model pengenalan pola kasus pemilahan warna suara saron dan demung pada gamelan jawa

MODEL PENGENALAN POLA :
KASUS PEMILAHAN WARNA SUARA SARON DAN BONANG
PADA GAMELAN JAWA
Sumarna#, Risanuri Hidayat *
#

Dosen Jurusan Pendidikan Fiaika FMIPA UNY, (sumarna@uny.ac.id)
*Dosen Pasca Sarjana Jurusan Teknik Elektro FT UGM

Abasrak
Penyelidikan ini bertujuan untuk menggali ciri-ciri yang menunjukkan keunikan
suara yang ditimbulkan dari pemukulan alat musik tradisional, khususnya sarondemung dan bonang-panembung pada Kanjeng Kyai (KK) Guntur Sari gamelan pusaka
Kraton Yogyakarta.
Ekstraksi cirinya ditempuh dengan cara tranformasi Fourier cepat (FFT) pada
hasil rekaman suara wilahan saron dan bonang objek penyelidikan. Digunakan FFT
karena bentuk sinyal suara alat musik tersebut lebih cenderung sinusoidal, meskipun
mengalami atenuasi (redaman). FFT dikenakan per bagian/potongan sinyal dan hal
yang menjadi perhatian utama adalah ciri-ciri pada komponen harmoniknya.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa ada perbedaan pola atenuasi dan cacah
harmonik suara dari saron dan bonang. Koefisien redaman amplitudo pada bonang
cenderung lebih besar dari pada saron. Cacah komponen harmonik pada bonang

cenderung lebih banyak dari pada saron.
Kata Kunci : pola, warna suara, bonang, saron, gamelan jawa.

PENDAHULUAN
Gamelan jawa sebagai salah satu hasil kebudayaan tradisional masyarakat jawa yang
memiliki nilai sejarah sangat tinggi perlu dikaji secara terus menerus dari berbagai sudut pandang,
di antaranya adalah kajian secara ilmiah-fisis. Kajian mengenai gamelan jawa telah banyak ditulis
oleh para ahli kebudayaan baik dari Barat maupun dari Timur. Penyelidikan ilmiah dengan
pengukuran nada-nada gamelan jawa telah dirintis oleh A.J. Ellis dari Inggris pada tahun 1884
mengenai selang suara pada laras pelog dan slendro. Dilanjutkan pada tahun 1933 oleh DR. Jaap
Kunst dari Belanda yang telah melakukan penyelidikan sistem nada pada gamelan secara intensif
dengan mengukur frekuensi getar wilahannya. Alat utama yang digunakan pada saat itu adalah
monochord yang ketelitiannya hanya mengandalkan pada kemampuan pendengaran (telinga)
seseorang. Kemudian pada tahun 1969, Wasisto Surjodiningrat, Sudarjana, dan Adhi Susanto
(dosen UGM) juga menyelidiki frekuensi getar wilahan-wilahan gamelan pada berbagai perangkat
(pangkon) gamelan terbaik dan representatif milik Kraton (Kasultanan, Paku Alaman, Kasunanan,
dan Mangku Negaran), instansi pemerintah (RRI), dan perorangan. Alat yang digunakan lebih
modern dari pada sebelumnya. Laras yang diselidiki meliputi slendro dan pelog.
Penyelidikan mengenai gamelan baik yang dilakukan oleh DR. Jaap Kunst maupun
Wasisto S. dkk. terbatas pada pengukuran frekuensi getar. Selain itu, peralatan yang digunakan

relatif sederhana bila dibandingkan dengan peralatan moderen sekarang. Dengan demikian, masih
sangat layak untuk mengkaji ulang dan lebih lengkap mengenai gamelan jawa karena berbagai
sebab dan alasan. Pertama, peralatan yang tersedia sekarang semakin lengkap, akurat dan presisi.
Ke dua, setelah sekian lama bahan pembuatan gamelan mengalami pelapukan, proses pe-laras-an

dan penggunaannya akan berpengaruh terhadap frekuensi getarnya. Ke tiga, parameter yang
dipelajari dapat diperluas tidak hanya mengenai frekuensi getar tetapi dapat ditambah dengan
warna bunyi (timbre) yang ditimbulkan (spektrum frekuensi). Ke empat, gamelan, khususnya
gamelan pusaka kraton, selain sebagai instrumen untuk menggenerasi bunyi tetapi juga merupakan
produk budaya adi-luhung yang memiliki nilai sejarah tinggi perlu dilestarikan keberadaannya.
Pelestariannya meliputi gamelan secara fisik maupun suara khasnya yang dalam bidang ilmiah
disebut sebagai warna suara (timbre). Untuk mengetahui spektrum warna bunyi diperlukan
instrumen analisis yang sekarang mudah didapat dan salah satunya dikenal dengan nama FFT ( Fast
Fourier Transform). Sesuai dengan bidang yang dikaji, Jurusan Teknik Elektro FT UGM yang
kebetulan berada di tengah-tengah masyarakat jawa sudah selayaknya menaruh perhatian besar
terhadap segi-segi ilmiah dari gamelan serta terlibat dalam pengembangan dan pelestariannya.
Setiap kurun waktu tertentu perangkat gamelan harus dilakukan pe-laras-an (di-stem)
yakni proses pencocokan tinggi nada antara wilah yang satu dengan yang lain dan juga pencocokan
dengan tinggi nada wilah standar. Pe-laras-an tersebut dikerjakan secara manual oleh seorang ahli
laras. Karena dilakukan secara manual maka kesesuaian dengan standar laras-nya bersifat

subyektif. Ahli laras gamelan makin lama juga semakin langka, sehingga tidak mudah untuk
mendapatkan orang yang benar-benar ahli dan konsisten dengan nada-nada gamelan. Dalam proses
pelarasan gamelan tidak (belum) ada standar untuk warna suara, sehingga dimungkinkan selalu
terjadi perubahan/pergeseran dari warna suara aslinya. Hal inilah yang mendorong untuk
melestarikan suara khas gamelan pusaka.
Berbicara masalah gamelan sebenarnya berbicara tentang kebudayaan tradisional.
Berbicara tentang penelitian atas gamelan yang dilakukan oleh para peneliti di universitas, dalam
ruang lingkup yang lebih luas, sebenarnya berbicara tentang hubungan antara universitas dan
kebudayaan tradisional. Sikap yang bijaksana bagi Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah
menaruh perhatian yang sama antara ilmu pengetahuan dan kebudayaan. UGM dapat mengambil
peran pimpinan dalam memelihara, membina, mengembangkan, dan meneruskan kebudayaan demi
tercapainya ‘quality of human life’ yang semakin lama semakin baik [1].
Kesenian Jawa, khususnya karawitan dan pagelaran wayang kulit purwa , sudah
membuktikan dirinya sebagai salah satu kesenian yang bisa bertahan selama berabad-abad. Ini
merupakan sebuah peristiwa yang luar biasa dan penuh keajaiban. Sebuah bentuk kesenian yang
berasal dari zaman purba ternyata bisa bertahan dan bahkan cenderung berkembang di zaman yang
penuh dengan kemajuan teknologi [3]. Di dalam kesenian karawitan dan wayang kulit tidak dapat
dipisahkan adanya alat musik yang dikenal sebagai gamelan. Dengan demikian gamelan juga
merupakan fenomena yang luar biasa dan penuh keajaiban. Gamelan dapat berkembang dan
bertahan hingga ratusan tahun [4].


PEMBAHASAN
Transformasi Fourier Diskrit (DFT)
DFT digunakan untuk menentukan komponen-komponen sinus dan cosinus dari suatu
gelombang periodik. Dalam banyak hal, komponen-komponen tersebut lebih berguna dari pada
bentuk gelombang itu sendiri. Suatu gelombang f(t) disampling dalam N kali interval-interval t0 =
0, t1 = T, t2 = 2T, …, tk = kT, …, tN-1 = (N-1)T. Interval penyamplingan penuh adalah S = NT.
Dengan menggunakan notasi fk = f(tk), suatu DFT dari fk didefinisikan sebagai :



N 1

Fn =

k 0

fk e i 2nk / N

Koefisien-koefisien DFT yang signifikan (bermakna) adalah bahwa F0 merupakan koefisien fourier

pada frekuensi 0 (komponen dc), F1 adalah koefisien fourier pada frekuensi 1 (1 putaran per S), dan

Fn adalah koefisien fourier pada frekuensi n (n putaran per S). Untuk melihat hal itu, berikut ini
dihitung beberapa koefisien fourier :



N 1

F0 =

k 0

fk (jumlah semua amplitudo).

f(t)

fk

tk


T
S = NT

Misalkan dipilih suatu kasus di mana fk = C (sebuah konstanta), maka F0 = NC dan semua
koefisien fourier yang lain adalah 0. Kasus berikutnya adalah suatu gelombang sinus dengan M
putaran lengkap per interval penyamplingan S, atau fk = sin (2kM/N).



N 1

Fn =

k 0

sin (2kM/N) [cos (2kn/N) - i sin (2kn/N)].

Terkait dengan sifat-sifat ortogonalitas dari deret sinus dan cosinus, maka untuk fk di atas berlaku :




N 1

FM

=

F(N-M)

=

k 0
N 1



k 0

-i sin2(2kM/N) = -iN/2

i sin2(2kM/N) = iN/2

dan semua koefisien fourier yang lain adalah 0. Selanjutnya terlihat bahwa koefisien fourier ke n
mendeskripsikan amplitudo dari sembarang komponen gelombang sinus dengan n putaran lengkap
per interval penyamplingan.
Koefisien-koefisien fourier di luar interval dar 0 sampai dengan N/2 memiliki
korespondensi. Dari definisi DFT, amplitudo fourier untuk N putaran per interval penyamplingan S
adalah sama dengan 0 putaran per S. Dengan demikian :



N 1

FN =

k 0

fk e

i 2k




N 1

=

k 0

fk = F0.

Di atas N sampel per S, semua amplitudo fourier adalah sama dengan pasangan di bawahnya.



N 1

FN+n

=


=

k 0
N 1



k 0

fk e i 2k e i 2nk / N
fk e i 2nk / N = Fn.

Antara N/2 dan N sampel per S, diperoleh hasil sebagai berikut :



N 1

FN-n


=

=

k 0
N 1



k 0

fk e i 2k e i 2nk / N
fk e i 2nk / N .

Jika fk riil, maka FN-n = Fn* dan FN/2 riil (*menyatakan suatu konjugate kompleks). FN/2 adalah
koefisien fourier pada frekuensi N/2 (1 putaran per 2T). Ini adalah frekuensi terbesar bahwa suatu
DFT dapat ditentukan. Semua koefisien fourier untuk frekuensi yang lebih tinggi adalah sama
dengan atau merupakan konjugate kompleks dari koefisien-koefisien untuk frekuensi-frekuensi
yang lebih rendah. Sehingga hanya ada N/2 koefisien fourier yang bebas (independent).
Jika penyamplingan frekuensi tersebut tidak cukup, komponen-komponen frekuensi yang
lebih tinggi dari gelombang yang sesungguhnya f(t) akan muncul sebagai komponen-komponen
frekuensi yang lebih rendah dalam DFT. Ini disebut aliasing frekuensi. Tidak ada cara untuk
membetulkan data setelah penyamplingan dilakukan. Solusi yang biasa terhadap persoalan ini
adalah menggunakan filter analog lolos rendah (filter antu aliasing) yang akan mengeliminasi
semua frekuensi di atas fS/2 sebelum penyamplingan. Suatu pernyataan berdasarkan hasil tersebut
merupakan teorema penyamplingan yang mengatakan bahwa untuk dapat mencakup secara lengkap
suatu sinyal kontinu dari pasangannya yang disampling, frekuensi penyamplingan fS harus
sekurang-kurangnya dua kali frekuensi tertinggi dalam sinyal tersebut.
Setiap koefisien fourier Fn pada umumnya adalah kompleks, bagian riilnya
mendeskripsikan amplitudo yang menyerupai cosinus dan bagian imajinernya mendeskripsikan
amplitudo yang menyerupai sinus. Modulus atau magnetudo Gn didefinisikan sebagai :
Re( Fn ) 2  Im(Fn )2

Gn =
dan sudut fase n diberikan oleh :

tan n =

Im(Fn )
.
Re( Fn )

Invers dari DFT diberikan oleh :



N 1

fk =

k 0

Fn i 2nk / N
e
N

Jika dihitung fk di luar interval penyamplingan S akan diperoleh :



N 1

fN+k =

k 0

Fn i 2n i 2nk / N
e
e
= fk .
N

Terlihat bahwasekelompok N koefisien fourier tertentu dari suatu fungsi terbentuk berulang secara
tak ada habis-habisnya dengan periodesitas S = NT. Ini sejalan dengan hasil terdahulu bahwa
sekelompok dari N sampel, koefisien-kosfisien fourier berulang terus-menerus dengan periodesitas
N = S/T [2].
Transformasi Fourier Cepat (FFT)
FFT merupakan metode yang sangat efisien untuk menghitung DFT secara komputasional.
Sebagai akibatnya penginterpretasian hasil FFT hanya memerlukan pemahaman dari DFT.
Efisiensi komputasional FFT muncul dari kepandaian menyusun kembali suku-suku dalam DFT
sedemikian hingga suku-suku yang sama hanya dihitung sekali. Penghitungan langsung melalui
persamaan DFT yang deberikan sebelumnya memerlukan N2 perkalian dan N(N-1) penjumlahan.
Dengan kata lain, FFT hanya memerlukan N 2log N perkalian dan 2N 2log N penjumlahan.
Unutk N = 1024 cacah perkaliannya direduksi dengan faktor 100.



N 1

Fn =

k 0

fk e i 2nk / N =



N 1
k 0

fk Wnk

di mana didefinisikan W = e i 2 / N dan W0 = Wn = 1 [2].

Hasil dan Diskusi
Pada kesempatan ini disampaikan hasil yang sangat terbatas yaitu bahwa ciri-ciri untuk
membedakan suara saron dan bonang berdasarkan cacah (jumlah) harmonik (puncak) setelah suatu
suara hasil rekaman dianalisis dengan FFT. Hasil pembandingannya seperti tampak pada Tabel 1.
Tabel 1 :
Sumber Suara
(Nama Wilahan)
Saron Demung - 1
Saron Demung – 2
Saron Demung – 3
Saron Demung – 5
Saron Demung - 6
Saron Demung – 1 Atas
Bonang Panembung Jaler - 1
Bonang Panembung Jaler - 2
Bonang Panembung Jaler - 3
Bonang Panembung Jaler - 5
Bonang Panembung Jaler - 6
Bonang Panembung Setri - 1

Jumlah
Puncak/Harmonik
setelah di-FFT

Frekuensi
Dasar (Hz)

9
4
4
6
6
6
18
18
16
17
15
10

259
302
345
388
475
561
518
302
345
388
475
259

Cacah puncak dan koefisien atenuasinya dihitung dengan program MATLAB dan secara manual.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, ternyata jumlah harmonik saron kurang dari 10, sedangkan
jumlah harmonik pada bonang jaler lebih dari 14.
Jika diperhatikan pola atenuasi untuk setiap rekaman suara wilahan tampak bahwa pada
durasi/selang waktu yang sama amplitudo suara bonang mengecil lebih cepat dari pada suara
saron. Hai ini menunjukkan bahwa suara bonang jaler lebih cepat habis dari pada suara saron

demung. Beberapa gambar sinyal rekaman suara dan hasil analisis FFT untuk suara instrumen yang
menjadi objek penyelidikan disampaikan sebagai berikut :

Rekaman Saron Demung 1

FFT Saron Demung 1 (259 Hz/-37 dB)

Rekaman Saron Demung 2

FFT Saron Demung 2 (302 Hz/-44 dB)

Rekaman Saron Demung 3

FFT Saron Demung 3 (345 Hz/-60 dB)

Rekaman Saron Demung 5

FFT Saron Demung 5 (388 Hz/-42 dB)

Rekaman Saron Demung 6

FFT Saron Demung 6 (475 Hz/-43 dB)

Rekaman Saron Demung 1-atas

FFT Saron Demung 1-atas (561 Hz/-45 dB)

Rekaman Bonang Panembung Jaler 1

FFT Bonang Panembung Jaler 1 (518 Hz/-42 dB)

Rekaman Bonang Panembung Jaler 2

FFT Bonang Panembung Jaler 2 (302 Hz/-31 dB)

Rekaman Bonang Panembung Jaler 3

FFT Bonang Panembung Jaler 3 (345 Hz/-38 dB)

Rekaman Bonang Panembung Jaler 5

FFT Bonang Panembung Jaler 5 (388 Hz/-37 dB)

Rekaman Bonang Panembung Jaler 6

FFT Bonang Panembung Jaler 6 (475 Hz/-41 dB)

Rekaman Bonang Panembung Setri 1

FFT Bonang Panembung Setri 1 (259 Hz/-45 dB)

KESIMPULAN
Ada perbedaan pola atenuasi dan cacah harmonik suara pada saron dan bonang. Koefisien
redaman amplitudo pada bonang cenderung lebih besar dari pada saron. Suara bonang jaler lebih
cepat habis (tak terdengar) dari pada suara saron demung. Cacah komponen harmonik pada bonang
(lebih dari 14) cenderung lebih banyak dari pada saron (kurang dari 10).

DAFTAR PUSTAKA
[1]

Surjodiningrat, Wasisto., Sudarjana, P. J., Susanto, Adhi., Penyelidikan Dalam Pengukuran
Nada Gamelan-gamelan Jawa Terkemuka Di Yogyakarta dan Surakarta , Laboratorium
Akustik Bagian Mesin Fakultas Tehnik, UGM Yogyakarta, 1969.

[2]

Derenzo, Stephen E., Interfacing: A Laboratory Approach Using The Microcomputer for
Instrimentation, Data Analysis, an Control, New Jersey, Prentice-Hall Inc., 1990.

[3]

Palgunadi, Bram., Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung, ITB, 2002.

[4]

Sumarsam, Gamelan : Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2003.

[5]

Theodoridis,S., Koutroumbas,K., Pattern Recognition , Second Edition, Amsterdam, Elsevier
Academic Press, 2003.