Policy Brief Epistema Institute vol 1 2014 web

Vol. 01/2014

Policy brief
Menantikan Hadirnya Peraturan Daerah
tentang Masyarakat Kasepuhan

Hak-hak Masyarakat Kasepuhan

Ringkasan eksekutif
Pemerintah Daerah memiliki tanggungjawab konstitusional dan hukum untuk
membuat Peraturan Daerah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan
terhadap keberadan masyarakat hukum adat. Kabupaten Lebak merupakan pelopor
pembentukan Perda mengenai masyarakat hukum adat. (Perda No. 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy). Namun masyarakat hukum
adat di Kabupaten Lebak bukan saja Masyarakat Baduy, melainkan juga terdapat
Masyarakat Kasepuhan.
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Lebak tengah mempersiapkan penyusunan Rancangan
Perda untuk pengakuan Masyarakat Kasepuhan. Studi ini mengusulkan agar Perda itu
sifatnya memudahkan Masyarakat Kasepuhan dalam berinteraksi secara sosial dan
budaya dengan berbagai komunitas lain dan memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan.

Studi ini merekomendasikan dimuatnya beberapa materi dalam Rancangan Perda itu,
yaitu mengenai keberadaan Masyarakat Kasepuhan, hak-hak tradisionalnya, wilayah
adat dan mekanisme penentuan batasnya, lembaga adat, peluang dan tata cara menjadi
desa adat jika dikehendaki, hak-hak atas pembangunan, penyelesaian sengketa dan
berbagai bentuk penyelesaian klaim penguasaan atas wilayah adat yang telah terlanjur
diberikan hak atas tanah atau izin pemanfaatan sumber daya alam.

1

1. Hak ulayat
2. Hak perorangan warga Masyarakat
Kasepuhan atas tanah dan sumber
daya alam
3. Hak memperoleh pembagian manfaat
dari sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional oleh pihak
luar
4. Hak atas pembangunan
5. Hak atas spiritualitas dan kebudayaan
6. Hak atas lingkungan hidup

7. Hak untuk mendapatkan
pendidikan khusus

layanan

8. Hak untuk
kesehatan

mendapatkan

layanan

9. Hak untuk mendapatkan
administrasi kependudukan

layanan

10. Hak untuk mengurus warga sendiri
melalui lembaga adat
11. Hak untuk menjalankan hukum dan

peradilan adat
12. Hak-hak lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan

Vol. 01/2014

Kepeloporan Pemda Kabupaten
Lebak
Kabupaten Lebak adalah pelopor dalam
membuat kebijakan dan Peraturan
Daerah (Perda) yang mengakui masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Pada tahun 2001 Pemerintah Daerah
Kabupaten Lebak (Pemda Lebak) mengeluarkan Perda No. 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat
Baduy. Perda ini telah menjadi rujukan
banyak daerah dalam membentuk peraturan dan kebijakan daerah yang serupa.
Namun masyarakat hukum adat di
Kabupaten Lebak bukan saja Masyarakat
Baduy, melainkan juga terdapat Masyarakat Kasepuhan yang sudah lama ada dan
sampai sekarang masih merawat tradisi
dan menjaga alam berdasarkan kearifankearifan yang dimilikinya. Masyarakat

Kasepuhan mengalami berbagai tantangan perubahan baik yang datang dari luar
maupun dari dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan-perubahan yang datang
tersebut harus diantisipasi dengan baik
agar Masyarakat Kasepuhan bisa menghindari berbagai dampak sosial, ekonomi
dan budaya yang tidak diharapkan serta
permasalahan yang akan menjauhkan
mereka dari sumber daya yang dimilikinya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut,
sekaligus menjawab berbagai permasalahan yang sedang dialami oleh Masyarakat Kasepuhan, maka pengakuan,
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak tradisional masyarakat ini dan hak-hak lainnya harus
menjadi perhatian berbagai kalangan,
terutama bagi Pemerintah Daerah selaku
instansi pemerintahan yang paling dekat
dengan keberadaan Masyarakat Kasepuhan. Dibutuhkan sebuah peraturan daerah
untuk mengatur mengenai Masyarakat
Kasepuhan di Kabupaten Lebak.

Mengapa Pemda perlu
membentuk Perda tentang
Masyarakat Kasepuhan?

Pemda memiliki tanggungjawab untuk
membuat Perda dalam rangka pengakuan
dan penghormatan terhadap keberadaan
Masyarakat Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat. Hal ini didasarkan pada
beberapa hal antara lain: pertama, merupakan tanggung-jawab pemerintah untuk
menjalankan ketentuan di dalam konstitusi berkaitan dengan pengakuan dan

penghormatan terhadap Masyarakat
Kasepuhan sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat beserta dengan hak
tradisionalnya1.
Kedua, Pemda perlu menjalankan berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengamanatkan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak
tradisionalnya harus dilakukan dalam
bentuk peraturan daerah, antara lain
dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa, Peraturan Menteri Agraria
No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.62/MenhutII/2013 tentang Pengukuhan Kawasan
Hutan2.
Ketiga, untuk menjalankan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 35/PUUX/2012 yang menegaskan kedudukan
masyarakat hukum adat sebagai subjek
hukum dan pemulihan terhadap kedudukan hutan adat sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan wilayah adat. Dalam
permohonan itu Kasepuhan Cisitu yang
merupakan salah satu Kasepuhan yang
terdapat di Kabupaten Lebak menjadi
pemohon dan kedudukan hukum (legal
standing)-nya sebagai masyarakat hukum
adat diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Keempat, untuk menjalankan otonomi
daerah atau desentralisasi dengan membuat pengaturan yang sesuai dengan kondisi khusus daerah. Hal ini sejalan dengan
tuntutan dari pelaksanaan kewenangan
legislasi yang dimiliki oleh Pemda3.
Kelima, untuk melindungi Masyarakat

Kasepuhan dalam menghadapi berbagai
tantangan sosial, ekonomi
dan politik
2

2

yang terjadi. Pengakuan terhadap Masyarakat Kasepuhan juga diperlukan untuk
mengangkat keberadaan Kasepuhan dan
menghindari diskriminasi yang selama ini
terjadi terhadap Masyarakat Kasepuhan.
Keenam, untuk membangun model
mengenai mekanisme pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak
tradisionalnya.
Pembentukan
Perda
tentang Perlindungan atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy dan Surat Keputusan
Bupati tentang Masyarakat Kasepuhan4
menjadi modal untuk membangun model

pengakuan dan penghormatan terhadap
masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya yang dapat dicontoh oleh daerah
lain.

Apa yang perlu diatur dalam
Perda?
Para prinsipnya pengaturan mengenai
Masyarakat Kasepuhan dalam Perda dilakukan untuk memudahkan Masyarakat
Kasepuhan dalam berinteraksi secara
sosial dan budaya dengan berbagai komunitas lain. Jadi, pengaturan ke dalam
Perda bukanlah ditujukan untuk mengekang dan membatasi ruang gerak Masyarakat Kasepuhan.
Selain itu, tujuan pembuatan Perda
mengenai Masyarakat Kasepuhan haruslah diarahkan untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi Masyarakat Kasepuhan. Oleh karena itu, beberapa
substansi pokok berikut perlu dipertimbangkan untuk menjadi materi yang
diatur di dalam Perda.
Pertama, pengakuan terhadap seluruh
Masyarakat Kasepuhan sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat. Masyarakat
Kasepuhan terdiri dari kasepuhan induk,
kasepuhan rendangan dan kasepuhan

gurumulan

Vol. 01/2014

gurumulan. Pemda perlu mengakui semua
Kasepuhan beserta dengan hak-hak
tradisionalnya. Kedua, mengakui hak
tradisional dan hak lainnya dari
Masyarakat Kasepuhan sebagai warga
negara. Hak tradisional adalah hak yang
melekat kepada Masyarakat Kasepuhan
sebagai
masyarakat
hukum
adat.
Sedangkan hak-hak lainnya adalah hak
setiap warga Masyarakat Kasepuhan
sebagai warga negara.
Ketiga, khusus untuk Masyarakat Kasepuhan yang memiliki wilayah adat maka
perlu ada pengaturan mengenai tata cara

penentuan batas wilayah adat. Hasil pemetaan wilayah adat ditetapkan dengan
Keputusan Bupati kemudian didaftarkan
oleh Kantor Pertanahan ke dalam buku
tanah dengan tanda kartografi yang
sesuai. Pada saat dilakukan perubahan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten, maka wilayah adat dimasukkan ke dalam perubahan RTRW tersebut.
Perubahan RTRW ini tetap membutuhkan
persetujuan dari Masyarakat Kasepuhan,
utamanya dalam penentuan pola ruangnya.
Keempat, untuk melakukan tata batas
wilayah adat maka diperlukan pembentukan Panitia Inventarisasi dan Verifikasi
Wilayah Adat yang bertugas melakukan
inventarisasi, verifikasi, menyelesaikan
keberatan dan memberikan rekomendasi
kepada Bupati untuk menetapkan wilayah
adat. Panitia ini bersifat multi pihak,
dengan anggota tidak hanya berasal dari
Pemerintah, tetapi berasal dari akademisi,
Lembaga Swadaya Masyarakat dan

Lembaga Adat.
Kelima, pengakuan terhadap lembaga
adat dalam menyelenggarakan urusan
untuk mengayomi Masyarakat Kasepuhan. Termasuk pula dalam hal ini kewenangan lembaga adat untuk menjalankan
peradilan adat serta mewakili Masyarakat
Kasepuhan dalam melakukan hubungan
hukum dengan pihak luar.

Ketujuh, khusus untuk Masyarakat
Kasepuhan yang dapat menyelenggarakan
urusan administrasi pemerintahan, maka
dapat ditetapkan oleh Pemda sebagai
Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Kedelapan, mengatur mengenai tata cara
penyelesaian sengketa berkaitan dengan
wilayah adat yang di dalamnya ada hak
milik atas tanah atau diusahakan oleh
perusahaan dengan izin atau Hak Guna
Usaha. Pada prinsipnya, Masyarakat Kasepuhan perlu menghormati hak milik atas
tanah yang ada di wilayahnya. Pemerintah
perlu memberikan ganti rugi atau
kompensasi jika pemilik hak milik atas
tanah itu tidak mau berada di dalam
wilayah adat. Di sisi lain, Masyarakat
Kasepuhan tetap harus menghormati
keberadaan izin dan Hak Guna Usaha
sampai izin dan hak yang telah terlanjur
tersebut berakhir. Ketika izin dan hak
habis, maka tanahnya dikembalikan
kepada Masyarakat Kasepuhan. Meskipun
demikian, Pemda harus memberikan
pendampingan kepada Masyarakat Kasepuhan apabila izin dan hak yang beroperasi di atas wilayah adat melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak Masyarakat Kasepuhan dan merusak lingkungan
hidup.
Kesembilan, untuk wilayah adat yang
masih dipertahankan kondisinya sebagai
kawasan hutan, dan termasuk dalam
kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah, maka perlu tetap dipertahankan sebagai hutan dan ditetapkan sebagai
hutan adat. Dalam hal wilayah adat berhimpitan dengan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS), maka perlu
dilakukan pembicaraan mengenai pembagian zonasi agar sesuai dengan pembagian

ruang yang dilakukan oleh Masyarakat
Kasepuhan,
khususnya
mengenai
leuweung tutupan, leuweung titipan, dan
leuweung sampalan/garapan/cawisan.
Dalam hal wilayah adat yang berada di
dalam kawasan hutan sudah tidak
berfungsi hutan, maka perlu diadakan
kegiatan memulihkan kondisi lahan ke
fungsi awalnya dan atau jika tidak
memungkinkan dikeluarkan dari kawasan
hutan.

Bagaimana langkah-langkah
penyiapan Perda Masyarakat
Kasepuhan?
Perda adalah hasil konsensus bersama
antara Pemda dengan warga masyarakat
yang proses pembentukannya dilakukan
oleh wakil rakyat di DPRD. Sebagai
produk konsensus di daerah maka sebuah
Perda harus dipersiapkan dengan baik
dan membuka ruang partisipasi yang luas
kepada warga di daerah. Dalam penyiapan
Perda Masyarakat Kasepuhan perlu
diperhatikan beberapa langkah berikut:
Pertama, memasukkan Ranperda tentang
Masyarakat Kasepuhan ke dalam Program
Legislasi Daerah (Prolegda). Setelah
masuk di dalam Prolegda, maka pembentukan Perda Masyarakat Kasepuhan
dijadikan sebagai agenda resmi daerah.
Kedua, penyiapan naskah akademik.
Tahapan ini tergantung apakah inisiatif
pembentukannya berasal dari Pemerintah
Daerah (eksekutif) atau oleh DPRD
(legislatif). Kedua jalur tersebut dapat
ditempuh untuk membentuk Perda Masyarakat Kasepuhan yang pada pembahasan nantinya akan dibahas bersamasama oleh Pemda dan DPRD. Pada tahapan ini dibentuk Tim Penyusun Naskah
Akademik dan Rancangan Perda. Tim ini
bekerja untuk melakukan penelitian

Langkah-Langkah Pembentukan Perda Masyarakat Kasepuhan

Keenam, Pemerintah Daerah menjadikan
Masyarakat Kasepuhan sebagai unit
dalam pembangunan di daerah. Hal ini
dilakukan kemudian dengan menjadikan
komunitas-komunitas Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang menjadi
sasaran untuk pelayanan dan pemberdayaan dari program-program Pemda.

3

Vol. 01/2014

mengenai masyarakat hukum adat
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Keanggotaan Tim Penyusun harus
memperhatikan keterlibatan berbagai
unsur antara lain: (1) Unsur Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) terkait
dengan masyarakat hukum adat dan hak
tradisionalnya; (2) akademisi yang ahli di
bidang masyarakat hukum adat; (3) tokoh
adat; dan (4) Lembaga Swadaya Masyarakat yang bekerja untuk pemberdayaan
masyarakat hukum adat.
Ketiga, Naskah Akademik dan Rancangan
Perda dibahas dalam konsultasi publik
yang dihadiri oleh Masyarakat Kasepuhan
dan pihak berkepentingan lainnya. Konsultasi tersebut bisa diselenggarakan di
kantor pemerintahan atau di kampungkampung untuk memperoleh aspirasi
yang luas dari masyarakat.
Keempat, pembahasan Rancangan Perda
antara Pemda dengan DPRD. Pembahasan
ini dilakukan dengan melibatkan partisipasi Masyarakat Kasepuhan ke dalam
rapat-rapat resmi yang diselenggarakan
dalam pembahasan Rancangan Perda.
Kelima, persetujuan bersama antara
Pemda dengan DPRD terhadap Rancangan
perda yang telah dibahas secara bersamasama.

Keenam, pengesahan Perda yang telah
disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD
kemudian mengundangkannya ke dalam
Lembaran Daerah oleh Sekretaris Daerah.

Penutup
Pembentukan Perda tentang Masyarakat
Kasepuhan merupakan wujud tanggungjawab konstitusional dari Pemda Lebak
untuk mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta dengan hak
tradisionalnya. Pemda Lebak sendiri telah
melakukan berbagai terobosan hukum
dalam mengakui masyarakat hukum adat.
Sekarang tiba saatnya untuk membangun
model mengenai mekanisme pengakuan
hukum terhadap masyarakat hukum adat
dengan membentuk Perda Masyarakat
Kasepuhan.
Perda Masyarakat Kasepuhan tidak saja
penting untuk mengakui dan menghormati hak tradisional Masyarakat Kasepuhan, tetapi juga untuk melindungi dan
memenuhi hak-hak lainnya dari setiap
warga masyarakat Kasepuhan sebagai
warga negara. Pembentukan Perda ini
akan menjadi satu babak baru dalam
rangka mempercepat proses pemerataan
pembangunan, melalui pelayanan dan
pemberdayaan yang menjadikan Masyarakat Kasepuhan sebagai unit dalam
program pembangunan oleh Pemda.

1

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang. ”Selain itu Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

2

Selain itu terdapat pula Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri ini menghendaki dibentuknya Keputusan
Bupati mengenai pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat di daerah.

3

Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan:
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

4

Pemda telah mengeluarkan Keputusan Bupati Lebak No. 430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan
Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak.

oleh Epistema Institute

Penulis:
Yance Arizona (Manajer Program Hukum dan Masyarakat pada Epistema Institute), dengan kontribusi
dari Mumu Muhajir, Nia Ramdhaniaty, Erwin Dwi Kristianto, Idham Arsyad dan Myrna A. Safitri

bekerjasama dengan RMI,

Tata Letak: Andi Sandhi

Perkumpulan HuMa dan JKPP

Koleksi Foto: Luluk Uliyah

dan didukung oleh The Toyota

Cover Foto:
Riungan Sesepuh Adat Banten Kidul ka 10, Seren taun Kasepuhan Cisungsang

Policy brief ini dipublikasikan

Foundation

Epistema Institute
Jalan Jati Padang Raya No. 25
Jakarta, 12540
Telp.
: +62 21 7883 2167
E-mail
: epistema@epistema.or.id
Website
: www.epistema.or.id

4