Keanekaragaman Hama dan Penyakit pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)

KEANEKARAGAMAN HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN
TEBU (Saccharum officinarum L.)

OLEH :
AMEILIA ZULIYANTI SIREGAR, S.Si., M.Sc., Ph.D (NIP. 197305272005012002)
TRY SAKTI SYAHPUTRA (140301038)

KOLOKIUM PENUNJANG DAN PENDUKUNG
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ......................................................................... 1
Tujuan Penulisan ...................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman............................................................................................. 4
Syarat Tumbuh............................................................................................... 5
Iklim ..................................................................................................... 5
Tanah.................................................................................................... 6
Hama Pada Tebu............................................................................................ 6
Penyakit Pada Tebu ....................................................................................... 8
Pengendalian................................................................................................... 16
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ..................................................................................................... 18
Saran ................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

KEANEKARAGAMAN HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN
TEBU (Saccharum officinarumL.)
Ameilia Zuliyanti Siregar dan Try Sakti Syahputra
Departemen Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman tebu termasuk salah satu anggota dari familia Gramineae, sub
familia Andropogonae. Banyak ahli berpendapat bahwa tanaman tebu berasal dari
Irian, dan dari sana menyebar ke kepulauan Indonesia yang lain, Malaysia,
Filipina, Thailand, Burma, dan India. Dari India kemudian dibawa ke Iran sekitar
tahun 600 M, dan selanjutnya oleh orang-orang Arab dibawa ke Mesir, Maroko,
Spanyol, dan Zanzibar. Beberapa peneliti yang lain berkesimpulan bahwa
tanaman ini berasal dari India berdasarkan catatan-catatan kuno dari negeri
tersebut (Tjokroadikoesoemo dan Baktir, 2005 dalam Sinaga, 2010).
Tebu (Sacharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman
perkebunan/industri berupa rumput tahunan yang merupakan bahan baku
pembuatan gula. Tanaman ini merupakan komoditi penting karena didalam
batangnnya terkandung 20% cairan gula (Anonim, 2008a). Tanaman ini berasal
dari India, tetapi ada kemungkinan berasal dari Irian Barat karena disanalah
ditemukan tanaman tebu liar.
Sebagai bahan baku pembuatan gula pasir, tebu berperan besar dalam
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Komsumsi gula pasir di Indonesia terus
meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Komsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton yang

terdiri atas 2,5 juta ton gula komsumsi dan 0,8 juta ton untuk kebutuhan industri
makanan dan minuman, sedangkan produksi gula nasional pada tahun 2004 baru
mencapai 2 juta ton (Anonim, 2005a).
Sebagai bahan baku pembuatan gula pasir, tebu berperan besar dalam
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Komsumsi gula pasir di Indonesia terus
meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Komsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton yang

Universitas Sumatera Utara

terdiri atas 2,5 juta ton gula komsumsi dan 0,8 juta ton untuk kebutuhan industri
makanan dan minuman, sedangkan produksi gula nasional pada tahun 2004 baru
mencapai 2 juta ton (Anonim, 2005a). Produksi dan produktivitas dari tahun tahun
ketahun cenderung menurun dengan laju penurunan sekitar 2,1% per tahun
(Anonim, 2008b).Oleh karena itu mengimbangi laju permintaan yang tinggi, maka
pemerintah berusaha mengimpor gula untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kendala terbesar tanaman tebu di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan
dan di sentra perkebunan tebu Cinta Manis yaitu serangan hama. Hama utama
tebu di Sumatera Selatan dan sentra perkebunan tebu Cinta Manis antara lain
adalah penggerek batang bergaris (Chilo saccharipaghus), penggerek batang

berkilat (Chilo auricilius), dan penggerek pucuk (Scirpophaga nivella). Penurunan
produksi gula karena serangan hama dapat mencapai 20% per tahun
(Sutejo 2008).
Serangan hama merupakan kendala dalam peningkatan produktivitas tebu.
Hama penggerek yang menyerang batang tebu adalah Chilo sacchariphagus
(penggerek bergaris), C. auricilia (penggerek berkilat), Eucosma scistaceana
(penggerek abu-abu), Chilotraea infuscatella (penggerek kuning), Sesamia
inferens (penggerek jambon) dan Phragmatoecia castanea (penggerek raksasa).
Kendala terbesar tanaman tebu di Indonesia adalah penggerek batang tebu
bergaris dan penggerek batang berkilat (C. auricilius). Serangan hama ini dapat
menimbulkan kerugian mencapai 30-45 % (Meidalima et al., 2012).
Menurut Kalshoven (1981), A. tegalensis merupakan hama tebu di Pulau
Jawa. Spesies lain dari golongan yang sama antara lain A. madiunensis,
Chionaspis saccharifolia, Pinnaspis aspidistrae latus, Odonaspis saccharicaulus,
dan Uniaspis citri Comst. Kutu i dapat menyerang berbagai macam klon tebu.
Inang lain dari hama ini adalah rumput Erianthus arundinaceus.

Kutu A.

tegalensis mempunyai ukuran tubuh yang tergolong kecil, jika sudah dewasa

panjangnya hanya 1,32 mm. Kutu perusak tebu ini tinggal dalam perisai yang
terbuat dari bahan lilin hasil sekresinya sendiri dan lapisan lilin batang tebu, yang
berukuran panjang 2,39 mm
Pengendalian penggerek batang dan pucuk tebu saat ini cenderung
dilakukan secara hayati, dengan memanfaatkan parasitoid. Pengendalian hayati

Universitas Sumatera Utara

memiliki kelebihan dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain, karena
tidak memiliki pengaruh negatif terhadap produk pertanian yang dihasilkan
(Sukmawaty et al. 2008 dalam Bakti, 1991).
Tumbuhan liar di sekitar pertanaman tebu tidak hanya berfungsi sebagai
tempat berlindung atau shelter dan pengungsian musuh alami ketika kondisi tidak
sesuai (van Emden 1991), tetapi juga dapat menjadi sumber atau source musuh
alami yang bakal menginvasi pertanaman tebu musim berikutnya (Herlinda &
Irsan 2011). Tumbuhan liar dapat juga berdampak negatif bagi tanaman, oleh
karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh tumbuhan
liar berbunga terhadap tanaman tebu dan keberadaan parasitoid.
Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tebu
adalah menyediakan bahan tanam (bibit) yang berkualitas. Hal ini dikarenakan

bibit memiliki peran besar dalam produksi gula. Ketersediaan bibit tebu yang
memiliki tingkat pertumbuhan yang baik , ketahanan terhadap serangan hama dan
penyakit tanaman serta memiliki tingkat rendemen gula yang tinggi akan
mendukung peningkatan produktivitas gula (Asil et al. 2015).
Langkah awal untuk peningkatan produksi tebu adalah pengelolaan bibit
tebu dengan baik. Pengelolaan bibit tebu yang baik dan tersedianya faktor input
pendukung lainnya akan secara langsung mendukung perolehan produktivitas tebu
yang tinggi. Dampak dari pengelolaan bibit yang kurang baik meskipun
penggunaan input lain terjamin tidak akan menghasilkan produktivitas yang
maksimal. Menurut Setyamidjaja dan Azharni (1992) bibit adalah modal utama
bagi keberhasilan usaha budidaya tebu. Pengetahuan manfaat pengelolaan bibit
yang baik sangat diperlukan produsen gula untuk menciptakan dan mengusahakan
bibit bermutu.
peningkatan dosis pemupukan hingga batas 18 g/60 tanaman akan
menyebabkan peningkatan tinggi batang bud chips tebu sehingga masih
diperlukan peningkatan dosis pupuk untuk mendapatkan dosis optimum pada
pertumbuhan bibit bud chips tebu terbaik. Hal ini sesuai dengan literatur Rauf et
al., (2000) yang menyatakan bahwa Pupuk merupakan salah satu hal yang sangat
penting dalam budidaya tanaman. Pemupukan yang berimbang antara N, P, dan K


Universitas Sumatera Utara

pada pembibitan tebu sangat diperlukan guna untuk membantu dalam
pertumbuhan dan perkembangan bibit tebu.
Selain permasalah dari sisi bibit, semakin sedikitnya ketersediaan lahan
menyebabkan kebutuhan lahan untuk pembibitan juga semakin sulit. Dari
beberapa problematika tersebut di atas, diperlukan teknologi penyiapan bibit yang
singkat, tidak memakan tempat dan berkualitas tentunya. Adapun teknik
pembibitan yang dapat menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi serta tidak
memerlukan penyiapan bibit melalui kebun berjenjang adalah dengan teknik
pembibitan bud chips. Bud chips adalah teknik pembibitan tebu secara vegetatif
yang menggunakan bibit satu mata (Putri et al., 2013 dalam Ferry et al., 2015).
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui jenis - jenis
hama

dan

penyakit


apa

saja

yang

menyerang

pada

tanaman

tebu

(Saccharum officinarum L.).

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Tebu (Saccharum officinarumL.)

Tebu (sugarcane) atau saccharum termasuk tumbuh-tumbuhan yang
diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae, Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Monocotyledonae, Ordo : Poales Famili :
Graminae, Genus : Saccharum, Spesies : Saccharum officinarum L. Tanaman
Tebu menurut ilmu tumbuh-tumbuhan termasuk famili rumput (Graminae) dan
subtribes (golongan) Saccharae atau Saccharum. Saccharum ini terbagi dalam 5
keluarga yaitu Saccharum spontaneum, Saccharum sinensis, Saccharum barberi,
Saccharum robustum, dan Saccharum officinarum. diantara spesies tersebut yang
paling banyak digunakan di Indoesia adalah Saccharum officinarum L.
(Ika dan Soemarno, 1991).
Tanaman tebu terbagi menjadi beberapa bagian utama, yaitu akar, batang
daun, dan bunga. Masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Tanaman
tebu sebagai salah satu tanaman monokotil memiliki tipe perakaran serabut. Akar
tebu dapat dibedakan menurut perkembanganya, yaitu akar primer dan akar
sekunder. Akar primer adalah akar yang tumbuh dari mata akar buku ruas stek
batang bibit, akarnya lebih halus dan bercabang banyak. Sedangkan akar sekunder
adalah akar yang tumbuh dari dari mata akar dalam buku ruas tunas yang tumbuh
dari stek bibit, bentuknya lebih besar, lunak, dan sedikit bercabang
(Supriyadi, 2002).
Batang tebu padat seperti batang jagung, dimana bagian luar berkulit keras
dan bagian dalam lunak dan mengandung air gula. Tanaman tebu yang masih

muda belum terlihat jelas batang karena masih tertutup oleh daun. Namun bila
daun tebu sudah mulai mengering dan jatuh maka batang tebu mulai dapat
terlihat. Batang tebu terdapat ruas dan buku. Ruas batang dibatasi oleh buku-buku
yang merupakan tempat kedudukan daun. buku yang terletak dibawah permukaan
tanah mempunyai hubungan yang erat dengan proses pembentukan tunas atau
anakan dan perkembangan ratoon (Sutardjo, 1994).
Tebu memilki daun tidak lengkap, karena hanya terdiri dari helai daun dan
pelepah daun saja. Daun berkedudukan pada pangkal buku. Panjang helaian daun
antara 1—2 meter, sedangakan lebar 4—7 cm, dan ujung daunnya meruncing

Universitas Sumatera Utara

(Supriyadi, 1992). Pelepah tumbuh memanjang menutupi ruas. Pelepah juga
melekat pada batang dengan posisi duduk berselang seling pada buku dan
melindungi mata tunas (Miller dan Gilbert, 2006).
Tanaman tebu memiliki akar setek yang disebut juga akar bibit, tidak
berumur panjang, dan hanya berfungsi pada saat tanaman masih muda. Akar ini
berasal dari cincin akar dari setek batang, disebut akar primer (Miller dan Gilbert,
2006). Kemudian pada tanaman tebu muda akan tumbuh akar tunas. Akar ini
merupakan pengganti akar bibit, berasal dari tunas, berumur panjang, dan tetap

ada selama tanaman tebu tumbuh (James, 2004).
Bunga tebu berupa malai dengan panjang antara 50- 80 cm. Cabang bunga
pada tahap pertama berupa karangan bunga dan pada tahap selanjutnya berupa
tandan dengan dua bulir panjang 3-4 mm. Terdapat pula benangsari, putik dengan
dua kepala putik dan bakal biji. 5. Buah 10 Budidaya dan Pasca Panen TEBU
Buah tebu seperti padi, memiliki satu biji dengan besar lembaga 1/3 panjang biji.
Biji tebu dapat ditanam di kebun percobaan untuk mendapatkan jenis baru hasil
persilangan yang lebih unggul.
Syarat Tumbuh
Iklim
Tebu dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi pada
ketinggian 1400 m diatas permukaan laut (dpl), tetapi pada ketinggian mulai
+1200 m (dpl) pertumbuhan tebu akan lambat. Curah hujan yang optimum untuk
tanaman tebu 9 adalah 1.500-2.500 mm per tahun dengan hujan tersebar merata.
Produksi yang maksimum dicapai pada kondisi yang memiliki perbedaan curah
hujan yang ekstrim antara musim hujan dan musim kemarau(Tim Penulis PTPN
XI, 2010).
Suhu yang baik untuk tanaman tebu berkisar antara 240C hingga 300C,
dengan kelembaban nisbi yang dikehendaki adalah 65-70%, dan pH tanah 5,5-7,0.
Kecepatan angin yang optimum untuk pertumbuhan tebu kurang dari 10 km/jam,
karena angin dengan kecepatan lebih dari 10 km/jam akan merobohkan tanaman
tebu (Tim Penulis PTPN XI, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Tanah
Menurut Sudiatso (1982), tekstur tanah yang cocok untuk tanaman tebu
adalah tekstur tanah ringan sampai agak berat dengan kemampuan menahan air
yang cukup. Kedalaman (solum) tanah untuk pertumbuhan tanaman tebu minimal
50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air. Syarat topografi lahan tebu adalah
berlereng panjang, rata, dan melandai. Bentuk permukaan lahan yang baik untuk
pertumbuhan tebu adalah datar sampai bergelombang dengan kemiringan lereng
0– 8 % .
Tebu cocok ditanam pada tanah dengan kisaran pH 5.5-7.0. Pada pH di
bawah 5.5 dapat menyebabkan perakaran tanaman tidak dapat menyerap air
sedangkan apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH di atas 7.0 tanaman akan
sering kekurangan unsur P (fosfor). Menurut Sudiatso (1999) bahwa kecepatan
tumbuh tanaman dapat dipengaruhi kultivar, suhu, jumlah sinar matahari,
kelembaban, kesuburan tanah dan gulma.
Hama Pada Tanaman Tebu (Saccharum officinarumL.)
Beberapa macam hama yang sering dijumpai pada tanaman tebu adalah
penggerek pucuk, penggerek batang, kutu bulu putih, tikus, uret dan babi hutan.
Uret dan kutu bulu putih merupakan hama utama bagi tanaman tebu di lahan
kering.
a. Penggerek pucuk(Tryporiza nivella)
Hama ini berupa ulat yang menyerang pucuk tanaman sehingga
mematikan titik tumbuh. Usaha pemberantasannya menggunakan insektisida
carbofuran yang dapat diberikan dengan cara suntikan atau taburan.
b. Penggerek batang(Chillo spp.)
Hama berupa ulat ini merusak ruas-ruas batang tebu sehingga pada
serangan yang parah dapat merobohkan tanaman. Usaha pengendaliannya dapat
dilakukan secara hayati dengan menggunakan parasit kerawati Tricbograma Spp.,
dan parasit lalat Diatrae opbaga Striatalis.
Parasitoid tersebut hanya mampu meletakkan telur sebanyak 5 kali sampai
parasitoid tersebut mati. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang
dilakukan oleh Bakti (1991) yang memperoleh bahwa seekor parasitoid betina

Universitas Sumatera Utara

dapat meletakkan telur 3-4 kali dengan jumlah telur yang diletakkan 66,4 butir
pada larva penggerek bergaris.
Salah satu serangga yang dapat dijadikan musuh alami bagi Lepidoptera
adalahTetrastichus sp. Menurut hasil penelitianKartohadjono (1995) dari 10 jenis
parasitoidtelur di Asia hanya tiga jenis yang seringdijumpai di lapangan yaitu
Trichogramma sp.,Telenomus sp. dan Tetrastichus sp. Berdasarkanpenelitian
Winasa (1992) di Jawa Baratmengemukakan bahwa dari ketiga jenisparasitoid
telur tersebut T. schoenobiimerupakan parasitoid yang paling efektif (Syahrial et
al. 2015).
c. Kutu bulu putih(Ceratovaguna lanigera)
Pada daun-daun yang mulai nampak ada kutu bulu putih segera dipangkas,
dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk dimusnahkan atau dibakar. Pada
serangan yang sudah luas, pemberantasannya dapat menggunakan parasit Encarsia
flavosculetan atau menggunakan insektisida sistemik misalnya formation 825
gr/ha atau dimetoat 1000 gram/ha.
d. Tikus(Rattus srgentiventer)
Serangan tikus di daerah-daerah tertentu terjadi hampir setiap tahun,
sehingga kemungkinan kerugian sangat besar. Pada daerah-daerah yang
berbatasan dengan sawah perlu adanya kerjasama dengan petani padi untuk
mengamati adanya serangan tikus pada tanaman padi. Segera setelah panen,
dilakukan gropyokan dan pengasapan pada lubang-lubang persembunyian
maupun pemasangan umpan beracun.
(Mubyarto, 1984).
e. Kutu babi(Saccharicoccus sacchari Cockerell)
Tanaman tebu dapat diserang oleh berbagai jenis organisme pengganggu
tanaman (OPT), salah satunya yaitu hama kutu babi (Saccharicoccus sacchari
Cockerell, Pseudococcidae, Hemiptera). Selain merusak tanaman tebu secara
langsung, hama ini dilaporkan juga berfungsi sebagai vektor penyakit virus pada
tanaman tebu (Beardsley, 1962). Kutu babi dapat hidup pada sisa tunggul
tebangan yang tidak mati. Kutu yang terbawa bibit dapat hidup dan berkembang
seiring tumbuhnya tanaman baru.

Universitas Sumatera Utara

f. Uret(Lepidiota stigma F.)
Hama uret adalah hama yang juga menyerang pada tanaman tebu. Gejala
serangan yang ditimbulkan oleh hama uret ini adalah daun tanaman layu lalu
menguning dan akhirnya kerig dan mati, akar tanaman habis karena hama ini
menyerang bagian akar, bagian pangkal batang terdapat luka bekas gesekan,
sekitar pangkal batang dan akar terdapat uret, dan pada serangan yang berat
tanaman mudah rebah (Mubyarto, 1984).
Penyakit Pada Tanaman Tebu(Saccharum officinarumL.)
Hampir semua penyakit tanaman dapat dikendalikan oleh jenis-jenis
fungisida yang ada. Beberapa penyakit pada tanaman tebu yang disebkan oleh
fungi adalah:
a. Noda Merah
Tahun 1983, penyakit noda merah (Red Leaf Spot) disebabkan oleh
cendawan Eriosphaeria sacchari dan penyakit ini terdapat baik pada bagian atas
maupun pada bagian bawah daun dari daun tebu, tetapi pada bagian bawah lebih
jernih warnanya. pada permulaan timbul bintik halus pada bagian bawah dari
daun, yang berwarna merah dan dikelilingi oleh suatu tepi yang kuning. Bintik
merah membesar, dan tetap dikelilingi oleh suatu tepi yang kuning. Noda-noda
berbentuk lingkaran, kadang-kadang tidak teratur, karena saling bersambung
(Handojo, 1982).

Gambar 1. Penyakit Noda merah
http://www.taniorganik.com (2013)
b. Pokkahbung
Penyakit pokahbung kepada beberapa gejala-gejala pertumbuhan yang luar
biasa dari tajuk daun tebu di Jawa. Penyakit pokahbung disebabkan oleh jamur
Fusarium moniliforme Sheld. Var. subglutinans Wr. Et Rkg. Untuk pertama kali
pokahbung dilaporkan di Jawa Barat pada tahun 1970-an. Menurut Handojo

Universitas Sumatera Utara

(1982) membagi gejala pokahbung menjadi tiga tingkat yang lazimnya disebut
pb1, pb2, dan pb3. Pada pb1 gejala hanya terdapat pada daun. Helaian daun yang
baru saja membuka pangkalnya tampak klorotis. Pada bagian ini kelak timbul titititik atau garis-garis merah.
Jika penyakit meluas kedalam, maka daun-daun yang belum membuka
akan terserang juga. Daun-daun ini akan rusak dan tidak dapat membuka dengan
sempurna. Pada pb2 jamur menyerang ujung batang yang masih muda, tetapi
tidak menyebabkan pembusukan. Pada batang yang masih muda ini terjadi garisgaris merah kecoklatan yang dapat meluas menjadi rongga-rongga yang dalam.
Rongga-rongga ini mempunyai sekat-sekat melintang hingga tampak seperti
tangga. Jika ujung batang dapat tumbuh terus akan terjadi hambatan (stagnasi)
pertumbuhan, dan pada bagian yang berongga tadi batang membengkok. Pada pb3
jamur menyerang titik tumbuh dan menyebabkan pembusukan. Busuknya tunas
ujung sering disertai dengan timbulnya bau tidak sedap. Serangan ini
menyebabkan matinya tanaman (Handojo, 1982).
Perkembangan penyakit pokahbung dapat berbeda antara daerah yang
berlainan. Dipasuruan pb3 berkembang dari pb2, dan pb2 timbul pada batang
yang sehat. Di Jawa Barat pb2 umumnya berkembang dari pb1. Dengan demikian
tidak selalu terdapat korelasi antara pb1 dan pb3 (Handojo, 1982). Pada tahun
1935 di Jawa Barat dilakukan penghitungan pokahbung. Diketahui bahwa busuk
ujung berkisar antara 10,6 dan 38%.
Kerugian untuk tiap 1 % adalah 0,35 dan 0,85 %. Penyakit karena jamur
pada umumnya, pokahbung dibantu oleh cuaca yang lembab. Penyakit dibantu
oleh hujan. Di Jawa biasanya penyakit meluas pada bulan Januari dan Februari.
Tebu yang subur cenderung lebih rentan ketimbang yang kurus. Penambahan
pupuk ammonium sulfat sampai batas tertentu menyebabkan bertambahnya pb 3
(Handojo, 1982).
Salah satu penerapan PHT adalah pengendalian biologi yang dilakukan
dengan pendekatan penggunaan agens biokontrol yang dianggap lebih ramah
lingkungan. Memanfaatkan mikroba berguna seperti jamur endofit merupakan
salah satu cara pengendalian yang berkembang pesat dan terus dikembangkan.
Penerapan dan aplikasi jamur endofit merupakan salah satu bentuk teknik

Universitas Sumatera Utara

pengendalian hayati yang saat ini mulai diterapkan.Beberapa tahun belakangan ini
telah dicoba pengendalian dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis.
Diantara jamur antagonis yang umum digunakan adalah Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. Kedua jamur ini diketahui dapat memarasit miselium jamur
Rhizoctonia dan Sclerotium, serta menghambat pertumbuhan banyak jamur seperti
Phytium, Fusarium dan mengurangi penyakit yang disebabkan oleh sebagian
patogen tersebut (Agrios, 1996)

Gambar 2. Penyakit Pokkahbung
http://biogen.litbang.pertanian.go.id (2013)
c. Penyakit mosaik
Tanaman tebu (S. officinarum) dapat terserang berbagai jenis penyakit
yang disebabkan oleh virus yang diantaranya adalah penyakit mosaik yang di
sebabkan oleh virus Sugarcane Mosaic Virus (SCMV) . Kehadiran virus ini dapat
menghambat fotosintesis, merusak tanaman dan menekan tingkat produktifitas
tanaman tebu (S. officinarum) hingga 0.2% sampai 50% tergantung seberapa berat
infeksi virus dan ketahanan varietas terhadap virus SCMV (Duriat, 1979)
SCMV dapat mempertahankan diri pada tanaman jagung. Namun setelah
itu tidak ada lagi laporan tentang SCMV di Indonesia hingga ditemukan di
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan walaupun serangannya tidak terlalu luas
karena dari sebuah areal pertanaman jagung yang diamati, hanya beberapa
tanaman saja yang menampakkan gejala serangan SCMV ini. SCMV ini telah
ditemukan di hampir semua wilayah tropis dan subtropis dimana tanaman jagung
ditanam berdekatan dengan pertanaman tebu (Semangun, 1991).

Universitas Sumatera Utara

Daun tanaman jagung yang terserang CSMV menampakkan gejala mosaik
dengan garis putus – putus berwarna hijau muda, hijau tua, dan kuning sepanjang
tulang daun. Infeksi yang terjadi lebih awal pada tanaman, periode inkubasi
penyakit lebih singkat dan persentase serangannya lebih tinggi dibanding dengan
tanaman yang terinfeksi lebih lambat. Begitupula dengan tinggi tanaman,
pertumbuhan tanaman semakin kerdil (Muis et al.,1998).

Gambar 3. Penyakit Mosaik
http://perkebunannews.com (2016)
d. Noda Kuning
Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Cercospora kopkei dan banyak
ditemukan di daerah dataran tinggi yang lembab dengan gejala sebagai berikut: 1)
pada daun muda timbul noda-noda kuning pucat, kemudian berubah menjadi
kuning terang segar. Warna ini bertahan sampai daun menua kemudian timbul
pula noda titik-titik atau garis-garis berwarna darah kotor yang tak teratur; 2) pada
cuaca lembab, bagian bawah daun tertutup lapisan putih kotor yang keluar dari
sulur-sulur cendawan; 3) helaian daun yang mati berwarna agak kehitaman.
Yellow spot muncul pada daun tebu karena suatu jamur yang disebut
dengan mycovellosiella koepki. Efek samping yang disebabkan adalah kadar
sukrosa dan hasil panen tanaman yang menurun. Penyebaran penyakit ini
disebabkan karena curah hujan dan kelembapan yang tinggi. Pada fase awal
penyakit ini berbentuk bercak dengan diameter 1-2 mm yang berwana kuning
kemerahan dan berwarna kabur 24 keabu-abuan pada bagian bawah daun.

Gambar 4. Penyakit Kuning
http://www.taniorganik.com (2013)

Universitas Sumatera Utara

e. Noda cincin
Penyakit ini disebabkan oleh tiga cendawan yaitu Heptosphaeria sacchari,
Helminthosporium sacchari dan Phyllsticta Saghina. Lesi penyakit noda cincin
pada mulanya terbentuk dari warna hijau tua menjadi kecoklatan. Lesi berbentuk
lonjong memanjang dengan lingkaran berwarna kuning. Lesi melebar dan bagian
tengah lesi biasanya menjadi kekuning-kuningan dengan tepi yang terlihat jelas
berwarna merah kecoklatan. Lesi dari penyakit noda cincin tersebut terutama
terjadi pada helai daun tetapi dapat terjadi pada pelepah daun dan memiliki ukuran
yang bervariasi yaitu dari 1-5 x 4-18 mm. Penyakit noda cincin pada umumnya
tidak hanya terjadi pada daun yang berumur tua, tetapi juga daun yang berumur
lebih muda.
Penyakit pada daun tebu ring spot muncul karena jamur leptosphaeria
sacchari . Media penyebaran penyakit ini berkembang baik pada keadaan lembab
dan hangat (musim panas). Mewabahnya penyakit ini semakin cepat dengan
bantuan hujan/angin. Secara fisik penyakit ini berwarna bronze brown dengan tepi
kekunigan saat dewasa (berbentuk seperti cincin). Dimulai dati bintik sampai
berbentuk oval bercak penyakit ini dapat berukuran 1-5 mm sampai 4-18 mm.
Ring spot merupakan penyakit yang dapat muncul pada daun tebu pada usia
dewasa atau dalam kondisi siap panen. Secara langsung penyakit ini tidak
menyebabkan hasil panen menurun.

Gambar 5. Penyakit Cincin
isroi.files.wordpress.com (2015)
f. Karat orange
Penyakit karat yang terjadi pada daun tebu ada dua jenis yaitu orange rust
dan common rust. Salah satu penyebaran penyakit karat tebu jenis common rust
yang disebabkan oleh jamur Puccinia Melanocephala yaitu Indonesia. Penyakit ini

Universitas Sumatera Utara

menampakkan gejala berupa bercak noda lebih utamanya pada bagian permukaan
bawah daun dengan panjang 2-20 mm dan lebar 1-3 mm. Daun yang terinfeksi
parah mengandung gabungan sejumlah bercak coklat yang menyebabkan area
nekrotik yang besar pada daun. Penyakit common rust memiliki ciri lesi yang
cukup mirip dengan orange rust dan kedua penyakit karat tersebut dapat
menimbulkan kesalahan pada saat diidentifikasi, tetapi common rust berwarna
coklat kemerah-merahan hingga coklat dan tidak pernah berwarna oranye
kecoklatan berupa bercak kecil berwarna kuning memanjang yang terlihat pada
kedua permukaan daun, kemudian menjadi semakin besar dan dapat menjadi
berwarna coklat kemerah-kemerahan.
Efek jika tanaman terjangkit penyakit ini adalah tanaman menjadi kerdil
dan terdapat bercak berwarna kuning. Khsusnya pada daun bercak tersebut
awalnya kecil dan kemudian melebar antara 2-10 mm atau bahkan 30 mm dengan
warna coklat sampai orange-coklat/merah-coklat.

Gambar 6. Penyakit Karat Oranye
image.slidesharecdn.com (2010)
g. Penyakit pembuluh
Penyakit pembuluh adalah salah satu penyakit yang juga sering menyerang
di areal pertanaman tebu (Saccharum officinarum L.). Penyakit ini adalah
penyakit yang menyerang pada pertumbuhan vegetatif tanaman. Pada tanaman
tebu (Saccharum officinarum L.) yang terserang oleh penyakit pembuluh ini maka
tanaman yang terserang akan memperlihatkan gejala pertumbuhan yang kurang
sempurna atau terhambat yang terutama dapat menyebabkan tanaman tebu
menjadi kerdil dibanding ukuran semula (Garudatp, 2009).
h. Penyakit blondok
Penyakit belondok merupakan salah satu jenis penyakit yang menyerang
pada areal pertanaman tebu (Saccharum officinarum L.). Penyakit blondok ini

Universitas Sumatera Utara

sendiri merupakan jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang memiliki ciri
– ciri apabila batang dari tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tersebut
dibelah maka akan terlihat pembuluh – pembuluh dari tanama tebu yang memiliki
warna kuning ketuaan sampai dengan merah ketuaan (Garudatp, 2009).
Salah satu penerapan PHT adalah pengendalian biologi yang dilakukan
dengan pendekatan penggunaan agens biokontrol yang dianggap lebih ramah
lingkungan. Pengendalian dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis.
Diantara jamur antagonis yang umum digunakan adalah Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. Kedua jamur ini diketahui dapat memarasit miselium jamur
Rhizoctonia dan Sclerotium, serta menghambat pertumbuhan banyak jamur seperti
Phytium, Fusarium dan mengurangi penyakit yang disebabkan oleh sebagian
patogen tersebut (Agrios, 1996)

Universitas Sumatera Utara

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN TEBU
Pengendalian Hama
Pengendalian hama pada tanaman tebu saat ini cenderung dilakukan secara
hayati, dengan memanfaatkan parasitoid. Pengendalian hayati memiliki kelebihan
dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain, karena tidak memiliki
pengaruh negatif terhadap produk pertanian yang dihasilkan (Sukmawaty et al.
2008).
Pengendalian penggerek batang bergaris juga telah dilakukan dengan
menggunakan perangkap berupa feromon. Musuh alami dari penggerek batang
bergaris antara lain adalah Pheidoe megacephala F. (Hymenoptera: Formicidae)
merupakan serangga predator yang utama (Goebel et al., 2001).
Pelepah daun tebu seringkali menjadi tempat berkembangnya beberapa
hama, seperti kutu perisai, kutu bulu putih, atau kutu babi. Klentek merupakan
kegiatan membuka batang tebu dari pelepah-pelepah yang terserang hama dengan
menggunakan gancu. Areal dengan tingkat serangan hama cukup besar menjadi
prioritas dalam kegiatan pengendalian ini. Kebutuhan tenaga kerja rata-rata pada
kegiatan ini yaitu 25 orang/ha/hari (Dhiyaudzdzikrillah, 2011).
Bahan kimia pestisida merupakan teknologi yang banyak digunakan dalam
pengendalian Organisme Penganggu Tanaman (OPT), senyawa senyawa pestisida
itu yang paling banyak diadopsi oleh para petani karena penggunaannya sangat
mudah, cepat dan memberikan hasil yang jelas (Suparyono, 2002). Akan tetapi,
jika aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa dampak pada pengguna, hama
sasaran, maupun lingkungan yang sangat berbahaya (Wudianto, 1998).
Pengendalian Penyakit
pengendalian dengan pemakaian zat kimia. Tergantung dari macamnya
patogen, maka senyawa kimia dapat digolongkan kedalam fungisida, bakterisida
atau virisida. Hampir semua penyakit tanaman dapat dikendalikan oleh jenis-jenis
fungisida yang ada (Haryono, 2000).
Salah satu penerapan PHT adalah pengendalian biologi yang dilakukan
dengan pendekatan penggunaan agens biokontrol yang dianggap lebih ramah
lingkungan.Beberapa tahun belakangan ini telah dicoba pengendalian dengan
memanfaatkan mikroorganisme antagonis. Diantara jamur antagonis yang umum

Universitas Sumatera Utara

digunakan adalah Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. Kedua jamur ini diketahui
dapat memarasit miselium jamur Rhizoctonia dan Sclerotium, serta menghambat
pertumbuhan banyak jamur seperti Phytium, Fusarium dan mengurangi penyakit
yang disebabkan oleh sebagian patogen tersebut (Agrios, 1996)

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Tanaman tebu termasuk salah satu anggota dari familia Gramineae, sub
familia Andropogonae
2. Tanaman tebu terbagi menjadi beberapa bagian utama, yaitu akar, batang
daun, dan bunga. Masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri
3. Beberapa macam hama pada tanaman tebu adalah penggerek pucuk,
penggerek batang, kutu bulu putih, tikus, uret dan babi hutan. Uret dan
kutu bulu putih merupakan hama utama bagi tanaman tebu di lahan kering
4. Beberapa penyakit pada tanaman tebu adalah nodamerah, noda kuning,
noda cincin, pokkabungm mosai, penyakit pembuluuh, penyakit blondok
dan lain – lain
5. Pengendalian dalam mengendalikan hama dan penyakit tebu dapat
dilakukan dengan cara kimia, hayati dan biologi
Saran
Untuk mengetahui jenis dan macam – macam keanekaragaman hama dan
penyakit yang ada di areal pertanaman tebu maka dibutuhkan penelitian lebih
lanjut agar data yang diperoleh lebih tepat dan akurat

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan Munzir Busnia).
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Anonim, 2005a. Swasembada Gula Nasional. Bali post. Jakarta. diakses tanggal
21 Oktober 2008. www.google.com.
Anonim, 2008a. Akselerasi Meningkatkan Produksi Dan Produktivitas Tebu.
www.google.com . Diakses tanggal 21 Oktober 2008.
Anonim, 2005b. Pengenalan Dan Pengendalian Hama Penting Pada Perkebunan
Tebu. Proyek pengembangan tebu, Disbun Jatim. Diakses tanggal 25
Maret 2009.
Asil, B., H, P, Situmeang. dan Irsal. 2015. Pengaruh Konsentrasi Zat Pengatur
Tumbuh dan Sumber Bud Chips Terhadap Pertumbuhan Bibit Tebu
(Saccharum officinarum) di Pottray.FP USU. Medan.
Bakti, D. 1991. Kajian Aspek Bionomi Apanteles flafipes (Cam.) Parasitoid
Penggerek Batang Tebu (Chilo spp.). Tesis Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Beardsley, J. W. 1962. Notes on the Biology of the Pink Sugar Cane Mealybug,
Saccharicoccus
sacchari
(Cockerell),
in
Hawaii
(Homoptera:Pseudococcidae).
Tersedia
dalam
https://scholarspace.manoa.hawaii.edu/handle/10125/10849.
Diakses
pada tanggal 19 April 2011.
Dhiyaudzdzikrillah. 2011. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum)
Lahan Kering di PT Gula Putih Mataram, Lampung, Dengan Aspek
Khusus Tebang, Muat, dan Angkut. Departemen Agronomi dan
Hortikultura. IPB. Bogor.
Duriat, A.S. 1997. Identifikasi gejala virus pada Gerkin cv. Calypso. hlm. 512516. Dalam Peran Fitopatologi dalam Pembangunan Pertanian Rakyat di
Kawasan Timur Indonesia. Risalah Kongres Nasional XIII dan Seminar
Ilmiah PFI di Mataram
Ferry, E, T, S., R, Rikardo dan Meiriani. 2015. Respons Pertumbuhan Bibit Bud
Chips Tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap Dosis dan Frekuensi
Pemberian Pupuk N, P dan K pada Wadah Pembibitan yang Berbeda. FP
USU. Medan.
Garudatp. 2009. Budidaya tanaman tebu. http://www.wordpress.com diakses pada
03 februari 2009.

Universitas Sumatera Utara

Goebel, R. E. Tabone, J. Rochat, E. Fernandez. 2001. Biological Control of the
Sugarcane Stem Borer Chilo sacchariphagus (Lep: Pyralidae) in Reunion
Island : Current and Future Studies on The Use of Trichogramma spp.
Proc. S. Afr. Sug. Technol. Ass. 75: 171-174.
Handojo, H. 1982. Penyakit tebu di Indonesia. BP3G Pasuruan. 189 hal.
Haryono, E, 2000, Sumberdaya Alam Di Kawasan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Berbatuan Karbonat, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem
Pantai Dan Pulau-Pulau Kecil Dalam Konteks Negara Kepulauan, 2
September 2000, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta
Herlinda S, Waluyo, SP Estuningsih, Chandra Irsan. 2008. Perbandingan
Keanekaragaman Spesies dan Kelimpahan Arthropoda Predator
Penghuni Tanah di Sawah Lebak yang Diaplikasi dan Tanpa Aplikasi
Insektisida. J. Entomol, Ind, 5(2):96−107.
Ika R S dan Soemarno. 1991. Budidaya Berbagai Jenis Tanaman Tropika.
Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya : Malang.
James, G. 2004. Sugarcane. Blackwell Publishing Company. Oxford OX4 2Dq,
UK. 216 hlm.
Kalshoven , L, G, E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Revised And
Translated by Van Der Laan PA, University of Amsterdam With The
Assistance Of G. H. L. Rothschild, CSIRO, Canberra. P.T. Ichtiar BaruVan Hoeve. Jakarta. 701 hlm
Kartohardjono A. 1992. Preferensi Predator Paederus sp. terhadap Beberapa Jenis
Wereng pada Tanaman Padi. hlm. 728- 732. Risalah Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Meidalima, D., S. Herlinda, Y. Pujiastuti, C. Irsan. 2012. Pemanfaatan Parasitoid
Telur, Larva, dan Pupa untuk Mengendalikan Penggerek Batang Tebu.
Universitas Sriwijaya. Palembang.
.
Miller, J.D. and R.A. Gilbert. 2006. Sugarcane Botany: A Brief View. Agronomy
Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food
and Agricultural Sciences, University of Florida. 6 hlm.
Mubyarto. 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. Yogyakarta: BPFE.
Muid, A, S. Kontong dan W, Wakman. 1999. Respon beberapa genotipe terhadap
penyakit sugarcane mosaic virus (SCMV) di rumah kaca. Makalah
disajikan pada seminar ilmiah dan pertemuan tahunan XII PEI, dsn HPTI
Sulawesi Selatan pada tanggal 4 desember 1999 di Makasar.

Universitas Sumatera Utara

Putri, R.S.J., T. Nurhidayati., W. Budi. 2010. Uji Ketahanan Tanaman Tebu Hasil
Persilangan (Saccharum spp. Hybrid) Pada Kondisi Lingkungan
Cekaman Garam (NaCl). Institut Sepuluh Nopember. Surabaya, hlm 3.
Rauf, A.W., Syamsuddin, T., Sri, R.S. 2000. Peranan Pupuk NPK Pada Tanaman
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan. Irian Jaya, hlm 3-4.
Semangun, H. 1991. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Setyamidjaja, D dan H. Azharni. 1992. Tebu Bercocok Tanam dan Pasca Panen.
CV. Yasaguna. Jakarta. 152 hal.
Sinaga, S. 2010. Potensi dan Pengembangan Objek Wisata Di Kabupaten
Tapanuli Tengah. Kertas Karya. Program DIII Pariwisata. Universitas
Sumatera Utara. Akses 26 November 2013
Sudiatso, S. 1982. Bertanam Tebu. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sudiatso, S. 1999. Bertanam Tebu. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sukmawaty P, Herlinda S, Pujiastuti Y. 2008. Jenis-jenis Parasitoid Telur
Eurydema pulchrum (WEST.) (Hemiptera: Pentatomidae) pada Tanaman
Brassicae. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Organisme
Pengganggu Tumbuhan dan Sumber Daya Hayati yang Berwawasan
Lingkungan dalam Menyikapi Dampak Pemanasan Global, Palembang
18 Oktober 2008.
Supriyadi, A. 2002. Rendemen Tebu : Liki-Liku Permasalahannya. Kanisius,
Yogyakarta.
Sutardjo, E. R. M. 1994. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara. Jakarta. 76 hal.
Sutejo B. 2008. Antisipasi Perkembangan Hama Penggerek Pucuk dan Penggerek
Batang di Perkebunan Tebu Akibat Perubahan Iklim di Unit Usaha Cinta
Manis PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Kab. Ogan Ilir Sumatera
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Organisme
Pengganggu Tumbuhan dan Sumber Daya Hayati yang Berwawasan
Lingkungan dalam Menyikapi Dampak Pemanasan Global, Palembang
18 Oktober 2008.
Syahrial, O., J, Simatupang dan F, Zahara. 2015. Pengaruh Ukuran Pupa Beberapa
Penggerek Batang Tebu terhadap Jumlah PopulasiTetrastichus sp.
(Hymenoptera : Eulophidae) di Laboratorium. FP USU. Medan.

Universitas Sumatera Utara

TIM PENULIS. PT. Perkebunan Nusantara XI. 2010. Panduan Teknik Budidaya
Tebu. PT Perkebunan Nusantara XI. Surabaya
Tjokroadikoesoemo, P. S. dan A. S. Baktir, 2005. Ekstraksi Nira Tebu. (Skripsi).
Yayasan Pembangunan Indonesia Sekolah Tinggi Teknologi Industri.
Surabaya
Van Emden HF. 1991. Plant diversity and natural enemy efficiency in
agroecosystems, p.63−80. In M. Mackauer, L.E. Ehler & J. Roland (eds.)
Critical issues in Biological Control. Athenaeum Press Ltd. Great Britain.
Winasa IW. 1992. Kajian beberapa Teknik Pengendalian Penggerek Padi Putih,
Scriphophaga innotata (Wlk,) (Lepidoptera : Pyralidae). Makalah
disajikan pada Seminar Hasil Penelitian Pendukung PHT; 7-8 September
1992. Bogor. 21h.
Wudianto, R., 1998. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta.

i

Universitas Sumatera Utara