Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan Agama Panyabungan Kota Kabupaten Mandailing Natal)
BAB II
PERCERAIAN MENURUT SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A. Perceraian Menurut Sistem Hukum Islam
1. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada
perceraian
tanpa
adanya
perkawinan
terlebih
dahulu.Perkawinan
merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan
bersuami istri tersebut.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan
tanggung jawab bagi suami istri agar perkawinan berjalan dengan sakinah,
mawaddah dan warahmah. Bila ada diantara suami istri berbuat diluar hak
dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara
mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam
suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam
memberikan jalan keluar berupa perceraian.Meskipun perceraian itu
merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci
perceraian tersebut.
Apabila ditelusuri sumber Hukum Islam, Al-Quran (QS. Al-Baqarah
[2]: 227-237, QS.AN-Nisa’ [4]: 19,34,35,128,130, QS.Al-Ahzab [33]:
28,29,39, QS.Al-Thalaq [65]: 1,2,4,6,7) dan Sunnah Shahih, yang
mengatur tentang thalaq dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka
dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian sebagai berikut :
a. Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir
untuk menyelamatkan suami istri dan anak-anak dalam kondisi
rumah tangga yang tidak mungkin dipertahankan lagi.
b. Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat
dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang
akan timbul akibat perceraian.
c. Meskipun perceraian diperbolehkan dalam kondisi darurat, namun
perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan (baik).
Mengenai ihsan mencakup asas keadilan, persamaan dan
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan
atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum.
d. Perceraian merupakan perbuatan hukum yang tidak boleh
dilakukan
semena-mena
untuk
menjaga
sakralitas
institusi
perkawinan.
Berdasarkan beberapa pokok pikiran tersebut, maka yang menjadi
nilai-nilai mutlak dan tidak mungkin diubah dalam ajaran Islam tentang
perceraian (nilai-nilai kategori Syari’ah) adalah kebolehan perceraian
dalam kondisi tertentu, sedangkan tata cara pelaksanaannya secara “ihsan’
adalah bersifat umum dan dinamis serta berkembang sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan masyarakat. Sebagai contoh, dalam hadis riwayat
Ibnu Abbas r.a disebutkan bahwa thalaq pada masa Rasulullah SAW dan
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa ke khalifahan
Umar ibn Al-Khaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu,
setelah itu disaat masyarakat mulai mempermain-main kan thalaq, maka
Khalifah Umar ibn Al-Khaththab menetapkan thalaq yang dijatuhkan tiga
kali sekaligus dihitung tiga. 24
Pada masa lalu, sebagian ulama berpendapat bahwa hak thalaq
merupakan hak mutlak suami sehingga suami dapat menggunakan haknya
tersebut kapan, dimana dan dengan alasan apapun.Akibat dari persepsi
tersebut banyak terjadi perceraian yang merugikan pihak perempuan dan
anak-anak selaku pihak yang paling menderita akibat perceraian.Apabila
dikaji
kembali
dasar-dasar hukum
Al-Quran
dan
Sunnah
yang
menempatkan hak thalaq pada suami, ternyata tidak ada suatu ayat atau
hadist yang secara tegas mengungkapkan hal itu.Pemberian hak thalaq
kepada suami adalah berbentuk fiqih atau pemahaman dari tekstual ayat
dan praktek pada Masa Nabi.
Pihak yang patut dan layak menilai kondisi rumah tangga apakah
sudah sampai ketahap darurat atau belum yaitu pihak yang netral, pihak
yang dapat berlaku adil yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap
salah satu pihak baik kepada suami ataupun istri.Menurut ketentuan
24
Muhammad Ismail Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Bandung : Dahlan, 2009.), jil. 3, hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada saat ini bahwa, perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. 25 Oleh sebab itu, perceraian suami istri yang dilakukan
diluar pengadilan, dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di
Indonesia dipandang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum maka
perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan Agama dari kaca mata hukum
Islam yang belaku saat ini dipandang masih terikat suami istri.
2. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian
Menurut Hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena
beberapa sebab, antara lain karena adanya thalaq dari suami, karena
adanya putusan hakim, dan karena putus dengan sendirinya (kematian).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian adalah
sebagai berikut :
a. Perceraian karena Thalaq
Kata thalaq diambil dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan
atau menaggalkan 26 atau secara harfiah berarti membebaskan seekor
binatang.Ia dipergunakan dalam Syari’ah untuk menunjukkan cara yang
sah
dalam
mengakhiri
sebuah
perkawinan.
Meskipun
Islam
memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat
baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang
mendesak. 27
Menurut Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa thalaq itu dapat
dipahami sebagai berikut : “Thalaq menurut istilah Syarak ialah
melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.28
Maksudnya ialah bahwa perkawinan itu akan putus dan berakhirnya
hubungan suami istri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan
thalaq kepada istrinya.
25
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 115). 1991.
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hal. 9.
27
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’ah Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal.80.
28
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Ahli Bahasa Oleh Moh. Thalib.(Bandung: Al-Ma’Arif, 1998), Jilid,
8, hal.9.
26
Universitas Sumatera Utara
Maka kesimpulan dari pengertian thalaq baik secara bahasa
maupun istilah adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan perkawinan
antara suami dan istri dengan ucapan atau dengan tata cara yang
diucapkan.
Hal-hal yang menyebabkan sumi mempunyai wewenang dalam
menjatuhkan thalaq pada istrinya adalah karena suami diberikan beban
membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah istri dan anakanaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas
istrinya selama ia menjalani masa ‘iddah.
b. Perceraian karena Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-tsaub” yang berarti melepaskan
atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah
pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya. 29Hal ini berdasarkan
Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya
“dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercambur dengan
istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka.Allah SWT mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsu mu, karena itu Allah SWT mengampuni kamu dan
memberi maaf padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah
apa yang telah di tetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.Demikian Allah
menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.”
Sama dengan hak yang diberikan kepada suami untuk menceraikan
istrinya, maka si istri juga dapat menuntut cerai jika ada cukup alasan
baginya.Jika suami berlaku kejam, maka istri dapat meminta cerai
(khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak
patut baginya.
29
Abdur Rahman, Op.Cit, hal.112.
Universitas Sumatera Utara
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang
berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan
kesediaan istri dengan membayar uang ‘iwadh atau uang pengganti
kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila
terjadi cerai dengan carakhulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk
rujuk kepada istrinya.Dari tinjauan sigkat, khulu’ mengandung
pengertian “penggantungan” danganti rugi oleh pihak istri. Perceraian
akan terjadi bila istri telah membayar sejumlah yang disyaratkan
suami. 30
Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba
‘in. maka bila suami telah melakukan khulu’ terhadap istri, suami tidak
berhak untuk rujuk kembali kepada istri sekalipun istri rela menerima
kembali uang iwadh yang telah dibayarkannya.Jika istri bersedia
kembali bekas suaminya tersebut rujuk kepadanya, maka suami harus
melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan
syaratnya.
c. Perceraian karena Fasakh
Fasakh
menurut
memutuskan.Adapun
bahasa
pengertian
berarti
fasakh
memisahkan
menurut
istilah
atau
adalah
memutuskan akad nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang
menghalangi kelestarian hubungan suami istri. 31Thalaq adalah hak
suami, khulu’ merupakan hak istri, sementara fasakh merupakan hak
bagi keduanya.Bila sebab fasakh ada pada istri maka hak fasakh ada
pada suami, dan begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses
peradilan.
Hakimlah
yang
memberikan
keputusan
tentang
berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak
penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti
30
Dasrizal Dahlan. Putusanya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Perdata
Barat (BW): Tinjauan Hukum Islam. (Jakarta: PT Kartika Insan Lestari, 2003), hal. 201.
31
Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian Dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal.
136.
Universitas Sumatera Utara
yang lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau istri merasa
dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak
yang sudah ditentukan agama sebagai suami atau istri.Akibatnya salah
seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan
karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin
untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga istri, namun
dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan
oleh istri.Barangkali karena suami lebih banyak menggunakan hak
thalaq yang ditentukan agama.
d. Perceraian karena Li’an
Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara
secara terminology adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika
menuduh istrinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan
bahwa ia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada
sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat
atau kutukan Allah SWT jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami
melakukan li’an kepada istrinya, sedangkan istrinya tidak menerima,
maka istri boleh melakukan sumpahli’an juga terhadap suaminya.
Sehingga dengan demikian dipahami bahwa suami istri saling
menyatakan bersedia dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami
istri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang
dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak
bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak
mengakui anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya sebagai
anaknya sendiri dan pihak istri bersikeras pula menolak tuduhan suami
sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.
e. Perceraian karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami
dan istri. Bila ini terjadi maka diadakanlah
dua utusan sebagai
Universitas Sumatera Utara
pendamai antara pihak suami dan istri sebagai upaya mendidik menuju
perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT Q.S.An-Nisa: ayat 35 yang artinya “dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan.” Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri
itu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan Maha Mengenal.
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan
rumah tangga suami istri terancam karena pertengkaran yang tak
mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah
pihak.Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka
persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk member keputusan
setelah pihak-pihak pendamai tidak berhasil mendamaikannya.
f. Perceraian karena Ila’
Ila’ adalah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.
Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti
khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk
tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu
istri tidak di-thalaqataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini
berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak istri karena
keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran. Surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat
diperoleh ketentuan bahwa :
1. Suami yang meng-ila’ istrinya batasnya paling lama hanya
empat bulan.
2. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup
sebgai suami istri atau menthalaq nya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan
istrinya, hendaklah ia menembus sumpahnya dengan denda atau kafarah.
Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam
Hukum Islam. Denda sumpah umum ini di atur dalam Al-Quran Surah Al-
Universitas Sumatera Utara
Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur
secara berurutan, yaitu :
1. Memberi makan 10 orang miskin menurut makan yang wajar
yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
2. Memberikan pakaian kepada seluruh orang miskin, atau
3. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga
maka
4.
Hendak lah kamu berpuasa tiga hari
g. Perceraian karena Zihar
Salah satu perceraian antara suami istri yang merupakan wewenang
hakim untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada
istrinya bahwa istrinya itu disamakan seperti ibunya sendiri.Zihar adalah
salah satu bentuk perceraian di zaman zahiliah, bila suami tidak menyukai
istrinya lagi dan juga tidak menginginkan istrinya itu kawin dengan lakilaki lain sekiranya istrinya telah diceraikannya.Dengan datangnya aturan
Islam Zihar itu tidak lagi dibenarkan, karena menzihar istri dengan
menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan
mungkar.Suami yang terlanjur men-zihar istrinya agar kembali menarik
zihar nya dengan mewajibkan membayar kafarat (denda) degan
memerdekakan seorang budak sebelum melajukan hubungan suami istri.
Jika suami tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa 2
bulan berturut-turut, dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia
member makan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
Q.S Al-Mujadalah ayat 3 dan 4 : [3] orang-orang mengzihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. [4] Barang siapa yang tidak
mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturutturut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib
atasnya) memberi makan 60 orang miskin.Demikianlah supaya kamu
Universitas Sumatera Utara
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Dan itulah hukum-hukum Allah dan
bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Sekiranya suami tidak ingin kembali kepada istrinya, agar istrinya
tidak terkatung-katung maka suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk
menentukan apakah ia akan kembali kepada istrinya dengan membayar
kafarat ataukah menceraikan istrinya, maka dalam hal ini istrinya berhak
mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Dengan demikian hakim
dapat mengabulkan gugatan istri bila terbukti kebenarannya.
B. Perceraian Menurut Sistem Hukum Adat
1. Pengeritan Perceraian
Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar
perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan selama-lamanya
atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai kaken-kaken, ninen-ninen
artinya sampai si suami menjadi kakek dan istri menjadi nenek yaitu orang
yang sudah bercucu dan bercicit. 32 Namun idealisme yang demikian ini di
dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujudkan, perceraian atau
putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat dan putusan
hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena di dorong oleh
kepentingan kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan
timbulnya perceraian oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah
satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan
membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si
suami). 33
Mahkamah Agung berpendapat bahwa menurut hukmu adat pada
umumnya dan menurut hukum adat setempat (Batak-Karo), perceraian dari
perkawinan diperbolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup
bersama secara rukun (onheelbare tweespalt) dan boleh karena kelakuan
yang tidak baik dari pihak suami.Menurut Mahkamah Agung maka pihak
istri dapat meminta perceraian apabila terdapat alasan yang terakhir ini. 34
3232
Djodjodigoeno, Perceraian Menurut Hukum Adat, 1957. hal. 56.
Payug Bangun, Hukum Adat Batak, 1976. hal 105.
34
Keputusan Mahkamah Agung No. 438K/Sip/1959 6 Januari dan No. 75K/Sip/1963
33
Universitas Sumatera Utara
Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa perceraian dalam
sistem perkawinan adat dapat terjadi sesuai dengan alasan-alasan yang
komplit.Karena perceraian dalam perkawinan banyak terjadi.Sehingga
Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi pihak istri
berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang tidak
baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh
dan seterusnya.Masyarakat adat umumnya memandang perceraian sebagai
sesuatu yang wajib dihindari.Perceraian menurut adat merupakan
problema social dan yuridis.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
dan dalam melakukan perceraian harus didasari dengan beberapa alasan,
antara lain :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lainnya selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang
sah atau karena hal yang lain diluar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d) Tidak memberi nafkah, penganiayaan, cacat tubuh atau
kesehatan maupun perselisihan
2. Akibat Hukum Perceraian
Perceraian atau putusnya perkawinan mempunyai konsekuensi yuridis baik
menyangkut hubungan suami istri, keberadaan anak, dan harta benda
perkawinan.Adapun akibat hukumnya dapat dilihat dengan mengkoreksikan
dengan penyebab putusnya perkawinan.
a) Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian mempunyai akibat adanya hak
saling mewarisi dari suami dan istri yang masih hidup.Kecuali jika ada unsur yang
menjadikan tidak patut menjadi ahli waris (onwarding).
Universitas Sumatera Utara
Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminnya, iddahnya adalah empat
bulan sepuluh hari dari sepeninggal suami, jika hamil jangka waktu untuk
menikah lagi (iddahnya) sampai melahirkan. Ini juga di pertegas oleh KHI, akan
tetapi dalam KHI untuk iddah bagi wanita yang di tinggal suaminya diperjelas
dengan menggunakan ukuran hari yaitu 130 hari.
b) Perceraian
Akibat hukum terjadinya perceraian terhadap hubungan suami istri yang
pokok adalah persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin
kembali sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan. Dalam perceraian perkawinan itu membolehkan rujuk menurut
ketentuan hukum agama islam, usaha rujuk seorang suami terhadap istrinya dapat
dialkukan, akan tetapi pasal 41 ayat (3) Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Penagdilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memeberi
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada bekas istri 35.
c) Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan yang didasarkan putusan pengadilan termasuk dalam
kategori talak ba’in sughra.Bilamana li’an terjadi maka perkawianan itu putus
untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan
suaminya terbatas dari kewajiban memberi nafkah 36.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian juga diatur dalam Pasal
156 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena
perceraian, yaitu:
1) Terhadap anak-anak
2) Terhadap harta bersama
3) Terhadap mut’ah (nikah kontrak)
Ada tujuan akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anaknya,
yaitu sebagai berikut:
1) Anak yang belum mumayyiz(belum dewasa) berhak mendapatkan
hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya diganti oleh:
a) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
35
(Latif, 1985). Hal 114-115
Pasal 162 KHI
36
Universitas Sumatera Utara
b) Ayah
c) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas ayah
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ibu
f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping ayah
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekarang-sekarang samapai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan agama memberikan keputusannya berdasarkan angka 1,2,3 dan
4
6) Pengadilan
dapat
pula
dengan
mengingat
kemampuan
ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya 37.
Dalam pasal 41 undang-udang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan tiga akibat
putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut:
1) Bapak ibu atau bapak tetap berkewajiaban memelihara dan mendidik anakanaknya semata-mata berdasarkan kepentingan, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan dapat memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan tidak
dapat memenuhi kewajiabn tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
37
Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991
Universitas Sumatera Utara
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Karena
perceraian, perkawinan dibubarkan sehingga gugurlah semua akiabt dari
perkawinan
itu.
Jika
disitu
ada
kebersamaan
harta
perkawinan,
kebersamanitupun bubar. Tentu saja demikian juga dengan kewajiban suami
istri untuk tinggal bersama dalam satu rumah 38.
Harta bersama adalah harta yang diperboleh selama perkawinan.Harta
bersama dibagi antara berkas suami dengan bekas istri. Hak suami adalah
sebagian dari harta bersama, begitu juga istri mendapat bagian yang sama besar
dengan suami, yaitu separo harta bersama. 39
Dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan akibat putusnya
perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama sebagai berikut:
1) Psal 35 ayat (1) undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974: “harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (kecuali)
hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami istri/ketentuan ayat
2”
2) Pasal 36 ayat (1) undang-undang No 1 tahun 1974: “mengenai harta bersama,
suami istri dapat bertindak atau persetujuan kedua belah pihak sedang
menganai harta bawaan masing-masing suami istri
mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum untuk harta bendanya
tersebut.
3) Pasal 37 undang-undang No 1 tahun 1974: “ bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing” yang
dimaksud hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum lainnya.
Berkenaan dengan mut’ah yang menjadi kewajiaban bagi setiap suami yang
menjatuhkan talak kepada isterinya, perlu diikuti rambu-rambu perundangundangan yang telah menentukan bahwa:
1) Mut’ah wajib diberikan oleh suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’daul dhukul
38
39
Vollman, 1992: hal 114
Salim,2001:hal 84
Universitas Sumatera Utara
b. Perceraian itu atas kehendak suami 40
2) Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat
3) Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatuhan dan kemampuan suami 41
C. Perceraian Menurut Sistem Hukum Nasional (UU No 1 Tahun 1994
tentang perkawinan)
1. Pengetian Perceraian
Perceraian adalah berakhirnys perkawinan yang telah dibina oleh pasangan
suami istri disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan
keadilan.Perceraian juga adalah merupakan cerai hidup antara suami istri
sebagai
akibat
masing.Dalam
dari
hal
kegagalan
ini
mereka
perceraian
menjalankan
dilihat
sebagai
peran
akhir
masing-
dari
suatu
ketidakstabilan perkawinan diaman pasangan suami istri kemudian hidup
terpisah secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.Perceraian merupakan
terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan
unutk
saling
meninggalkan
sehingga
mereka
berhenti
melakukan
kewajibannya sebagai suami istri.Sehingga mereka berhenti melakukan
kewajibannya sebagai suami istri. Sedangkan pasca perceraian merupakan
suatu keadaan stelah putusnya hunbungan perkawinan antara suami sesuai
dengan kesepakatan bersama, tetapi di dalam undang-undang No 1 tahun 1974
tetang perkawinan tidak memberikan defenisi mengenai perceraian secara
khusus. Pasal 39 undang-undang No 1 tahun 1974 mengenai perkawinan serta
penejlasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan
apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan.
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pada dasarnya mempersulit
terjadinya perceraian. Alasan undang-undang mempersulit adanya perceraian
ialah:
a. Perkawianan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian
adalah perbuatan yang dibenci oleh Tuhan
b. Untuk membatasi kewenangan-kewenangan suami terhadap istri
c. Untuk mengangkat derajat dan martabat istri (wanita), sehingga
setaraf dengan derajat dan martabat suami (pria) 42
40
41
Pasal 158 KHI
Pasal 16 KHI
Universitas Sumatera Utara
2. Alasan-Alasan Perceraian
Walaupun perceraian merupakan perbuatan tercela dan di benci oelh
Tuhan, tetapi suami istri boleh melakukannya apabila perkawinan mereka sudah
tidak dapat dipertahankan lagi.Namun demikian, perceraian harus mempunyai
alasan-alasan seperti yang diatur dalam undung-undang, bahwa antara suami dan
istri sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri.
Al-quran dalam kasus perceraian tidak menemukan secara jelas keharusan
suami mengemukakan alasan-alasan perceraian.Hukum Islam juuga tidak
menemukan secara limitatid alasan perceraian tersebut.Seorang suami dapat saja
metalak istrinya karena tidak mencintai lagi, begitu pula istri juga dapat meminta
suami untuk tidak mencintainya lagi. 43
Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai, ini:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar
kemampuan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak yang lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menajalankan kewajibannya sebagai suami istri
6. Anatara
suami
dan
istri
terus-menerus
terjadi
perselisihan
dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Pada pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan,
kalimat tersebtu cukup gambling “di depan siding pengadilan” bukan “dengan
42
43
Muhammda 1989, hal 109
Rofiq,2000, hal 43
Universitas Sumatera Utara
putusan pengadilan”. Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur talak pada
perkawinan menurut agama islam. Dan hal ini besesuaian dengan prinsip yang
tercantum dalam Undang-undang Perkawinan pada pasal 1 angka 4 huruf (e)
sebagai berikut “karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukur terjadinya perceraian”.
Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi salah satu dari
alasan perceraian.Perceraian harus dengan gugatan ke Pengadilan. Bagi yang
beragam islam, perceraian diajukan ke Pengadilan Agama adalah cerai talak.
Gugatan perceraian bagi yang beragama Islam ke Pengadilan Agama sedangkan
yang bukan beragama Islam diaajukan kepada Pengadilan Negeri.
Ketetapan atau peraturan yang mengatur tentang alasan-alasan percerain di
atas menunjukan bahwa asas yang dipakai dalam huku perkawinan yang berlaku
di Indonesia adalah mempersulit terjadinya perceraian. Maka jelaslah apa yang
bertualang dalam Undang-undang perkawianan No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang pada prinsipnya mempersukut serta melanggar terjadinya
perceraian.
Universitas Sumatera Utara
PERCERAIAN MENURUT SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A. Perceraian Menurut Sistem Hukum Islam
1. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada
perceraian
tanpa
adanya
perkawinan
terlebih
dahulu.Perkawinan
merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan
bersuami istri tersebut.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan
tanggung jawab bagi suami istri agar perkawinan berjalan dengan sakinah,
mawaddah dan warahmah. Bila ada diantara suami istri berbuat diluar hak
dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara
mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam
suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam
memberikan jalan keluar berupa perceraian.Meskipun perceraian itu
merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci
perceraian tersebut.
Apabila ditelusuri sumber Hukum Islam, Al-Quran (QS. Al-Baqarah
[2]: 227-237, QS.AN-Nisa’ [4]: 19,34,35,128,130, QS.Al-Ahzab [33]:
28,29,39, QS.Al-Thalaq [65]: 1,2,4,6,7) dan Sunnah Shahih, yang
mengatur tentang thalaq dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka
dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian sebagai berikut :
a. Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir
untuk menyelamatkan suami istri dan anak-anak dalam kondisi
rumah tangga yang tidak mungkin dipertahankan lagi.
b. Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat
dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang
akan timbul akibat perceraian.
c. Meskipun perceraian diperbolehkan dalam kondisi darurat, namun
perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan (baik).
Mengenai ihsan mencakup asas keadilan, persamaan dan
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan
atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum.
d. Perceraian merupakan perbuatan hukum yang tidak boleh
dilakukan
semena-mena
untuk
menjaga
sakralitas
institusi
perkawinan.
Berdasarkan beberapa pokok pikiran tersebut, maka yang menjadi
nilai-nilai mutlak dan tidak mungkin diubah dalam ajaran Islam tentang
perceraian (nilai-nilai kategori Syari’ah) adalah kebolehan perceraian
dalam kondisi tertentu, sedangkan tata cara pelaksanaannya secara “ihsan’
adalah bersifat umum dan dinamis serta berkembang sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan masyarakat. Sebagai contoh, dalam hadis riwayat
Ibnu Abbas r.a disebutkan bahwa thalaq pada masa Rasulullah SAW dan
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa ke khalifahan
Umar ibn Al-Khaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu,
setelah itu disaat masyarakat mulai mempermain-main kan thalaq, maka
Khalifah Umar ibn Al-Khaththab menetapkan thalaq yang dijatuhkan tiga
kali sekaligus dihitung tiga. 24
Pada masa lalu, sebagian ulama berpendapat bahwa hak thalaq
merupakan hak mutlak suami sehingga suami dapat menggunakan haknya
tersebut kapan, dimana dan dengan alasan apapun.Akibat dari persepsi
tersebut banyak terjadi perceraian yang merugikan pihak perempuan dan
anak-anak selaku pihak yang paling menderita akibat perceraian.Apabila
dikaji
kembali
dasar-dasar hukum
Al-Quran
dan
Sunnah
yang
menempatkan hak thalaq pada suami, ternyata tidak ada suatu ayat atau
hadist yang secara tegas mengungkapkan hal itu.Pemberian hak thalaq
kepada suami adalah berbentuk fiqih atau pemahaman dari tekstual ayat
dan praktek pada Masa Nabi.
Pihak yang patut dan layak menilai kondisi rumah tangga apakah
sudah sampai ketahap darurat atau belum yaitu pihak yang netral, pihak
yang dapat berlaku adil yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap
salah satu pihak baik kepada suami ataupun istri.Menurut ketentuan
24
Muhammad Ismail Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Bandung : Dahlan, 2009.), jil. 3, hal. 171.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada saat ini bahwa, perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. 25 Oleh sebab itu, perceraian suami istri yang dilakukan
diluar pengadilan, dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di
Indonesia dipandang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum maka
perceraian yang dilakukan diluar Pengadilan Agama dari kaca mata hukum
Islam yang belaku saat ini dipandang masih terikat suami istri.
2. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian
Menurut Hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena
beberapa sebab, antara lain karena adanya thalaq dari suami, karena
adanya putusan hakim, dan karena putus dengan sendirinya (kematian).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian adalah
sebagai berikut :
a. Perceraian karena Thalaq
Kata thalaq diambil dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan
atau menaggalkan 26 atau secara harfiah berarti membebaskan seekor
binatang.Ia dipergunakan dalam Syari’ah untuk menunjukkan cara yang
sah
dalam
mengakhiri
sebuah
perkawinan.
Meskipun
Islam
memperkenankan perceraian jika terdapat alasan-alasan yang kuat
baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang
mendesak. 27
Menurut Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa thalaq itu dapat
dipahami sebagai berikut : “Thalaq menurut istilah Syarak ialah
melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.28
Maksudnya ialah bahwa perkawinan itu akan putus dan berakhirnya
hubungan suami istri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan
thalaq kepada istrinya.
25
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 115). 1991.
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hal. 9.
27
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’ah Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal.80.
28
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Ahli Bahasa Oleh Moh. Thalib.(Bandung: Al-Ma’Arif, 1998), Jilid,
8, hal.9.
26
Universitas Sumatera Utara
Maka kesimpulan dari pengertian thalaq baik secara bahasa
maupun istilah adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan perkawinan
antara suami dan istri dengan ucapan atau dengan tata cara yang
diucapkan.
Hal-hal yang menyebabkan sumi mempunyai wewenang dalam
menjatuhkan thalaq pada istrinya adalah karena suami diberikan beban
membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah istri dan anakanaknya. Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas
istrinya selama ia menjalani masa ‘iddah.
b. Perceraian karena Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-tsaub” yang berarti melepaskan
atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah
pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya. 29Hal ini berdasarkan
Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya
“dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercambur dengan
istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka.Allah SWT mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsu mu, karena itu Allah SWT mengampuni kamu dan
memberi maaf padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah
apa yang telah di tetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.Demikian Allah
menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.”
Sama dengan hak yang diberikan kepada suami untuk menceraikan
istrinya, maka si istri juga dapat menuntut cerai jika ada cukup alasan
baginya.Jika suami berlaku kejam, maka istri dapat meminta cerai
(khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak
patut baginya.
29
Abdur Rahman, Op.Cit, hal.112.
Universitas Sumatera Utara
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang
berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan
kesediaan istri dengan membayar uang ‘iwadh atau uang pengganti
kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila
terjadi cerai dengan carakhulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk
rujuk kepada istrinya.Dari tinjauan sigkat, khulu’ mengandung
pengertian “penggantungan” danganti rugi oleh pihak istri. Perceraian
akan terjadi bila istri telah membayar sejumlah yang disyaratkan
suami. 30
Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba
‘in. maka bila suami telah melakukan khulu’ terhadap istri, suami tidak
berhak untuk rujuk kembali kepada istri sekalipun istri rela menerima
kembali uang iwadh yang telah dibayarkannya.Jika istri bersedia
kembali bekas suaminya tersebut rujuk kepadanya, maka suami harus
melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan
syaratnya.
c. Perceraian karena Fasakh
Fasakh
menurut
memutuskan.Adapun
bahasa
pengertian
berarti
fasakh
memisahkan
menurut
istilah
atau
adalah
memutuskan akad nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang
menghalangi kelestarian hubungan suami istri. 31Thalaq adalah hak
suami, khulu’ merupakan hak istri, sementara fasakh merupakan hak
bagi keduanya.Bila sebab fasakh ada pada istri maka hak fasakh ada
pada suami, dan begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses
peradilan.
Hakimlah
yang
memberikan
keputusan
tentang
berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak
penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti
30
Dasrizal Dahlan. Putusanya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Perdata
Barat (BW): Tinjauan Hukum Islam. (Jakarta: PT Kartika Insan Lestari, 2003), hal. 201.
31
Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian Dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal.
136.
Universitas Sumatera Utara
yang lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau istri merasa
dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak
yang sudah ditentukan agama sebagai suami atau istri.Akibatnya salah
seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan
karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin
untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga istri, namun
dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan
oleh istri.Barangkali karena suami lebih banyak menggunakan hak
thalaq yang ditentukan agama.
d. Perceraian karena Li’an
Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara
secara terminology adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika
menuduh istrinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan
bahwa ia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada
sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat
atau kutukan Allah SWT jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami
melakukan li’an kepada istrinya, sedangkan istrinya tidak menerima,
maka istri boleh melakukan sumpahli’an juga terhadap suaminya.
Sehingga dengan demikian dipahami bahwa suami istri saling
menyatakan bersedia dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami
istri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang
dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak
bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak
mengakui anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya sebagai
anaknya sendiri dan pihak istri bersikeras pula menolak tuduhan suami
sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.
e. Perceraian karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami
dan istri. Bila ini terjadi maka diadakanlah
dua utusan sebagai
Universitas Sumatera Utara
pendamai antara pihak suami dan istri sebagai upaya mendidik menuju
perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT Q.S.An-Nisa: ayat 35 yang artinya “dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan.” Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri
itu.Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan Maha Mengenal.
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa bila keutuhan
rumah tangga suami istri terancam karena pertengkaran yang tak
mungkin diatasinya maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah
pihak.Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka
persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk member keputusan
setelah pihak-pihak pendamai tidak berhasil mendamaikannya.
f. Perceraian karena Ila’
Ila’ adalah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.
Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti
khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk
tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu
istri tidak di-thalaqataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini
berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak istri karena
keadaannya terkatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran. Surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat
diperoleh ketentuan bahwa :
1. Suami yang meng-ila’ istrinya batasnya paling lama hanya
empat bulan.
2. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup
sebgai suami istri atau menthalaq nya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan
istrinya, hendaklah ia menembus sumpahnya dengan denda atau kafarah.
Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam
Hukum Islam. Denda sumpah umum ini di atur dalam Al-Quran Surah Al-
Universitas Sumatera Utara
Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur
secara berurutan, yaitu :
1. Memberi makan 10 orang miskin menurut makan yang wajar
yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
2. Memberikan pakaian kepada seluruh orang miskin, atau
3. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga
maka
4.
Hendak lah kamu berpuasa tiga hari
g. Perceraian karena Zihar
Salah satu perceraian antara suami istri yang merupakan wewenang
hakim untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada
istrinya bahwa istrinya itu disamakan seperti ibunya sendiri.Zihar adalah
salah satu bentuk perceraian di zaman zahiliah, bila suami tidak menyukai
istrinya lagi dan juga tidak menginginkan istrinya itu kawin dengan lakilaki lain sekiranya istrinya telah diceraikannya.Dengan datangnya aturan
Islam Zihar itu tidak lagi dibenarkan, karena menzihar istri dengan
menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan
mungkar.Suami yang terlanjur men-zihar istrinya agar kembali menarik
zihar nya dengan mewajibkan membayar kafarat (denda) degan
memerdekakan seorang budak sebelum melajukan hubungan suami istri.
Jika suami tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa 2
bulan berturut-turut, dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia
member makan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
Q.S Al-Mujadalah ayat 3 dan 4 : [3] orang-orang mengzihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. [4] Barang siapa yang tidak
mendapatkan (budak) maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturutturut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib
atasnya) memberi makan 60 orang miskin.Demikianlah supaya kamu
Universitas Sumatera Utara
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Dan itulah hukum-hukum Allah dan
bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Sekiranya suami tidak ingin kembali kepada istrinya, agar istrinya
tidak terkatung-katung maka suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk
menentukan apakah ia akan kembali kepada istrinya dengan membayar
kafarat ataukah menceraikan istrinya, maka dalam hal ini istrinya berhak
mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Dengan demikian hakim
dapat mengabulkan gugatan istri bila terbukti kebenarannya.
B. Perceraian Menurut Sistem Hukum Adat
1. Pengeritan Perceraian
Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar
perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan selama-lamanya
atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai kaken-kaken, ninen-ninen
artinya sampai si suami menjadi kakek dan istri menjadi nenek yaitu orang
yang sudah bercucu dan bercicit. 32 Namun idealisme yang demikian ini di
dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujudkan, perceraian atau
putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat dan putusan
hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena di dorong oleh
kepentingan kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan
timbulnya perceraian oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah
satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan
membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si
suami). 33
Mahkamah Agung berpendapat bahwa menurut hukmu adat pada
umumnya dan menurut hukum adat setempat (Batak-Karo), perceraian dari
perkawinan diperbolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup
bersama secara rukun (onheelbare tweespalt) dan boleh karena kelakuan
yang tidak baik dari pihak suami.Menurut Mahkamah Agung maka pihak
istri dapat meminta perceraian apabila terdapat alasan yang terakhir ini. 34
3232
Djodjodigoeno, Perceraian Menurut Hukum Adat, 1957. hal. 56.
Payug Bangun, Hukum Adat Batak, 1976. hal 105.
34
Keputusan Mahkamah Agung No. 438K/Sip/1959 6 Januari dan No. 75K/Sip/1963
33
Universitas Sumatera Utara
Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa perceraian dalam
sistem perkawinan adat dapat terjadi sesuai dengan alasan-alasan yang
komplit.Karena perceraian dalam perkawinan banyak terjadi.Sehingga
Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi pihak istri
berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang tidak
baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh
dan seterusnya.Masyarakat adat umumnya memandang perceraian sebagai
sesuatu yang wajib dihindari.Perceraian menurut adat merupakan
problema social dan yuridis.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
dan dalam melakukan perceraian harus didasari dengan beberapa alasan,
antara lain :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lainnya selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang
sah atau karena hal yang lain diluar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d) Tidak memberi nafkah, penganiayaan, cacat tubuh atau
kesehatan maupun perselisihan
2. Akibat Hukum Perceraian
Perceraian atau putusnya perkawinan mempunyai konsekuensi yuridis baik
menyangkut hubungan suami istri, keberadaan anak, dan harta benda
perkawinan.Adapun akibat hukumnya dapat dilihat dengan mengkoreksikan
dengan penyebab putusnya perkawinan.
a) Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian mempunyai akibat adanya hak
saling mewarisi dari suami dan istri yang masih hidup.Kecuali jika ada unsur yang
menjadikan tidak patut menjadi ahli waris (onwarding).
Universitas Sumatera Utara
Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminnya, iddahnya adalah empat
bulan sepuluh hari dari sepeninggal suami, jika hamil jangka waktu untuk
menikah lagi (iddahnya) sampai melahirkan. Ini juga di pertegas oleh KHI, akan
tetapi dalam KHI untuk iddah bagi wanita yang di tinggal suaminya diperjelas
dengan menggunakan ukuran hari yaitu 130 hari.
b) Perceraian
Akibat hukum terjadinya perceraian terhadap hubungan suami istri yang
pokok adalah persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin
kembali sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan. Dalam perceraian perkawinan itu membolehkan rujuk menurut
ketentuan hukum agama islam, usaha rujuk seorang suami terhadap istrinya dapat
dialkukan, akan tetapi pasal 41 ayat (3) Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Penagdilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memeberi
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban kepada bekas istri 35.
c) Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan yang didasarkan putusan pengadilan termasuk dalam
kategori talak ba’in sughra.Bilamana li’an terjadi maka perkawianan itu putus
untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan
suaminya terbatas dari kewajiban memberi nafkah 36.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian juga diatur dalam Pasal
156 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena
perceraian, yaitu:
1) Terhadap anak-anak
2) Terhadap harta bersama
3) Terhadap mut’ah (nikah kontrak)
Ada tujuan akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anaknya,
yaitu sebagai berikut:
1) Anak yang belum mumayyiz(belum dewasa) berhak mendapatkan
hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya diganti oleh:
a) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
35
(Latif, 1985). Hal 114-115
Pasal 162 KHI
36
Universitas Sumatera Utara
b) Ayah
c) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas ayah
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping ibu
f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping ayah
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekarang-sekarang samapai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan agama memberikan keputusannya berdasarkan angka 1,2,3 dan
4
6) Pengadilan
dapat
pula
dengan
mengingat
kemampuan
ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya 37.
Dalam pasal 41 undang-udang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan tiga akibat
putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut:
1) Bapak ibu atau bapak tetap berkewajiaban memelihara dan mendidik anakanaknya semata-mata berdasarkan kepentingan, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan dapat memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan tidak
dapat memenuhi kewajiabn tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
37
Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991
Universitas Sumatera Utara
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Karena
perceraian, perkawinan dibubarkan sehingga gugurlah semua akiabt dari
perkawinan
itu.
Jika
disitu
ada
kebersamaan
harta
perkawinan,
kebersamanitupun bubar. Tentu saja demikian juga dengan kewajiban suami
istri untuk tinggal bersama dalam satu rumah 38.
Harta bersama adalah harta yang diperboleh selama perkawinan.Harta
bersama dibagi antara berkas suami dengan bekas istri. Hak suami adalah
sebagian dari harta bersama, begitu juga istri mendapat bagian yang sama besar
dengan suami, yaitu separo harta bersama. 39
Dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan akibat putusnya
perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama sebagai berikut:
1) Psal 35 ayat (1) undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974: “harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (kecuali)
hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami istri/ketentuan ayat
2”
2) Pasal 36 ayat (1) undang-undang No 1 tahun 1974: “mengenai harta bersama,
suami istri dapat bertindak atau persetujuan kedua belah pihak sedang
menganai harta bawaan masing-masing suami istri
mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum untuk harta bendanya
tersebut.
3) Pasal 37 undang-undang No 1 tahun 1974: “ bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing” yang
dimaksud hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan
hukum lainnya.
Berkenaan dengan mut’ah yang menjadi kewajiaban bagi setiap suami yang
menjatuhkan talak kepada isterinya, perlu diikuti rambu-rambu perundangundangan yang telah menentukan bahwa:
1) Mut’ah wajib diberikan oleh suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’daul dhukul
38
39
Vollman, 1992: hal 114
Salim,2001:hal 84
Universitas Sumatera Utara
b. Perceraian itu atas kehendak suami 40
2) Mut’ah sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat
3) Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatuhan dan kemampuan suami 41
C. Perceraian Menurut Sistem Hukum Nasional (UU No 1 Tahun 1994
tentang perkawinan)
1. Pengetian Perceraian
Perceraian adalah berakhirnys perkawinan yang telah dibina oleh pasangan
suami istri disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan
keadilan.Perceraian juga adalah merupakan cerai hidup antara suami istri
sebagai
akibat
masing.Dalam
dari
hal
kegagalan
ini
mereka
perceraian
menjalankan
dilihat
sebagai
peran
akhir
masing-
dari
suatu
ketidakstabilan perkawinan diaman pasangan suami istri kemudian hidup
terpisah secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.Perceraian merupakan
terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan
unutk
saling
meninggalkan
sehingga
mereka
berhenti
melakukan
kewajibannya sebagai suami istri.Sehingga mereka berhenti melakukan
kewajibannya sebagai suami istri. Sedangkan pasca perceraian merupakan
suatu keadaan stelah putusnya hunbungan perkawinan antara suami sesuai
dengan kesepakatan bersama, tetapi di dalam undang-undang No 1 tahun 1974
tetang perkawinan tidak memberikan defenisi mengenai perceraian secara
khusus. Pasal 39 undang-undang No 1 tahun 1974 mengenai perkawinan serta
penejlasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan
apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan.
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pada dasarnya mempersulit
terjadinya perceraian. Alasan undang-undang mempersulit adanya perceraian
ialah:
a. Perkawianan itu tujuannya suci dan mulia, sedangkan perceraian
adalah perbuatan yang dibenci oleh Tuhan
b. Untuk membatasi kewenangan-kewenangan suami terhadap istri
c. Untuk mengangkat derajat dan martabat istri (wanita), sehingga
setaraf dengan derajat dan martabat suami (pria) 42
40
41
Pasal 158 KHI
Pasal 16 KHI
Universitas Sumatera Utara
2. Alasan-Alasan Perceraian
Walaupun perceraian merupakan perbuatan tercela dan di benci oelh
Tuhan, tetapi suami istri boleh melakukannya apabila perkawinan mereka sudah
tidak dapat dipertahankan lagi.Namun demikian, perceraian harus mempunyai
alasan-alasan seperti yang diatur dalam undung-undang, bahwa antara suami dan
istri sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami istri.
Al-quran dalam kasus perceraian tidak menemukan secara jelas keharusan
suami mengemukakan alasan-alasan perceraian.Hukum Islam juuga tidak
menemukan secara limitatid alasan perceraian tersebut.Seorang suami dapat saja
metalak istrinya karena tidak mencintai lagi, begitu pula istri juga dapat meminta
suami untuk tidak mencintainya lagi. 43
Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai, ini:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau karena hal lain diluar
kemampuan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak yang lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menajalankan kewajibannya sebagai suami istri
6. Anatara
suami
dan
istri
terus-menerus
terjadi
perselisihan
dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Pada pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding pengadilan,
kalimat tersebtu cukup gambling “di depan siding pengadilan” bukan “dengan
42
43
Muhammda 1989, hal 109
Rofiq,2000, hal 43
Universitas Sumatera Utara
putusan pengadilan”. Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur talak pada
perkawinan menurut agama islam. Dan hal ini besesuaian dengan prinsip yang
tercantum dalam Undang-undang Perkawinan pada pasal 1 angka 4 huruf (e)
sebagai berikut “karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukur terjadinya perceraian”.
Perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi salah satu dari
alasan perceraian.Perceraian harus dengan gugatan ke Pengadilan. Bagi yang
beragam islam, perceraian diajukan ke Pengadilan Agama adalah cerai talak.
Gugatan perceraian bagi yang beragama Islam ke Pengadilan Agama sedangkan
yang bukan beragama Islam diaajukan kepada Pengadilan Negeri.
Ketetapan atau peraturan yang mengatur tentang alasan-alasan percerain di
atas menunjukan bahwa asas yang dipakai dalam huku perkawinan yang berlaku
di Indonesia adalah mempersulit terjadinya perceraian. Maka jelaslah apa yang
bertualang dalam Undang-undang perkawianan No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang pada prinsipnya mempersukut serta melanggar terjadinya
perceraian.
Universitas Sumatera Utara