Tajen dan Desakralisasi Pura di Desa Pakraman Subagan Kecamatan Karangasem, Bali.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang
dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata
pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah
tajen. Namun dewasa ini marak tajen yang dilakukan di dalam areal pura yang dapat
mengakibatkan pura mengalami desakralisasi atau penurunan nilai-nilai sakral pada
pura tersebut. Konsep pembangunan pura sebagai tempat suci, pada umumnya di Bali
menggunakan struktur atau bentuk pembagian wilayah berlandaskan atas konsep pura
Tri mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba sisi (Nista mandala),
jaba tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Pembagian atas tiga
halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama Hindu, yaitu pura
dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu
bhurloka, dimana jaba pura melambangkan bhurloka yaitu dunia bawah tempat
kehidupan manusia. bhuwarloka yang menjadi lambang jaba tengah yaitu dunia tengah
tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan berikutnya adalah swarloka yang
melambangkan keadaan utama mandala yaitu dunia atas tempat kehidupan para dewa.
Pura merupakan tempat suci bagi agama hindu. Kata pura berasal dari Bahasa
Sansekerta yang artinga kota atau benteng yang berasal dari urat kata “Pur”.
(Sandiarsa.1985:9) menyebutkan bahwa kata pura memiliki pergeseran makna menjadi

tempat suci yang terdiri dari beberapa buah palinggih yang dikelilingi tembok
panyengker guna memisahkan dunia yang sakral dan yang tidak sakral.
1

2

Lalu bagaimana tajen dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura
? Ada baiknya kita mengenal apa itu tajen terlebih dahulu. Tajen merupakan sabung
ayam yang disertai dengan atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha,
2010:7). Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar (Petugas yang
melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan
kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan
pantas diunggulkan ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai
petarung unggulan maka pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam
yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat
dalam artian jika ayam unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar
tiga akan tetapi jika ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan
mendapatkan bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade
(seimbang) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan
yang sebanding sehingga taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain

yang juga dilakukan oleh pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan
perbandingan lima banding empat), talude (taruhan tiga berbanding dua), apit
(taruhannya satu berbanding dua), kadapang (taruhannya sembilan banding
sepuluh).
Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni saye kemong, ketek,
garis dan lap. Saye kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut
kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, saye ketek
adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah
terkapar layaknya sebuah dalam pertandingan tinju, saye garis adalah saye yang
bertugas untuk menjaga garis batas permainan, bila ayam dilihat lari keluar garis

3

batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan saye lap adalah juri yang
bertugas untuk mengumpulkan uang taruhan serta membagikannya kepada babotoh
yang menang.
Dalam persfektif hukum tajen adalah tindakan yang melanggar hukum yang
diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian.
Undang-Undang No 7 Tahun 1974 tentu merupakan berita buruk bagi kalangan
babotoh di Bali untuk kali pertamanya, lebih spesifik lagi di kalangan masyarakat

Desa Subagan yang merupakan lokasi untuk melakukan penelitian yang dipilih oleh
peneliti karena di Desa Pakraman Subagan intensitas kegiatan tajen disana cukup
tinggi, lokasi juga ditetapkan disana mengingat penulis juga tinggal disana sehingga
memudahkan dalam proses pencarian datanya. Tajen kerap dijadikan sebagai alat
penggalian dana dalam rangka pembangunan pura maupun bale banjar. Hal inilah
yang menyebabkan polisi di Bali kesulitan untuk menanggulangi tajen karena
kuatnya kekuatan desa pakraman jika ditentang maka menciptakan permusuhan
yang berujung pada bentrok, Pimpinan babotoh biasanya adalah orang yang
memiliki posisi tawar yang kuat sehingga disebut dengan cukong.
Tajen dikategorikan sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman
pidana. Dalam prakteknya para cukong kerap menggunakan tabuh rah sebagai
topeng untuk dapat melaksanakan kegiatan tajen. Skema yang diciptakan adalah
bermula dari kegiatan tabuh rah yang bersifat legal dan hanya dilakukan di areal
pura. Sebuah wawancara yang dimuat dalam sebuah media elektronik, Kabid
Humas polda Bali, Kombes Pol Herry Wiyanto mengatakan pihaknya memberikan
kesempatan bagi masyarakat menggelar kegiatan tabuh rah dalam kaitannya
dengan kegiatan agama dan objek pariwisata (Tribun News : 2015). Lebih lanjut

4


Kombes Pol Herry Wiyanto juga menegaskan, hal yang salah jika ritual tabuh rah
dijadikan media perjudian oleh masyarakat, kesempatan menggelar tabuh rah
sebagai bagian dari objek wisata dapat diartikan sebagai komitmen pembangunan
Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu, Komitmen ini
memiliki implikasi yang luas, termasuk dalam upaya untuk memahami dan
menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya.
Fakta yang ada di masyarakat Desa Pakraman Subagan adalah masyarakat
memiliki pemikiran bahwa tajen dan tabuh rah adalah hal yang serupa. Pemikiran
tersebut muncul akibat keduanya menggunakan ayam sebagai sarana/alat
pelaksanaannya. Padahal tajen dan tabuh rah adalah 2 hal yang sangat berbeda baik
dari segi pelaksanaannya, aturannya, filosofi serta tujuan pelaksanaannya.
Berbeda dengan tajen, tabuh rah atau perang sata dalam masyarakat Hindu
Bali mensyaratkan adanya darah ayam yang menetes sebagai simbol atau syarat
guna mensucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan terhadap nilai-nilai
materialistis dan duniawi (Mertha, 2010 : 13). Tabuh rah juga memiliki makna
sebagai ritual Butha yadnya (pengorbanan suci kepada butha kala) yang mana darah
yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada
Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahayanya. Pelaksanaan tabuh
rah dilakukan ditempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut. Dalam
proses pelaksanaan tabuh rah selain menggunakan ayam, tabuh rah juga diiringi

dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa serta upakaranya, tabuh rah
juga dilakukan maksimal “tiga sehet” dengan tidak disertai taruhan apapun.
Pelaksanaan tabuh rah dalam rangka upacara yadnya tidak boleh dilakukan
dengan sembarangan, melainkan harus mentaati ketentuan yang bersumber pada

5

sastra. Dalam Keputusan Seminar Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke IX,
menyatakan bahwa tidaklah semua jenis upacara yadnya harus disertai dengan
tabuh rah, melainkan hanya jenis upacara tertentu saja, seperti Panca kelud, Balik
sumpah, Tawur agung, Tawur labuh gentuh, Tawur panca wali krama, dan Tawur
eka dasa rudra. Tabuh rah yang semula merupakan bagian dari ritual Dewa yadnya
yang bersifat sakral. Dalam pemaparan antara tajen dan tabuh rah diatas dalam
pengertian sempitnya tajen memiliki sifat yang profan atau tidak sakral dan tabuh
rah memiliki sifat yang sakral.
Masyarakat memiliki pikiran yang menyamakan arti serta makna antara tabuh
rah dan tajen, dengan didukung fakta bahwa tabuh rah adalah sesuatu yang bersifat
legal, memberikan celah kepada oknum-oknum yang ingin mengadakan tajen.
Skema yang diciptakan guna mengakali fakta bahwa tajen merupakan aktivitas
yang ilegal adalah dengan mengadakan tajen di areal pura itu berarti tajen yang

bersifat profan jika dilakukan didalam areal pura dapat menyebabkan terjadinya
desakralisasi pada pura.
Pemisahan antara dunia yang sakral dan tidak tidak sakral dalam konsep pura
adalah menggunakan batas panyengker. ini dapat diartikan sebagai upaya
mencegah sesuatu yang bersifat tidak sakral untuk memasuki areal pura, termasuk
pada upaya pemanfaatan pura pada hal-hal yang bersifat sakral guna
mempertahankan nilai sakral yang terdapat pada pura tersebut. Ketika tajen yang
bersifat tidak sakral dilakukan di areal pura walaupun dengan kedok, tajen yang
dilakukan disana adalah tabuh rah tentu saja hal tersebut dapat menyebabkan pura
mengalami desakralisasi atau hilangnya nilai-nilai sakral dalam sebuah pura. Dari
pengertian diatas desakralisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

6

ketika pura tidak lagi berkaitan dengan agama maupun tujuan keagamaan, tidak
suci lagi karena sifat keduniawian telah masuk kedalamnya. Hal tersebut berarti
mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap nilai-nilai sakral yang terkandung
dalam pura tersebut.
Menurut Durkheim sulit untuk membedakan mana yang murni agama dengan
mana yang merupakan hasil interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya

nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk
dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu
tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna
filosofinya keduanya memiliki fungsi serta cara yang berbeda dalam
pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang ditemukan oleh penulis adalah
dimana ketika suatu pura yang secara umum memiliki fungsi untuk menjalankan
ritual keagamaan tapi pelataran pura juga digunakan oleh masyarakat untuk
melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen
Dalam proses hilangnya nilai-nilai sakral pada sebuah pura, indikator utama
yang digunakan peneliti adalah ketika tajen yang bersifat profan atau tidak sakral
dilakukan di dalam areal pura. Pemanfaatan pura sebagai arena tajen tetap
melibatkan desa pakraman sebagai penyungsung pura ini, sehingga diharapkan
dalam penelitian ini penulis dapat mendalami apakah desakralisasi yang terjadi
dikarenakan ketidaktegasan penerapan aturan-aturan adat sehingga nantinya
penulis dapat menyimpulkan hal yang sebenarnya terjadi dan dapat memberikan
solusi kepada masyarakat di Desa Pakraman Subagan agar dapat menjaga
kesakralan dari sebuah pura tersebut.

7


1.1

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka terdapat dua permasalahan

yang dijadikan fokus dalam penelitian ini. Kedua permasalahan tersebut yaitu:
1.Bagaimana proses terjadinya desakralisasi pura di Desa Pakraman
Subagan ?
2.Apa dampak dan makna desakralisasi pura sebagai arena tajen bagi
masyarakat Desa Pakraman Subagan ?
1.2

Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang sudah tentu mempunyai tujuan

yang hendak dicapai. Tujuan yang ditetapkan dengan jelas akan menjadi landasan
bagi peneliti. Mengingat permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini
sangat luas, jadi dalam bagian ini penulis mengutarakan tujuan mengapa melakukan
penelitian dengan permasalahan ini. Adapun tujuan dari penelitian ini terdiri atas
dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.2.1

Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami, mendalami, dan

mendeskripsikan bagaimana pura mengalami desakralisasi akibat pemanfaatan
pura sebagai tempat tajen dalam rangka menambah ilmu pengetahuan tentang
sosiologi agama.
1.2.2

Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mendalami bagaimana proses terjadinya desakralisasi akibat
pemanfaatan pura sebagai tempat tajen yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Pakraman Subagan

8

2. Untuk mendalami bagaimana tajen dengan berkedok tabuh rah dapat
mengakibatkan terjadinya desakralisasi pada sebuah pura.

3. Untuk menjelaskan ke masyarakat mengenai dampak serta makna
yang ditimbulkan oleh pemanfaatan pura sebagai tempat tajen
1.3

Manfaat Penelitian
Dari suatu penelitian diharapkan dapat memberi manfaat dan kegunaan yang

optimal bagi masyarakat luas. Terkait dengan penelitian ini terdapat dua manfaat
yaitu manfaat teoritis serta manfaat praktis yang diharapkan dapat membantu
memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dan praktis dalam ilmu
pengetahuan. Kedua manfaat itu dapat dipaparkan sebagai berikut :
1.3.1

Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan
informasi bagi peneliti lain yang ingin membahas masalah terkait sehingga
penelitian ini dapat dijadikan bahan pembanding bagi penelitian berikutnya
serta menghasilkan penelitian-penelitian lain yang lebih mendalam.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan Sosiologi, khususnya dibidang Sosiologi Agama karena dalam
penelitian ini akan membahas bagaimana pura mengalami desakralisasi
akibat pemanfaatan pura sebagai tempat tajen akan berpengaruh pada
kesakralan nilai sebuah pura tersebut.
1.3.2

Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
menambah wawasan serta pemahaman masyarakat bukan hanya masyarakat
di Desa Pakraman Subagan tetapi juga juga masyarakat luas yang selama

9

ini salah mentafsirkan mengenai makna sesungguhnya dari tajen dan tabuh
rah
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memecahkan
permasalahan yang terkait dan mampu memberikan informasi-informasi
penting kepada pemerintah, diharapkan dalam penelitian ini dapat
membantu menjaga kesakralan dari sebuah pura dengan mempertegas
aturan yang terkait.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memecahkan
permasalahan yang terkait dan mampu memberikan informasi-informasi
penting kepada lembaga terkait sehingga diharapkan dapat memberikan
sumber data yang akurat sebagai rujukan dalam penelitian berikunya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DESKRIPSI TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN.
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang beberapa penelitian sebelumnya
mengenai permasalahan serupa dengan yang sedang dikaji dalam penelitian ini.
Penelitian memerlukan adanya tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka digunakan sebagai
petunjuk, pembanding, serta penunjang dalam penelitian ini. Penelitian ini
menggunakan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan bahan sekunder. Berdasarkan
beberapa tinjauan pustaka tersebut, peneliti dapat memperoleh data, konsepsi, dan teori
yang berkaitan dengan permasalahan ini. Adapun beberapa pustaka yang digunakan
sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Geertz (1980) yang dimuat dalam bukunya yang berjudul “Negara The Theatre
State In Nineteenth Century Bali”. Geertz mengkaji dan menginterpetasikan
kebudayaan masyarakat Bali berdasarkan konsep fenomena budayanya. Pada
penelitian ini juga disinggung mengenai tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali.
Geertz mengungkapkan bahwa melalui tajen diharapkan dapat mengupas karakter
masyarakat Bali. Ketertarikannya dalam meneliti tajen juga didasari pada anggapannya
bahwa tajen sebagai kegiatan yang popular di masyarakat belum diteliti secara
mendalam.
Di awal abad ke-19, sabung ayam diselenggarakan oleh raja ketika hari pasah.
Para penguasa ini memungut pajak dari perselenggaraan sabung ayam. Hasil penelitian
Geertz ini mengungkapkan bahwa tradisi tabuh rah seringkali disalahgunakan untuk  

10

11

menutupi perjudian. Tajen yang sebenarnya dilaksanakan dengan tujuan judi
ditutupi dengan mengatakan bahwa tajen yang diadakan tersebut merupakan tabuh
rah. Pada buku ini Geertz membagi tajen menjadi dua, yakni pertarungan yang
sifatnya biasa (flaches spiel) serta pertarungan yang melibatkan harga diri, serta
kehormatan (tiefesbspiel deep play). Dalam flaches spiel yang dipentingkan adalah
uang, sedangkan apa yang membuat pertarungan ayam menjadi deep play adalah
adanya pengaliran status hierarkis si pemilik ayam ke dalam pertarungan. Geertz
menambahkan, orang-orang Bali dapat mengaktifkan dan mewujudkan rivalitas
dan permusuhan antar pedesaan atau kerabat melalui sebuah bentuk permainan
yang menarik yaitu adu ayam. Berdasarkan beberapa pendapat dan pandangan
Geertz dapatlah diketahui bahwa sabung ayam dalam masyarakat Bali memiliki
makna, simbol, dan fungsi tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat pada masa
tersebut. Hasil penelitian Geertz juga mengungkapkan bahwa penyelenggaraan
sabung ayam awal abad ke-19 digelar pada suatu tempat yang bernama wantilan.
Berdasarkan buku tersebut dapat diketahui bahwa tabuh rah seringkali
disalahgunakan untuk menutupi penyelenggaraan tajen, sehingga proses tersebut
berkembang hingga kini. Hasil penelitian Geertz ini penulis jadikan sebagai sumber
data dan data pembanding tradisi sabung ayam masa Bali abad ke-19, sehingga
dapat membantu dalam mengungkap beberapa fungsi dan perkembangan
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
Sudina (Tanpa tahun) dalam buku yang berjudul “Tajen ilmu dan Doanya”
memaparkan tentang tajen secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa
yang biasanya digunakan secara umum di Bali. Beberapa istilah serta doa-doa yang
biasanya digunakan untuk memantrai ayam sebelum bertarung di arena sabung

12

ayam dibahas dalam buku ini. Buku ini juga menjelaskan perkembangan sabung
ayam yang pada mulanya bernama tabuh rah menjadi tajen. Buku ini memaparkan
fungsi sabung ayam pada abad ke-20 dan perkembangannya masa sekarang ini.
Buku ini juga menjelaskan fungsi sabung ayam diawal abad ke-20 yang berfungsi
sebagai tabuh rah, kemudian mengalami pergeseran makna dan nilai menjadi tajen.
Istilah-istilah terkait sabung ayam juga dijelaskan dalam buku ini, seperti
wulang, taji, sapih, dan kemong. Terkait pemaparan diatas dapat disimpulkan
tentang istilah-istilah yang ada dalam tajen guna menggali lebih jauh tentang tajen.
Istilah tersebut tentunya berhubungan erat dengan fungsi yang berbeda pada tajen
dan tabuh rah.
Surasmi (2007) dalam buku yang berjudul “Jejak-jejak Tantrayana di Bali”.
Pada buku ini dijelaskan mengenai pemahaman terkait tantrayana. Pemahaman
tersebut disini dipaparkan mulai dari kemunculan tantrayana, perkembangan
diberbagai belahan dunia, kemunculannya di Indonesia, serta jenis-jenis pemujaan
dan karya sastra yang bersumber pada aliran ini. Pada buku ini menjelaskan
bagaimna seorang spiritual melaksanakan kebaktiannya berdasarkan pada aliran
tantrisme. Kebaktian atau cara pemujaan tantra dalam buku ini dikatakan dapat
melalui banyak cara diantaranya mabuk, bercinta sepuasnya, dan makan
sepuasnya. Aliran ini juga menekankan penggunaan darah sebagai salah satu
bentuk sarana pemujaan bagi spiritual yang beraliran tantrisme untuk mencapai
jalan kebatiannya. Buku ini penulis gunakan untuk membandingkan makna dan
fungsi tabuh rah dan tajen itu sendiri. Berasarkan pengertian mendasar dari tabuh
rah itu sendiri yang berarti darah. Penulis akan mencoba menggali makna tabuh
rah itu pada buku ini.

13

Manteb (2013) dalam buku yang berjudul “Mitologi Tanaman-Binatang dan
Makhluk Halus”. Pada buku ini menyinggung masalah sabung ayam dalam bentuk
tabuh rah dan tajen. Dijelaskan juga mengenai asal istilah kata ayam dan beberapa
istilah yang digunakan dalam tajen. Seperti misalnya istilah sapih yang disebutkan
pada salah satu prasasti, dan istilah tersebut diartikan sebagaiistilah untuk
menyebutkan hasil seri dalam tajen. Pada buku sebelumnya juga menjelaskan
mengenai istilah-istilah dalamm tradisi sabung ayam, tetapi buku ini membahas
lebih banyak mengenai istilah daripada buku sebelumnya. Terkait hal tersebut
penulis menjadikan buku ini sebagai pembanding dan pelengkap dalam penelitian
ini, yang membahas permasalahan mengenai aspek fungsi dan perkembangan
tradisi sabung ayam di masa Bali kuno.
Hidayat (2011) dalam penelitian skripsinya dengan judul “Sabung ayam
Tabuh rah dan Tajen di Bali”. Penelitian Hidayat ini meneliti tentang sabung ayam
dalam persfektif hukum islam dan hukum positif. Pada penelitian ini Hidayat
menjelaskan pemaparan bagaimana tradisi sabung ayam masa sekarang yang
melanggar hukum. Dijelaskan juga kajian dan pandangan para ahli terkait tradisi
sabung ayam, baik ahli dari cendekiawan hukum maupun kalangan budayawan.
Hidayat juga mengkaji tentang sejarah tradisi sabung ayam berdasarkan beberapa
prasasti. Namun sudut pandang penelitian ini berbeda meskipun objek yang diteliti
sama. Penelitian Hidayat mengkaji tentang bagaimana perspektif hukum islam dan
hukum positif dalam mengkaji sabung ayam di Bali, sedangkan penelitian ini akan
mengkaji proses profanisasi pemanfaatan pura sebagai tempat tajen, selain itu
perbedaan juga akan terlihat dikarenakan penelitian ini akan membahas juga
bagaimana hukum adat mengatur penyelenggaraan tajen.

14

Herdani (2014) dalam skripsinya dengan judul “Tradisi Aci Keburan Sebagai
Legitimasi Adat terhadap Sabung Ayam di Desa pakraman Kelusa, Kecamatan
Payangan, Kabupaten Gianyar” menjelaskan bahwa aci keburan merupakan suatu
tradisi yang harus dilaksanakan karena ada keyakinan apabila tidak dilaksanakan
maka Desa pakraman kelusa akan terserang wabah penyakit (grubug), adapun nilai
yang terkandung dalam tradisi aci keburan pada masyarakat desa pakraman kelusa
berbeda dengan tabuh rah karena tradisi keburan lebih menekankan pada nilai
religius dan nilai sosial.
Kairavani (2013) dalam jurnal ilmiahnya dengan judul “Judi Versus Sarana
Pemasukan Bagi Desa pakraman & Masyarakat Di Kabupaten Tabanan”
menyebutkan bahwa penyelenggaraan tajen yang dilakukan di lokasi yang sejatinya
adalah milik dari suatu Desa pakraman digunakan alat atau sarana pemasukan bagi
Desa pakraman dan masyarakat. Desa pakraman akan mendapatkan pemasukan
dari sewa tempat, parkir, karcis masuk dll kemudian masyarakat akan mendapatkan
pemasukan dari berjualan serta menawarkan jasanya di sekitar areal tajen.
Winarta (2014) dengan judul “ Tabuh rah Pada Masyarakat Hindu Bali Dalam
Implikasinya Pada Kehidupan Masyarakat Hindu (Studi Kasus Di Dusun Gubug
Bali, Kecamatan Lembar, Lombok Barat)”. Dalam Jurnal yang diterbitkan oleh
Fakultas Hukum Universitas Mataram, dia menjelaskan bahwa masyarakat Bali
mempunyai corak yang spesifik dan erat pertaliannya dengan hukum adat, dalam
jurnal ini lebih banyak memuat bagaimana hukum adat mengatur tabuh rah dan
juga bagaimana undang-undang mengatur tabuh rah yang mengarah ke perjudian.
Sabung ayam yang sering dilaksanakan di dusun Gubug merupakan suatu
tindak pidana karena dibarengi dengan judi serta dalam pelaksanaannya tidak

15

memperoleh izin dari pemerintah atau pejabat yang berwenang. Sabung ayam yang
dilaksanakan disana diselenggarakan oleh pihak perorangan sehingga dapat dikatan
itu telah melanggar hukum. Selain itu dalam jurnal ini juga disebutkan upaya yang
telah dilakukan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana perjudian sabung
ayam ada dalam dua macam yaitu upaya preventif dan upaya represif.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh
penulis akan lebih membahas bagaimana proses kenapa tabuh rah bisa menjadi
tajen padahal esensi tabuh rah adalah upakara, yang mengakibatkan opini
masyarakat mengarah pada opini tajen adalah profanisasi tabuh rah sehingga
pemikiran tersebut dapat mengancam kesakralan dari sebuah upacara yadnya,
dimana hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah sama dengan mereka
menodai kepercayaan mereka sendiri sehingga penting untuk menjelaskan arti atau
makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan tabuh rah tersebut, selain itu
dikarenakan aktifitas tajen di Desa Pakraman Subagan tergolong kronis dan
berkelanjutan dari satu generasi ke generasi selanjutnya maka penelitian ini lebih
menarik untuk diteliti dengan melihat bagaimana pola interaksi yang tercipta antar
peserta tajen. Selain itu Peneliti juga akan membahas dampak-dampak tajen pada
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Pakraman Subagan, Karangasem,
sehingga peneliti dapat menawarkan solusi dalam upaya menanggulangi tajen di
Desa Pakraman Subagan.

16

2.1 KONSEP
Konsep adalah suatu istilah yang mengacu pada suatu fenomena tertentu yang
bias bersifat individual dan juga dapat bersifat kompleks. Maksud suatu konsep
adalah untuk menyederhanakan pemikiran dengan jalan memasukan sejumlah
kejadian dalam suatu nama yang umum. Agar mempermudah pemahaman dan
pembahasan dalam penelitian ini, maka diperlukan beberapa konsep atau
pengertian dasar yang terkait dengan judul penelitian ini. Adapun konsep-konsep
yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut.
2.1.1

Pura

Tempat suci Agama Hindu di sebut dengan pura. Kata pura berasl dari Bahasa
Sansekerta yang memiliki arti kota atau benteng yang berasal dari urat kata “Pur”.
Kata “Pur” artinya kubu atau benteng. Sandiarsa (1985:9) menyebutkan bahwa kata
pura atau Puri mengalami pergeseran arti menjadi tempat suci yang terdiri dari
beberapa buah pelinggih yang dikelilingi dengan tembok penyengker. Menurut
Titib (2001) pura berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kota atau benteng,
setelah beberapa lama diubah artinya yang sekarang arti pura menjadi tempat Ida
Sang Hyang Widi Wasa. Dari pendapat diatas pura dapat diartikan sebagai tempat
suci untuk mengadakan upacara persembahyangan untuk memuja kebesaran Tuhan.
Konsep bangunan pura di Bali mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali
terhadap alam dan ajaran agama Hindu. Konsep pembuatan arsitektur pura yang
didalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan
kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan Dewa-dewa yang terdapat pada setiap
penjuru mata angina. Selain itu, bangunan pura juga memiliki satuan ukuran
bangunan yang mengacu pada ukuran anatomi manusia tersebut. Hal tersebut

17

mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pada umumnya. Pura
secara umum di Bali di bangun berdasarkan yang disebut dengan Tri Mandala,
yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (Nista mandala), jaba
tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala).
Dalam kaitannya dengan fungsi pura sebagai tempat atau ruang suci, hal ini
berdasarkan pada falsafah ruang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Agama Hindu, Tat
Twam Asi memiliki pengertian “itu adalah aku”. Inti dari ajaran Tat Twam Asi
adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan
tuhan, termasuk dunia ini. Ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang
dalam keseimbangan kosmos, dalam hal ini Bhuwana agung senantiasa harus
seimbang dengan Bhuwana alit. Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur
ruang secra vertical yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tri Bhuwana). Struktur
ruang Tri Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari; Bumi dan alam lingkungannya
sebagai alam yang paling bawah disebut “Bhur Loka”, kedua adalah alam roh-roh
suci yang disebut dengan “Bhuwah Loka” dan yang utama adalah alam para Dewa
disebut dengan “Swah Loka”.
2.1.2

Tajen

Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan judi atau bertaruh dengan
menggunakan uang (Mertha, 2010:13). Istilah tajen berasal dari kata “taji” yang
berarti susuk pada kaki ayam. Pengertian taji ada hubungannya dengan pengertian
tajam dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Bali “tajip” bermakna
sesuatu yang runcing. Pengertian tajen mungkin ditekankan pada taji atau senjata
yang digunakan ayam dalam beradu, sebab dalam tajen hanya ayam yang akan
diadu sajalah yang menggunakan taji. Tajen merupakan suatu ajang yang

18

mempertontonkan tarung ayam jago. Ayam-ayam tersebut akan dijadikan bahan
taruhan yang berupa uang.
Sebenarnya jika berpatokan pada ajaran agama Hindu tajen merupakan
sesuatu yang dilarang, karena mengandung unsur judi di dalamnya. Dalam sebuah
permainan tajen ada 2 peran utama yang berperan didalamnya, pertama adalah
cukong dan yang kedua adalah para babotoh.
Cukong kepada seseorang yang memiliki daya tawar yang kuat sehingga dapat
mengendalikan permainan, guna menlancarkan bisnis yang mereka kerjakan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia cukong adalah orang yang mempunyai uang
banyak dan yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha
atau kegiatan orang lain. Dalam permainan tajen terdapat perputaran uang yang
sangat besar, sehingga pantaslah seseorang yang mengadakan tajen disebut cukong
karena dia memiliki daya tawar yang kuat untuk mencari perizinan dan juga
menyediakan dana yang besar untuk permainannya.
Sedangkan babotoh merupakan istilah orang Bali kepada seseorang yang
melakukan aktivitas tajen setiap harinya, babotoh di dalam bahasa Bali berasal dari
dari kata memotoh yang memiliki makna momo kone tohin dimana kata tersebut
jika ditermahkan kedalam bahasa Indonesia akan bermakna kita bertaruh untuk
kebiasan jelek dan sikap egois kita. Dalam kamus besar bahasa indonesia babotoh
memiliki arti sebagai bajingan, penjahat dan penjudi. Pengertian babotoh terdengar
sangat negatif dalam kamus besar bahasa indonesia memang tidak salah karena
babotoh dalam pandangan masyarakat adalah orang yang mempertaruhkan
segalanya didalam arena tajen.

19

Pertarungan dimulai dari dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam)
terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang
akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan
ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai petarung unggulan maka
pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan
yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat dalam artian jika ayam
unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar tiga akan tetapi jika
ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan mendapatkan
bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (sama) hal tersebut
diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan yang sebanding sehingga
taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain yang juga dilakukan oleh
pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat),
telude ( taruhan tiga berbanding dua ), apit (taruhannya satu berbanding dua),
kedapang (taruhannya sembilan banding sepuluh).
Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni saye kemong, ketek,
garis dan lap. Saye kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut
kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, saye ketek
adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah
terkapar layaknya sebuah dalam pertandingan tinju, saye garis adalah saye yang
bertugas untuk menjaga garis batas permainan, bila ayam dilihat lari keluar garis
batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan saye lap adalah juri yang
bertugas untuk mengumpulkan uang taruhan serta membagikannya kepada bebotoh
yang menang.

20

2.1.3

Desakralisasi

Desakralisasi memiliki pengertian bahwa hilangnya nilai-nilai sakral pada
sebuah budaya maupun ritual keagamaan. Menurut Durkheim sulit untuk
membedakan mana yang murni agama dengan mana yang merupakan hasil
interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara
tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat
hanya terarah pada satu pandangan yaitu tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan
sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta
cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang
ditemukan oleh penulis adalah dimana ketika suatu pura yang secara umum
memiliki fungsi untuk menjalankan ritual keagamaan tapi pelataran pura juga
digunakan oleh masyarakat untuk melakukan tajen, sehingga pura mengalami
desakralisasi akibat tajen
Pandangan tentang makna kesucian pura sebagai tempat suci yang sakral
bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta dapat
menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam didalam jiwa setiap
individu. Kesucian pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara
keagamaan saja, melainkan setiap hari
Indikator yang kedua adalah ketika desa pakraman tidak menjalakan
fungsinya secara utuh, desa pakraman memiliki fungsi serta kewajiban untuk
melakukan tiga kerangka dasar kehidupan Agama Hindu yang terdiri dari ajaran
tatwa (Filsafat), susila (Etika), dan upakara (Ritual). Jika salah satu dari ketiga
kerangka tersebut tidak dijalankan oleh desa pakraman maka disanalah terdapat

21

celah untuk masyarakat untuk melakukan kegiatan yang akan menghilangkan nilainilai sakral pada sebuah pura.
2.1.4

Desa pakraman

Di Bali dikenal ada dua bentuk pemerintahan Desa yang masing-masing
memiliki fungsi dan struktur organisasi yang berbeda yaitu Desa dinas atau
kelurahan dan Desa pakraman. Desa dinas adalah organisasi pemerintahan di Desa
yang menyelenggarakan fungsi administrative, seperti mengurus kartu tanda
penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), dan lain-lain yang menyangkut persoalan
pemerintahan. Sedangkan untuk Desa pakraman dalam Perda Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2001 tentang Desa pakraman menentukan sebagai berikut : Desa
pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa
yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 No urut 4).
Desa pakraman memiliki tugas untuk membuat awig-awig, mengatur krama
Desa, mengatur pengelolaan harta kekayaan Desa, mengayomi krama Desa,
melakukan pembangunan bersama-sama dengan pemerintah, membina dan
mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan,
dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah
berdasarkan

“paras-paros”,

sagilik-sagu-luk,

salunglung-sabayantaka

(musyawarah-mufakat).
Dalam Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Th 2001 menyebutkan bahwa Desa
pakraman atau Desa pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut :

22

A.

Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam llingkungan
wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar
krama Desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.

B. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan
pembangunan

yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan

dengan tri hita karana.
C. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Desa pakraman.
2.2 DESKRIPSI TEORI
Deskripsi teori sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, yaitu sebagai alat
analisis dan dasar pembahasan masalah. Teori berdasarkan pengertiannya,
merupakan suatu rumusan masalah yang berisikan prinsip umum terorganisir secara
sistematis yang digunakan dalam menganalisis, membuat asumsi, dan menjelaskan
suatu gejala, suatu masalah, sebagian atau keseluruhan telah terbukti kebenarannya.
Pada penelitian ini teori yang akan digunakan adalah sebagai berikut.
2.2.1 TEORI SAKRAL DAN PROFAN (Durkheim)
Dalam penelitian “Tajen dan Desakralisasi Pura di Desa Pakraman Subagan,
Kecamatan Karangasem, Bali”, peneliti menggunakan teori Emile Durkheim
sebagai kerangka teori, dengan tujuan menjelaskan bagaimana masyarakat di Desa
Pakraman Subagan seharusnya tidak melakukan aktivitas tajen di dalam
lingkungan pura.
Menurut Durkheim seluruh keyakinan keagamaan manapun memperlihatkan
satu karakteristik umum yaitu memperlihatkan antara yang sakral dan yang Profan.
Durkheim mengatakan hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan yang berada

23

dalam kondisi normal, sedangkan hal yang bersifat profan merupakan bagian
keseharian dari hidup dan bersifat biasa saja (Kamirudin.2011:164).
Durkheim mengatakan konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral
karena memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan
seluruh anggota masyarakatnya, sedangkan yang profan tidak memiliki pengaruh
yang besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Dikotomi
tentang yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai konsep
pembagian moral, artinya kita seharusnya tidak menganggap yang sakral sebagai
“Kebaikan” dan yang profan sebagai “Keburukan”.
Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang
sakral dan yang profan, akan tetapi yang sakral tidak dapat berubah menjadi
sesuatu yang profan, begitupun sebaliknya yang profan tidak dapat berubah
menjadi yang sakral. Pada konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk
membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau
interpretasi dari agama.
Sesuatu yang murni adalah agama, berasal dari tuhan, absolut dan
mengandung nilai sakralitas, sedangkan interpretasi dari agama, berarti berasal dari
manusia dalam menerjemahkan agamanya, bersifat temporal, berubah, dan tidak
sakral. Sesuatu yang sakral tidak dapat berubah menjadi sesuatu yang profan dan
yang profan tidak dapat berubah menjadi sesuatu yang bersifat sakral. Namun jika
dilihat melalui sudut pandang Agama Hindu, melalui konsep ruwa bineda melihat
selalu adanya dua hal yang bertentangan tetapi saling memiliki pengaruh, misalkan
baik-buruk,besar-kecil,bersih-kotor dan juga sakral-profan. Sesuatu yang bersifat
sakral dapat mengalami perubahan nilai akibat mendapatkan pengaruh dari sesuatu

24

yang bersifat profan, misalkan pura yang mengandung nilai magis dan makna
spiritual dapat mengalami perubahan nilai diakibatkan ketika tajen yang
merupakan suatu budaya yang bersifat profan. Sehingga Teori sakral dan profan
Durkheim dalam penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana proses terjadinya
desakralisasi pada sebuah pura.
2.3 Kerangka Pemikiran

TAJEN

DESA PAKRAMAN

PURA

TAJEN SEBAGAI
PENYEBAB
DESAKRALISASI
PURA

PROSES
DESAKRALISAS
I PURA AKIBAT
PEMANFAATA
N PURA
SEBAGAI
TEMPAT TAJEN

DAMPAK DAN
MAKNA
DESAKRALISASI
PURA AKIBAT
PEMANFAATAN
PURA SEBAGAI
TEMPAT TAJEN

HASIL
Keterangan

:

= Memiliki Hubungan Saling Mempengaruhi
= Tidak Memiliki Hubungan Langsung
= Memiliki Hubungan Langsung

25

Kerangka pemikiran tersebut menjelaskan bahwa adanya hubungan langsung
antara tajen, desa pakraman, dan pura. Ketiganya memiliki suatu rantai yang saling
ketergantungan, misalkan hubungan antara tajen dan desa pakraman. Tajen
memerlukan Desa pakraman sebagai pemberi ijin untuk dapat melaksanakan tajen
di daerah desa pakraman bersangkutan, begitu pula dengan Desa pakraman yang
terkadang memerlukan tajen untuk pembangunan balai banjar, pura, dan lain-lain.
Berikutnya adalah hubungan langsung antara pura dengan desa pakraman. pura
yang didirikan didalam wilayah desa, adalah menjadi tugas dan kewajiban desa
pakraman untuk menjaga dan melaksanakan upacaranya.
Hubungan langsung kedua yang tercipta adalah antara tajen dengan
desakralisasi, Desa pakraman dengan desakralisasi, dan tajen dengan desakralisasi.
Hubungan yang tercipta adalah bagaimana tajen, desa pakraman, dan pura dapat
secara langsung mempengaruhi desakralisasi atau hilangnya nilai-nilai sakral yang
terkandung dalam sebuah Pura sehingga akan memunculkan permasalahan yang
menarik untuk diteliti yaitu: dari kegiatan tajen yang dilakukan didalam lingkungan
pura akan menimbulkan permasalahann bagaimana proses terjadinya desakralisasi
pada pura, serta menarik untuk mengetahui apa dampak serta makna yang
ditimbulkan akibat terjadinya desakralisasi pada pura bagi masyarakat Desa
Pakraman Subagan yang nantinya akan dijawab melalui hasil penelitian yang
penulis lakukan.