M01160

PERBEDAAN TINGKAT KEPEMILIKAN ASING DAN JUMLAH
PERUSAHAAN PERATA LABA PADA PERIODE SEBELUM DAN
SESUDAH PENGUMUMAN PENERAPAN IFRS DI INDONESIA
Oleh:
Murtaziqoh
(Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana)
Yeterina Widi Nugrahanti
(Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana)
Email : yeterina.nugrahanti@staff.uksw.edu
ABSTRACT

The purpose of this research is to evaluate the level of foreign ownership and
the level of income smoothing before and after the IFRS announcement. Foreign
ownership is measured by the percentage of foreign institutions shareholders in the
company and income smooting is measured by Indeks Eckel. This researh’s sample was
taken with a purposive sampling technique from the 280 manufacture companies wich
listed on Indonesian Stock Exchange in 2004-2012. The statistical method used for this
research was Wilcoxon Signed Test and McNemar Test. The result of this research
indicated that there are an increase of the level of foreign ownership and the level of
income smoothing after IFRS announcement. It indicates that the benefits which is
wanted from IFRS implementation could be reached, although it still needs to do some

control and flexibility that the IFRS will give.
Key word : International Financial Reporting Standards, Foreign Investment, Income
Smoothing

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu anggota dari Forum G20, yaitu forum informal yang
terdiri dari negara-negara industri dan emerging economies, ditambah Uni Eropa yang
bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi penguatan arsitektur keuangan
internasional dan memberikan kesempatan untuk berdialog tentang kebijakan-kebijakan
internasional, kerjasama internasional dan lembaga-lembaga keuangan internasional
(Hermawan, 2012). Sebagai anggota dari Forum G20, maka Indonesia harus
menerapkan International Financial Reporting Standards (IFRS) sebagai hasil
kesepakatan atas pertemuan yang dilakukan pada tanggal 15 November 2008 di
Washington DC (Martani, 2011). Sebagai kelanjutannya, pada tanggal 23 Desember
2008 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mendeklarasikan rencana Indonesia untuk
melakukan konvergensi IFRS dalam standar akuntansi keuangannya sehingga
1

perusahaan yang go public diharuskan menyusun laporan keuangannya berdasarkan
prinsip akuntansi yang baru (www.iaiglobal.or.id).

Manfaat penerapan IFRS secara umum adalah: 1) Memudahkan pemahaman atas
laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikenal secara
internasional. 2) Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi. 3)
Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal
secara global. 4) Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. 5) Meningkatkan
kualitas laporan keuangan (Martani, 2011).
Salah satu manfaat yang diharapkan dari penerapan IFRS di Indonesia adalah
meningkatnya arus investasi secara global yang berarti bahwa diharapkan jumlah
investor asing yang menanamkan modal di Indonesia meningkat (Martani, 2011). Hal
tersebut dapat tercapai melalui penerapan IFRS di Indonesia karena IFRS sebagai
standar keuangan yang seragam dapat mempermudah berjalannya kegiatan bisnis lintas
negara. Berbeda halnya jika kegiatan bisnis lintas negara dilakukan tanpa menggunakan
standar akuntansi yang seragam, maka akan timbul masalah yang dihadapi oleh calon
investor maupun kreditor karena perbedaan standar akuntansi suatu negara dengan
negara lain. Sehingga diharapkan dengan diterapkannya IFRS dapat mempermudah
pemahaman atas laporan keuangan sehingga tidak ada interpretasi yang keliru (Cahyati,
2011).
Penelitian yang dilakukan di luar negeri untuk menguji dampak penerapan IFRS
terhadap struktur kepemilikan asing sudah banyak dilakukan. Antara lain, Florou dan
Pope (2009), Yu (2010), Lee dan Farghar (2010), Defond et al. (2011) dan Gordon et al.

(2011) menemukan bahwa investasi asing meningkat pada perusahaan setelah
menerapkan IFRS. Sedangkan di Indonesia, belum ada penelitian yang dilakukan untuk
menguji apakah penerapan IFRS benar-benar memberikan manfaat dalam peningkatan
arus investasi global yang ditunjukkan dengan adanya kenaikan tingkat kepemilikan
asing di Indonesia.
Pada tahun 2007, sudah ada beberapa PSAK yang diharmonisasikan dengan IFRS,
antara lain PSAK 13 tentang Properti Investasi dan PSAK 16 tentang Aset Tetap.
Penilaian aset tetap yang dulu menggunakan historical cost, kini harus dinilai
menggunakan fair

value.

Sehingga dibutuhkan professional judgment untuk

menentukan nilai dari aset tetap tersebut. PSAK yang sudah diharmonisasikan ini dapat
dimanfaatkan manajemen untuk memanipulasi laporan keuangannya karena penilaian
berdasarkan fair value bersifat subjektif. Dengan demikian, bisa saja praktik manajemen
2

laba meningkat setelah diterapkannya IFRS. Peningkatan kualitas laporan keuangan

yang diharapkan diperoleh dari penerapan IFRS tidak dapat terwujud.
Salah satu bentuk dari manipulasi laba (manajemen laba) yang dapat menurunkan
kualitas laba adalah praktik perataan laba (income smoothing). Perataan laba menurut
Beidleman (1973) dalam Rohaeni dan Aryati (2012) adalah suatu upaya yang sengaja
dilakukan untuk memperkecil fluktuasi pada tingkat laba yang dianggap normal bagi
suatu perusahaan. Terjadinya praktik perataan laba juga dapat dikaitkan dengan teori
keagenan. Dalam teori keagenan, pemilik dan manajer dianggap memiliki konflik
kepentingan untuk menyejahterakan diri masing-masing. Karena informasi yang
dimiliki oleh manajer lebih banyak dibanding pemilik, timbullah dysfunctional behavior
yang dilakukan oleh manajer. Salah satu bentuk dari dysfunctional behavior ini adalah
perataan laba. Di Indonesia, praktik perataan laba pada perusahaan manufaktur pada
tahun 2008 sudah mencapai angka yang cukup tinggi yakni 56% (Susanti, 2008).
Sehingga diharapkan adanya regulasi yang dapat melindungi publik dari praktik pasar
yang tidak efisien, sesuai dengan tujuan dariteori kepentingan publik (public interest
theory).

Penelitian mengenai dampak penerapan IFRS terhadap income smoothing di luar
negeri antara lain, Osma dan Pope (2010) yang menemukan bukti bahwa praktik
perataan laba menurun setelah diterapkannya IFRS. Namun hasil penelitian tersebut
berbeda dengan penelitian Paananen and Lin (2008), Ahmed et al. (2010), Chen et al.

(2010) dan Tudor (2010) yang melaporkan bahwa praktik perataan laba meningkat
setelah diterapkannya IFRS. Sedangkan penelitian mengenai dampak penerapan IFRS
terhadap praktik perataan laba di Indonesia belum banyak dilakukan. Rohaeni dan
Aryati (2012) dan Trisanti (2012) menemukan bukti bahwa jumlah praktik perataan laba
menurun setelah diterapkannya IFRS.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat
kepemilikan asing dan jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba di Indonesia
pada periode sebelum dan sesudah pengumuman penerapan IFRS. Penelitian untuk
menguji adanya kenaikan tingkat kepemilikan asing pada periode sesudah pengumuman
penerapan IFRS belum pernah dilakukan di Indonesia, sedangkan penelitian untuk
menguji adanya kenaikan jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba pada
periode sesudah pengumuman penerapan IFRS belum banyak dilakukan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan pengembangan atas penelitian yang dilakukan oleh
Trisanti (2012). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Trisanti (2012), periode amatan
3

yang digunakan adalah tahun 2000 – 2009 dengan jumlah sampel 327 perusahaan yang
terdaftar di BEI. Hasilnya, terdapat penurunan praktik perataan laba sesudah
diterapkannya IFRS namun jumlah praktik perataan laba itu sendiri masih terbilang
cukup tinggi di Indonesia. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam

penelitian ini ditambahkan juga variabel tingkat kepemilikan asing yang diduga
meningkat setelah diumumkannya penerapan IFRS dan periode pengamatan yang
diubah menjadi 2004 - 2012.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi investor
atau calon investor dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan laba
perusahaan. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan
bagi pemerintah dan Lembaga Penyusun Standar Akuntansi di Indonesia dalam menilai
standar yang ada agar dapat terjadi peningkatan kualitas standar.

TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
International Financial Reporting Standards (IFRS)

Pada tahun 1973 dibentuk International Accounting Standard Committee (IASC)
yang diberi tugas untuk menyusun International Accounting Standards (IAS). Pada
tahun 2001, IASC mengubah struktur organisasi mereka dengan membentuk
International Accounting Standard Board (IASB) yang menangani International
Financial Reporting Standards (kelanjutan dari IAS) (Materi Pidato Pengukuhan Prof.

Dr. Indra Wijaya Kusuma, M.B.A., Akt., 2007).
Data dari International Accounting Standard Board (IASB) menunjukkan bahwa

pada tahun 2008, sudah terdapat 102 negara yang telah menerapkan IFRS dengan
berbagai tingkat keharusan yang berbeda-beda. Sebanyak 23 negara mengizinkan
penggunaan IFRS secara sukarela, 75 negara mewajibkan penggunaan IFRS untuk
seluruh perusahaan domestik dan 4 negara mewajibkan penggunaan IFRS untuk
perusahaan domestik tertentu (www.iaiglobal.or.id)
Di Indonesia sendiri, IAI mendeklarasikan rencana Indonesia untuk melakukan
konvergesi IFRS dalam standar akuntansi keuangannya pada tahun 2008. IAI
mencanangkan bahwa IFRS akan mulai berlaku di Indonesia pada tahun 2012 secara
penuh (www.iaiglobal.or.id). Indonesia melakukan konvergensi IFRS secara bertahap
sejak 2008 hingga 2011 dimana tahap-tahap tersebut terdiri dari tahap adopsi pada tahun
2008 hingga tahun 2010, tahap persiapan akhir yang dilaksanakan selama tahun 2011
dan tahap pengimplementasian PSAK berbasis IFRS serta dilakukan evaluasi mulai
4

tahun 2012 (Husin, 2008). PSAK yang sudah diharmonisasikan dengan IFRS yang
mulai berlaku efektif pada tahun 2008– 2010 dapat dilihat pada Lampiran 8.
Sebelum penerapan IFRS, Indonesia menggunakan US GAAP (United Stated
Generally Accepted Accounting Standard) sebagai dasar penyusunan standar akuntansi

keuangannya. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan standar akuntansi keuangan

yang dulu berbasis aturan (rule based) menjadi berbasis prinsip (principal based). Rule
based mengatur transaksi secara lebih detail dan biasanya hanya untuk suatu industri

tertentu sehingga lebih mudah diaplikasikan karena peraturannya lebih eksplisit
(Prasetya, 2012). Sedangkan dalam principal based, kesesuaian penyajian akuntansi
dengan realitas ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Principal
based memberikan prinsip-prinsip akuntansi untuk suatu jenis transaksi khususnya

terkait dengan pengakuan dan pengukuran dan mengharuskan perusahaan untuk
mencatat dan memperlakukan transaksi yang mempunyai kesamaan substansi secara
sama (Prasetya, 2012). Selain itu standar akuntansi keuangan yang berbasis prinsip
menuntut adanya professional judgment, sehingga akuntan diharapkan memiliki
integritas dan kompetensi dalam menyusun laporan keuangan (Martani, 2011).
Selain itu, perbedaan terletak pada revaluation model, yaitu penilaian aktiva
menggunakan nilai wajar (fair value). Hal ini berbeda dengan US GAAP yang
menggunakan historical cost sebagai dasar penilaian. Historical cost menilai aktiva
sebesar kas yang dikeluarkan untuk memperoleh aktiva atau harga saat perolehan aktiva
tersebut. Penilaian menggunakan historical cost ini mempunyai kelebihan lebih objektif
dan verifiable namun kurang relevan untuk mencerminkan kondisi saat ini (Cahyati,
2011). Sedangkan penilaian berdasarkan fair value menggunakan harga pasar pada saat

terjadi transaksi, namun jika tidak terdapat harga pasar aktif maka penilaian didasarkan
atas estimasi berdasarkan informasi yang tersedia. Estimasi ini yang memicu
dibutuhkannya professional judgment atas penilaian aktiva yang menyebabkan peluang
untuk melakukan manajemen laba meningkat (Materi Pidato Pengukuhan Prof. Dr.
Indra Wijaya Kusuma, M.B.A., Akt., 2007).
Perataan Laba ( Income Smoothing )
Konsep perataan laba pertama kali diperkenalkan oleh Hepworth pada tahun 1953.
Perataan laba menurut Beidleman (1973) dalam Rohaeni dan Aryati (2012) adalah suatu
upaya yang sengaja dilakukan untuk memperkecil fluktuasi pada tingkat laba yang
dianggap normal bagi suatu perusahaan. Sugiarto (2003) menyebutkan beberapa faktor
yang mendorong manajemen melakukan perataan laba adalah: 1) Kompensasi bonus,
5

bonus yang tinggi memicu manajemen untuk meratakan laba agar laporan keuangan
terlihat baik. 2) Kontrak hutang, perusahaan yang melanggar perjanjian hutang telah
merekayasa labanya, satu periode sebelum perjanjian hutang itu dibuat. 3) Faktor
politik, manajer perusahaan melakukan perataan laba untuk menghindari UU Anti-Trust.
4) Pengurangan pajak, yakni perusahaan melakukan perataan laba untuk mengurangi
jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. 5) Perubahan CEO,
perekayasaan laba dilakukan dengan meningkatkan unexpected accruals pada periode

satu tahun sebelum penggantian tak rutin eksekutif. 6) Penawaran saham perdana,
banyak perusahaan

yang melakukan perataan laba demi mendapatkan dan

mempertahankan investor.
Menurut Ekcel (1981) dalam Rohaeni dan Aryati (2012), income smoothing dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1. Naturally smoothing (Perataan secara alami)
Naturally smooth merupakan perataan laba yang terjadi dengan sendirinya

tanpa campur tangan pihak lain. Hal ini dapat kita dapati pada perolehan
penghasilan dari keperluan atau pelayanan umum, dimana aliran laba yang ada
akan rata dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari pihak lain.
2. Intentionally Smoothing (Perataan yang disengaja)
Intentionally smoothing diartikan sebagai praktik perataan laba yang sengaja

dilakukan oleh pihak tertentu dengan tujuan tertentu, dalam hal ini adalah
manajemen. Intentionally smoothing terdiri dari dua macam, yaitu:
a. Real smoothing adalah perataan laba yang dilakukan melalui transaksi

ekonomi dengan melakukan perubahan kebijakan operasi beserta waktunya.
Misalnya, seorang manajer memutuskan mengeluarkan sejumlah biaya riset
dan pengembangan hanya pada suatu tahun tertentu.
b. Artificial smoothing atau yang sering juga disebut accounting smoothing,
yaitu praktik perataan laba yang dilakukan secara sengaja dengan perubahan
prosedur dan kebijakan akuntansi yang telah diterapkan untuk memindahkan
biaya dan atau pendapatan dari suatu periode ke periode yang lain yang
dianggap memerlukan tambahan atau pengurangan jumlah laba sehingga
dapat terlihat lebih rata dari tahun ke tahun.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori ini dikemukakan dikemukakan oleh Michael C Jensen dan Milliam H
Meckling pada tahun 1976. Secara umum, teori keagenan menyatakan bahwa terdapat
6

perbedaan kepentingan antara manajer (agent) dan pemilik (principal) untuk
menyejahterakan diri mereka masing-masing. Manajer berkeinginan untuk mendapat
bonus yang lebih besar dengan menunjukkan kinerja yang baik, sedangkan pemilik
menginginkan profitabilitas yang selalu meningkat serta tentunya kesejahteraan bagi
pemilik saham. Dalam teori keagenan disebutkan bahwa perusahaan dikelola oleh
manajer (agent) bukan oleh pemilik (principal) secara langsung. Oleh sebab itu,
manajer mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan pemilik karena pemilik
tidak secara langsung menangani perusahaan. Keadaan yang tidak seimbang ini memicu
terjadinya dysfunctional behavior yang dapat dilakukan oleh manajer. Salah satu bentu
dari dysfunctional behavior ini adalah perataan laba.
Pengembangan Hipotesis
Peningkatan Kepemilikan Asing Sesudah Pengumuman Penerapan IFRS
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2007 pasal 1 angka 6 kepemilikan asing
adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan pemerintah asing yang
melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia. Penelitian yang dilakukan
di luar negeri untuk menguji apakah penerapan IFRS mempunyai dampak terhadap
struktur kepemilikan asing sudah banyak dilakukan. Antara lain, Florou dan Pope
(2009) meneliti apakah penerapan IFRS dapat mempengaruhi keputusan investor
institusi asing dengan menggunakan 10.852 perusahaan dari 45 negara selama tahun
2003-2006 dan menemukan bahwa penerapan IFRS dapat meningkatkan investor
institusi asing. Sedangkan Lee dan Farghar (2010) meneliti dengan menggunakan
sampel dari 40 negara ( 21 negara pengadopsi IFRS dan 19 negara yang tidak
mengadopsi IFRS). Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa penerapan IFRS
memang dapat meningkatkan jumlah investasi asing.
Yu (2010) menemukan bahwa penerapan IFRS dapat meningkatkan investor asing
karena IFRS dapat mengurangi biaya untuk memproses informasi bagi investor asing
dan dapat mengurangi hambatan dalam berinvestasi misalnya jarak geografis, ekonomi
dan kebudayaan. Selain itu, Yu (2010) juga menemukan bukti bahwa peningkatan
investor asing lebih tinggi dibandingkan investor lokal pada perusahaan yang telah
menerapkan IFRS. Defond et al. (2011) meneliti 5460 perusahaan di Eropa pada tahun
2003-2007 dan menemukan bahwa mandatory IFRS dapat memperbaiki keterbandingan
antar laporan keuangan yang akhirnya dapat meningkatkan jumlah investasi asing.
Gordon et al. (2011) melakukan penelitian menggunakan 1300 sampel dari 124 negara

7

dan menemukan bahwa IFRS dapat meningkatkan jumlah investasi asing terutama di
negara berkembang.
Struktur kepemilikan asing di Indonesia juga diharapkan akan mengalami perubahan
sesudah diterapkannya IFRS. Karena hal ini berarti peningkatan arus investasi global
yang merupakan salah satu manfaat dari penerapan IFRS dapat tercapai. Sebelumnya,
laporan keuangan perusahaan di Indonesia menggunakan GAAP sebagai dasar
penyusunan laporan keuangannya. Karena laporan keuangan negara lain disusun
berdasarkan IFRS, maka kedua laporan keuangan ini tidak dapat dibandingkan karena
tidak adanya keseragaman. Selain itu, calon investor yang berasal dari negara lain tidak
dapat memahami laporan keuangan dengan mudah karena dasar penyusunan yang
digunakan berbeda. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Defond et al. ( 2011),
hambatan yang dihadapi oleh investor dalam menanamkan modalmya di negara lain
adalah tingginya biaya akuisisi dan biaya untuk memproses informasi dalam laporan
keuangan serta lamanya waktu yang dibutuhkan untuk merekonsiliasi atas perbedaan
yang ada pada laporan keuangan dari negara lain. Hambatan ini mempersulit
tercapainya tujuan pelaporan keuangan dalam Conceptual Framework, yaitu laporan
keuangan menyediakan informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan
ekonomi. Namun setelah laporan keuangan disusun menggunakan IFRS, calon investor
yang berasal dari negara lain dapat memahami laporan keuangan karena disusun
menggunakan standar internasional yang baku. Bahkan menurut Rohaeni dan Aryati
(2012), IFRS merupakan jalan untuk memfasilitasi investasi antar negara dan akses
terhadap pasar modal secara global. Sehingga diharapkan tingkat penanaman modal
oleh investor asing akan meningkat setelah diterapkannya IFRS. Jika penanaman modal
oleh investor asing meningkat, maka jumlah kepemilikan asing di Indonesia juga akan
meningkat.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Terdapat indikasi adanya peningkatan jumlah kepemilikan asing atas
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sesudah pengumuman
penerapan IFRS.
Peningkatan Praktik Perataan Laba Sesudah Pengumuman Penerapan IFRS
Penelitian untuk menguji apakah terdapat perbedaan atas terjadinya praktik perataan
laba setelah diterapkan IFRS di luar negeri sudah banyak dilakukan. Lin dan Paananen
(2008) meneliti karakteristik perusahaan-perusahaan di Jerman yang membuat laporan
keuangannya berdasarkan IAS selama tahun 2000-2002 serta IFRS yang diterapkan
8

secara sukarela selama tahun 2003-3004 dan IFRS yang diterapkan sebagai keharusan
pada tahun 2005-2006. Lin dan Paananen (2008) melaporkan bahwa terdapat
peningkatan praktik perataan laba setelah adanya keharusan pengadopsian IFRS di
Jerman. Jeanjean dan Stolowy (2008) menggunakan sampel 1146 perusahaan dari
Amerika, Prancis dan Australia mulai dari tahun 2005-2006 untuk meneliti dampak
penerapan IFRS terhadap income smoothing. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan
bahwa kualitas akuntansi menurun pada tiga negara serta praktik manajemen laba
meningkat setelah dilakukan pengadopsian IFRS di Prancis. Chen et al. (2010) meneliti
pengaruh penerapan IFRS terhadap kualitas akuntansi di 15 negara anggota Uni Eropa.
Chen et. Al (2010) menemukan bukti bahwa perusahaan di Uni Eropa yang menerapkan
IFRS secara mandatory lebih banyak melakukan perataan laba setelah diterapkannya
IFRS dan perusahaan lebih tidak tepat waktu dalam mengakui kerugian yang nilainya
besar. Begitu juga dengan Ahmed et al. (2010) yang membandingkan 20 negara yang
mengadopsi IFRS pada tahun 2005 dengan perusahaan yang berasal dari negara yang
tidak mengadopsi IFRS. Hasilnya, perusahaan yang berasal dari negara pengadopsi
IFRS menunjukkan praktik perataan laba yang lebih tinggi dan penurunan pengakuan
kerugian dibanding perusahaa yang berasal dari negara yang tidak mengadopsi IFRS.
Tudor (2010) melakukan penelitian untuk mengetahui dampak penerapan IFRS
terhadap perataan laba dan kaitannya dengan informasi laba di masa depan di Amerika,
Prancis dan Belanda pada tahun 2002-2008. Dan hasilnya, praktik perataan laba lebih
tinggi terjadi di Amerika, Prancis dan Belanda sesudah IFRS diterapkan dan penerapan
IFRS dianggap dapat menurunkan informasi laba di ketiga negara tersebut.
GAAP yang dulu dianut di Indonesia bersifat rule based. Dalam rule based,
transaksi diatur secara lebih detail dan biasanya hanya untuk suatu industri tertentu
sehingga lebih mudah diaplikasikan karena peraturannya lebih eksplisit (Prasetya,
2012). Jadi tidak diperlukan lagi adanya judgment, sehingga peluang untuk melakukan
manajemen laba menjadi lebih kecil. Hal ini berbeda dengan IFRS yang bersifat
principal based memberikan prinsip-prinsip akuntansi untuk suatu jenis transaksi

khususnya terkait dengan pengakuan dan pengukuran dan mengharuskan perusahaan
untuk mencatat dan memperlakukan transaksi yang mempunyai kesamaan substansi
secara sama (Prasetya, 2012). Selain itu standar akuntansi keuangan yang berbasis
prinsip menuntut adanya professional judgment, sehingga akuntan diharapkan memiliki
integritas dan kompetensi dalam menyusun laporan keuangan (Martani, 2011). Adanya
unsur judgment tersebut dapat memberikan peluang kepada manajemen untuk
9

mengambil tindakan sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Sehingga hal ini dapat
memberikan kesempatan bagi manajemen untuk melakukan praktik perataan laba.
Gordon dan Gallery (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa konsistensi dan
keterbandingan menurun dengan diterapkannya principle based, namun dapat
meningkat dengan diterapkannya rule based. Hal tersebut terjadi karena principle based
menuntut manajemen menggunakan judgment dalam penyusunan laporan keuangan
sehingga konsistensi dan keterbandingan sulit tercapai. Gordon dan Gallery (2008) juga
berpendapat bahwa rule based mempunyai kelebihan dalam konsistensi dan
keterbandingan, sementara principle based mempunyai kelebihan dalam kesesuaian
substansi ekonominya. Sementara itu, Burgemeestre et. Al (2010) menyatakan bahwa
pengimplementasian rule based membutuhkan lebih sedikit interpretasi dibandingkan
principle based.

Selain itu, konsep fair value juga dapat memberikan peluang kepada manajemen
untuk memoles laporan keuangan mereka. Pada saat GAAP masih diterapkan di
Indonesia, konsep yang digunakan untuk menilai besarnya aset adalah konsep historical
cost. Historical cost menilai aktiva sebesar kas yang dikeluarkan untuk memperoleh

aktiva atau harga saat perolehan aktiva tersebut. Penilaian menggunakan historical cost
ini mempunyai kelebihan lebih objektif dan verifiable namun kurang relevan untuk
mencerminkan kondisi saat ini (Cahyati, 2011). Namun setelah IFRS diterapkan di
Indonesia, konsep yang digunakan untuk menilai besarnya aset adalah konsep fair
value. Pada konsep fair value, penilaian yang digunakan adalah harga pasar saat

transaksi terjadi. Namun jika tidak ditemukan harga pasar aktif, dapat digunakan
estimasi berdasarkan informasi yang tersedia untuk menilai aktiva. Estimasi inilah yang
dapat memicu terjadinya praktik perataan laba. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Pope dan McLeay (2011) yang menyebutkan bahwa praktik manajemen laba
membutuhkan adanya pilihan akuntansi yang bisa muncul dari fleksibilitas yang
ditawarkan oleh IFRS atau bisa juga berasal dari estimasi dan judgment yang tidak
sesuai dengan prinsip pengakuan dan pengukuran. Selain itu, adanya konflik
kepentingan antara principal dan agent sesuai dengan teori keagenan juga dapat
menyebabkan manajer melakukan tindakan perataan laba.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Terdapat indikasi adanya kenaikan jumlah perusahaan yang melakukan
perataan laba sesudah pengumuman penerapan IFRS.

10

METODE PENELITIAN
Jenis dan sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, berupa
data laporan keuangan perusahaan yang diperoleh dari situs resmi tiap-tiap perusahaan
serta melalui situs resmi Bursa Efek Indonesia www.idx.co.id. Data yang digunakan
untuk menguji kepemilikan asing adalah jumlah saham pihak asing dan total jumlah
saham perusahaan yang beredar. Sedangkan untuk menguji praktik perataan laba, data
yang digunakan adalah penjualan dan laba perusahaan selama periode amatan.
Populasi dan sampel
Populasi dari penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia selama periode 2004-2007 (periode sebelum pengumuman penerapan
IFRS) dan tahun 2009-2012 (periode setelah pengumuman penerapan IFRS). Tahun
2008 dijadikan sebagai periode cut-off penerapan IFRS di Indonesia karena pada tahun
tersebut IAI mencanangkan bahwa Indonesia akan menerapkan IFRS sebagai standar
akuntansi keuangannya. Sehingga dianggap tahun 2008 merupakan tahun peralihan
antara Standar Akuntansi Keuangan Indonesia dan IFRS (www.iaiglobal.or.id).
Beberapa PSAK yang sudah mulai diharmonisasikan dengan IFRS pada tahun 2008
dapat dilihat pada Lampiran 8. Pemilihan perusahaan manufaktur sebagai sampel
penelitian ini karena sektor perusahaan manufaktur merupakan jumlah emiten terbanyak
yang listing di BEI. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur memiliki
pengaruh yang signifikan dalam dinamika perdagangan di BEI.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan pemilihan sampel
terpilih (non probability sampling) menggunakan metode purposive sampling dengan
kriteria sebagai berikut : 1) Perusahaan manufaktur yang terdaftar dan menerbitkan
laporan keuangannya di Bursa Efek Indonesia pada periode 2004 sampai 2012. 2)
Selama periode amatan, perusahaan tidak melaporkan rugi. 3) Selama periode amatan,
perusahaan tidak melakukan merger dan akuisisi. 4) Selama periode amatan, perusahaan
menerbitkan laporan keuangan dalam mata uang Rupiah.
Pengukuran variabel penelitian
Struktur Kepemilikan
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2007 pasal 1 angka 6 kepemilikan asing
adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan pemerintah asing yang
11

melakukan penanaman modal di wilayah Republik Indonesia. Dalam penelitian ini,
proporsi kepemilikan asing dihitung dengan cara membagi jumlah saham yang beredar
yang dimiliki oleh institusi asing dengan jumlah total saham yang beredar. Rumus untuk
mencari persentase kepemilikan asing dalam suatu perusahaan menurut Defond et al.
(2011) adalah sebagai berikut :
Kepemilikan Asing = Jumlah Saham Pihak Institusi Asing x 100%
Total Saham Beredar
Perataan Laba ( Income Smoothing )
Sampel dibedakan menjadi perusahaan perata dan non-perata menggunakan indeks
Eckel (1981). Rumus dari perataan laba adalah sebagai berikut :
CVΔI / CVΔS
Dimana :
CVΔI = Koefisien Variasi untuk perubahan Laba dalam satu periode
CVΔS = Koefisien Variasi untuk perubahan Penjualan dalam satu periode
Dimana CVΔI dan CVΔS dapat dihitung sebagai berikut:
=√

CVΔI atau CVΔS
Dimana,

(∆�− ∆�)
� −1

2

∆�

ΔX

= Perubahan Laba (I) atau Penjualan (S) antara tahun n-1

Δ͞x

= Rata-rata Perubahan Laba (I) atau Penjualan (S) antara tahun n-1

n

= Banyaknya Tahun yang diamati.

Variabel ini merupakan variabel dummy. Jika hasil indeks Ekcel kurang dari satu,
maka perusahaan tersebut dianggap sebagai perusahaan perata laba dan diberi angka
satu, sedangkan perusahaan yang hasil indeks Ekcelnya lebih dari satu dianggap sebagai
perusahaan non-perata laba diberi angka nol.

Alasan mengapa Indeks Eckel yang digunakan adalah:
1. Objektif dan berdasarkan pada statistik dengan pemisahan yang jelas antara
perusahaan yang melakukan perataan laba dan yang tidak melakukan.
2. Mengukur terjadinya praktik perataan laba tanpa memaksakan prediksi
pendapatan atau pertimbangan yang subjektif.
3. Mengukur perataan laba dengan menjumlahkan pengaruh dari beberapa variabel
perata laba yang potensial dan menyelidiki pola perilaku perataan laba selama
periode waktu tertentu (Jatiningrum 2000).
12

Teknik dan langkah analisis
Untuk mengetahui adanya kenaikan tingkat kepemilikan asing di Indonesia pada
periode sesudah pengumuman penerapan IFRS, persentase jumlah kepemilikan asing di
setiap perusahaan harus dihitung terlebih dahulu untuk masing-masing periode.
Sebelum uji hipotesis, data yang akan diteliti dilakukan uji normalitas terlebih dahulu
dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dan Shappiro Wilk. Jika data
berdistribusi normal maka pengujian selanjutnya menggunakan metode statistika
parametrik dua sampel berpasangan dengan Paired Sample t test. Sebaliknya jika data
tidak berdistribusi normal maka pengujian selanjutnya menggunakan metode statistika
non parametrik dua sampel berpasangan dengan Wilcoxon Signed Test.
Sedangkan untuk mengetahui adanya kenaikan jumlah praktik perataan laba di
Indonesia pada periode sesudah pengumuman penerapan IFRS, data akan diuji
menggunakan Uji McNemar (Hasan, 2004). Uji McNemar adalah uji komparatif dua
sampel berkorelasi untuk data nominal. Setelah hasil uji diketahui, apabila memang
terdapat perbedaan antara jumlah perusahaan perata laba sebelum dan sesudah
pengumuman penerapan IFRS, maka langkah selanjutnya adalah menentukan apakah
perbedaan yang ada tersebut menunjukkan peningkatan atau penurunan. Hal tersebut
dapat dilihat dari perbandingan jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba pada
periode sebelum dan sesudah pengumuman penerapan IFRS. Dalam penelitian ini
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Diskripsi Objek Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004-2007 (periode sebelum
pengumuman penerapan IFRS) dan tahun 2009-2012 (periode setelah pengumuman
penerapan IFRS). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
kriteria-kriteria tertentu (purposive sampling) sebagaimana dijabarkan dalam Lampiran
1.
Jumlah sampel yang digunakan sepanjang periode amatan (2004 – 2007 dan 2009 –
2012) adalah 280 sampel. Jadi untuk setiap tahun sampel yang digunakan adalah 35
sampel.

13

Statistika Deskriptif
Berikut adalah statistika deskriptif yang digunakan untuk mencari nilai minimum,
nilai maksimum, dan nilai mean dari data tingkat kepemilikan asing pada periode
sebelum dan sesudah pengumuman penerapan IFRS.
Tabel 1 Descriptive Statistics
N

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

asing_sebelum_ifrs

140

26.5191

29.62737

.00

83.00

asing_sesudah_ifrs

140

29.9296

33.38411

.00

95.65

Sumber : Data sekunder diolah, 2014
Berdasarkan hasil pengujian diatas, dapat diketahui jumlah perusahaan yang
digunakan untuk setiap tahun amatan adalah 35 perusahaan. Karena dalam penelitian ini
menggunakan periode amatan sebanyak 8 tahun, maka jumlah sampel yang digunakan
adalah 280 perusahaan. Nilai mean kepemilikan asing untuk periode sebelum
pengumuman penerapan IFRS adalah sebesar 26,5191 sedangkan nilai mean untuk
periode sesudah pengumuman penerapan IFRS adalah sebesar 29,9296. Perusahaan
yang memiliki tingkat kepemilikan tertinggi ataupun terendah untuk masing-masing
periode dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2 Kepemilikan Asing Tertinggi dan Terendah
Sebelum pengumuman penerapan IFRS

Sesudah pengumuman penerapan IFRS

Kepemilikan asing Kepemilikan asing Kepemilikan asing Kepemilikan asing
tertinggi

terendah

tertinggi

terendah

PT. Darya Varia PT Astra Otoparts PT. Astra Otoparts PT.
Laboratoria

Tbk. Tbk.,

(83 % pada tahun Food
2007)

PT

Fast Tbk.

AKR

(95,65% Corporindo Tbk.,

Indonesia pada tahun 2010 PT Budi Acid Jaya

Tbk., PT Kimia dan 2011)

Tbk., PT. Kimia

Farma Tbk., dan

Farma Tbk. dan

PT Kalbe Farma

PT. Kalbe Farma

Tbk. (0%)

Tbk. (0%)

Sumber : Data sekunder diolah, 2014
Sedangkan data untuk perusahaan perata laba dan non-perata laba tidak dapat
disajikan deskriptif statistiknya karena data tersebut merupakan variabel dummy.
14

Pengujian Hipotesis I dan Pembahasan (Tingkat Kepemilikan Asing Pada Periode
Sesudah Pengumuman Penerapan IFRS)
Uji Normalitas
Setelah data jumlah kepemilikan asing diperoleh, langkah selanjutnya adalah
melakukan uji normalitas. Uji normalitas ini menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dan
Shappiro Wilk. Hasil dari uji normalitas dapat dilihat pada tabel 3, dimana berdasarkan

hasil uji normalitas tersebut, baik pada periode sebelum atau sesudah memiliki angka
signifikansi dibawah alpha (0,05), yaitu 0,000 yang berarti data berdistribusi tidak
normal. Sehingga pengujian selanjutnya menggunakan uji nonparametrik dua sampel
berpasangan dengan Wilcoxon Signed Test.
Tabel 3 Uji Normalitas
a

Kolmogorov-Smirnov
Statistic

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

Df

Sig.

asing_sebelum_ifrs

.250

140

.000

.806

140

.000

asing_sesudah_ifrs

.291

140

.000

.799

140

.000

a. Lilliefors Significance Correction

Sumber : Data sekunder diolah, 2014

Pengujian Hipotesis
Hasil pengujian hipotesis pertama telah disajikan dalam tabel 4. Berdasarkan hasil
pengujian tersebut, diperoleh angka signifikansi kurang dari alpha (0,05) yaitu 0,048.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan tingkat kepemilikan asing pada
periode sebelum dan sesudah pengumuman penerapan IFRS.
Tabel 4 Hasil Uji Statistik
asing_sesudah_ifrs asing_sebelum_ifrs
a

Z

-1.976

Asymp. Sig. (2-tailed)

.048

a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Sumber : Data sekunder diolah, 2014
Berdasarkan tabel 1 yang sudah disajikan diatas, dapat dilihat bahwa nilai mean dari
data untuk kepemilikan asing pada periode sebelum pengumuman penerapan IFRS
adalah sebesar 26,5191 sedangkan nilai mean dari data untuk kepemilikan asing pada
15

periode sesudah pengumuman penerapan IFRS adalah sebesar 29,9296. Sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat indikasi adanya kenaikan jumlah kepemilikan asing pada
periode sesudah pengumuman penerapan IFRS dengan kata lain hipotesis pertama (H1)
dapat diterima.
Pembahasan
Sebelum diterapkannya IFRS di Indonesia, laporan keuangan perusahaan di
Indonesia menggunakan GAAP sebagai dasar penyusunan laporan keuangannya.
Karena laporan keuangan negara lain disusun berdasarkan IFRS, maka kedua laporan
keuangan ini tidak dapat dibandingkan karena tidak adanya keseragaman. Selain itu,
calon investor yang berasal dari negara lain tidak dapat memahami laporan keuangan
dengan mudah karena dasar penyusunan yang digunakan berbeda. Sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Defond et al. ( 2011), hambatan yang dihadapi oleh investor dalam
menanamkan modalmya di negara lain adalah tingginya biaya akuisisi dan biaya untuk
memproses informasi dalam laporan keuangan serta lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk merekonsiliasi atas perbedaan yang ada pada laporan keuangan dari negara lain.
Namun setelah laporan keuangan disusun menggunakan IFRS, calon investor yang
berasal dari negara lain dapat memahami laporan keuangan karena disusun
menggunakan standar internasional yang baku. Bahkan menurut Rohaeni dan Aryati
(2012), IFRS merupakan jalan untuk memfasilitasi investasi antar negara dan akses
terhadap pasar modal secara gobal. Sehingga jumlah investor asing yang menanamkan
modalnya di Indonesia meningkat dan jumlah kepemilikan asing di Indonesia juga
meningkat. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Florou dan Pope (2009), Yu (2010), Lee dan Farghar (2010), Defond et al. (2011) dan
Gordon et al. (2011) menemukan bahwa investasi asing meningkat pada perusahaan
setelah menerapkan IFRS.
Sebagai contoh, kita dapat melihat dalam tabel 5 beberapa perusahaan yang
mengalami peningkatan jumlah kepemilikan asing pada periode sesudah diumumkannya
penerapan IFRS.
Tabel 5 Perusahaan Dengan Peningkatan Jumlah Kepemilikan Asing
PT. Arwana

PT. Darya Varia

PT Jaya Pari Steel

Citramulia Tbk

Laboratoria Tbk

Tbk

Sebelum

38,755 %

81,25 %

42,177 %

Sesudah

62,672 %

92,66 %

72,302 %

Sumber : Data sekunder diolah, 2014
16

Pengujian Hipotesis II dan Pembahasan ( Jumlah Praktik Perataan Laba Pada
Periode Sesudah Pengumuman Penerapan IFRS)
Setelah data untuk 280 sampel dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah
menganalisis data tersebut menggunakan Indeks Eckel untuk mengklasifikasikan
perusahaan perata laba dan non perata laba. Hasilnya seperti yang disajikan dalam tabel
dibawah ini:
Tabel 6 Klasifikasi Perusahaan Perata dan Non-Perata
2004 – 2007

2009 – 2012

Smoother

Non-Smoother

Smoother

Non-Smoother

54

86

72

68

Sumber : Data sekunder diolah, 2014

Pengujian Hipotesis
Teknik statistik yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Uji McNemar .
Sesuai dengan Hasan (2004), uji statistik yang digunakan untuk analisis komparatif dua
sampel berkorelasi (dependen) untuk data nominal adalah Uji McNemar .
Tabel 7 Hasil Uji Statistik
sebelum_ifrs &
sesudah_ifrs
N

140
a

4.379

Asymp. Sig.

.036

Chi-Square

a. Continuity Corrected
b. McNemar Test

Sumber : Data sekunder diolah, 2014
Hasil pengujian hipotesis kedua telah disajikan dalam tabel 7. Berdasarkan hasil
pengujian tersebut, diperoleh angka signifikansi kurang dari alpha yaitu 0,036. Jadi
dapat disimpulkan bahwa terdapat indikasi adanya perbedaan yang signifikan jumlah
perusahaan yang melakukan perataan laba pada periode sebelum dan sesudah
pengumuman penerapan IFRS.

17

Tabel 8 Perubahan Status Perusahaan Sebelum dan Sesudah IFRS
sesudah_ifrs
sebelum_ifrs

0

1

0

44

42

1

24

30

Sumber : Data sekunder diolah, 2014
Selain itu dalam tabel 8, dijelaskan pula jumlah perusahaan yang mengalami
perubahan status dari perata laba menjadi non-perata laba ataupun sebaliknya. Jumlah
perusahaan yang melakukan perataan laba pada periode sebelum pengumuman
penerapan IFRS adalah 54 perusahaan. Sesudah pengumuman penerapan IFRS,
sebanyak 30 perusahaan tetap berstatus sebagai perata laba pada periode sesudah
pengumuman penerapan IFRS dan terdapat 42 perusahaan yang pada awalnya berstatus
sebagai non-perata laba berubah menjadi perata laba pada periode sesudah
pengumuman penerapan IFRS. Sehingga terdapat 72 perusahaan yang melakukan
perataan laba pada periode sesudah penerapan IFRS.
Terdapat 86 perusahaan yang tidak melakukan perataan laba pada periode sebelum
pengumuman penerapan IFRS. Namun jumlah tersebut berubah menjadi 68 perusahaan
pada periode sesudah pengumuman penerapan IFRS. Jumlah tersebut terdiri dari 44
perusahaan yang sama dengan periode sebelumnya dan 24 yang pada awalnya
merupakan perata laba berubah menjadi non-perata laba.
Setelah diketahui bahwa terdapat indikasi adanya perbedaan jumlah perusahaan
yang melakukan perataan laba pada periode sebelum dan sesudah pengumuman
penerapan IFRS, maka langkah selanjutnya adalah menentukan apakah perbedaan
tersebut merupakan peningkatan atau penurunan. Hal tersebut dapat dilihat melalui tabel
6 diatas. Jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba pada periode sebelum
pengumuman

penerapan

IFRS

berjumlah 54 perusahaan, sedangkan setelah

pengumuman penerapan IFRS perusahaan yang melakukan perataan laba meningkat
menjadi 72 perusahaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat indikasi
adanya kenaikan jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba pada periode
sesudah pengumuman penerapan IFRS dengan kata lain hipotesis kedua (H2) dapat
diterima.
Pembahasan
Meningkatnya jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba pada periode
sesudah pengumuman penerapan IFRS dapat dipicu oleh beberapa faktor. GAAP yang
18

dulu dianut di Indonesia bersifat rule based. Dalam rule based, transaksi diatur secara
lebih detail dan biasanya hanya untuk suatu industri tertentu sehingga lebih mudah
diaplikasikan karena peraturannya lebih eksplisit (Prasetya, 2012). Jadi tidak diperlukan
lagi adanya judgment, sehingga peluang untuk melakukan manajemen laba menjadi
lebih kecil. Hal ini berbeda dengan IFRS yang bersifat principal base memberikan
prinsip-prinsip akuntansi untuk suatu jenis transaksi khususnya terkait dengan
pengakuan dan pengukuran dan mengharuskan perusahaan untuk mencatat dan
memperlakukan transaksi yang mempunyai kesamaan substansi secara sama (Prasetya,
2012). Selain itu standar akuntansi keuangan yang berbasis prinsip menuntut adanya
professional judgment, sehingga akuntan diharapkan memiliki integritas dan

kompetensi dalam menyusun laporan keuangan (Martani, 2011). Adanya unsur
judgment tersebut dapat memberikan peluang kepada manajemen untuk mengambil

tindakan sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Sehingga hal ini dapat memberikan
kesempatan bagi manajemen untuk melakukan praktik perataan laba.
Selain itu, konsep fair value juga dapat memberikan peluang kepada manajemen
untuk memoles laporan keuangan mereka. Pada saat GAAP masih diterapkan di
Indonesia, konsep yang digunakan untuk menilai besarnya aset adalah konsep historical
cost. Historical cost menilai aktiva sebesar kas yang dikeluarkan untuk memperoleh

aktiva atau harga saat perolehan aktiva tersebut. Penilaian menggunakan historical cost
ini mempunyai kelebihan lebih objektif dan verifiable namun kurang relevan untuk
mencerminkan kondisi saat ini (Cahyati, 2011). Namun setelah IFRS diterapkan di
Indonesia, konsep yang digunakan untuk menilai besarnya aset adalah konsep fair
value. Pada konsep fair value, penilaian yang digunakan adalah harga pasar saat

transaksi terjadi. Namun jika tidak ditemukan harga pasar aktif, dapat digunakan
estimasi berdasarkan informasi yang tersedia untuk menilai aktiva. Estimasi inilah yang
dapat memicu terjadinya praktik perataan laba. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Pope dan McLeay (2011) yang menyebutkan bahwa praktik manajemen laba
membutuhkan adanya pilihan akuntansi yang bisa muncul dari fleksibilitas yang
ditawarkan oleh IFRS atau bisa juga berasal dari estimasi dan judgment yang tidak
sesuai dengan prinsip pengakuan dan pengukuran. Hasil penelitian tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Paananen and Lin (2008), Ahmed et al. (2010),
Chen et al. (2010) dan Tudor (2010) yang melaporkan bahwa praktik perataan laba
meningkat setelah diterapkannya IFRS.

19

Beberapa perusahaan yang melakukan perataan laba lebih sering pada periode
sesudah

pengumuman

penerapan

IFRS

dibandingkan

saat

periode

sebelum

pengumuman penerapan IFRS adalah sebagai berikut :
Tabel 9 Kenaikan Jumlah Perataan Laba

No.

Nama
Perusahaan

Sebelum penerapan

Sesudah pengumuman

pengumuman IFRS

penerapan IFRS

2004

2005

2006

2007

2009

2010 2011

2012

0

0

0

0

0

1

1

1

0

0

0

0

0

1

1

0

0

0

0

0

1

0

1

0

0

0

0

0

1

1

0

1

PT Arwana
Citramulia
1 Tbk
PT Multi
Bintang
Indonesia
2 Tbk
PT Semen
3 Gresik Tbk
PT Surya
Toto
Indonesia
4 Tbk

Sumber : Data sekunder diolah, 2014
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan Uji nonparametrik dua sampel
berpasangan dengan Wilcoxon Signed Test dan Uji McNemar yang telah dijelaskan
sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat indikasi adanya kenaikan jumlah kepemilikan asing pada perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode sesudah pengumuman
penerapan IFRS.
2. Terdapat indikasi adanya kenaikan jumlah perusahaan yang melakukan perataan
laba pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode
sesudah pengumuman penerapan IFRS.

20

Implikasi Teori
Hasil penelitian petama sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Florou dan
Pope (2009), Lee dan Farghar (2010) dan Gordon et al. (2011) yang menyatakan bahwa
investor asing meningkat setelah diterapkannya IFRS.
Sedangkan hasil penelitian kedua sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lin
dan Paananen (2008) yang melaporkan bahwa terdapat peningkatan praktik perataan
laba setelah pengadopsian IFRS di Jerman, Jeanjean dan Stolowy (2008) yang
menyatakan bahwa praktik manajemen laba meningkat setelah dilakukan pengadopsian
IFRS di Prancis, Ahmed et al. (2010) yang menemukan bukti bahwa perusahaan lebih
banyak melakukan praktik perataan laba setelah diterapkannya IFRS, Chen et. Al
(2010) yang memperoleh bukti bahwa perusahaan di Uni Eropa yang menerapkan IFRS
secara mandatory lebih banyak melakukan perataan laba dan Tudor (2010) yang
melaporkan bahwa praktik perataan laba lebih tinggi terjadi di Amerika, Prancis dan
Belanda setelah diterapkannya IFRS.
Implikasi Terapan
1. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa adanya indikasi bahwa tingkat
kepemilikan asing di Indonesia meningkat sesudah diumumkannya penerapan
IFRS. Hal ini diharapkan dapat memacu pemerintah dan Lembaga Penyusun
Standar Akuntansi di Indonesia untuk dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan
yang ada pada Standar Akuntasi Keuangan mengingat manfaat yang diperoleh
dari penerapannya dan juga dapat menyempurnakan tahap pengadopsian IFRS
ini di Indonesia.
2. Bagi perusahaan, dengan adanya indikasi bahwa terdapat kenaikan tingkat
kepemilikan asing berarti bahwa langkah untuk menerapkan IFRS sebagai dasar
penyusunan laporan keuangan tidak salah. Perusahaan dapat memperoleh
banyak manfaat dari meningkatnya investor asing di perusahaannya. namun
diharapkan perusahaan tidak menyalahgunakan fleksibilitas yang ditawarkan
oleh IFRS untuk memanipulasi laporan keuangannya.
3. Bagi penyedia jasa appraisal dan jasa audit, dengan adanya indikasi bahwa
terdapat kenaikan jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba di Indonesia
ini berarti bahwa kualitas dan jumlah penyedia jasa harus ditingkatkan untuk
mencegah perusahaan memanfaatkan fleksibilitas yang ditawarkan oleh IFRS
dalam menyusun laporan keuangannya.

21

4. Bagi investor, diharapkan dapat lebih berhati-hati dan selektif dalam
menanamkan modalnya karena terdapat indikasi bahwa sesudah pengumuman
penerapan IFRS di Indonesia, jumlah perusahaan yang melakukan perataan laba
meningkat.
Keterbatasan dan Saran :
Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu perusahaan yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini belum benar-benar menerapkan IFRS dalam penyusunan laporan
keuangannya. Selain itu, dalam penelitian ini juga mengabaikan Undang-Undang No.
25 Tahun 2007 dan faktor-faktor lain secara makro seperti krisis global yang terjadi
pada tahun 2008. Saran untuk penelitian mendatang, sebaiknya dapat menggunakan
tahun amatan yang dimulai dari tahun 2012, karena pengadopsian IFRS secara penuh di
Indonesia baru terlaksana pada tahun 2012. Selain itu, penggunaan tahun 2012 sebagai
periode amatan dikarenakan pada tahun 2012 dampak dari Undang-Undang No. 25
Tahun 2007 dan krisis global yang terjadi pada tahun 2008 sudah tidak terlalu kuat
karena telah berselang beberapa tahun.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Anwer S, Michael Neel dan Dechun Wang. 2010. Does Mandatory Adoption of
IFRS
Improve
Accounting
Quality?
Preliminary
Evidence.
http://ssrn.com/abstract=1502909.
Burgemeestre, Brigitte, Joris Hulstijn dan Yao-Hua Tan. 2010. Rule Based Versus
Principle Based Regulatory Compliance. Diunduh pada tanggal 31 Januari 2014.
Cahyati, Ari Dewi. 2011. Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi IFRS : Sebuah
Tinjauan Teoritis dan Empiris. Jurnal Riset Akuntansi dan Komputerisasi Vol. 2
No. 1.
Chen, Huifa, Qingliang Tang, Yihong Jian dan Zhijun Lin. 2010. The Role of
International Financial Reporting Standards in Accounting Quality: Evidence
from the European Union. Journal of International Financial Management &
Accounting. Vol. 21.
Defond, Mark, Xuesong Hu, Mingyi Hung dan Siqi Li. 2011. The Impact of Mandatory
IFRS Adoption on Foreign Mutual Fund Ownership: The Role of Comparability.
http://ssrn.com/abstract=1473889.
Florou, Annita dan Peter F. Pope. 2009. Mandatory IFRS Adoption and Institutional
Investment Decisions. http://ssrn.com/abstract=1362564.
Gordon, L. A., Loeb M. P. dan Zhu W. 2011. The impact of IFRS adoption on foreign
direct investment. Journal of Accounting and Public Policy. Vol. 31 No. 4.
Gordon, Isabel dan Natalie Gallery. 2008. Rules Versus Princples-Based Pension
Accounting Standards: An Analysis of Comparability. Diunduh pada 31 Januari
2014.
22

Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Bumi Aksara. Jakarta.
Hermawan, Yulius Purwadi. 2012. Legitimasi Efektifitas dan Akuntabilitas G20 sebagai
Klub Eksklusif dalam Pembentukan Tata Kelola Ekonomi Global. Jurnal Ilmiah
Hubungan International. Vol. 8. No. 2.
Husin, E. Z. 2008. 51 Tahun IAI & Konvergensi Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
Indonesia ke International Financial Reporting Standards (IFRS). Majalah
Akuntan Indonesia. Edisi No. 14/Tahun III/ Februari.
Jatiningrum. 2000. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Praktik Perataan Laba
Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEJ. Jurnal Bisnis Dan Akuntansi. Vol. 2
No. 2.
Jeanjean, T., dan H. Stolowy. 2008. Do accounting standards matter? An exploratory
analysis of earnings management before and after IFRS adoption. Journal of
Accounting and Public Policy. Vol. 27.
Kusuma, Indra Wijaya, 2007, Pengadopsian International Financial Reporting:
Implikasi Untuk Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Indra
Wijaya Kusuma, M.B

Dokumen yang terkait