAWESI SELATAN


Eric Johnatan
Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara proactive coping dengan
resiliensi pada atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, Sulawesi Selatan. Penelitian ini
dilakukan kepada 69 atlet PON 2016 Sulawesi Selatan cabang olahraga basket, voli dan
sepakbola. Metode pengumpulan data pada variabel proactive coping menggunakan skala The
Proactive Coping (The PCS) yang dibuat oleh Greenglass (2002). Pada variabel resiliensi
dengan menggunakan skala Resilience Scale for Athelete berdasarkan aspek-aspek oleh Subhan
dan Ijaz (2012), yaitu self determination, physical toughness, emotional and maturity. Hasil
penelitian ini diperoleh nilai korelasi Spearman Rho, rxy = 0.688; p = 0.00 yang berarti terdapat
hubungan positif signifikan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet.

Kata Kunci: proactive coping, resiliensi pada atlet.

i

ABSTRACT
This study aims to investigate the relations of proactive coping to resilience in atheletes
National Sports Week 2016, South Celebes. This study was conducted to 69 atheletes National
Sports Week 201, South Celebes, branch of basketball,volley and football. The data collection
method on proactive coping uses The Proactive Coping Scale, revealed by Greenglass (2002).
Mean while, the data collection method on the variables of resilience uses Resilience Scale for
Athelete based on the aspects revealed by Subhan and Ijaz (2012), namely self determination,
physical toughness, emotional and maturity. The research resulted the correlation values of
Spearman Rho, rxy = 0,688; p = 0,00 which means there is a significant positive relations
between proactive coping and resilience in athelete.
Keywords: proactive coping, resilience in athelete.

ii

1


PENDAHULUAN
Seorang atlet dituntut untuk memiliki performa yang baik dalam setiap
pertandingan yang dijalankannya, khususnya dalam olahraga prestasi. Dalam
menunjang performanya ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi (Gunarsa,
2004). Faktor yang pertama adalah faktor fisik yang terdiri dari stamina, kekuatan,
fleksibilitas dan koordinasi. Jadi sangat penting untuk seorang atlet membentuk
kondisi fisik yang baik seperti yang ditargetkan agar mampu menunjukkan performa
yang baik. Faktor kedua, yaitu teknik, penampilan seorang atlet juga dipengaruhi
oleh keterampilan khusus yang dimilikinya sesuai dengan cabang olahraga yang
diikuti. Faktor yang ketiga adalah faktor psikologis, pengaruh faktor psikologis ini
dapat bersifat langsung, misalnya karena ada ketegangan emosi yang berlebihan
sehingga mempengaruhi seluruh penampilan atlet, ada pula faktor psikologis secara
tidak langsung, misalnya sebelum pertandingan atlet mendapatkan telepon dari
pacarnya, kemudian terjadi pertengkaran yang menegangkan aspek emosinya. Saat
bertanding, kondisi emosinya akan bergejolak dan berpengaruh negatif terhadap
penampilannya. Contoh lainnya seperti penggunaan peralatan yang diperlukan untuk
bertanding seperti sepatu, baju, kaca mata, contact lens yang tidak nyaman, selain itu
ada juga kondisi lingkungan atau lapangan tempat pertandingan dilaksanakan dan
penonton dapat mempengaruhi faktor psikologis atlet baik secara negatif ataupun
positif (Gunarsa, 2004).

Gunarsa (2004) menjelaskan bahwa seorang atlet tidak selalu dapat
menampilkan performa yang baik. Hal ini umumnya disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan. Dalam sebuah pertandingan yang memiliki tekanan yang tinggi,
maka dua hal yang mungkin terjadi, yang pertama atlet akan bermain buruk, hal ini

2

disebabkan emosi yang menegang secara berlebihan dan ketidakmampuan atlet untuk
mengelola emosi tersebut. Yang kedua, jika atlet memiliki regulasi emosi dan
adaptasi yang baik, maka atlet tersebut dapat keluar dari tekanan dan menampilkan
performa yang baik. Ketegangan berlebihan juga dapat diakibatkan dari kekalahan
maupun cedera yang dialami seorang atlet. Ketegangan yang berlebihan ini dapat
berakibat negatif bagi performa bahkan karir seorang atlet. Ketegangan tersebut bisa
saja membuat atlet merasakan depresi dan kemudian menimbulkan konsekuensi
negatif seperti alcoholism, narkotika, bunuh diri dan gangguan psikologis lainnya.
Kathy Love Ormbsy, seorang atlet favorit juara lari di pertandingan NCAA
jarak 10.000 meter, ia diprediksi akan memenangkan pertandingan tersebut dengan
mudah, namun ketika bertanding ia hanya mampu mendapatkan peringkat ke empat
pada saat babak penyisihan dan harus keluar dari perlombaan. Setelah pertandingan
Ormbsy memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari atas jembatan

(Baumeister, 1991). Santiago Lamela Tobio juga salah satu atlet atletik yang
memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Santiago adalah atlet
atletik pemegang rekor lompat jauh Eropa. Ia bunuh diri diusia ke 36 tahun akibat
depresi karena proses pemulihan cedera tendon achilles yang tidak sesuai harapan
(Pasaribu, 2014).
Berbeda lagi dengan Edwin Moses salah satu bintang atletik yang terpaksa
berjuang untuk mengatasi masalah dan tekanan dalam hidupnya. Tidak adanya
dukungan orang-orang terdekat dan sarana untuk menunjang prestasi di awal
karirnya, namun ia mampu menjadi salah satu atlet atletik terbesar yang pernah ada
(Edgette & Rowan, 2011). Pete Sampras adalah salah satu atlet terbesar di abad 20,
nyaris disepanjang tahun 1990-an, nama Sampras mendominasi kejuaraan dunia tenis

3

profesional pria. Ia dikenal sebagai orang yang tenang dan tidak emosional, namun
dalam salah satu pertandingan besar, Sampras pernah berjuang untuk tampil tetap
tenang karena sahabat lama sekaligus pelatihnya, Tim Gullkinson, saat itu tengah
sekarat karena penyakit kanker. Sampras dikalahkan oleh musuh bebuyutannya Jim
Courier di sepanjang pertandingan, namun menjelang akhir pertandingan Sampras
mampu mengendalikan emosinya dan membalikkan keadaan, lalu menang atas

Courier (Edgette & Rowan, 2011).
Mummery, Schofield dan Perry (2004) mengatakan bahwa, karir seorang atlet
selalu mengalami fluktuasi, yang membuat seorang atlet akan merasakan kejayaan
dari kemenangan dan juga derita dari kekalahan. Dua kondisi tersebut adalah contoh
bagaimana individu merespon suatu masalah ataupun tekanan secara berbeda. Setiap
atlet pernah mengalami tekanan maupun kegagalan, ada atlet yang mampu untuk
bertahan bahkan mampu untuk mengatasi tekanan, namun beberapa atlet yang lain
hanya mampu menyerah ataupun lari.
Salah satu pertandingan kompetitif yang ada di Indonesia adalah Pekan
Olahraga Nasional (PON). PON adalah multi-event olahraga tersebesar di Indonesia,
mengumpulkan atlet-atlet terbaik daerah yang digelar empat tahun sekali dengan
mempertandingkan empat puluh tiga cabang olahraga. Pada pagelaran PON XIX2016, Jawa Barat akan bertindak sebagai tuan rumah. Setiap daerah telah
menentukan target masing-masing. Sulawesi Selatan sebagai salah satu peserta PON
XIX-2016 menargetkan hasil yang tinggi. Komite Olahraga Nasional Indonesia
cabang Sulawesi Selatan (KONI Sulsel) menurunkan 173 atlet terbaik daerah untuk
bertanding dalam PON XIX-2016. KONI Sulsel menargetkan untuk menaikkan

4

peringkat lebih baik dari PON 2012 sebelumnya yang berada diperingkat ketujuh

dengan sembilan belas emas, tujuh belas perak dan dua puluh satu perunggu.
Persiapan atlet untuk merealisasikan target yang dibebankan telah
diupayakan, namun menurut laporan koran Antara Sulsel (06 Maret 2015) persiapan
tersebut masih memiliki banyak permasalahan, misalnya masalah sarana dan
prasarana atlet, kesiapan fisik dan mental yang belum maksimal, serta hal-hal teknis
dan non-teknis lain yang dapat mempengaruhi performa atlet. Selain itu faktor target
tinggi yang dibebankan kepada atlet, dapat membuat atlet merasa tertekan dan tidak
mampu menampilkan performa terbaiknya, karena setiap atlet PON Sulsel memiliki
kapasitas masing-masing dalam mengelola tekanan yang datang, baik itu
berhubungan dengan persiapan, pertandingan dan pelatihan ataupun hal-hal yang
bersifat pribadi di luar PON XIX-2016. Hal-hal ini dapat menjadi faktor resiko yang
menyebabkan tingkat resiliensi rendah pada atlet PON Sulsel.
Menurut Nixon (salah satu atlet Sulawesi Selatan cabang olahraga basket)
persiapan PON kali ini sangat berat, untuk beberapa cabang olahraga unggulan
khususnya ditargetkan untuk bisa memperoleh medali dan secara keseluruhan bisa
memperbaiki peringkat umum. Tekanannya dirasakan tiap hari setiap latihan, apa
lagi semakin mendekati hari kompetisi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sudah ada
beberapa atlet yang berhenti ataupun mengundurkan diri dari pelatihan, kebanyakan
mengaku karena tidak tahan dengan persiapan, masalah pribadi dan tekanan yang
dirasakan serta cedera yang dialami sehingga mereka memutuskan untuk berhenti.

Selama masa persiapan PON, tim sudah melakukan beberapa kali try out dan
pertandingan pemanasan baik yang dilakukan di kota Makassar maupun di tempat
lain. Hasilnya menunjukkan masih banyak lini yang harus diperbaiki, dari beberapa

5

pertandingan cabang olahraga basket yang berlangsung di Pontianak tim masih
menderita kekalahan tanpa mendulang kemenangan. Pada cabang olahraga sepakbola
juga mengalami keadaan yang serupa, tim yang diproyeksikan untuk menjadi tim
PON Sulsel dicukur 6-0 melawan tim nasional U-23 di Yogyakarta (12 Mei 2014).
Ada atlet yang mampu keluar dari tekanan dan ada yang tidak mampu bahkan
mengalami dampak yang buruk karenanya. Salah satu pendekatan dalam psikologi
menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda untuk
mengatasi suatu hal dalam kondisi negatif yang sama (Anthony, 1987). Resiliensi
adalah salah satu moderator yang dapat membantu memahami mengapa satu individu
dapat bereaksi negatif terhadap pengalaman negatif, sedangkan individu lain tidak
mengalami masalah apapun meski menghadapi tekanan yang berat (Mummery dkk,
2004). Istilah resiliensi sering digunakan oleh pelatih dan media untuk
menggambarkan respon dari atlet atau tim yang mengalami kejadian yang buruk,
seperti cedera, performa yang buruk ataupun kekalahan (Galli & Vealey, 2008).

Strumpfer (1999) merujuk resiliensi pada kemampuan atlet untuk mundur kembali,
memantul kembali atau melanjutkan kondisi semula setelah terjatuh, meregang, atau
melakukan kompresi setelah mendapatkan tekanan.
Resiliensi adalah kemampuan untuk kembali seperti semula dari tekanan dan
sukses beradaptasi dengan kondisi tersebut, ini adalah sebuah kondisi yang universal
yang dapat membantu individu, kelompok, ataupun komunitas untuk mencegah,
meminimalkan atau bahkan mengatasi dampak yang merusak dari tekanan dan
kesengsaraan (Narayanan, 2008). Galli dan Vealy (2008) menjelaskan bahwa
seorang atlet secara berkala dihadapkan dengan stressor yang membuat tekanan
dalam dirinya. Stressor pada atlet sering kali datang dari stressor kompetisi

6

(persiapan, target/harapan, resiko untuk cedera saat bertanding atau latihan), pelatih,
permasalahan atau masalah personal (Sarkar & Fletcher, 2014). Gangguan akan
terjadi jika mereka tidak memiliki faktor pelindung yang melindungi mereka dari
efek samping yang diberikan akibat stres (Galli & Vealy, 2008).
Atlet yang tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya dari
tekanan, akan mendapatkan dampak yang berbahaya, seperti kasus Kathy dan
Santiago yang berakibat kematian. Selain itu, ketidakmampuan tersebut dapat

membuat seorang atlet menggunakan obat-obat terlarang, ataupun melakukan hal-hal
yang berbahaya lain untuk meringankan tekanan yang dirasakan (Galli & Vealey,
2008). Beberapa atlet memiliki kesulitan untuk melakukan evaluasi atas dirinya
sendiri setelah mengalami kekalahan, performa yang buruk ataupun cedera.
Mummery, dkk (2004) menjelaskan bahwa resiliensi sebagai faktor yang melindungi
atlet dan membuat atlet dapat kembali ke kondisi semula bahkan lebih baik dari
sebelumnya, resiliensi dapat membantu mempersiapkan seorang atlet untuk kembali
berkompetisi atau berpartisipasi pasca mengalami mengalami keterpurukan. Dari
banyak pengertian berbagai tokoh, resiliensi adalah sebuah proses mental dan
perilaku dalam meningkatkan kemampuan pribadi serta melindungi individu dari
potensi efek negatif dari stressor (Fletcher & Sarkar, 2012).
Connor dan Davidson (Prince-Embury & Saklofske, 2013) menjelaskan
bahwa resiliensi memungkinkan seseorang untuk bertahan dan berkembang dalam
menghadapi kesulitan. Atlet harus mampu memaksimalkan resiliensi yang mereka
miliki agar dapat bertahan dari tekanan yang datang baik dari diri sendiri maupun
lingkungan. Subhan dan Ijaz (2012) menjelaskan tiga aspek resiliensi pada atlet,
yaitu self determination (tekad, fokus, perhatian, pengambilan keputusan,

7


menyelesaikan tugas, percaya diri, dukungan dari pelatih dan spiritualitas), physical
toughness (persiapan, menyelesaikan pelatihan dan menjaga kesehatan/cedera) serta
emotional control dan maturity (kontrol emosi dan pemanfaatan emosi yang tepat di
dalam pertandingan).
Resiliensi seorang atlet dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor protektif
yaitu, faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, suku dan ras (Barend, 2004);
faktor kepribadian seperti perfeksionisme yang adaptif, daya saing, harapan,
optimisme, proaktif (Sarkar & Fletcher, 2014); dan coping (Belem, Caruzzo, Junior,
Vieira & Vieira, 2014), hal-hal ini dipercaya mampu mempengaruhi resiliensi
seorang atlet secara positif.
Setiap individu memiliki coping yang berbeda ketika menghadapi sebuah
tekanan. Stress management dapat membantu atlet untuk menjadi lebih resilien.
Kenneth dkk (dalam Taylor, 2003) menyebutkan definisi coping sebagai segala
bentuk usaha, sehat atau tidak sehat, sadar atau tidak sadar, efektif atau tidak efektif
untuk mencegah, menghilangkan atau melemahkan atau mentoleransi stressor.
Coping juga dapat diartikan sebagai usaha atau cara individu untuk mengatur dan
mengelolah tekanan kejadian yang menantang, ancaman, membahayakan, merugikan
atau menguntungkan baik secara positif ataupun negatif (Lazarus, 1991 dalam Lopez
& Snyder, 2003). Snyder dan Dinoff (dalam Compton & Hoffman, 2013)
menyebutkan bahwa coping yang positif memberikan dampak yang positif terhadap
individu dalam mengatasi tekanan. Positif coping didefinisikan sebagai sebuah
respon yang ditujukan untuk mengurangi beban fisik, emosi dan psikologis seseorang
yang terkait dengan stres dan masalah sehari-hari (Compton & Hoffman, 2013).

8

Efek coping yang efektif dapat mengurangi beban dari tekanan yang berasal
dari stres jangka pendek dan memberikan kontribusi untuk menghilangkan stres
jangka panjang dengan membangun kekuatan yang menghambat atau mengatasi
tekanan di masa depan (Synder, 1999 dalam Compton & Hoffman, 2013). Belem,
dkk (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa atlet yang menggunakan coping
style problem-focused, lebih dimungkinkan memiliki adaptasi yang lebih baik untuk
situasi stres dalam konteks olahraga. Respons pendekatan coping problem-focused
tehadap stres adalah menghadapi langsung dengan stressor, mengurangi tekanan atau
bahkan meningkatkan kemampuan untuk mengatasi situasi yang mengakibatkan
stres. Schwarzer (dalam Lopez & Snyder, 2003) menjelaskan salah satu coping style
dalam pendekatan problem-focused yang menjadi positive coping adalah proactive
coping. Proactive coping mengacu pada proses penyaringan lingkungan seseorang
untuk stressor yang mungkin terjadi di masa depan dan upaya untuk mencegahnya
(Owehand, de Ridder & Bensing, 2008).
Proactive coping diartikan sebagai upaya seseorang untuk menghadapi atau
mengatasi situasi yang berpotensi mendatangkan tekanan sebelum tekanan itu terjadi.
Proactive coping mencerminkan upaya seseorang untuk membangun kekuatan
umum yang membantu individu mengubah tujuannya dan membantu pertumbuhan
individu, serta disaat yang sama membantu indvidu lebih efektif dalam meredakan
stressor. Dalam proactive coping individu memiliki pandangan ke depan dan melihat
ke masa depan, optimis dan memiliki harapan. Seseorang melihat resiko, tuntutan,
dan kesempatan di masa depan, tetapi mereka tidak menilai semuanya itu sebagai
suatu yang mengancam, membahayakan dan merugikan (Scwarzer dalam Lopez &
Snyder, 2003).

9

Individu yang menggunakan proactive coping membangun kekuatan umum
seperti kepribadian yang proactive untuk mengatasi stressor yang dialaminya
(Greenglass, 2002). Individu tersebut cenderung tidak dibatasi oleh hambatan dan
mampu mencapai perubahan yang efektif. Mereka mampu mengidentifikasikan dan
memecahkan masalah, mencari peluang baru, bertindak dan bertahan hingga mereka
mencapai perubahan, selain itu mereka juga menciptakan situasi yang menyebabkan
kinerja yang efektif (Crant dalam Trifiletti dkk, 2009). Individu yang melakukan
proactive coping memiliki kepercayaan bahwa ada banyak kemungkinan cara untuk
memperbaiki dirinya maupun lingkungannya (Greenglass, 2002). Greenglass (2002)
menjelaskan bahwa proactive coping memiliki dua ciri, yaitu mencari tantangan dan
pemecahan masalah serta mengatasi hambatan yang dihadapi.
Proactive coping membantu individu untuk menyiapkan diri dari masalah
yang mungkin akan terjadi di masa depan. Proactive coping mampu membantu
individu menjadi resilien dengan mengontrol stressor yang mungkin terjadi bahkan
menurunkan distress. Proactive coping memungkinkan atlet untuk menerima
kejadian yang mengakibatkan stressor (Owehand dkk, 2008). Fickova (2009)
menjelaskan proactive coping memiliki beberapa keuntungan, yang pertama adalah
proactive coping meminimalkan pengalaman stres selama situasi atau kondisi yang
menjadi stressor. Yang kedua, membuat perbandingan yang sama antara kekuatan
coping dengan tingkat stressor, agar tekanan dapat diatasi sesaat setelah muncul dan
sebelum bertambah parah.Yang ketiga, harapan dari kondisi stres berkaitan dengan
berbagai kemungkinan coping strategies yang bisa digunakan. Keuntungan yang
keempat adalah stres yang kronis cenderung rendah dan dapat meminimalkan efek
dari stres jangka panjang.

10

Proactive coping dipercaya memiliki hubungan dengan aspek-aspek resiliensi
dalam olahraga. Proactive coping membuat seorang atlet akan lebih percaya diri dan
fokus akan tujuannya dalam menghadapi tekanan sehingga membentuk determinasi
diri yang tinggi pada seorang atlet. Individu yang menjalankan strategi proactive
coping akan berusaha menemukan dan memperbaiki kesalahannya (Covey dalam
Machrus, 2001). Usaha untuk menemukan dan memperbaiki kesalahan ini dapat
membantu seorang atlet melakukan persiapan dan latihan yang ketat untuk
mengantisipasi tekanan yang akan mungkin akan terjadi, sehingga seorang atlet dapat
meningkatkan resiliensi yang dimilikinya (Subhan & Ijaz, 2012). Proactive coping
juga mampu membantu individu untuk mengontrol emosi (Kadhivaran & Kumar,
2012) dan meredakan perasaan marah saat tekanan tersebut muncul (Greenglass,
2002).
Stress management yang baik dapat membantu seorang atlet mengembangkan
resiliensi yang dimilikinya (Belem dkk, 2013). Kumpher (1999) juga berpendapat
bahwa coping memiliki peran dalam mengembangkan resiliensi seseorang. Untuk
mengurangi stress, depresi dan cemas yang berlebihan individu harus mampu
beradaptasi dengan baik hal itu agar dampak dari stressor tidak menjadi negatif
sehingga meningkatkan resiliensi yang dimilikinya (Tusaie dan Dyer, 2004).
Proactive coping membantu individu melakukan adaptasi tersebut secara positif.
Menurut Steinhardt & Dolbier (2008) jika coping yang digunakan efektif, maka
resiliensi seseorang akan meningkat. Berlawanan dengan temuan sebelumnya Yi,
Smith dan Vitaliano (2005) menemukan bahwa coping tidak mempunyai hubungan
yang signifikan dengan resiliensi, karena coping tidak menghilangkan stres dalam
jangka panjang.

11

Dengan banyaknya hambatan dan tekanan yang hadapi oleh atlet PON Sulsel
sangat penting bagi mereka untuk memiliki dan meningkatkan resiliensi yang
dimilikinya, sebagai upaya pencegahan efek negatif dari stress. Proactive coping
diharapkan mampu untuk meningkatkan resiliensi pada seorang atlet. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk melihat adanya hubungan positif yang signifikan antara
proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan.
METODE
Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
metode korelasional dan ingin mengukur korelasi antara proactive coping dengan
resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 173 atlet PON 2016 Sulsel. Sampel
dalam penelitian ini berjumlah 69 atlet Pekan Olahraga Nasional 2016, Sulawesi
Selatan cabang olahraga voli, basket, sepakbola. Cabang olahraga voli, basket dan
sepakbola dipilih karena merupakan olahraga yang dinamis dan menuntut kesiapan
fisik, teknik, taktik dan mental yang memadai, serta memiliki intensitas gerak yang
tinggi sehingga meningkatkan resiko cedera pada atlet (Amanda, 2014). Pengambilan
sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling.
Alat ukur
The Proactive Coping Scale (PCS) adalah skala yang digunakan untuk
mengukur kecenderungan partisipan untuk mendekati tantangan, terlibat dalam
pemecahan masalah untuk mencapai tujuan dan menghadapi hambatan yang
dihadapi, The PCS dibuat oleh Greenglass (2002). The PCS menggunakan skala

12

Likert yang terdiri dari 14 aitem dan menyediakan 4 pilihan jawaban mulai dari
“sangat tidak setuju” sampai “sangat setuju”. Uji reliabilitas yang dilakukan oleh
Greenglass pada 316 partisipan menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar
0,86. Pengujian reliabilitas akan dilakukan lagi pada penelitian ini dengan
menggunakan data yang didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try
out terpakai). Hasil uji daya diskriminasi aitem menunjukkan bahwa tidak ada aitem
yang gugur, dengan reliabilitas sebesar 0,970.
Resilience Scale for Athelete adalah skala yang digunakan untuk mengukur
resiliensi pada atlet yang dibuat oleh Subhan dan Ijaz (2012) berdasarkan aspekaspek resiliensi yaitu self determination, physical toughness, emotional control dan
maturity yang telah dimodifikasi oleh peneliti. Resilience scale for athlete
menggunakan skala Likert yang terdiri atas 32 aitem dengan 4 pilihan jawaban mulai
dari “sangat tidak sesuai” sampai “sangat sesuai”. Uji reliabilitas yang dilakukan
oleh Subhan dan Ijaz (2012) pada 150 partisipan. Menghasilkan koefisien Alpha
Cronbach untuk setiap aspek sebesar 0,81 untuk self determination, 0,66 untuk
physical toughness dan 0,66 untuk emotional control dan maturity. Pengujian
reliabilitas akan dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan data yang
didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai). Hasil uji
daya diskriminasi aitem menunjukkan bahwa tidak ada aitem yang gugur, dengan
reliabilitas sebesar 0,975.

13

HASIL
Uji Asumsi
Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara proactive coping dengan resiliensi pada
atlet PON 2016, Sulawesi Selatan. Namun sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti
harus melakukan uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik
parametrik atau non-parametrik yang akan digunakan untuk uji korelasi.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan
skala proactive coping (K-S-Z = 1,297, p = 0,069, p > 0,05) dan resiliensi
pada atlet (K-S-Z = 1,759, p = 0,004, p < 0,05). Hasil ini menunjukkan data
proactive coping yang didapat berdistribusi normal dan data resiliensi tidak
berdistribusi normal.
2. Uji Linearitas
Hasil uji linearitas menunjukkan adanya hubungan yang linear antara
proactive coping dengan resiliensi pada atlet dengan deviation from
linearity sebesar F = 0,819 p = 0,679 (p > 0,05).
Analisa Deskriptif
Tabel 1. Statistik deskriptif skala proactive coping dan resiliensi pada atlet
No.
Skala
N
Min
Max
M
SD
14
56
39,55
9,72
1.
Proactive
Coping
69
2.
Resiliensi
32
128
87,35
19,00

Tabel 1 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap
variabel. Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala menjadi 5 kategori mulai
dari “sangat rendah” hingga “sangat tinggi”. Interval skor untuk setiap kategori

14

ditentukan dengan menggunakan rumus interval dalam Hadi (2000). Tabel 2 dan 3
menunjukkan jumlah partisipan untuk setiap kategori pada masing-masing variabel.
Tabel 2. Kriteria skor proactive coping.
No.
Interval
Kategori
1.
2.
3.
4.
5.

47,6 ≤ x ≤ 56
39,2 ≤ x < 47,6
30,8 ≤ x < 39,2
22,4 ≤ x < 30,8
14 ≤ x < 22,4
Total

F

Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

Tabel 3. Kriteria skor resiliensi pada atlet.
No.
Interval
Kategori
1.
108,8 ≤ x ≤ 128 Sangat tinggi
2.
89,6 ≤ x < 108,8 Tinggi
3.
70,4 ≤ x < 89,6
Sedang
4.
51,2 ≤ x < 70,4
Rendah
5.
32 ≤ x < 51,2
Sangat rendah
Total

16
28
8
12
5
69

F
7
36
4
21
1
69

Persentas
e
23%
41%
8%
12%
5%
100%

Persentase
10%
52%
6%
30%
1%
100%

Hasil dari tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa secara umum tingkat proactive
coping partisipan cenderung berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi,
sedangkan tingkat resiliensi pada atlet cenderung berada pada kategori sedang.
Tabel 4. Kriteria skor proactive coping setiap cabang.
No.
Interval
Kategori
Voli
1.
47,6 ≤ x ≤ 56
Sangat tinggi
7
2.
39,2 ≤ x < 47,6 Tinggi
11
3.
30,8 ≤ x < 39,2 Sedang
1
4.
22,4 ≤ x < 30,8 Rendah
2
5.
14 ≤ x < 22,4
Sangat rendah
1
Total
22

Basket
9
8
4
1
1
23

Tabel 5. Kriteria skor resiliensi pada atlet pada setiap cabang.
No.
Interval
Kategori
Voli
basket
1.
108,8 ≤ x ≤ 128 Sangat tinggi
3
4
2.
89,6 ≤ x < 108,8 Tinggi
12
14
3.
70,4 ≤ x < 89,6
Sedang
1
2

Sepakbola
9
4
7
4
24

Sepakbola
10
1

15

4.
5.

51,2 ≤ x < 70,4
Rendah
32 ≤ x < 51,2
Sangat rendah
Total

6
22

3
23

12
1
24

Hasil dari tabel 4 dan 5 menunjukkan tingkat proactive coping

dan

resiliensi atlet pada masing-masing cabang olahraga.
Uji Korelasi
Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan, diketahui bahwa salah satu
variebel yang diperoleh tidak berdistribusi normal dan variabel-variabel penelitian
linear maka uji korelasi dilakukan dengan menggunakan statistik non-parametrik. Uji
korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Spearman rho. Tabel 4
menunjukkan hasil dari uji korelasi.
Tabel 6. Korelasi antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet
RESILIENSI
Spearman's PROACTIVE
Correlation Coefficient
.688*
rho
Sig. (1-tailed)
.000
N

69

*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).

Hasil dari uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan
antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan,
dengan r = 0,688 dan p < 0,05. Hal ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan
adanya korelasi positif yang signifikan antara proactive coping dengan resiliensi
pada atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, Sulawesi Selatan. Korelasi antara
proactive coping dengan resiliensi pada atlet berada pada kisaran 0,30 sampai 0,69
Sehingga dapat dikatakan proactive coping dengan resiliensi memiliki korelasi yang
sedang (Jackson, 2006).
Sebagai data tambahan peneliti juga menguji korelasi antara proactive
coping dengan ketiga aspek dari resiliensi pada atlet.

16

Tabel 7. Hubungan proactive coping dengan setiap aspek resiliensi pada
atlet.
Variabel
Aspek
r
p
r2
SE
Resiliensi
Self
0,701**
0,000 0,4914 49,14%
determination
Physical
0,631**
0,000 0,3981 39,81%
Proactive
toughness
Coping
Emotional
0,677**
0,000 0,4583 45,83%
control
and
maturity
(**) signifikan pada level 0,01.

PEMBAHASAN
Hasil uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara
proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan (rxy =
0,688; p < 0,05). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi proactive coping maka
semakin tinggi resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan. Sebaliknya,
semakin rendah proactive coping maka semakin rendah resiliensi pada atlet PON
2016, Sulawesi Selatan.
Coping merupakan salah satu sumber resiliensi untuk meredakan stress
(Taylor, 2003). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Galli dan Vealey (2008) menyatakan bahwa seorang atlet yang memiliki coping yang
baik lebih mampu untuk mencapai kesuksesan di dalam pertandingan, karena mereka
mampu untuk menerima stressor. Coping memiliki hubungan yang signifikan dalam
mengembangkan resiliensi (Kumpfer 1999). Penelitian yang dilakukan Steinhardt
dan Dolbier (2008) menemukan jika coping meningkat maka resiliensi seseorang
juga akan meningkat.
Proactive coping adalah sebuah faktor yang penting dalam meningkatkan
resiliensi, ketika individu menghadapi stress jangka pendek atau stress jangka
panjang individu mampu menghadapi dan memulihkan secara lebih efektif, serta

17

menjadi resilien (Galli & Vealey, 2008). Trifiletti, dkk (2009) menjelaskan bahwa
individu dengan tingkat proactive coping yang tinggi cenderung relatif tidak dibatasi
oleh hambatan situasional dan mereka mampu meraih perubahan yang efektif.
Sedangkan individu yang memiliki tingkat proactive yang rendah akan cenderung
pasif, kurang menunjukkan inisiatif, mengidentifikasi dan mengambil kesempatan
untuk mengubah keadaan.
Greenglass & Fiksenbaum (2009) mengemukakan bahwa proactive coping
berhubungan dengan optimism dan perasaan depresi yang rendah. Hal tersebut
menurut Sarkar & Fletcher (2014) adalah faktor-faktor yang memiliki hubungan
yang positif dan mampu meningkatkan resiliensi seorang atlet.
Tabel 7 menunjukkan hubungan proactive coping dan ketiga aspek dari
resiliensi pada atlet. Proactive coping memiliki hubungan positif yang signifikan
dengan aspek self determination (rxy = 0.701; p < 0,05). Trifiletti, dkk (2009)
menjelaskan bahwa proactive coping membantu seorang atlet untuk memiliki self
determination yang baik, seperti, fokus, tekad, kepercayaan diri, perhatian, dan
mengambil sebuah keputusan secara cepat dan tepat. Menurut Sarkar & Fletcher
(2014) pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, fokus, tekad, kepercayaan diri,
perhatian mampu meredakan stress sehingga individu mampu beradaptasi dengan
lingkungan atau stressor dan menjadi lebih resilien.
Self determination adalah salah satu pengaruh positif yang mampu menahan
stress dan tekanan dalam olahraga prestasi (Galli & Vealy, 2008). Proactive coping
membantu seorang atlet memiliki self determination yang baik sehingga membuat
atlet mampu fokus dengan isyarat dalam lingkungannya, mampu mempertahankan
fokusnya dalam waktu yang lama dan memiliki kesadaran dengan lingkungan

18

sekitarnya dan akhirnya mempengaruhi resiliensi pada atlet (Sarkar & Fletcher,
2014).
Selain self determination, proactive coping memiliki hubungan positif
signifikan dengan physical toughness (rxy = 0.631; p < 0,05). Greenglass &
Fiksenbaum (2009) menemukan bahwa proactive coping berhubungan dengan
kesehatan dan kekuatan fisik yang lebih baik. Proactive coping menurunkan stress
pada physical toughness, dalam proses penyembuhan cedera atau operasi sehingga
membantu proses penyembuhan (Greenglass & Katter, 2013).
Tabel 7 juga menunjukkan proactive coping memiliki hubungan positif
signifikan dengan emotional control and maturity (rxy = 0.677: p < 0,05). Proactive
coping dipercaya mampu membantu individu untuk mengatur emosinya, bahkan di
situasi yang sangat menyebabkan stress (Burns dkk, 2006). Greenglass (2002)
menyatakan bahwa proactive coping mampu meredakan perasaan marah yang
timbul, hal ini mampu membantu atlet untuk menghadapi situasi yang penuh
tekanan. Kemampuan untuk mengatur emosi di situasi stressful membuat atlet
menjadi lebih resilien (Greenglass & Katter, 2013).
Berdasarkan hasil uji korelasi, adapun sumbangan efektif yang diberikan
oleh proactive coping terhadap resiliensi pada atlet adalah sebesar 47,33%. Ini berarti
proactive coping memiliki kontribusi sebesar 47,33% terhadap resiliensi atlet,
sedangkan 52,67% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar proactive coping
seperti kepribadian positif, harapan, motivasi, perfeksionisme yang positif, dan daya
saing (Sarkar & Fletcher, 2014).

19

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara
proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawasi Selatan, maka
dapat disimpulkan:
1. Ada hubungan positif yang signifikan antara proactive coping dengan
resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawasi Selatan (rxy = 0,688; p < 0,05).
2. Atlet PON 2016, Sulawesi Selatan memiliki nilai mean proactive coping
yang berada pada kategori tinggi dan nilai mean resiliensi yang berada pada
kategori sedang.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta mengingat masih banyaknya keterbatasan
dalam penelitian ini, maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:
a. Bagi atlet
Bagi atlet yang memiliki resiliensi yang rendah dan bahkan sangat rendah
disarankan agar meningkatkannya. Resiliensi dapat ditingkatkan dengan melakukan
proactive coping sebagai usaha menurunkan stressor yang di hadapi atlet dan
meningkatkan aspek-aspek resiliensi seperti self determination, physical toughness
dan emotional control and maturity.
Atlet berlatih meningkatkan proactive coping dengan mengidentifikasi
pikiran-pikiran yang salah (kekurangan-kekurangan, kelemahan atau penyesalan),
meningkatkan rasa syukur dan pikiran optimis, mengganti pikiran-pikiran yang salah
ke arah perasaan bersyukur dan mengaplikasikan pikiran pikiran baru tersebut dalam
tindakan sehari-hari.

20

b. Bagi KONI Sulsel dan pelatih
Resiliensi yang dimiliki atlet PON 2016, Sulawesi Selatan sudah baik. Bagi
pihak pengurus dan pelatih sebagai pihak yang bertanggung jawab mengenai kondisi
setiap atlet dapat mempertahankan dan meningkatkan resiliensi pada atlet PON 2016
dengan cara memberikan pelatihan peningkatan resiliensi secara berkesinambungan,
dan melakukan pelatihan pemecahan masalah dalam berbagai kondisi dalam
pertandingan sehingga membuat atlet mampu mempersiapkan diri dalam berbagai
macam kondisi pada situasi nyata.
c. Bagi peneliti selanjutnya
Kontribusi variabel proactive coping yang sebesar 47,33% terhadap
resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan bisa menjadi masukan bagi
penelitian selanjutnya dengan topik resiliensi pada atlet. Penelitian selanjutnya bisa
meneliti variabel lain diluar proactive coping, seperti asal stressor, motivasi,
kepribadian dan jenis kelamin untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel lain
terhadap resiliensi pada atlet.
Melalui penelitian proactive coping dan resiliensi pada atlet PON Sulawesi
Selatan, peneliti selanjutnya juga dapat meneliti hubungan antara proactive coping
dan resiliensi pada atlet PON di daerah yang berbeda.

21

DAFTAR PUSTAKA
Amanda, K. W. (2014). Profil atlet yang pernah mengalami cedera pada atlet liga
mahasiswa regional Jawa Barat. Universitas Pendidikan Indonesia.
Anthony, E. J. (1987). Risk, vulnerability and resilliance: An overview. In E. J.
Anthony & B. Kohler (Eds.), The invulnerable child (pp. 3-48). New York:
Guildford Press.
Azwar, S. (2001). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barends, M. S. (2004). Overcoming adversity: an investigation of the role of
resilience constructs in the relationship between socioeconomic and academic
factors and academic coping. Cape Town: University of the Western Cape.
Baumeister, R. F. (1991). Meanings of life. New York: Guilford Press
Belem, I. C., Caruzzo, M. N., Junior, J. R. A. N., Vieira, J. L. L., & Vieira, L. F.
(2014). Impact of coping strategies on resilience of elite beach volleyball
athletes. Revista Brasileria de Cineantropometria e Desempenho Humano,
447-455.
Burns, A. B., Brown, J. S., Sachs-Ericksson, N., Plant, E. A., et al. (2006). Upward
spirals of positive emotion and coping: Replication, extension, and initial
exploration of neourochemical substrates. Personality and Individual
Differences, 44, 360-370.
Compton, W. C., & Hoffman, E. (2013). An introduction to positive psychology.
United State: Wadsworth.
Daniel. (Maret 6, 2015). Sulsel terkendala sarana jelang PraPON. Retrieved from
http://www.antarasulsel.com/berita/62891/sulsel-terkendala-sarana-jelangprapon.
Edgette, J. H., & Rowan, T. (2011). Psikologi olahraga: Winning the mind game.
Jakarta: Indeks.
Fickova, E. (2009). Reactive and Proactive Coping with Stress in Relation to
Personality dimensions in Adolescent. Studia Psychologica, 5, 149-160.
Galli, N., & Vealey, R. S. (2008). Bouncing Back From Adversity: Athletes’
Experiences of Resilience. The Sport Psychologist, 22, 316-335.
Greenglass, E. R. (2002). Chapter 3: Proactive coping. In E. Frydenberg (Ed.),
Beyond coping; Meeting goals, vision, and challenges. London: Oxford
University Press.
Greenglass, E. R., & Fiksenbaum, L. (2009). Proactive coping, positive affect and
well-being. European Psychology, Vol. 14 (1), 29-39.

22

Greenglass, E. R., & Katter, J. K. Q. (2013). The influence of Mood on the relation
between proactive coping and rehabilitation outcomes. Canadian Journal of
Aging, 32 (1), 13-20.
Gunarsa, Singgih. D. (2004). Psikologi olahraga prestasi. Jakarta: Gunung Mulia.
Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hoge, A. E., Austin, D.E., & Pollack, H.M. (2007). “Resilience: Research evidence
and conceptual for posttrau-matic stress disorder”. Depression and Anxiety Vol.
24, 139-152.
Jackson, S. L. (2006). Research methods and statistics: a critical thinking approach.
Belmont: Thomson Wadsworth.
Kadhiravan, S., & Kumar. (2012). Enhancing Stress Coping Skills Among College
Students. Researchers World Journal of Arts, Science & Commerce, vol. III,
Issue 4, 49-55.
Kumpfer, L. K. (1999). Factors and processes contributing to resilience: The
resilience framework. New York: Acedemic
Lopez, S. J., & Snyder, C. R. (2003). Positive psychological assessment: A handbook
of models and measures. Washington, DC: American Psychological
Association.
Mahmmud, F. (Mei 12, 2014). Timnas U-23 Cukur Tim Pra Pon Sulsel. Retrieved
from http://bola.liputan6.com/read/2048924/timnas-u-23-cukur-tim-pra-ponsulsel.
Mummery,K. W., Schofield, G., & Perry, C. (2004). Bouncing Back: The Role Of
Coping Style, Social Support And Self-Concept In Resillience of Sport
Performance. Athletic Insight: The Online Journal of Sport Psychology, volume
6, Issue 3, 1-18.
Narayanan, A. (2008). The Resilient Individual: A Personality Analysis. Journal of
the Indian Acedemy of Applied Psychology, Vol. 34, Special Issue, 110-118.
Nyomba, A. (Desember 31, 2014). KONI Sulsel Pasang Target Tinggi I PON.
Retrieved
from
http://sports.sindonews.com/read/944192/51/koni-sulselpasang-target-tinggi-di-pon-141996579.
Ouwehand, C., Ridder, D. T. D., & Bensing, J. M. (2006). Situasional aspect are
more important in shaping proactive coping behavior than individual
characteristic: A vignette study among adults preparing for ageing. Psychology
and Health, 809-825.
Pasaribu, L. P. (Mei 9, 2014). Depresi, Pemilik Rekor Dunia Lompat Jauh
Meninggal. Retrieved from http://olahraga.inilah.com/read/detail/2099062/
depresi-pemilik-rekor-dunia-lompat-jauh-meninggal.

23

Prince-Embury, S., & Saklofske, D. H. (2013). Resilience in children, adolescents
and adults: Translating research into practice. New York: Springer Science
and Business Media.
Sarkar, M., & Fletcher, D. (2014). Psychological resilience in sport performers: a
review of stressors and protective factors. Journal of Sport Sciences, Vol. 32,
No. 15, 1419-1434.
Steindhardt, M., & Dolbier, C. (2008). Evaluation of a resilience intervention to
enchance coping strategies and protective factors and decrease
symptomatology. Journal of American Colleger Health, 54: 445-453.
Strumpfer, D. J. W. (1999). Psychosocial resilience in adults. Studia Psychologica,
41, 89–104.
Subhan, S., & Ijaz, T. (2012). Resilience Scale for Atheletes. FWU Journal of Social
Sciences, Vol. 6, No. 2, 171-176.
Tarmizi, T. (September 24, 2012). Jumlah cabang olahraga PON 2016 akan
diciutkan. Retrieved from http://www.antaranews.com/berita/334989/jumlahcabang-olahraga-pon-2016-akan-diciutkan.
Taylor, S. E. (2003). Health Psychology. New York: McGraw-Hill
Trifiletti, E., Capozza, D., Pasin, A., & Falvo, R. (2009). A validation of the
proactive personality scale. TPM, Vol. 16, No. 2, 77-93.
Tusaie, K., Dyer, J. (2004). Resilience: A historical review of the construct. Holistic
Nursing Practice, 18 (1), 3–8.
Yi, J. P., Smith, R. E., & Vitaliano, P. P. (2005). Stress-Resilience, Illness, and
Coping: A Person-Focused Investigation of Young Women Athletes. Journal
of Behavioral Medicine, Vol. 28, No. 3, 257-265.