Status Quo Industri Teknologi. doc

Salah satu pola hidup manusia yang tidak berubah dari sejak jaman batu sampai
dengan saat ini adalah kebergantungan pada teknologi. Pada jaman batu 2,5 juta
tahun yang lalu, ketika teknologi pertama - berupa batu yang ditajamkan
-ditemukan, manusia menggantungkan hidupnya pada alat bantu yang disebut
teknologi.
Pertumbuhan peradaban berubah sejalan dengan pertumbuhan teknologi. Ketika
manusia mampu memanfaatkan api dengan dengan suatu teknologi tungku pada
500,000 tahun yang lalu, peradaban pun berkembang cepat. Dampaknya, rentang
waktu antara satu teknologi dengan munculnya invensi teknologi baru semakin
pendek. Temuan-temuan artefak memperlihatkan bahwa teknologi neolitik
dengan munculnya teknologi tenun “hanya” berjarak 2000 tahun, dari 8000 SM
sampai 6000 SM. Kemudian fase munculnya teknologi secara serentak di berbagai
belahan bumi seperti teknologi peternakan, teknologi pertanian yang selisihnya
1000 tahun dengan suatu teknologi yang berperan besar dalam perkembangan
peradaban secara pesat, yaitu teknologi roda pada 3000 SM. Selanjutnya secara
beruntun teknologi-teknologi yang signifikan dalam perkembangan peradaban
muncul susul-menyusul, seperti katrol dan roda gerigi pada 350 SM, baut mur dan
semen pada 200 SM, dan seterusnya sampai saat ini, dimana ratusan sampai
ribuan invensi teknologi ditemukan setiap harinya.
Sejarah tersebut menggambarkan bahwa kemajuan teknologi yang berkembang,
sejalan dengan pertambahan jumlah manusia adalah gejala perkembangan

peradaban, yang dalam beberapa abad belakangan ini melahirkan satu indikator
baru, ekonomi. Pada perjalanannya, ekonomi menjadi indikator yang sedemikian
penting. Sedemikian penting, sehingga mengaburkan korelasi manusia –
peradaban – teknologi. Ekonomi menjadi subyek, sedangkan manusia dan
peradabannya adalah pelengkap penderita. Terlihat dari teori-teori yang beredar
luas sampai menjadi kelaziman, yang menyebutkan perekonomian akan
berkembang sejalan dengan pertambahan penduduk, akumulasi capital dan
kemajuan teknologi. Profesor Simon Kuznets, peraih Nobel di bidang ilmu
ekonomi, pada tahun 1971 mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai
peningkatan kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis
barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kuznets menganggap bahwa
kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi serta penyesuaian
kelembagaan dan ideologi yang diperlukannya. Definisi ini bersandar pada
anggapan bahwa teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi,
yang ditentukan dari tingkat pertumbuhan kemampuan dalam pemenuhan
kebutuhan penduduk. Namun, dalam membangun argumennya, Kuznets juga
berpendapat bahwa penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan
adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi, sehingga inovasi
teknologi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat.
Pendapat yang muncul lebih dari empat puluh tahun yang lalu tersebut baru-baru

ini kembali disuarakan oleh Gary Shapiro, presiden dan CEO dari Asosiasi
Konsumer Electronik Amerika yang mewakili lebih dari dua ribu konsumen
perusahaan elektronik. Shapiro mengemukakan bahwa inovasi teknologi yang
menjawab kebutuhan efisiensi, memangkas waktu dan meningkatkan kualitas
dapat menghilangkan banyak lapangan pekerjaan dan pada akhirnya akan
menghancurkan kelas pekerja atau kelas menengah. Termasuk peningkatan
standar kualitas yang semakin tidak terkejar oleh ketrampilan pekerja.

Tumbuhnya kekhawatiran menyusutnya fungsi-fungsi Sumber Daya Manusia,
menjadi kontradiktif dengan ide pertumbuhan ekonomi berbasis perkembangan
teknologi. Dibalik janji akan hidup yang lebih baik bagi semua kalangan, inovasi
teknologi menghilangkan beberapa fungsi pekerjaan, seperti yang pernah
dikemukakan Joseph Schumpeter tentang destruksi kreatif. Schumpeter
menyampaikan ihwal proses pertumbuhan industrial yang tak putus-putusnya
dapat merevolusi struktur ekonomi secara terus-menerus, karena menghancurkan
yang lama, seraya tak henti-hentinya menciptakan yang baru. Dalam perspektif
ini, teknologi yang dalam sejarahnya berperan sebagai faktor utama
perkembangan peradaban, berubah menjadi ancaman bagi peradaban, terutama
bagi sejumlah mayoritas manusia, yaitu kelas menengah. Bagi golongan manusia,
yang dalam perspektif ekonomi digolongkan dalam status ekonomi sosial bawah

dan menengah, teknologi adalah suatu pelengkap hidup sekaligus ancaman bagi
eksistensi sosialnya.
Dalam sudut pandang ekonomi, teknologi hanya bermanfaat bagi para
penguasanya, tapi kurang memberikan nilai signifikan bagi peningkatan taraf
kehidupan manusia (baca: pasar) yang hanya menikmatinya. Sejak era industri
dimulai, teknologi masuk kedalam ruang ekslusif yang dimiliki penguasa ekonomi.
Ruang-ruang ini memang memberikan rembesan ke bawah, namun tetap
memperlebar jarak antara kelas sosial ekonomi atas sebagai penguasa teknologi,
dengan sosial ekonomi dibawahnya. Proses teknologi dari diciptakan sampai
kemudian dinikmati lapisan terbawah di masyarakat, melewati tahapan yang
panjang. Cermati macam-macam produk teknologi dari traktor, mobil, telepon,
kulkas, freezer, TV, komputer, internet, dan smartphone yang dulunya merupakan
simbol status tingginya kelas ekonomi seseorang, sekarang telah dinikmati oleh
hampir segala kalangan.
Inovasi-inovasi tersebut, seperti layaknya peruntukan inovasi teknologi sejak
jaman batu, menyelesaikan pekerjaan yang tidak mampu diselesaikan oleh
tangan manusia, membuat kita lebih efisien, mempercepat proses, meningkatkan
kualitas, memecahkan hambatan geografis, menghubungkan dan menghibur.
Inovasi ini juga banyak menciptakan industri-industri baru di bidang manufaktur,
distribusi, pemasaran, penjualan, layanan dan pembuatan konten. Perbedaan

mendasar dari masa Sebelum Masehi adalah, pada saat ini teknologi bukan hanya
solusi bagi kebutuhan manusia, namun juga merupakan perangkat ekonomi.
Maka, sesuai hukum ekonomi yang menetapkan bahwa nilai tambah harus dicipta
terus menerus, ketika invensi telah menjadi inovasi segera muncul kebutuhan
akan invensi berikutnya. Dalam konteks tersebut muncul konsekuensi logis, yaitu
inovasi teknologi juga mendongkrak taraf hidup para penguasanya secara drastis,
dan melahirkan lebih banyak penghuni kelas sosial menengah kebawah, yang
menjadi operator industrinya. Tambahan catatan untuk kondisi tersebut, mata
rantai terbesar dari rantai nilai yang terbentang dari hulu ke hilir, telah
dikondisikan oleh sistem yang memungkinkan segelintir orang menguasainya.
Sehingga menciptakan kondisi status quo dominansi minoritas atas mayoritas.
Hegemoni tersebut merasuk sampai ke pengembangan ilmu pengetahuan,
dimana teori-teori tentang pertumbuhan yang berkembang saat ini
menyandarkan diri pada analisis ekonomi mengenai pertambahan penyediaan
faktor-faktor produksi, termasuk Sumber Daya Manusia dan tingkat kemajuan
teknologi. Lalu bagaimana bisa tercipta harmoni kehidupan? Apakah teknologi
dapat dikembalikan ke khitahnya sebagai alat penunjang pemenuhan kebutuhan

manusia demi pencapaian kesejahteraan? Atau manusia yang harus terus
menerus merubah pola hidupnya akibat perkembangan teknologi yang dilandasi

kebutuhan komersial belaka?
Dalam konteks Indonesia, kebahagiaan akibat pemanfaatan suatu teknologi
belum serumit negara-negara maju. Mayoritas masyarakat Indonesia akan cukup
berbahagia jika mampu memenuhi kebutuhannya sehari-hari tanpa embel-embel
commercial benefit dari kegiatan tersebut. Aspek komersial dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat Indonesia masih dalam level keperluan keberlanjutan.
Kebutuhan teknologi di sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dengan
sederhana diilustrasikan seperti kehidupan suatu komunitas petani pisang di
suatu desa di Lumajang, pelosok Jawa Timur yang guyub dan makmur, sekitar 800
km lebih dari ibukota. Mereka cukup puas dengan teknologi pengusir hama
tanaman dan pembuatan barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi.
Mereka belum benar-benar paham bagaimana meningkatkan kesejahteraan
dengan koneksi internet super cepat atau penggunaan kendaraan yang mampu
menembus kecepatan 100 km/jam dalam 5 detik, atau printer 3D yang mampu
mencetak bentuk apapun dalam hitungan menit. Mereka adalah potret mayoritas
masyarakat Indonesia yang dalam kegiatan sehari-hari, sejak bangun tidur
sampai kembali tidur, bergantung pada produk impor. Mereka adalah pemasok
profit bagi para penguasa teknologi, yang tidak memperoleh kesempatan untuk
ikut berkembang taraf hidupnya dengan adanya teknologi tersebut.
Perubahan tentu dapat diupayakan, dengan tetap mengindahkan tahapantahapan yang harus dilewati. Peralihan penguasaan teknologi pada masa kini,

tidak dapat dengan semena-mena menafikan pola-pola tatanan ekonomi yang
telah terbentuk selama ratusan tahun. Diperlukan terobosan dalam merubah pola
pikir serta paradigma proses industri yang telah mengakar dalam kultur
masyarakat. Opsi tahapan awal yang mungkin dilakukan sebagai terobosan
adalah mendorong komunitas masyarakat untuk mengambil alih rantai nilai dari
teknologi yang paling sederhana, yaitu kebutuhan sehari-hari. Pemenuhan
kebutuhan dengan memanfaatkan teknologi pengolahan dan proses, lengkap
dengan nilai ekonomisnya.
Memang tidak semudah menghitung dari nol sampai sepuluh, tetapi langkah
pertama harus diambil. Pusat Inovasi dan Kemandirian Indonesia Raya atau biasa
disebut PIKIR Institute pada ulang tahunnya yang ke 4 tanggal 11 November 2015
ini telah memulai suatu inisiasi peralihan penguasaan teknologi secara langsung
kepada masyarakat perdesaan yang tersebar diseluruh Indonesia. 100 desa yang
tersebar di 36 Kabupaten di 17 Propinsi adalah target masyarakat yang di tuju.
Inisiasi mencakup dari mulai pembukaan wawasan, sampai dengan pelatihan
teknis dan manajerial dalam pembuatan suatu produk yang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat setempat. Dengan dukungan penuh Kementerian Desa,
PDT dan Transmigrasi, diseminasi teknologi mulai dilakukan, dikeluarkan dari
status quo, dan di dampingi sampai masyarakat dapat menikmati seluruh benefit
dari suatu teknologi yang mereka kuasai, sampai kepada komersialisasi dan

pengembangan taraf berikutnya.
Kemerdekaan yang telah dimiliki selama 70 tahun lebih ini, hanya membebaskan
masyarakat Indonesia dari suatu kondisi, tapi belum membebaskan Indonesia
untuk melakukan yang masyarakat inginkan. Merdeka tapi belum merdesa. Oleh
karena itu kegiatan yang disebut dengan pembangunan Usaha Bersama

Komunitas atau UBK ini mendapatkan respon yang luar biasa dari setiap kalangan
masyarakat peserta program. Antusiasme dan euphoria yang terlihat, seakan
letupan yang muncul akibat tekanan kondisi yang memarjinalkan mereka dari
industri teknologi global yang mengepung mereka. Dengan melihat segala benefit
yang dinikmati oleh masyarakat, maka tidak terdapat alasan untuk tidak
mendapatkan dukungan dari segenap pihak yang menginginkan kemajuan bagi
masyarakat Indonesia.
Ditulis dalam rangka memperingati 4 tahun PIKIR Institute,
(11–11–2011 – 11-11-2015).
Adie Marzuki