Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan dan Periode Pemberian Pakan terhadap Performa Ayam Buras Super. - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ayam Buras Super

Ayam buras super merupakan hasil dari program persilangan (crossbreding)
antara ayam lokal dan ayam ras petelur yang mengacu pada sistem perkawinan
upgrading untuk meningkatkan kualitas mutu genetik. Kualitas genetik yang
dimaksutkan adalah dapat meningkatkan produktivitas dari ayam buras yang
selama ini diketahui memiliki produksi rendah. Ayam buras yang dipelihara
selama 12 minggu secara intensif dapat menghasilkan bobot akhir 931,4 g/ekor
(Kompiang dkk., 2001). Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan dengan
ayam buras super yang dalam pemeliharan intensif selama 8 minggu mampu
menghasilkan bobot akhir 1096 g/ekor (Iskandar, 2013). Keunggulan lain dari
ayam buras super yaitu mudah beradaptasi dengan lingkungan yang tropis,
memiliki mortalitas yang rendah yaitu 5%, secara ekonomis lebih menguntungkan
dengan waktu pemeliharan 2 – 2,5 bulan dan memiliki kualitas karkas yang sama
dengan ayam kampung (Pramono, 2006).

Ayam buras super memiliki dua fase laju pertumbuhan yang dibedakan
berdasarkan umur yaitu fase starter (0-4 minggu) dan fase finisher (5-12 minggu)
dimana ransum yang digunakan untuk setiap fase pertumbuhan memiliki
kandungan protein dan energi yang berbeda. Ransum ini disebut sebagai ransum
ganda (multi phase ration) (Hidayat, 2012). Menurut Iskandar (2012), pola
pemberian ransum ganda memberikan hasil lebih baik dibandingakan dengan

5

ransum tunggal dengan kebutuhan protein untuk ayam fase starter adalah 210 g/
kg dan 2950 kkal ME/kg untuk energi, sedangkan untuk fase finisher adalah 170
g/kg protein dan 2850 kkal ME/kg untuk energi. Menurut Zainal dkk. (2012)
komponen nutrien untuk ransum ayam buras super yaitu kandungan protein 19%,
energi 2.800 kkal ME/kg untuk umur 0-4 minggu dan protein 17%, energi 2.800
kkal ME/kg untuk umur 5 – 12 minggu.
Tabel 1. Bobot Badan Ayam Buras Super Berdasarkan Umur
Umur
(minggu)
1
2

3
4
5
6

Bobot Badan
(g/ekor)
80
120
210
280
350
460

Umur
(minggu)
7
8
9
10

11
12

Bobot Badan
(g/ekor)
520
590
640
700
760
810

Nuroso (2010)

Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Ayam Buras Super
Umur
(Minggu)
0–4
4–6
6–8

8 – 12

Energi Metabolis
(kkal/kg)
2.800
2.800
2.800
2.800

Kebutuhan Nutrisi
Protein Metionin
Lisin
(%)
(%)
(%)
20
0,30
0,85
18
0,30

0,85
18
0,25
0,60
16
0,25
0,60

Ca
(%)
0,80
0,80
0,80
0,70

P
(%)
0,40
0,40
0,40

0,35

Iswanto (2005)

2.2. Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan

Penentuan frekuensi dan periode pemberian pakan berhubungan dengan
Indonesia yang memiliki iklim tropis dan temperatur yang berfluktuasi dimana
thermoneutral zone ayam berpengaruh terhadap efisiensi pemberian pakan. Suhu

6

nyaman untuk ayam di daerah tropis berkisar antara 18 – 28oC, 17 – 20oC, 18,3 –
23,9oC (North dan Bell, 1990; Rahardja, 2010; Damerow, 2015). Kelembaban
relatif untuk comfort zone ayam adalah 50 – 70% dan Heat Stress Index yang
masih mampu ditolerir ayam adalah 160 (Ajakaiye dkk., 2011; Ustomo, 2016).
Heat stress index merupakan angka yang diperoleh dari penjumlahan suhu terukur
dalam Fahrenheit dan kelembaban udara. Cekaman panas dialami oleh ayam saat
Heat Stress Index melebihi 160 dan ayam mulai panting (Palupi, 2015). Saat Heat
Stress Index pada kisaran normal mengakibatkan keadaan nyaman di lingkungan

kandang sehingga mampu menjaga performa ayam (Rahul dan Pramod, 2016).

Ilustrasi 1. Pengaruh Temperatur dan Kelembaban terhadap
Performa (Aviagen, 2014)

7

Ayam merupakan hewan yang tidak memiliki kelenjar keringat pada
kulitnya sehingga sangat sensitif terhadap suhu lingkungan yang tinggi. Pada suhu
lingkungan di atas thermoneutral, terjadi penurunan konsumsi pakan yang
disebabkan oleh meningkatnya konsumsi air minum sehingga konversi pakan
meningkat dan laju pertumbuhan menjadi turun. Cara yang dilakukan ayam untuk
mengontrol panas tubuh adalah dengan pernafasan terengah – engah (panting) (Li
dkk., 2015). Heat stress pada suhu 31oC dan 36oC dapat berpengaruh terhadap
penurunan performa ayam meliputi konsumsi pakan, bobot badan dan konversi
pakan serta suhu lingkungan yang mencapai 43oC mampu menyebabkan kematian
pada ayam (Damerow, 2015; Filho dkk., 2010).
Penentuan waktu frekuensi pemberian pakan 1 kali, 2 kali dan 3 kali sehari
didasarkan pada fisiologi lingkungan dan berbagai penelitian frekuensi pemberian
pakan tetapi tidak didasarkan pada fluktuasi suhu. Menurut Idayat dkk. (2012)

frekuensi pemberian pakan 2 kali, 3 kali dan 4 kali tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap performa ayam pedaging. Herlina dkk. (2015) melaporkan bahwa
pemberian pakan 2 kali (pukul 06:00 dan 18:00 WIB), 3 kali (pukul 06:00, 12:00
dan 18:00 WIB) dan 4 kali (pukul 06:00, 10:00, 14:00 dan 18:00) menunjukkan
performa ayam pedaging yang tidak berbeda. Namun, frekuensi pemberian lebih
dari 1 kali dalam sehari mampu meningkatkan konsumsi pakan karena pakan yang
selalu tersedia dalam keadaan baru meningkatkan nafsu makan ayam (Imamudin
dkk., 2012).
Meskipun demikian, telah diketahui bahwa fluktuasi suhu berpengaruh
terhadap peforma ayam dan berkaitan dengan frekuensi pemberian pakan.

8

Menurut penelitian Blahova dkk. (2007), perubahan temperatur lingkungan
dibawah dan diatas thermoneutral zone memiliki dampak negatif terhadap
performa ayam. Menurut penelitian Talukder dkk. (2010), kenaikan temperatur
dari 21oC hingga 35oC menurunkan konsumsi ransum ayam sebesar 21%.
Kenaikan temperatur pada lingkungan kandang dari 21,1°C hingga 32,2°C
menyebabkan penurunan konsumsi ransum hingga 9,5% setiap ekor/hari
(Syafwan dkk., 2011). Menurut Manurung (2011), frekuensi pemberian pakan

menjadi tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum ayam saat cekaman panas
berlangsung singkat, hanya 1 jam yaitu pukul 12:00 – 13:00 WIB.
Jadwal pemberian pakan yang diterapkan untuk manajemen frekuensi
pemberian pakan memberikan efisiensi ransum yang tidak berbeda ketika selama
pemeliharaan ayam tidak mengalami heat stress akut yang berkepanjangan.
Pengaturan program pemberian pakan dengan frekuensi lebih dari 1 kali tidak
menimbulkan perbedaan signifikan terhadap pertambahan bobot badan ketika
suhu dan kelemban relatif berkisar normal untuk pertumbuhan ayam (Buyse dan
Decuypere, 2003). Frekuensi pemberian pakan lebih dari 2 kali sehari tidak
memberikan pengaruh secara signifikan terhadap konsumsi ketika waktu
pemberian pakan memperhatikan kenaikan suhu lingkungan (29,4°C – 35°C)
(Soltanmoradi dkk., 2013). Manajeman frekuensi menjadi efektif untuk
meningkatkan efisiensi ransum saat diterapkan pada kondisi lingkungan yang
panas dan kelembaban relatifnya tinggi. Saat suhu dan kelembaban lingkungan
yang tinggi berlangsung lebih dari 6 jam, pengaturan frekunsi pemberian pakan 2

9

kali, 3 kali dan 4 kali menjadi tidak efektif untuk efisiensi ransum dalam
meningkatkan bobot badan (Pawar dkk., 2016).

Pemberian pakan ayam pada suhu tinggi (29,4 – 37,7oC) dapat berdampak
pada penurunan kecernaan ayam dalam mencerna protein dimana protein sangat
diperlukan

untuk

pertumbuhan

(Mashaly

dkk.,

2004).

Ayam

mampu

menggunakan pakan lebih efisien untuk pertumbuhan dan produksi saat suhu
lingkungan optimum sehingga tidak ada energi yang dikeluarkan ayam untuk

mengatasi suhu tubuh yang meningkat akibat suhu lingkungan tidak normal
(Tamzil, 2014). Pemeliharaan pada suhu 21oC dengan kelembaban 50 – 65%
dapat mencegah penurunan performa ayam (Purswell dkk., 2012).
Periode pemberian pakan didasarkan pada kesempatan ayam makan dalam
sehari dengan rentang waktu tertentu. Periode pemberian pakan selama 14 jam, 16
jam dan 18 jam dalam sehari berkaitan dengan fisiologis lingkungan. Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh lama periode nyaman dibandingkan dengan periode heat
stress dimana heat stress dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap performa
ayam saat periodenya berlangsung selama 6 jam (Toplu dkk., 2014). Heat stress
dapat terjadi ketika indek cekaman panas yang merupakan kombinasi temperatur
dan kelembaban relatif diatas 160 berlangsung dalam waktu lebih dari 4 jam
(Iyasere, 2014). Heat stress dapat terjadi antara pukul 12:00 dan 1:00 siang saat
temperatur diatas thermoneutral zone ayam (Gotardo dkk., 2015).
Pakan menjadi efisien saat diberikan pada waktu-waktu suhu nyaman ayam
karena suhu lingkungan yang berada diluar comfort zone ayam berdampak pada
penurunan konsumsi pakan sehingga zat-zat nutrien pakan terdefisiensi dan

10

produksi menjadi terhambat (Gunawan dan Sihombing, 2004). Pemberian pakan
sangat dianjurkan tidak dilakukan pada siang hari karena dapat menambah beban
panas tubuh ayam dan meningkatkan stress akibat cekaman panas (Donkoh dan
Yirenki, 2000). Namum, ayam mampu beradaptasi terhadap jumlah pakan dan
manajemen waktu pemberian pakannya sehingga dapat mengatur konsumsi
ransum untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein dengan mengurangi
konsumsi ketika gula darah naik dan glukosa dibawa oleh aliran darah ke hati
(Ferket dan Gernat, 2006).
Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa periode makan paling
efisien untuk ayam tipe pedaging adalah selama 18 jam. Menurut Chukwuemeka
(2012), periode pemberian pakan selama 18 jam memberikan efisiensi
penggunaan pakan terbaik dibandingkan dengan periode selama 20 jam dan 16
jam. Meskipun demikian, ayam dapat mengatur pasokan energi yang dibutuhakan
untuk pertumbuhan karena mampu beradaptasi dengan periode waktu penyajian
ransum. Periode pemberian pakan selama 18 jam memberikan kesempatan ayam
makan lebih lama untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi
dibandingkan dengan periode pemberian pakan selama 15 jam dan 12 jam
(Onwurah dan Okejim, 2012).
Periode gelap selama periode akses pakan memberikan pengaruh pada
proses metabolisme serta kosong dan terisinya tembolok mengikuti pola dari
pencahayaan (Buyse dan Decuypere, 2003). Periode akses pakan unuk ayam
dengan 24 jam pencahayan dibandingkan 18 jam pencahayaan memberikan
perbedaan yang tidak signifikan terhadap pertambahan bobot badan karena ayam

11

memiliki kemampuan untuk mengatur aktivitas dan perilaku makan (Onbasilar
dkk., 2007). Nilai FCR tidak menunjukkan hasil yang signifikan pada periode
akses pakan 23 jam, 18 jam dan 13 jam karena semakin tua umur ayam
kemampuan mengatur pemenfaata nutrien ransum sesuai menajemen yang
diberikan semakin baik (Korde dkk., 2007). Periode penyajian ransum selama 23
jam, 20 jam, 16 jam dan 12 jam dengan menghentikan akses pakan saat periode
gelap tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum karena ayam mampu
menyesuaikan pola konsumsi melalui adaptasi dengan panjangnya periode gelap
serta pemanfaatan fungsi tembolok (Li dkk., 2010). Pada ayam, 10% total ransum
akan dicerna setelah 2 jam dari waktu konsumsi, kemudian 25% dicerna setelah 4
jam konsumsi dan 25% dicerna setelah 6 jam konsumsi (Zhang dkk., 2010).
Unggas harus mendapat minimum 4 jam periode gelap tanpa terganggu untuk
mengoptimalkan waktu tidur dan laju pertumbuhan (Yang dkk., 2015).
Peran cahaya juga berpengaruh terhadap rentang waktu pemberian pakan
dari pagi hingga malam hari. Cahaya berperan sebagai vision yang meliputi
ketajaman visual dan pembeda warna untuk membantu ayam mengatahui letak
pakan (Setianto, 2009). Ketersedian pakan juga mempengaruhi waktu istirahat
untuk ayam. Ayam memerlukan 6 jam periode gelap dalam 24 jam untuk
mengoptimalkan tingkat pertumbuhan (El Sabry dkk., 2015). Periode gelap juga
memberikan pengaruh untuk memproduksi hormon melatonin dimana cahaya
dapat menurunkan produksi melatonin. Selama fase produksi, ayam minimal
diberikan periode gelap 4 jam sehingga peran hormon melatonin maksimal untuk
pertumbuhan dimana melatonin adalah neurohormon yang disekresikan oleh

12

kelenjar pineal di dalam vertebrata saat periode gelap (Yang dkk., 2015). Hormon
ini juga berfungsi untuk pengaturan produksi berbagai hormon di dalam tubuh
yang berhungan dengan pertumbuhan dan antibodi (Schwean-Lardne dkk., 2016).

2.3. Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh unggas
selama periode waktu tertentu dan dapat dihitung setiap hari (g/ekor/hari) atau
setiap minggu (g/ekor/minggu) dengan perhitungan jumlah pemberian ransum
dikurangi pakan yang tidak dikonsumsi (Wardiny dan Sinar, 2013). Menurut
Fatma (2015), rata – rata

konsumsi ransum ayam buras super dengan

pemeliharaan 3 – 12 minggu sebesar 3.316,19 g/ekor. Jumlah konsumsi ransum
dilatabelakangi oleh keadaan suhu lingkungan yang nyaman. Jumlah ransum atau
energi yang dikonsumsi ayam juga dipengaruhi oleh kemampuan ayam dalam
memperlihatkan respon terhadap heat stress (Lin dkk., 2006). High temperature
(HT) atau suhu lingkungan yang tinggi (32,2 – 37,8oC) berdampak negatif pada
penurunan konsumsi ransum sebesar 9,9% per ekor/hari sehingga salah satu solusi
untuk mencegah heat stress yaitu diperlukan pendekatan thermal conditioning
atau pengaturan pemberian ransum pada suhu thermoneutral zone (TNZ) ayam
(Syafwan dkk., 2011).
Maka, telah banyak dilakukan penelitian megenai pengaturan pemberian
pakan saat heat stress. Ghazalah dkk. (2008) melaporkan bahwa saat temperatur
lingkungan tinggi (berkisar 25 – 35oC) pengaturan pemberian ransum dilakukan
dengan cara memberikan ransum dengan kandungan protein rendah dan energi

13

tinggi sehingga ayam mampu menyeimbangkan konsumsi nutrien sesuai
kebutuhan. Penurunan sintesis protein dan pembongkaran protein tubuh
cenderung terjadi saat heat stress, tetapi hal itu juga dipengaruhi oleh lamanya
ayam terpapar heat stess (Diarra dan Tabuaciri, 2014).

Tabel 3. Konsumsi Ransum Ayam Buras Super
Umur
(minggu)
1
2
3
4
5
6

Konsumsi
(g/ekor/minggu)
50
90
160
200
260
290

Umur
(minggu)
7
8
9
10
11
12

Konsumsi
(g/ekor/minggu)
340
390
440
480
530
590

Nuroso (2010)

Saat suhu di dalam kandang berada di bawah 27,7oC (82oF) dengan
kelembaban relatif yang rendah (50 – 70%) maka penjumlahan suhu dan
kelembaban masih berkisar 160. Hal itu mengakibatkan suasana nyama di dalam
kandang sehingga konsumsi pakan ayam tidak berbeda (Rahul dan Pramod,
2016). Energi dalam pakan banyak dialokasikan saat temperatur diatas TNZ
akibat usaha ayam untuk menghilangkan panas. Maka diperlukan formulasi
ransum dengan kepadatan nutrien yang optimum untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok dan pertumbuhan ayam saat konsumsi ransum mengalami penurunan
(Butcher dan Miles, 2015). Jumlah konsumsi ransum terus bertambah dalam
setiap minggu sesuai dengan pertambahan kebutuhan energi untuk mencapai
bobot badan yang ideal (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi ransum selain faktor fisiologi dan
nutrien adalah aktifitas ternak, umur dan jenis ternak (Muharlien dan Ani, 2015).

14

Aktivitas ternak salah satunya adalah tingkah laku makan. Durasi makan pada
unggas mengalami penurunan saat heat stress dengan meningkatnya durasi
minum dan konsumsi meningkat saat nyaman (Li dkk., 2015). Bentuk dari ransum
seperti mash dan pellet serta kapasitas tembolok ayam juga mempengaruhi
konsumsi ransum (Usman, 2009). Unggas menghentikan konsumsi ransumnya
didasarkan pada teori glucostatic yaitu kemampuan dan pemanfaatan glukosa di
dalam cairan tubuh. Lapar, nafsu makan dan rasa kenyang berhubungan dengan
waktu penyajian ransum dan fungsi sistem saraf pusat (hypotalamus) serta
mekanisme inhibitory (pembatasan di pusat kenyang) terhadap respon makan
(Hafez, 1986).

2.4. Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu faktor penting dalam
keberhasilan manajemen pemeliharaan ayam buras super. Pertambahan bobot
badan pada ayam buras super dapat mencapai 100 g/hari/minggu (Aryanti dkk.,
2013). Rata – rata pertambahan bobot badan ayam buras super dengan
pemeliharaan 3 – 12 minggu adalah 925,98 g/ekor (Fatma, 2015). Perhitungan
pertambahan bobot badan yaitu selisih antara bobot hidup ayam di akhir minggu
dengan bobot badan anak ayam di awal minggu (Wardiny dan Sinar, 2013).
Faktor – faktor umum yang mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam antara
lain strain, jenis kelamin, umur, sifat keturunan, jenis dan kandungan nutrien
pakan, kondisi fisiologi lingkungan dan manajemen pemeliharaan (Zulfanita dkk.,
2011).

15

Pertambahan bobot badan sangat berhubungan dengan jumlah konsumsi
ransum. Ayam mampu mengatur jumlah pasokan energi untuk memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan produksi sehingga ayam berhenti makan saat absorbsi
nutrien mencukupi kebutuhan (Sinurat dan Balvane, 1986). Ayam dapat
mengkonsumsi ransum dengan baik dan memanfaatkan energi dari ransum untuk
meningkatkan bobot badan saat kondisi ayam pada zona nyaman. Hal ini
mengakibatkan ayam menjadi tidak terlalu banyak minum dan tidak
menggunakan banyak energi untuk heat loss. Peningkatan konsumsi minum ayam
saat temperatur mencapai 35oC diikuti dengan penurunan konsumsi ransum dan
berakibat pada penurunan pertambahan bobot badan (Syafwan dkk., 2011).
Saat ayam pada comfort zone, energi dari ransum dapat terdeposisi dengan
baik untuk pertumbuhan sehingga tidak menghambat pertambahan bobot badan.
Cekaman panas akan menghambat suplai nutrien ke jaringan tubuh sehingga
berpengaruh terhadap penurunan efisiensi dari absorbsi nutrien untuk produksi
dalam meningkatkan bobot tubuh (Olanrewaju dkk., 2010). Ayam yang
mengalami heat stress akibat suhu lingkungan tinggi (30 – 36oC) dalam jangka
waktu lama (4 – 8 jam) mampu menjadi penyebab penuruanan bobot badan
hingga 30% akibat penurunan konsumsi ransum hingga 16% (Lara dan Rostagno,
2013). Kondisi stress ayam dapat dialami saat temperatur mencapai 360C dimana
hal itu berdampak pada penurunan bobot badan yang signifikan akibat lemahnya
kemampuan mencerna zat-zat nutrien pakan (Tabiri dkk., 2002).
Penurunan bobot badan juga dapat terjadi secara signifikan saat kelembaban
relatif mencapai 80 – 85% dengan indikasi bahwa ayam tidak mampu beradaptasi

16

dengan keadaan lingkungan (Balnave, 2004). Kenaikan temperatur yang diikuti
oleh kenaikan suhu tubuh mengakibatkan pengeluaran energi untuk mengurangi
beban

panas

tubuh

sehingga

mengganggu

kecernaan,

penyerapan

dan

metabolisme nutrien untuk pertambahan bobot tubuh ayam (Furlan dkk., 2004).
Suhu lingkungan yang tinggi juga berpengaruh terhadap tingkah laku makan
ayam. Ayam terpapar suhu lingkungan tinggi mengakibatkan turunnnya konsumsi
ransum sehingga menurunkan tingkah laku makan dimana hal ini adalah
mekanisme untuk mengurangi beban panas tubuh dan mengakibatkan penurunan
bobot badan (Andisuro, 2011).

2.5. Konversi Ransum

Konversi ransum dapat menunjukkan nilai yang baik dipengaruhi oleh
efisiensi penggunaan ransum dalam mengasilkan pertambahan bobot badan. Rata
– rata konversi ransum ayam buras super yang dipelihara selama 3 – 12 minggu
adalah 3,58 (Fatma, 2015). Semakin kecil nilai konversi ransum mengindikasikan
bahwa penyerapan nutrien untuk mengkonversi ransum menjadi daging lebih
optimal (Wahju, 2004). Saat jumlah konsumsi ransum yang tinggi tetapi
pertambahan bobot badan yang dihasilkan rendah dapat meningkatkan nilai
konversi ransum yang juga berdampak terhadap peningkatan biaya produksi
(Yunilas, 2005). Faktor umum yang mempengaruhi konversi pakan antara lain
imbangan protein dan energi dalam ransum, palatabilitas ransum, bentuk fisik
ransum dan manajemen pemeliharan yang diterapkan (Masrurah, 2008).

17

Suhu lingkungan yang nyaman menjadi indikasi bahwa ayam mampu
mengkonversi nutrien dari ransum untuk pertumbuhan bobot tubuh. Ayam yang
terkena heat stress dapat mengalami penurunan bobot badan lebih besar
dibandingkan dengan penurunan konsumsi pakan karena sebagian dari energi
metabolisme digunakan untuk menghilangkan panas sehingga meningkatkan
konversi ransum (Furlan dkk., 2004). Ayam merasa paling nyaman, lebih
produktiv dan tingkat stress minimum ketika temperatur lingkungan berada pada
thermoneutral zone ayam (Olanrewaju dkk.,2010). Heat stress juga berdampak
pada perubahan tingkah laku ayam dengan ayam yang lebih banyak istirahat,
mengurangi

berjalan

dan

berdiri

serta

sayap

terangkat

sedikit

untuk

memaksimalkan heat loss (Iraqi dkk., 2013). Tingkah laku makan ayam juga
dipengaruhi oleh heat stress dimana ayam mengurangi makan saat suhu
lingkungan tinggi dan mengkonsumsi ransum saat suhu dingin yaitu pagi dan sore
(Diarra dan Tabuaciri, 2014).
Temperatur yang tinggi (29 – 36oC) dapat mengurangi efisiensi penggunaan
energi ransum untuk tujuan produksi dan nilai FCR mengalami fluktuasi sejalan
dengan perubahan temperatur lingkungan (Daghir dkk., 2009). Temperatur dan
kelembaban yang nyaman menyebabkan tercukupinya asupan energi dari ransum
sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ransum (nilai FCR yang lebih
rendah) (Sugito dan Delima, 2009). Stress yang dialami ayam di daerah tropis
dapat berpengaruh negatif terhadap performa yang berkaitan dengan FCR. Saat
cekaman panas berlangsung, sebagian besar energi yang seharusnya digunakan

18

dalam proses produksi dialihkan untuk mengatur termoregulasi tubuh sehingga
berdampak pada tingginya konversi ransum (Jahejo dkk., 2016).

2.6. Income Over Feed Cost

Income Over Feed Cost (IOFC) merupakan tolak ukur yang digunakan
untuk menentukan seberapa besar pendapatan yang dihasilkan berdasarkan biaya
ransum yang dikeluarkan. Saat konsumsi ransum ayam cukup dan tidak berlebih
serta mampu dimanfaatkan dengan baik untuk energi dalam pertambahan bobot
badan maka IOFC semakin besar (Wardiny dan Sinar, 2013). Besarnya Income
Over Feed Cost bergantung pada pertambahan bobot badan ayam, karena semakin
efisien ayam mengubah nutrien dalam ransum menjadi daging maka Income Over
Feed Cost semakin baik (Wiradimadja dkk., 2015).
Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai IOFC adalah kandungan nutrien
dalam ransum. Ayam berhenti makan saat kebutuhan nutriennya tercukupi
sehingga kualitas ransum sangat menentukan besarnya jumlah konsumsi (Gustira
dkk., 2015). Berdasarkan Iskandar (2012), Income Over Feed Cost dari ayam
buras super yang dipelihara secara intensif selama 12 minggu sebesar Rp 4.156.
Suhu lingkungan juga berpengaruh terhadap besar kecilnya IOFC karena
berkaitan dengan jumlah konsumsi ransum, bobot badan dan konversi ransum.
Nilai efisiensi ransum terbaik dapat diperoleh saat suhu lingkungan optimum
sehingga energi tidak dialokasikan untuk heat loss (Olanrewaju dkk., 2010).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan terhadap Hematologis Ayam Buras Super - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 6

Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan terhadap Hematologis Ayam Buras Super - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 6

Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan terhadap Hematologis Ayam Buras Super - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 3

Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan terhadap Hematologis Ayam Buras Super - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 12

Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan terhadap Potongan Komersial Karkas Ayam Buras Super - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 8

Pengaruh Frekuensi dan Periode Pemberian Pakan terhadap Potongan Komersial Karkas Ayam Buras Super - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 6

Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan dan Periode Pemberian Pakan terhadap Performa Ayam Buras Super. - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 3 72

Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan dan Periode Pemberian Pakan terhadap Performa Ayam Buras Super. - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 7

Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan dan Periode Pemberian Pakan terhadap Performa Ayam Buras Super. - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 3

Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan dan Periode Pemberian Pakan terhadap Performa Ayam Buras Super. - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 12