M01889
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
ANALISIS EFISIENSI BIAYA BAHAN BAKU DALAM IMPLEMENTASI JUST IN TIME
SYSTEM PADA PT X
1
2
1
Novi Arsita
Paskah Ika Nugroho
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW ([email protected])
2
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW ([email protected])
.ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) bagaimana tingkat implementasi JIT terhadap
upaya meningkatkan efisiensi biaya bahan baku yang ada di PT X, (2) mencari dan
menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses implementasi JIT yang ada
di PT X. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Data
dikumpulkan dengan metode wawancara, kuesioner dan dokumentasi. Data yang diperoleh
dari wawancara dianalisis dengan teknik deskriptif, sedangkan data yang diperoleh dari
dokumentasi dianalisis dengan teknik kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan (1)
Adanya komitmen dalam semua aspek perusahaan untuk mewujudkan implementasi JIT. (2)
Kendala dalam implementasi JIT, yaitu (a) permasalahan yang menyebabkan seperti antrian
yang lama saat masuk kapal maupun keluar dari kapal di pelabuhan. Sehingga menyebabkan
bahan baku lama sampai di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan belum bisa melakukan
pembelian secara JIT. Kemudian, (b) Pemasok, pemasok untuk area perusahaan tidak tersedia.
Sehingga menyebabkan perusahaan harus mencari pemasok di luar perusahaan. (3) Tingkat
efisiensi biaya bahan baku dalam implementasi JIT pada tahun 2015 rata-rata sebesar 94%,
artinya biaya bahan baku dalam implementasi JIT dikategorikan cukup efisien. Rasio efisiensi
tertinggi berada pada bahan baku PE yaitu sebesar 104% serta rasio terendah bahan baku PP
sebesar 71%.
Kata kunci: efisiensi, biaya bahan baku, JIT.
ABSTRACT
The objective of this research is to analyze (1) how JIT implementation enhance material cost
efficiency at PT. X (2) problems on JIT implemetation process in PT. X. Research type is
descriptive and using quantitative approach. This research used primary data which obtained
through interview, questionnaire and documentation. The data which was obtained through
interview was analyzed using descriptive technique. The result of this research shows (1) there
is a commitment in every aspect of organization for implementing JIT (2) the constraints for
implementing JIT are (a) long queuing in port (b) absence of supplier near company area (3)
the average of raw material cost efficiency in 2015 is 94%, cathegorized efficient enough. The
highest efficiency ratio is in raw material of PE which is 104%, and the lowest efficiency ratio is
raw material of PP which is 71%.
Key words: efficiency, cost of materials, JIT.
1
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
PENDAHULUAN
Secara umum, tujuan utama dari perusahaan adalah memperoleh keuntungan atau laba yang
maksimal. Tingginya persaingan di era globalisasi, menuntut perusahaan untuk bisa memilih strategi
yang tepat agar perusahaan tetap memiliki keunggulan kompetitif di tingkat pasar global. Jika
perusahaan ingin bersaing di pasar global, maka perusahaan memerlukan produktivitas, efisiensi,
kualitas, kecepatan, dan pelayanan prima yang menjadi kata-kata kunci dalam meningkatkan daya
saing perusahaan. Dengan adanya kemampuan tersebut, perusahaan dapat menjalankan operasi
perusahaan secara efisien dan efektif, serta pemborosan-pemborosan sumber daya dapat dihindari
(Tjahjadi, 2001:227).
Pemborosan sumber daya dapat terjadi apabila perusahaan masih menggunakan sistem
pemanufakturan tradisional, yaitu dimana sistem yang mengatur skedul atau jadwal produksi
berdasarkan pada peramalan kebutuhan dimasa yang akan datang. Tidak ada yang dapat
memproyeksikan masa depan dengan pasti, walaupun perusahaan memiliki pemahaman yang
sempurna tentang masa lalu dan memiliki intuisi yang tajam terhadap kecenderungan yang akan
terjadi di pasar. Produksi berdasarkan prediksi terhadap masa yang akan datang dalam sistem
tradisional memiliki resiko kerugian yang lebih besar karena kelebihan produksi dibanding dengan
permintaan yang sesungguhnya (Yulianti, 2013).
Untuk mengatasi pemborosan sumber daya tersebut perusahaan dapat menggunakan Just In Time
(JIT) System. Sebuah konsep yang dikembangkan oleh Taichi Ohno (1960), dikemukakan bahwa
seorang pelanggan dapat memperoleh apa yang dibutuhkan, pada saat diperlukan dan jumlah sesuai
dengan kebutuhannya. Penelitian sebelumnya mengenai analisis efisiensi biaya bahan baku dalam
implementasi JIT dilakukan oleh Putra dan Idayati (2014) mengenai penerapan metode JIT untuk
meningkatkan efisiensi biaya persedian bahan baku. Serta penelitian oleh Zunariah (2015) dengan
judul, “Analisis Penerapan Just In Time (JIT) sebagai Alternatif Pengendalian Bahan Baku Untuk
Menilai Efisiensi Biaya Pada PT Kediri Tani Sejahtera”. Nugroho (2007) menemukan bukti bahwa
perusahaan-perusahaan manufaktur di Jawa Tengah mengimplementasikan JIT secara parsial.
Salah satu perusahaan yang masih dalam proses menerapkan JIT adalah PT X, hal ini terlihat dari
kegiatan perusahaan yang akan memproduksi plastik apabila ada pesanan dari pelanggan dan
produksi disesuaikan dengan besarnya pesanan. Namun, pada awalnya berdiri, perusahaan
menggunakan sistem pemanufakturan tradisional yang menyebabkan perusahaan menyimpan
produk jadi dalam waktu yang lama di gudang, karena perusahaan tetap berproduksi walaupun tidak
ada pesanan. Oleh karena itu, perusahaan menyimpan baik bahan baku, barang setengah jadi dan
produk jadi dalam jumlah besar di gudang yang menyebabkan perusahaan harus mengeluarkan biaya
penyimpanan sebesar Rp 500/Kg. Semakin perusahaan menyimpan bahan baku dalam waktu yang
lama, semakin besar biaya penyimpanan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Pada tahun 2010
perusahaan mengalami kenaikan produk cacat sebesar 25% yang termasuk tinggi, karena batasan
untuk produk cacat adalah 10%. Efisiensi biaya bahan baku pada tahun 2010 sebesar 64% menjadi
penyebab perusahaan untuk meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT
pada tahun 2011, agar dapat meningkatkan efisiensi biaya bahan baku.
2
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Walaupun PT X masih dalam proses menerapkan JIT, dan pada tahun 2015 PT X belum mampu
mencapai efisiensi biaya bahan baku sampai 100% yang merupakan target dari JIT. Hal tersebut
dikarenakan biaya bahan baku yang terealisasi lebih besar, yaitu Rp 14.496.045.000, daripada biaya
bahan baku yang dianggarkan, yaitu Rp 12.274.675.000. Hal ini dikarenakan adanya produk cacat,
sehingga perusahaaan harus mengganti produk cacat tersebut. Seharusnya dengan menerapkan JIT,
PT X dapat meminimalkan atau bahkan menghilangkan adanya produk cacat agar tidak menambah
biaya dan waktu untuk pengerjaan kembali (rework) produk cacat, sehingga perusahaan dapat
meningkatkan biaya efisiensi biaya bahan baku. Perusahaan juga masih belum bisa melakukan
pembelian bahan baku secara JIT, karena perusahaan masih mencari pemasok yang dapat
mengirimkan bahan bakunya datang tepat waktu pada saat perusahaan akan berproduksi. Dengan
adanya fenomena seperti ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implementasi
JIT di PT X.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis implementasi JIT pada PT X, menganalisis kendalakendala dalam implementasi serta memberikan solusi atas kendala-kendala dalam implementasi yang
terjadi pada PT X, dan menganalisis efisiensi biaya bahan baku dalam implementasi JIT pada PT X
tahun 2011-2015. Manfaat penelitian bagi perusahaan yaitu diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan biaya bahan baku serta referensi
dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan implementasi JIT dan
biaya bahan baku. Bagi pengembangan ilmu akuntansi manajemen, dapat dianalisis cost benefit
dalam implementasi JIT. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan sebuah referensi untuk penelitian
yang ada kaitannya dengan implementasi JIT terhadap upaya meningkatkan efisiensi biaya bahan
baku.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam jenis penelitian deskriptif dan termasuk dalam
penelitian studi kasus. Penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus merupakan metode
penelitian untuk memperoleh gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
mengumpulkan data, menyusun dan mengklasifikasikannya, menganalisisnya dan mengevaluasi masalah
yang terjadi serta mencari solusi dari masalah tersebut.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah PT X. Objek dalam penelitian ini adalah implementasi JIT, kendala-kendala
dalam implementasi JIT, dan biaya bahan baku tahun 2010-2015.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif
berupa data anggaran serta realisasi biaya bahan baku pada tahun 2010-2015. Data kualitatif yang berasal
dari kuesioner dan wawancara dengan Direktur PT X. Kuesioner yang terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu
ukuran kinerja perusahaan, implementasi JIT, dan variabel kontrol. Kemudian, wawancara mengenai
3
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
sejarah perusahaan, permasalahan sistem manufaktur tradisional, implementasi JIT, dan kendala-kendala
dalam implementasi JIT. Adapun wawancara dengan karyawan departemen FA (Financial Accounting)
untuk memperdalam dan memperjelas data mengenai biaya bahan baku dan kendala-kendala yang
terjadi dalam implementasi JIT.
Wawancara dengan karyawan bagian produksi (Mixing, Blowing, Cutting) mengenai implementasi JIT.
Sedangkan untuk data kuantitatif yang diperoleh dari dokumen PT X, berupa data anggaran serta
realisasi biaya bahan baku tahun 2010-2015, data jadwal produksi, data perencanaan produksi, data
perbaikan mesin (maintenance).
Langkah Analisis
1. Tahap awal adalah melakukan analisis deskriptif, untuk menggambarkan dengan jelas mengenai
implementasi sistem JIT pada PT X, dengan menggunakan 10 prinsip-prinsip JIT menurut,
White et al., (1999) dengan melakukan observasi dan wawancara kepada Direktur PT X, karyawan
pabrik produksi departemen (mixing,blowing, cutting, printing) dan departement FA.
2. Setelah melakukan analisis deskriptif, langkah selanjutnya adalah membuat analisis evaluasi
Implementasi JIT pada PT X. Dengan ini dapat diketahui apakah PT X telah menerapkan 10 prinsipprinsip JIT.
3. Kemudian, melakukan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui efisiensi biaya bahan baku
yang dianalisis dengan menggunakan metode yang dikemukan oleh Ravianto (2000). Rasio yang
digunakan untuk menghitung efisiensi biaya bahan baku adalah sebagai berikut:
4. Tahap terakhir, yaitu menganalisis kendala-kendala yang dihadapi oleh PT X dalam implementasi
JIT, serta memberikan solusi dari kendala-kendala tersebut.
HASIL & PEMBAHASAN
Gambaran Objek
PT X merupakan perusahaan keluarga yang berdiri pada tanggal 9 Juli 1988. Pada awal berdiri PT X
bergerak dalam bidang perdagangan komoditas. Kemudian, pada tahun 1990, PT X merubah lini
usahanya dari perdagangan komoditas menjadi produsen Monolayer Blown Film yang berkapasitas 350
ton per tahun. Pada tahun 1996 PT X menambah varian produk menjadi produsen Blown Film.
PT X merupakan salah satu manufaktur yang sudah terkenal sebagai produsen pembuatan kantung
plastik sekunder. Pada tahun 1996, PT X menambah varian produk menjadi produsen Blown Film yang
terdiri dari lini: (1) PP (PolyPropylene) untuk jenis kemasan makanan ringan, kemasan sekunder
makanan, (2) PE (PlyEthylene) untuk jenis kemasan bahan kimia, es, bahan cair, makanan beku, plastik
shrink, (3) HDPE (High Density PolyEthylene) untuk kemasan plastik pada swalayan, inner layer karung
plastik, dan (4) lini produk yang terbaru yaitu Rotogravure Printing, yaitu teknologi persablonan untuk
plastik yang tersedia sampai 6 warna. Pelanggan bisa meminta PT X untuk menbuat desain atau logo
maupun pelanggan bisa mengirimkan desainnya sendiri. Pada Tahun 2013 PT X meraih sertifikat ISO
4
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
9001:2008 Quality Management System.
Visi, Misi, dan Kebijakan Mutu Perusahaan
Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan industri plastik pilihan utama bagi industri dan masyarakat
Indonesia, serta berperan aktif sebagai pilar utama perekonomian Indonesia.
Guna mewujudkan visi tersebut, perusahaan memiliki empat misi yaitu:
1. Membangun perusahaan yang unggul dibidang solusi, inovasi dan teknologi plastik.
2. Memahami beragam kebutuhan institusi dan masyarakat banyak dengan meningkatkan nilai yang
tepat dalam penggunaan dan manfaat demi tercapainya nilai perusahaan.
3. Turut serta peduli dan berperan aktif dalam menjaga lingkungan untuk mengurangi dampak negatif
penggunaaan plastik.
4. Meningkatkan nilai-nilai perusahaan dan stakeholder perusahaan.
Kebijakan mutu yang diterapkan oleh perusahaan antara lain:
1. Memberikan produk berkualitas dan inovatif dengan harga bersaing.
2. Membangun jaringan distribusi yang luas dan kuat.
3. Membentuk sumber daya manusia yang berkompetisi tinggi.
4. Melakukan perbaikan cepat dan berkesinambungan
melalui penerapan sistem manajemen
mutu dan kualitas.
5. Menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman dengan penerapan program 5R dan P2K3.
6. Memenuhi peraturan perundangan dan ketentuan lainnya serta turut aktif menjaga lingkungan.
7. Penerapan dan pemeliharaan cara pembuatan plastik yang baik, higienis berdasarkan Standard
Sanitation Operation Procedure dan sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis.
Struktur Organisasi
Struktur organisasi PT X merupakan struktur organisasi garis, dimana PT X dipimpin langsung oleh
Direktur yang bertanggung jawab atas penentuan kebijakan perusahaan dan berwenang dalam
pengambilan keputusan serta bertanggung jawab terhadap komisaris. Di dalam PT X terdapat enam
departemen, yaitu:
1. Departemen HRD & GA (Human Resources and Development) & (General Affair), yang secara
umum bertugas menjalankan proses rectruitmen, training, dan competency evaluation.
2. Departement FA (Financial Accounting),yang secara umum bertugas menjalani proses
akuntansi, proses budget vs real dan cost control.
3. Departement PPIC (Production Planning and Inventory Control), yang secara umum bertugas
menjalankan preventive dan corrective maintenance untuk mendukung proses produksi.
4. Departement PRODUKSI, yang secara umum bertugas menjalankan proses produksi dari bahan
baku sampai barang jadi.
5. Departement MAINTENANCE & PDC, yang secara umum bertugas melakukan preventive dan
corrective maintenance untuk mendukung proses produksi, serta melakukan quality control dan
product development.
6. Departement SALES & MARKETING, yang secara umum bertugas menjalani proses pemasaram dan
penjualan produk serta merencanakan produk baru.
5
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Implementasi JIT
PT X yang awal berdiri bergerak dalam bidang perdagangan komoditas dibawah pimpinan Bapak
Soegiarto, kemudian perusahaan merubah lini usahanya menjadi produsen Monolayer Blown Film,
perusahaan menerapkan sistem persediaan tradisional, pada tahun 1996 perusahaan menambah varian
produk menjadi produsen Blown Film, yaitu PP, PE, HDPE, LLDPE.
Perusahaan mulai meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT pada tahun
2011. Hal ini dikarenakan perusahaan masih menggunakan sistem produksi massa (mass production)
dimana PT X belum memiliki pelanggan tetap seperti sekarang, yang menyebabkan perusahaan
mengalami pemborosan dalam persediaan, meningkatnya produk cacat, dan minim keterampilan
karyawan. Hal ini menjadi penyebab perusahaan untuk meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan
menerapkan sistem JIT.
Perencanaan yang tepat sebelum mengimplementasi sistem JIT itu penting, dan dimulai dengan adanya
komitmen dari manajemen puncak. Pengetahuan tentang hal utama, seperti: biaya konversi ke sistem JIT,
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk konversi, dan hasil apa yang diharapkan, hal tersebut dapat
membantu manajemen puncak membuat keputusan untuk mendukung usaha implementasi JIT.
Biaya konversi ke sistem JIT berdasarkan wawancara dengan Direktur PT X, perusahaan telah melakukan
cost-benefit analysis di dalam perencanaan implementasi JIT. Pada awalnya implementasi JIT di PT X
memang memerlukan cost yang tidak sedikit, karena perusahaan melakukan banyak investasi, seperti:
perluasan lahan pabrik, re-layout, pembelian mesin atau penambahan kapasitas dan training karyawan
pabrik. Namun, perusahaan positif akan sukses implementasi JIT yang dimulai dari bahan baku. Untuk
target waktu konversi, perusahaan menargetkan waktu 5 tahun, dengan tujuan dengan melakukan
implementasi JIT dapat meningkatkan laba perusahaan dan membuat perusahaan dapat bersaing di
pasar global.
Menurut White et al., (1999), terdapat 10 prinsip-prinsip implementasi JIT:
1. Fokus Pabrik
Setiap perusahaan pastinya memiliki tata letak (layout) yang berbeda-beda. Suatu perusahaan dikatakan
memiliki fleksibilitas proses produksi dapat dilihat dari tata letak (layout) pabriknya. Memaksimalkan
fleksibilitas sering dilihat sebagai salah satu manfaat utama dari JIT.
Selain dilihat dari tata letak, hal-hal lain seperti penyederhanaan struktur organisasi, mengurangi proses
produksi, dan meminimalkan kompleksitas kendala fisik pabrik juga termasuk fokus dari prinsip ini. PT
X pada awalnya sudah melakukan penyederhanaan struktur organisasi, struktur organisasi garis yang
menyusun garis kekuasaannya secara langsung dari atasan (Direktur) ke beberapa bagian dibawahnya
(departemen). Dengan struktur organisasi ini dapat terlihat jelas hierarki yang ada di dalam perusahaan,
dan instruksi serta pengawasan yang dilakukan.
Selain penyederhanaan struktur organisasi, fokus perusahaan selanjutnya adalah mengurangi proses
produksi yang kurang efektif dan efisien. Perusahaan menyadari bahwa tidak semua proses bisa
6
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
memberikan nilai tambah (value added) bagi produk. Untuk itu perusahaan meminimalkan proses
inspeksi bahan baku secara berulang kali, peralatan atau komponen yang jauh dari jangkauan karyawan
serta penerbitan surat persetujuan pesanan maupun produksi yang berbelit-belit. Meminimalkan
kompleksitas kendala fisik, baik dalam setup mesin, jarak peralatan dengan mesin, dan transportasi
dalam pabrik merupakan hal penting yang diperhatikan oleh perusahaan.
Tata letak pada PT X merupakan tata letak yang berdasarkan dengan proses produksi (process layout).
Untuk melihat apakah layout pabrik pada perusahaan telah mendukung implementasi JIT bisa dilihat
pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1
Tata Letak PT X
Keterangan:
1 : Gudang
2 : Mesin Mixing
3 : Mesin Blowing
4 : Mesin Cutting
5 : Mesin Printing
6 : Pintu Keluar
Di dalam denah tata letak pabrik, posisi gudang (1) bergabung dengan daerah produksi atau pabrik,
sehingga menyebabkan efisiensi dalam pemindahan bahan baku. Bahan baku yang datang, akan
langsung dimasukkan dan disimpan di dalam gudang sesuai dengan plot atau tempat yang telah dibatasi
untuk tiap masing-masing bahan baku, hal ini disebut oleh perusahaan daerah input. Kemudian,
pada yang merupakan mesin 1 dalam tahap produksi, jarak yang dekat antara gudang penyimpanan
bahan baku dengan mesin mixing (2) atau disebut juga mesin pengaduk sehingga memudahkan dalam
perpindahan bahan baku. Perusahaan memposisikan mesin aduk tersebut memanjang, agar tidak
memakan banyak tempat dan lebih efisien dalam pemindahan bahan baku yang telah diaduk. Setelah
bahan baku tercampur maka langkah selanjutnya adalah melumerkan bahan baku dan meniup bahan
menjadi kantong plastik menggunakan mesin blower (3). Di mesin blower ukuran plastik bisa diatur
ukurannya mulai dari tebal dan lebar. Kemudian plastik akan digulung secara otomatis dan menjadi rol
7
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
plastik. Hal ini disebut daerah process.
Setelah rol plastik tersebut masuk ke mesin cutting (4), dimana rol plastik masuk ke masing-masing
mesin pemotongan sesuai dengan ukuran pesanan pelanggan. Alasan mesin cutting diletakkan di
tengah-tengah pabrik oleh perusahaan, dikarenakan mesin ini menjadi sentral untuk menjadi produk
jadi (output). Untuk plastik yang nantinya akan disablon, sebelum masuk mesin cutting akan masuk ke
mesin printing (5). Kemudian, produk jadi akan langsung diantar ke pelanggan melalui jalur pintu
keluar (6). Sehingga perusahaan dapat memastikan bahwa tidak perlu mengeluarkan biaya penyimpanan
(holding cost).
Terlihat dari layout pabrik pada PT X ini belum memenuhi syarat JIT yaitu product layout, atau disebut
juga pola sel manufaktur, yang dimana sel manufaktur ini terdiri dari mesin-mesin yang dikelompokkan
dalam satu lokasi. Walaupun perusahaan belum mengaplikasikan product layout, dengan process
layout perusahaan telah mengurangi proses produksi yang kurang efektif dan efisien, dan
meminimalkan kompleksitas kendala fisik yang merupakan bagian dari prinsip fokus pabrik.
Berdasarkan wawancara dengan Direktur, perusahaan belum bisa mengubah layout dari process layout
ke product layout, dikarenakan bertambahnya jumlah mesin, namun tidak bertambahnya luas pabrik,
dan lokasi pabrik yang terletak di kawasan padat industri. Perusahaan sudah memiliki rencana untuk relayout menuju product layout, setelah perusahaan melakukan ekspansi terhadap lahan pabrik.
2. Teknologi Kelompok
Terlihat dari tata letak PT X yang menggunakan tipe process layout, dimana mesin atau fasilitas yang
memiliki kegunaan sama dikelompokkan dan diletakkan pada tempat yang sama dan membentuk suatu
departemen (mixing, blowing, cutting, printing) sehingga terlihat hanya ada satu pabrik dan belum
menggunakan struktur sel manufaktur dimana adanya pabrik didalam pabrik atau disebut juga pabrik
mini yang merupakan syarat dari JIT.
Untuk mewujudkan implementasi JIT, PT X harus memperbaiki rancangan alur produksi dari process
layout menjadi product layout dan melakukan pendekatan sel manufaktur, dimana dengan
implementasi sistem JIT maka seluruh mesin yang digunakan untuk memproses produk tertentu
disatukan dalam suatu lokasi, karena product layout akan mendorong terciptanya teknologi kempok
(sel manufaktur). Dengan adanya sel manufaktur perusahaan bisa meningkatkan efisiensi penjadwalan
melalui meminimalkan usaha adanya duplikasi pada proses produksi.
Salah satu syarat JIT yaitu sel kerja atau sel manufaktur untuk produk sejenis, yang dimana pada PT X
memiliki 4 jenis produk, sehingga nantinya PT X akan ada 4 sel manufaktur. Sel PE khusus untuk
membuat produk dengan bahan baku PE dengan mesin khusus untuk bahan baku PE, begitu pula
dengan sel PP, HD, dan PCB. Sel-sel ini yang dinamakan pabrik mini, dengan konsep sel manufaktur
seolah-olah ada pabrik dalam pabrik. Dibawah ini adalah desain baru tata letak (layout) dengan
teknologi kelompok (group technology) untuk PT X yang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
8
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Gambar 2
Tata Letak PT X dengan Teknologi Kelompok
Di dalam layout baru dengan teknologi kelompok, PT X memiliki 4 sel manufaktur untuk masing-masing
produk yaitu PP, PE, HD, dan PCB. Sel manufaktur yang merupakan ciri dari sistem JIT akan membentuk
huruf U atau setengah lingkaran yang terdiri atas mesin-mesin untuk membuat produk tersebut
dikelompokkan menjadi satu tempat. Sehingga, di dalam sel manufaktur PT X ini mesin-mesin untuk
membuat produk PP, PE, HD, dan PCB dikelompokkan menjadi satu yang terdiri atas mesin mixing,
blowing, cutting, dan printing.
3. Pengurangan Waktu Pemasangan (setup)
Dari hasil kuesioner, didapat hasil bahwa setup atau waktu pemasangan merupakan hal yang penting
sebagai ukuran kinerja dalam mengevaluasi sistem produksi, karena berkaitan dengan waktu dan biaya.
Di dalam sistem JIT, waktu setup dapat dikurangi dengan mempertimbangkan rancangan alur produksi.
Jika peralatan dan mesin dirancang untuk satu jenis produk, maka tidak diperlukan lagi setup yang
berulang-ulang dan jumlah unit produksi dapat dipenuhi berapapun sesuai dengan yang diinginkan. Hal
9
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
ini yang diterapkan oleh PT X, walaupun layout pabrik pada PT X mesin-mesin ditempatkan secara
departemen, namun tiap-tiap mesin sudah dirancang untuk satu jenis produk, sehingga tidak
memerlukan perlakuan manual dalam mengubah ukuran.
Setiap mesin telah dirancang untuk sesuai dengan ukuran standar plastik yang berlaku maupun sesuai
dengan keinginan pelanggan. Oleh karena itu, karyawan tidak melakukan secara manual dalam
mengubah setting mesin, namun otomatis dari mesinnya terkhusus pada mesin blowing, cutting, dan
printing. Hal ini menyebabkan karyawan dapat bekerja dengan cepat tanpa memerlukan bantuan dari
operator.
Selain itu, terdapat kebijakan perusahaan yang tertulis dalam rencana produksi mengenai setup mesin
untuk memaksimalkan produksi dan mengurangi waktu setup (tidak ada mesin yang menunggu atau
menganggur) dan biaya setup, yaitu:
Mesin Blowing, produksi dimulai dengan ukuran lebarnya sama atau urutan order dari ukuran
terlebar sampai terkecil, atau ukuran tebalnya sama atau ukuran order dari ukuran tertebal sampai
tertipis.
Mesin cutting, apabila order non-print, urutan dimana lebarnya sama, tetapi perbedaan tebal tidak
lebih dari 10 mikron, atau apabila order print, urutan order berikutnya adalah order non-print dengan
panjangnya sama dan perbedaan tebalnya tidak lebih dari 10 mikron.
Mesin printing, urutan berdasarkan lebarnya sama atau warna yang digunakan sama.
4. Total Pemeliharaan Produktif
Dalam laporan perbaikan mesin terlihat dalam perusahaan rutin melakukan pemeliharan dan melakukan
pencegahan secara rutin. Hal ini juga terlihat dari kuesioner, perusahaan mementingkan adanya
maintenance atau pemeliharan secara terus-menerus dan dipantau oleh operator.
Berdasarkan wawancara terhadap operator pabrik, perusahaan melakukan preventive maintenance
yang dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan melalui tindakan pencegahan, seperti
selalu memeriksa laporan kondisi mesin dari departemen teknik (PPIC), setiap melakukan proses
produksi, hal ini terdapat dalam kebijakan perencanaan produksi. Selain program preventive
maintenance, perusahaan juga mengutamakan kebersihan dalam pabrik. Karyawan dituntut untuk
menjaga kebersihan tempat kerjanya, hal ini merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan, agar mesin
dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan siap bekerja pada saat pesanan datang.
Pada kasus mesin-mesin yang mengalami kerusakan langsung diperbaiki, namun apabila terdapat mesin
yang mengalami kerusakan berat, sehingga mengalami dampak lead time lebih dari 1 minggu, maka
selama tenggang 1 minggu perusahaan tidak menerima pesanan dari pelanggan yang melebihi kapasitas
mesin lain. Tindakan ini diambil, agar tidak menganggu pesanan lain dan tidak mengecewakan
pelanggan apabila ternyata produk tidak dapat selesai tepat waktu.
10
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
5. Pekerja Multifungsi
Salah satu perbedaan antara sistem manufaktur tradisional dengan sistem JIT adalah terletak pada
keahlian karyawan. Di dalam sistem JIT, karyawan dituntut untuk bisa melakukan pekerjaannya secara
multifungsi. Sedangkan didalam sistem manufaktur tradisional, karyawan tidak memiliki keahlian secara
multifungsi, yang memiliki keahlian adalah operator pabrik.
Berdasarkan wawancara terhadap karyawan produksi, sebagian besar karyawan dari PT X memiliki
kemampuan ganda dan fleksibel sesuai dengan lini produksinya (mixing, blowing, cutting). Misalnya,
pada departemen cutting yang sebagian besar merupakan karyawan perempuan yang memiliki keahlian
memasang pisau mesin, mengatur setup mesin, memasang rol plasik, maupun memasang atau
mengganti karet mesin tanpa bantuan dari operator yang merupakan standar keahlian yang harus
dimiliki oleh karyawan pabrik PT X.
Pada umumnya, karyawan di PT X dapat mengoperasikan peralatan dan mesin dalam jalur produksinya,
sehingga ketika ada karyawan lain yang absen bekerja, karyawan lain bisa menggantikannya. Namun,
pada mesin mixing, hanya karyawan dari bagian operator yang dapat mengoperasikannya, karena pada
bagian ini karyawan biasa tidak dapat sembarangan mencampur bahan baku seperti produk pada HDPE,
sebab kalau terjadi kesalahan dalam mencampur bahan, bahan baku tersebut tidak bisa dipakai untuk
produksi yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.
6. Beban Kerja yang Sama
Dalam JIT, aspek yang tercakup dalam beban kerja yang sama adalah waktu siklus dan frekuensi
produksi. Waktu siklus produksi pada perusahaan adalah sesuai dengan lamanya waktu yang diminta
oleh pelanggan, sehingga perusahaan dapat memproduksi dengan membagi frekuensi yang sama tiap
produksinya (pembebanan secara bertingkat). Perusahaan juga memastikan jeda antar proses adalah 1
hari. Dengan demikian produksi di perusahaan lebih sistematis.
Berdasarkan wawancara dengan operator, setiap mesin dalam pabrik PT X mempunyai beban kerja yang
setara dengan jadwal produksi yang sama sesuai dengan kapasitas tiap mesin (mixing, blowing, cutting,
printing). Perusahaan juga tidak menerima pemesanan disaat ada kerusakan berat pada mesin yang
memerlukan waktu perbaikan hingga 1 minggu. Hal ini diterapkan agar tidak menganggu kelancaran
produksi dan tidak adanya tumpah-tindih pada saat produksi dan pemesanan dari pelanggan dapat tepat
waktu sesuai dengan yang diinginkan oleh pelanggan.
7. Sistem Kanban
Kanban merupakan alat komunikasi dalam sistem produksi JIT, dalam bahasa Jepang Kanban ini berarti
papan isyarat. Kanban digunakan sebagai alat kontrol produksi untuk mewujudkan sistem produksi
secara JIT.
Penerbitan kanban di PT X merupakan sebuah sinyal bagi karyawan untuk melakukan proses produksi.
Sistem kanban yang ada di perusahaan di perintah langsung oleh departemen FA (financial
accounting), kemudian diterima oleh operator pabrik untuk memproduksi produk, kemudian diberikan
oleh karyawan di pos di tiap mesin. Kemudian karyawan yang menerima kanban melakukan produksi
sesuai dengan jumlah dan jenis barang yang tertera pada kanban tersebut. Sistem kanban yang dipakai
oleh perusahaan meliputi: kanban perintah produksi, kanban pengambilan bahan baku, dan kanban
11
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
pengiriman barang.
Dalam wawancara dengan Direktur, sistem kanban yang ada di PT X akan di update dengan teknologi
baru, dimana sistem ini bisa mendeteksi adanya indikasi produk cacat dalam proses produksi, sistem
tersebut akan mengeluarkan sirine. Manfaatnya adalah karyawan maupun operator dapat membantu
karyawan untuk menghentikan proses produksi tersebut agar tidak merugikan perusahaan.
8. Pembelian JIT
Faktor pendukung dalam terwujudnya implementasi JIT adalah program kemitraan. Dalam program
kemitraaan JIT, perusahaan mempunyai 4 pemasok yang 3 pemasok berada di luar kota dan 1 pemasok
(Bapak Joni) yang berada di dekat lokasi perusahaan dan masih kerabat dengan pemilik perusahaan.
Berdasarkan wawancara dengan Direktur, perusahaan mengalami kesulitan dengan pemasok antara lain:
Antrian di pelabuhan terutama seperti hari menjelang hari raya Idul Fitri, Natal, maupun Tahun
Baru.
Akses transportasi menuju lokasi perusahaan, lokasi perusahaan berada di kawasan padat industri
disertai jalan yang tidak rata dan bergelombang menyebabkan truk harus hati-hati melewati jalan
tersebut.
Pemasok tersebut bukanlah pemasok tetap. Perusahaan hanya mempunyai kontrak jangka panjang
dengan Bapak Joni yang telah bekerjasama selama 10 tahun.
Perusahaan juga sering mengganti pemasok dalam waktu 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan perusahaan
masih mencari pemasok yang dapat mendukung perusahaan untuk memenuhi salah satu syarat
implementasi JIT, yaitu program kemitraan. Perusahaan mencari pemasok dengan kualitas bahan baku
yang bagus dengan harga yang kompetitif, serta dapat datang tepat waktu. Sebagian besar pemasok tidak
dapat menjamin bahwa bahan baku dapat datang tepat waktu selain perusahaan Bapak Joni. Hal ini
menyebabkan perusahaan tidak ada kontrak jangka panjang dengan pemasok. Oleh karena itu, di dalam
tata letak (Gambar 1) perusahaan masih memiliki gudang. Namun perusahaan berusaha untuk menekan
persediaan hampir mendekati nol (zero inventory). Sedangkan untuk frekuensi pembelian bahan baku
dikirim oleh pemasok satu bulan sekali sehingga dalam satu tahun terjadi 12 kali frekeunsi pengiriman
barang pesanan.
9. Kontrol Kualitas Berbasis Proses
Di dalam perusahaan terdapat departemen PDC yang bertugas melakukan quality control dan product
development. Kualitas bagi perusahaan merupakan yang paling diutamakan dan sangat penting, karena
salah satu alasan perusahaan meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT
adalah produk cacat. Oleh karena itu, perusahaan meminimalkan terjadinya produk cacat. Dalam
kuesioner produk cacat dan rework atau pengerjaan kembali menjadi ukuran kinerja yang sangat
penting bagi perusahaan.
Di dalam JIT memilik tiga prinsip utama dalam pengendalian kualitas, yaitu output yang bebas cacat,
segala kesalahan dan kerusakan dapat dicegah, dan tindakan pencegahan adalah lebih murah daripada
pekerjaan mengulang (rework). Departemen PDC setiap bulan membuat laporan waste untuk
memantau dan mendeteksi adanya produk cacat.
12
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
10. Kontrol Kualitas Berbasis Produk
Produk yang dikatakan berkualitas kalau produk dapat memenuhi dimensi kualitas. Dimana dimensi
kualitas ada 8 dimensi sebagai berikut: (1) kinerja (performance) (2) estetika (3) kemudahan perawatan
dan perbaikan (4) fitur (5) keandalan (6) Tahan lama (7) kualitas kesesuaian (8) kecocokan penggunaan.
Dengan perusahaan mengimplemtasi JIT yang dimana berproduksi ketika ada order dari pelanggan.
Perusahaan akan berfokus berproduksi sesuai dengan permintaan pelanggan, dan sejumlah permintaan
pelanggan. Dari hasil kuesioner, perusahaan secara penuh memperhatikan kontrol kualitas produk.
Evaluasi dari analisis prinsip-prinsip implementasi JIT menggunakan White et al., (1999) dengan
implementasi JIT yang telah dilakukan oleh PT X dapat dilihat dalam Tabel 1 dibawah ini:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Tabel 1
Evaluasi Implementasi JIT PT X
Prinsip Implementasi JIT
Implementasi JIT
PT X
White et al., (1999)
Fokus Pabrik
Belum terimplementasi
Teknologi kelompok
Belum terimplementasi
Pengurangan Waktu Pemasangan
Implementasi secara penuh
Total Pemeliharaan Produktif
Implementasi secara penuh
Pekerja Multifungsi
Implementasi secara penuh
Beban kerja yang Sama
Implementasi secara penuh
Sistem Kanban
Implementasi secara penuh
Pembelian JIT
Belum terimplementasi
Kontrol Kualitas Berbasis Proses
Implementasi secara penuh
Kontrol Kualitas Berbasis Produk
Implementasi secara penuh
Menurut Galhenage (1997), hal yang terpenting dalam suksesnya implementasi JIT adalah adanya
komitmen dari segala aspek perusahaan (manajemen puncak, karyawan, dan pemasok) tersebut untuk
dapat mewujudkan implementasi JIT. Hal tersebut dapat terlihat bahwa PT X telah menerapkan 7
(tujuh) prinsip implementasi JIT. Perusahaan hanya berproduksi sesuai dengan permintaan pelanggan.
Sistem JIT juga memerlukan investasi yang besar mengingat PT X adalah perusahaan keluarga. Investasi
yang telah dilakukan oleh PT X adalah pembelian mesin untuk penambahan kapasitas, pelatihan
karyawan yang intensif, dan perencanaan re-layout pabrik. Namun, perusahaan belum
mengimplementasi JIT secara sempurna karena ada 3 (tiga) prinsip JIT, yaitu fokus pabrik, teknologi
kelompok, dan pembelian JIT yang belum diimplementasikan oleh perusahaan.
Efisiensi Biaya Bahan Baku
PT X dalam proses menerapkan sistem JIT untuk meningkatkan efisiensi biaya bahan baku. Untuk
mengetahui apakah dengan menerapkan sistem JIT perusahaan sudah efisien atau belum, maka dapat
dihitung dengan membandingkan antara anggaran biaya bahan baku terhadap realisasinya.
Berikut perhitungan rasio efisensi biaya bahan baku dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini:
13
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Tabel 2
Rasio Efisiensi Biaya Bahan Baku Tahun 2010-2015 (dalam Rp)
Tahun
Anggaran Biaya Bahan Baku Realisasi Biaya Bahan Baku Rasio Efisiensi
2010
6.415.000.000
10.033.262.500
64%
2011
7.230.000.000
9.176.250.000
79%
2012
7.440.000.000
9.824.500.000
76%
2013
7.320.000.000
9.646.000.000
76%
2014
7.740.000.000
10.611.000.000
80%
2015
12.274.675.000
14.496.045.000
85%
Sumber: Data diolah
Berdasarkan dari hasil perhitungan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebelum perusahaan
menerapkan sistem JIT, efisiensi biaya bahan baku yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah
sebesar 64%. Kemudian pada tahun 2011, efisiensi biaya bahan baku pada perusahaan sebesar 79%.
Pada masa peralihan dari sistem manufaktur tradisional dan sistem JIT terlihat perbedaan efisiensi yang
cukup besar yaitu sebesar 15% dari tahun 2010. Pada tahun 2012 efisiensi biaya bahan baku sebesar
76% mengalami penurunan sebesar 3% dari tahun 2011. Pada tahun 2013, efisiensi biaya bahan baku
sebesar 76% menunjukkan tidak ada peningkatan maupun penurunan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Pada tahun 2014, efisiensi biaya bahan baku sebesar 80%, mengalami peningkatan sebesar
4%. Kemudian, pada tahun 2015 efisiensi biaya bahan baku sebesar 85%, mengalami peningkatan
efisiensi sebesar 5%. Sedangkan untuk rata-rata efisiensi biaya bahan baku setelah menerapkan sistem
JIT (2011-2015) adalah sebesar 79%.
Permasalahan dan Solusi
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat ditemukan permasalahan atau kendala-kendala yang
dihadapi oleh perusahaan dalam implementasi JIT beserta dengan solusinya yang dapat dilihat pada
Tabel 3.
14
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
No.
1.
2.
3.
Tabel 3
Permasalahan dan Solusi
Permasalahan
Solusi
Bertambahnya jumlah mesin, namun
Re-layout menuju product layout,
tidak bertambahnya luas pabrik, dan
dengan melakukan ekspansi terhadap
lokasi pabrik yang terletak di kawasan
lahan pabrik
padat industri.
Belum menggunakan struktur sel
Layout baru dengan teknologi kelompok,
manufaktur dimana adanya pabrik di
PT X memiliki 4 sel manufaktur untuk
dalam pabrik atau disebut juga pabrik
masing-masing produk yaitu PP, PE, HD,
mini yang merupakan syarat dari JIT.
dan PCB. Sel manufaktur yang merupakan
ciri dari sistem JIT akan membentuk huruf
U atau setengah lingkaran yang terdiri atas
mesin-mesin untuk membuat produk
tersebut dikelompokkan menjadi satu
tempat.
Tidak adanya kontrak antara perusahaan
Membuat kontrak dengan pemasok yang
dengan pemasok. Perusahaan sulit
memiliki kriteria seperti tingkat loss bahan
menemukan perusahaan yang dapat
bakunya paling sedikit, pemasok yang
membantu mewujudkan implementasi
memberikan harga yang paling kompetitif,
JIT.
pemasok yang bahan bakunya berkualitas
baik, pemasok yang lokasinya tidak jauh
dengan perusahaan.
Perusahaan dengan pemasok bisa
terhubung
dengan
menggunakan
pertukaran data elektronik (Electronic
Data Interchange), yaitu suatu metode
terotomatisasi dari pengiriman informasi
dari komputer ke komputer. Manfaat dari
EDI ini, pemasok dapat mengakses
database PT X. Dengan mengetahui
jadwal produksi PT X, pemasok dapat
mengirimkan bahan baku ke pabrik
dengan tepat waktu. Selain itu EDI tidak
membutuhkan kertas atau menerbitkan
faktur sehingga dapat menurunkan biaya
pemesanan.
15
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
SIMPULAN & SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat 7 (tujuh) prinsip implementasi JIT yang telah diimplementasikan oleh PT X, antara lain:
pengurangan waktu pemasangan (set up), total pemeliharaan produktif, pekerja multifungsi, beban
kerja yang sama, sistem kanban, kontrol kualitas berbasis proses, dan kontrol kualitas berbasis
produk. Sementara untuk 3 (tiga) prinsip implementasi JIT yang belum diterapkan oleh PT X, yaitu:
fokus pabrik, teknologi kelompok, dan pembelian JIT.
2. Kendala dalam implementasi JIT, yaitu (1) Bertambahnya jumlah mesin, namun tidak bertambahnya
luas pabrik, dan lokasi pabrik yang terletak di kawasan padat industri. (2) Belum menggunakan
struktur sel manufaktur dimana adanya pabrik di dalam pabrik atau disebut juga pabrik mini yang
merupakan syarat dari JIT. (3) Tidak adanya kontrak antara perusahaan dengan pemasok. Perusahaan
sulit menemukan perusahaan yang dapat membantu mewujudkan implementasi JIT..
3. Sebelum perusahaan menerapkan sistem JIT, efisiensi biaya bahan baku perusahaan sebesar 64%.
Pada tahun 2015 efisiensi biaya bahan baku sebesar 85%, mengalami peningkatan efisiensi sebesar
21%. Sedangkan untuk rata-rata efisiensi biaya bahan baku setelah menerapkan sistem JIT (20112015) adalah sebesar 79%.
Implikasi
PT X harus fokus pada 3 (tiga) prinsip implementasi JIT yang belum diterapkan oleh PT X, yaitu: fokus
pabrik, teknologi kelompok, dan pembelian JIT. Pada prinsip fokus pabrik dan teknologi kelompok,
perusahaan dapat mengubah layout dari process layout menjadi sel manufaktur (product layout).
Kemudian untuk fokus pembelian JIT perusahaan harus membuat kontrak dengan pemasok atau
perusahaan dapat menggunakan EDI (Electronic Data Interchange).
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah kurang lengkapnya data-data pendukung yang diberikan oleh
perusahaan. Data-data tersebut bagi perusahaan merupakan data yang bersifat rahasia dan tidak bisa
dipublikasikan oleh perusahaan.
Saran untuk Penelitian Mendatang
Bagi penelitian selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian ini untuk perusahaan manufaktur
disektor lain, maupun UKM (Usaha Kecil Menengah) yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
produk kantung plastik.
16
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
DAFTAR PUSTAKA
Galhenage, G. 1997. Just-In-Time Manufacturing. New York, NY.
Nugroho, P. I. 2007. “The Effects of Performance Measures and Incentive Systems on The Degree of
JIT Implementation”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol XIII No. 1 pp: 35-53.
Putra, C dan Idayati, F. 2014. “Penerapan Metode Just In Time Untuk Meningkatkan Efisiensi Biaya
Persedian Bahan Baku”. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 1.
Ravianto. 2002. Dasar-dasar Produktivitas. Karunika Universitas Terbuka Jakarta.
Tjahjadi. 2001. “JIT Purchasing, JIT Production Systems:Pengaruhnya terhadap Kinerja Produktivitas”.
pp: 227-236.
White. R. E., Pearson. J. N., dan Wilson. J. R. 1999. “JIT manufacturing: a survey of implementation in
small and large US manufacturers”. Management Science, 45, pp: 1-15.
Yulianti. 2013. Analisis Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Metode Just In Time dan
dampaknya Terhadap Kualitas Produk pada CV. Yan’s Fruit Vegetables. (diakses tanggal 2
Desember 2015).
Zunariah, S. N. 2015. Analisis Penerapan Just In Time Sebagai Alternatif pengendalian Persediaan
Bahan Baku Untuk Menilai Efisiensi Biaya Pada PT Kediri Tani Sejahtera. Universitas
Nusantara PGRI Kediri.
17
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
LAMPIRAN
Laporan waste bulanan
18
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
ANALISIS EFISIENSI BIAYA BAHAN BAKU DALAM IMPLEMENTASI JUST IN TIME
SYSTEM PADA PT X
1
2
1
Novi Arsita
Paskah Ika Nugroho
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW ([email protected])
2
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW ([email protected])
.ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) bagaimana tingkat implementasi JIT terhadap
upaya meningkatkan efisiensi biaya bahan baku yang ada di PT X, (2) mencari dan
menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam proses implementasi JIT yang ada
di PT X. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Data
dikumpulkan dengan metode wawancara, kuesioner dan dokumentasi. Data yang diperoleh
dari wawancara dianalisis dengan teknik deskriptif, sedangkan data yang diperoleh dari
dokumentasi dianalisis dengan teknik kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan (1)
Adanya komitmen dalam semua aspek perusahaan untuk mewujudkan implementasi JIT. (2)
Kendala dalam implementasi JIT, yaitu (a) permasalahan yang menyebabkan seperti antrian
yang lama saat masuk kapal maupun keluar dari kapal di pelabuhan. Sehingga menyebabkan
bahan baku lama sampai di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan belum bisa melakukan
pembelian secara JIT. Kemudian, (b) Pemasok, pemasok untuk area perusahaan tidak tersedia.
Sehingga menyebabkan perusahaan harus mencari pemasok di luar perusahaan. (3) Tingkat
efisiensi biaya bahan baku dalam implementasi JIT pada tahun 2015 rata-rata sebesar 94%,
artinya biaya bahan baku dalam implementasi JIT dikategorikan cukup efisien. Rasio efisiensi
tertinggi berada pada bahan baku PE yaitu sebesar 104% serta rasio terendah bahan baku PP
sebesar 71%.
Kata kunci: efisiensi, biaya bahan baku, JIT.
ABSTRACT
The objective of this research is to analyze (1) how JIT implementation enhance material cost
efficiency at PT. X (2) problems on JIT implemetation process in PT. X. Research type is
descriptive and using quantitative approach. This research used primary data which obtained
through interview, questionnaire and documentation. The data which was obtained through
interview was analyzed using descriptive technique. The result of this research shows (1) there
is a commitment in every aspect of organization for implementing JIT (2) the constraints for
implementing JIT are (a) long queuing in port (b) absence of supplier near company area (3)
the average of raw material cost efficiency in 2015 is 94%, cathegorized efficient enough. The
highest efficiency ratio is in raw material of PE which is 104%, and the lowest efficiency ratio is
raw material of PP which is 71%.
Key words: efficiency, cost of materials, JIT.
1
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
PENDAHULUAN
Secara umum, tujuan utama dari perusahaan adalah memperoleh keuntungan atau laba yang
maksimal. Tingginya persaingan di era globalisasi, menuntut perusahaan untuk bisa memilih strategi
yang tepat agar perusahaan tetap memiliki keunggulan kompetitif di tingkat pasar global. Jika
perusahaan ingin bersaing di pasar global, maka perusahaan memerlukan produktivitas, efisiensi,
kualitas, kecepatan, dan pelayanan prima yang menjadi kata-kata kunci dalam meningkatkan daya
saing perusahaan. Dengan adanya kemampuan tersebut, perusahaan dapat menjalankan operasi
perusahaan secara efisien dan efektif, serta pemborosan-pemborosan sumber daya dapat dihindari
(Tjahjadi, 2001:227).
Pemborosan sumber daya dapat terjadi apabila perusahaan masih menggunakan sistem
pemanufakturan tradisional, yaitu dimana sistem yang mengatur skedul atau jadwal produksi
berdasarkan pada peramalan kebutuhan dimasa yang akan datang. Tidak ada yang dapat
memproyeksikan masa depan dengan pasti, walaupun perusahaan memiliki pemahaman yang
sempurna tentang masa lalu dan memiliki intuisi yang tajam terhadap kecenderungan yang akan
terjadi di pasar. Produksi berdasarkan prediksi terhadap masa yang akan datang dalam sistem
tradisional memiliki resiko kerugian yang lebih besar karena kelebihan produksi dibanding dengan
permintaan yang sesungguhnya (Yulianti, 2013).
Untuk mengatasi pemborosan sumber daya tersebut perusahaan dapat menggunakan Just In Time
(JIT) System. Sebuah konsep yang dikembangkan oleh Taichi Ohno (1960), dikemukakan bahwa
seorang pelanggan dapat memperoleh apa yang dibutuhkan, pada saat diperlukan dan jumlah sesuai
dengan kebutuhannya. Penelitian sebelumnya mengenai analisis efisiensi biaya bahan baku dalam
implementasi JIT dilakukan oleh Putra dan Idayati (2014) mengenai penerapan metode JIT untuk
meningkatkan efisiensi biaya persedian bahan baku. Serta penelitian oleh Zunariah (2015) dengan
judul, “Analisis Penerapan Just In Time (JIT) sebagai Alternatif Pengendalian Bahan Baku Untuk
Menilai Efisiensi Biaya Pada PT Kediri Tani Sejahtera”. Nugroho (2007) menemukan bukti bahwa
perusahaan-perusahaan manufaktur di Jawa Tengah mengimplementasikan JIT secara parsial.
Salah satu perusahaan yang masih dalam proses menerapkan JIT adalah PT X, hal ini terlihat dari
kegiatan perusahaan yang akan memproduksi plastik apabila ada pesanan dari pelanggan dan
produksi disesuaikan dengan besarnya pesanan. Namun, pada awalnya berdiri, perusahaan
menggunakan sistem pemanufakturan tradisional yang menyebabkan perusahaan menyimpan
produk jadi dalam waktu yang lama di gudang, karena perusahaan tetap berproduksi walaupun tidak
ada pesanan. Oleh karena itu, perusahaan menyimpan baik bahan baku, barang setengah jadi dan
produk jadi dalam jumlah besar di gudang yang menyebabkan perusahaan harus mengeluarkan biaya
penyimpanan sebesar Rp 500/Kg. Semakin perusahaan menyimpan bahan baku dalam waktu yang
lama, semakin besar biaya penyimpanan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Pada tahun 2010
perusahaan mengalami kenaikan produk cacat sebesar 25% yang termasuk tinggi, karena batasan
untuk produk cacat adalah 10%. Efisiensi biaya bahan baku pada tahun 2010 sebesar 64% menjadi
penyebab perusahaan untuk meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT
pada tahun 2011, agar dapat meningkatkan efisiensi biaya bahan baku.
2
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Walaupun PT X masih dalam proses menerapkan JIT, dan pada tahun 2015 PT X belum mampu
mencapai efisiensi biaya bahan baku sampai 100% yang merupakan target dari JIT. Hal tersebut
dikarenakan biaya bahan baku yang terealisasi lebih besar, yaitu Rp 14.496.045.000, daripada biaya
bahan baku yang dianggarkan, yaitu Rp 12.274.675.000. Hal ini dikarenakan adanya produk cacat,
sehingga perusahaaan harus mengganti produk cacat tersebut. Seharusnya dengan menerapkan JIT,
PT X dapat meminimalkan atau bahkan menghilangkan adanya produk cacat agar tidak menambah
biaya dan waktu untuk pengerjaan kembali (rework) produk cacat, sehingga perusahaan dapat
meningkatkan biaya efisiensi biaya bahan baku. Perusahaan juga masih belum bisa melakukan
pembelian bahan baku secara JIT, karena perusahaan masih mencari pemasok yang dapat
mengirimkan bahan bakunya datang tepat waktu pada saat perusahaan akan berproduksi. Dengan
adanya fenomena seperti ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implementasi
JIT di PT X.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis implementasi JIT pada PT X, menganalisis kendalakendala dalam implementasi serta memberikan solusi atas kendala-kendala dalam implementasi yang
terjadi pada PT X, dan menganalisis efisiensi biaya bahan baku dalam implementasi JIT pada PT X
tahun 2011-2015. Manfaat penelitian bagi perusahaan yaitu diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan biaya bahan baku serta referensi
dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan implementasi JIT dan
biaya bahan baku. Bagi pengembangan ilmu akuntansi manajemen, dapat dianalisis cost benefit
dalam implementasi JIT. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan sebuah referensi untuk penelitian
yang ada kaitannya dengan implementasi JIT terhadap upaya meningkatkan efisiensi biaya bahan
baku.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam jenis penelitian deskriptif dan termasuk dalam
penelitian studi kasus. Penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus merupakan metode
penelitian untuk memperoleh gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
mengumpulkan data, menyusun dan mengklasifikasikannya, menganalisisnya dan mengevaluasi masalah
yang terjadi serta mencari solusi dari masalah tersebut.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah PT X. Objek dalam penelitian ini adalah implementasi JIT, kendala-kendala
dalam implementasi JIT, dan biaya bahan baku tahun 2010-2015.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif
berupa data anggaran serta realisasi biaya bahan baku pada tahun 2010-2015. Data kualitatif yang berasal
dari kuesioner dan wawancara dengan Direktur PT X. Kuesioner yang terdiri atas 3 (tiga) bagian, yaitu
ukuran kinerja perusahaan, implementasi JIT, dan variabel kontrol. Kemudian, wawancara mengenai
3
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
sejarah perusahaan, permasalahan sistem manufaktur tradisional, implementasi JIT, dan kendala-kendala
dalam implementasi JIT. Adapun wawancara dengan karyawan departemen FA (Financial Accounting)
untuk memperdalam dan memperjelas data mengenai biaya bahan baku dan kendala-kendala yang
terjadi dalam implementasi JIT.
Wawancara dengan karyawan bagian produksi (Mixing, Blowing, Cutting) mengenai implementasi JIT.
Sedangkan untuk data kuantitatif yang diperoleh dari dokumen PT X, berupa data anggaran serta
realisasi biaya bahan baku tahun 2010-2015, data jadwal produksi, data perencanaan produksi, data
perbaikan mesin (maintenance).
Langkah Analisis
1. Tahap awal adalah melakukan analisis deskriptif, untuk menggambarkan dengan jelas mengenai
implementasi sistem JIT pada PT X, dengan menggunakan 10 prinsip-prinsip JIT menurut,
White et al., (1999) dengan melakukan observasi dan wawancara kepada Direktur PT X, karyawan
pabrik produksi departemen (mixing,blowing, cutting, printing) dan departement FA.
2. Setelah melakukan analisis deskriptif, langkah selanjutnya adalah membuat analisis evaluasi
Implementasi JIT pada PT X. Dengan ini dapat diketahui apakah PT X telah menerapkan 10 prinsipprinsip JIT.
3. Kemudian, melakukan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui efisiensi biaya bahan baku
yang dianalisis dengan menggunakan metode yang dikemukan oleh Ravianto (2000). Rasio yang
digunakan untuk menghitung efisiensi biaya bahan baku adalah sebagai berikut:
4. Tahap terakhir, yaitu menganalisis kendala-kendala yang dihadapi oleh PT X dalam implementasi
JIT, serta memberikan solusi dari kendala-kendala tersebut.
HASIL & PEMBAHASAN
Gambaran Objek
PT X merupakan perusahaan keluarga yang berdiri pada tanggal 9 Juli 1988. Pada awal berdiri PT X
bergerak dalam bidang perdagangan komoditas. Kemudian, pada tahun 1990, PT X merubah lini
usahanya dari perdagangan komoditas menjadi produsen Monolayer Blown Film yang berkapasitas 350
ton per tahun. Pada tahun 1996 PT X menambah varian produk menjadi produsen Blown Film.
PT X merupakan salah satu manufaktur yang sudah terkenal sebagai produsen pembuatan kantung
plastik sekunder. Pada tahun 1996, PT X menambah varian produk menjadi produsen Blown Film yang
terdiri dari lini: (1) PP (PolyPropylene) untuk jenis kemasan makanan ringan, kemasan sekunder
makanan, (2) PE (PlyEthylene) untuk jenis kemasan bahan kimia, es, bahan cair, makanan beku, plastik
shrink, (3) HDPE (High Density PolyEthylene) untuk kemasan plastik pada swalayan, inner layer karung
plastik, dan (4) lini produk yang terbaru yaitu Rotogravure Printing, yaitu teknologi persablonan untuk
plastik yang tersedia sampai 6 warna. Pelanggan bisa meminta PT X untuk menbuat desain atau logo
maupun pelanggan bisa mengirimkan desainnya sendiri. Pada Tahun 2013 PT X meraih sertifikat ISO
4
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
9001:2008 Quality Management System.
Visi, Misi, dan Kebijakan Mutu Perusahaan
Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan industri plastik pilihan utama bagi industri dan masyarakat
Indonesia, serta berperan aktif sebagai pilar utama perekonomian Indonesia.
Guna mewujudkan visi tersebut, perusahaan memiliki empat misi yaitu:
1. Membangun perusahaan yang unggul dibidang solusi, inovasi dan teknologi plastik.
2. Memahami beragam kebutuhan institusi dan masyarakat banyak dengan meningkatkan nilai yang
tepat dalam penggunaan dan manfaat demi tercapainya nilai perusahaan.
3. Turut serta peduli dan berperan aktif dalam menjaga lingkungan untuk mengurangi dampak negatif
penggunaaan plastik.
4. Meningkatkan nilai-nilai perusahaan dan stakeholder perusahaan.
Kebijakan mutu yang diterapkan oleh perusahaan antara lain:
1. Memberikan produk berkualitas dan inovatif dengan harga bersaing.
2. Membangun jaringan distribusi yang luas dan kuat.
3. Membentuk sumber daya manusia yang berkompetisi tinggi.
4. Melakukan perbaikan cepat dan berkesinambungan
melalui penerapan sistem manajemen
mutu dan kualitas.
5. Menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman dengan penerapan program 5R dan P2K3.
6. Memenuhi peraturan perundangan dan ketentuan lainnya serta turut aktif menjaga lingkungan.
7. Penerapan dan pemeliharaan cara pembuatan plastik yang baik, higienis berdasarkan Standard
Sanitation Operation Procedure dan sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis.
Struktur Organisasi
Struktur organisasi PT X merupakan struktur organisasi garis, dimana PT X dipimpin langsung oleh
Direktur yang bertanggung jawab atas penentuan kebijakan perusahaan dan berwenang dalam
pengambilan keputusan serta bertanggung jawab terhadap komisaris. Di dalam PT X terdapat enam
departemen, yaitu:
1. Departemen HRD & GA (Human Resources and Development) & (General Affair), yang secara
umum bertugas menjalankan proses rectruitmen, training, dan competency evaluation.
2. Departement FA (Financial Accounting),yang secara umum bertugas menjalani proses
akuntansi, proses budget vs real dan cost control.
3. Departement PPIC (Production Planning and Inventory Control), yang secara umum bertugas
menjalankan preventive dan corrective maintenance untuk mendukung proses produksi.
4. Departement PRODUKSI, yang secara umum bertugas menjalankan proses produksi dari bahan
baku sampai barang jadi.
5. Departement MAINTENANCE & PDC, yang secara umum bertugas melakukan preventive dan
corrective maintenance untuk mendukung proses produksi, serta melakukan quality control dan
product development.
6. Departement SALES & MARKETING, yang secara umum bertugas menjalani proses pemasaram dan
penjualan produk serta merencanakan produk baru.
5
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Implementasi JIT
PT X yang awal berdiri bergerak dalam bidang perdagangan komoditas dibawah pimpinan Bapak
Soegiarto, kemudian perusahaan merubah lini usahanya menjadi produsen Monolayer Blown Film,
perusahaan menerapkan sistem persediaan tradisional, pada tahun 1996 perusahaan menambah varian
produk menjadi produsen Blown Film, yaitu PP, PE, HDPE, LLDPE.
Perusahaan mulai meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT pada tahun
2011. Hal ini dikarenakan perusahaan masih menggunakan sistem produksi massa (mass production)
dimana PT X belum memiliki pelanggan tetap seperti sekarang, yang menyebabkan perusahaan
mengalami pemborosan dalam persediaan, meningkatnya produk cacat, dan minim keterampilan
karyawan. Hal ini menjadi penyebab perusahaan untuk meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan
menerapkan sistem JIT.
Perencanaan yang tepat sebelum mengimplementasi sistem JIT itu penting, dan dimulai dengan adanya
komitmen dari manajemen puncak. Pengetahuan tentang hal utama, seperti: biaya konversi ke sistem JIT,
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk konversi, dan hasil apa yang diharapkan, hal tersebut dapat
membantu manajemen puncak membuat keputusan untuk mendukung usaha implementasi JIT.
Biaya konversi ke sistem JIT berdasarkan wawancara dengan Direktur PT X, perusahaan telah melakukan
cost-benefit analysis di dalam perencanaan implementasi JIT. Pada awalnya implementasi JIT di PT X
memang memerlukan cost yang tidak sedikit, karena perusahaan melakukan banyak investasi, seperti:
perluasan lahan pabrik, re-layout, pembelian mesin atau penambahan kapasitas dan training karyawan
pabrik. Namun, perusahaan positif akan sukses implementasi JIT yang dimulai dari bahan baku. Untuk
target waktu konversi, perusahaan menargetkan waktu 5 tahun, dengan tujuan dengan melakukan
implementasi JIT dapat meningkatkan laba perusahaan dan membuat perusahaan dapat bersaing di
pasar global.
Menurut White et al., (1999), terdapat 10 prinsip-prinsip implementasi JIT:
1. Fokus Pabrik
Setiap perusahaan pastinya memiliki tata letak (layout) yang berbeda-beda. Suatu perusahaan dikatakan
memiliki fleksibilitas proses produksi dapat dilihat dari tata letak (layout) pabriknya. Memaksimalkan
fleksibilitas sering dilihat sebagai salah satu manfaat utama dari JIT.
Selain dilihat dari tata letak, hal-hal lain seperti penyederhanaan struktur organisasi, mengurangi proses
produksi, dan meminimalkan kompleksitas kendala fisik pabrik juga termasuk fokus dari prinsip ini. PT
X pada awalnya sudah melakukan penyederhanaan struktur organisasi, struktur organisasi garis yang
menyusun garis kekuasaannya secara langsung dari atasan (Direktur) ke beberapa bagian dibawahnya
(departemen). Dengan struktur organisasi ini dapat terlihat jelas hierarki yang ada di dalam perusahaan,
dan instruksi serta pengawasan yang dilakukan.
Selain penyederhanaan struktur organisasi, fokus perusahaan selanjutnya adalah mengurangi proses
produksi yang kurang efektif dan efisien. Perusahaan menyadari bahwa tidak semua proses bisa
6
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
memberikan nilai tambah (value added) bagi produk. Untuk itu perusahaan meminimalkan proses
inspeksi bahan baku secara berulang kali, peralatan atau komponen yang jauh dari jangkauan karyawan
serta penerbitan surat persetujuan pesanan maupun produksi yang berbelit-belit. Meminimalkan
kompleksitas kendala fisik, baik dalam setup mesin, jarak peralatan dengan mesin, dan transportasi
dalam pabrik merupakan hal penting yang diperhatikan oleh perusahaan.
Tata letak pada PT X merupakan tata letak yang berdasarkan dengan proses produksi (process layout).
Untuk melihat apakah layout pabrik pada perusahaan telah mendukung implementasi JIT bisa dilihat
pada Gambar 1 di bawah ini:
Gambar 1
Tata Letak PT X
Keterangan:
1 : Gudang
2 : Mesin Mixing
3 : Mesin Blowing
4 : Mesin Cutting
5 : Mesin Printing
6 : Pintu Keluar
Di dalam denah tata letak pabrik, posisi gudang (1) bergabung dengan daerah produksi atau pabrik,
sehingga menyebabkan efisiensi dalam pemindahan bahan baku. Bahan baku yang datang, akan
langsung dimasukkan dan disimpan di dalam gudang sesuai dengan plot atau tempat yang telah dibatasi
untuk tiap masing-masing bahan baku, hal ini disebut oleh perusahaan daerah input. Kemudian,
pada yang merupakan mesin 1 dalam tahap produksi, jarak yang dekat antara gudang penyimpanan
bahan baku dengan mesin mixing (2) atau disebut juga mesin pengaduk sehingga memudahkan dalam
perpindahan bahan baku. Perusahaan memposisikan mesin aduk tersebut memanjang, agar tidak
memakan banyak tempat dan lebih efisien dalam pemindahan bahan baku yang telah diaduk. Setelah
bahan baku tercampur maka langkah selanjutnya adalah melumerkan bahan baku dan meniup bahan
menjadi kantong plastik menggunakan mesin blower (3). Di mesin blower ukuran plastik bisa diatur
ukurannya mulai dari tebal dan lebar. Kemudian plastik akan digulung secara otomatis dan menjadi rol
7
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
plastik. Hal ini disebut daerah process.
Setelah rol plastik tersebut masuk ke mesin cutting (4), dimana rol plastik masuk ke masing-masing
mesin pemotongan sesuai dengan ukuran pesanan pelanggan. Alasan mesin cutting diletakkan di
tengah-tengah pabrik oleh perusahaan, dikarenakan mesin ini menjadi sentral untuk menjadi produk
jadi (output). Untuk plastik yang nantinya akan disablon, sebelum masuk mesin cutting akan masuk ke
mesin printing (5). Kemudian, produk jadi akan langsung diantar ke pelanggan melalui jalur pintu
keluar (6). Sehingga perusahaan dapat memastikan bahwa tidak perlu mengeluarkan biaya penyimpanan
(holding cost).
Terlihat dari layout pabrik pada PT X ini belum memenuhi syarat JIT yaitu product layout, atau disebut
juga pola sel manufaktur, yang dimana sel manufaktur ini terdiri dari mesin-mesin yang dikelompokkan
dalam satu lokasi. Walaupun perusahaan belum mengaplikasikan product layout, dengan process
layout perusahaan telah mengurangi proses produksi yang kurang efektif dan efisien, dan
meminimalkan kompleksitas kendala fisik yang merupakan bagian dari prinsip fokus pabrik.
Berdasarkan wawancara dengan Direktur, perusahaan belum bisa mengubah layout dari process layout
ke product layout, dikarenakan bertambahnya jumlah mesin, namun tidak bertambahnya luas pabrik,
dan lokasi pabrik yang terletak di kawasan padat industri. Perusahaan sudah memiliki rencana untuk relayout menuju product layout, setelah perusahaan melakukan ekspansi terhadap lahan pabrik.
2. Teknologi Kelompok
Terlihat dari tata letak PT X yang menggunakan tipe process layout, dimana mesin atau fasilitas yang
memiliki kegunaan sama dikelompokkan dan diletakkan pada tempat yang sama dan membentuk suatu
departemen (mixing, blowing, cutting, printing) sehingga terlihat hanya ada satu pabrik dan belum
menggunakan struktur sel manufaktur dimana adanya pabrik didalam pabrik atau disebut juga pabrik
mini yang merupakan syarat dari JIT.
Untuk mewujudkan implementasi JIT, PT X harus memperbaiki rancangan alur produksi dari process
layout menjadi product layout dan melakukan pendekatan sel manufaktur, dimana dengan
implementasi sistem JIT maka seluruh mesin yang digunakan untuk memproses produk tertentu
disatukan dalam suatu lokasi, karena product layout akan mendorong terciptanya teknologi kempok
(sel manufaktur). Dengan adanya sel manufaktur perusahaan bisa meningkatkan efisiensi penjadwalan
melalui meminimalkan usaha adanya duplikasi pada proses produksi.
Salah satu syarat JIT yaitu sel kerja atau sel manufaktur untuk produk sejenis, yang dimana pada PT X
memiliki 4 jenis produk, sehingga nantinya PT X akan ada 4 sel manufaktur. Sel PE khusus untuk
membuat produk dengan bahan baku PE dengan mesin khusus untuk bahan baku PE, begitu pula
dengan sel PP, HD, dan PCB. Sel-sel ini yang dinamakan pabrik mini, dengan konsep sel manufaktur
seolah-olah ada pabrik dalam pabrik. Dibawah ini adalah desain baru tata letak (layout) dengan
teknologi kelompok (group technology) untuk PT X yang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
8
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Gambar 2
Tata Letak PT X dengan Teknologi Kelompok
Di dalam layout baru dengan teknologi kelompok, PT X memiliki 4 sel manufaktur untuk masing-masing
produk yaitu PP, PE, HD, dan PCB. Sel manufaktur yang merupakan ciri dari sistem JIT akan membentuk
huruf U atau setengah lingkaran yang terdiri atas mesin-mesin untuk membuat produk tersebut
dikelompokkan menjadi satu tempat. Sehingga, di dalam sel manufaktur PT X ini mesin-mesin untuk
membuat produk PP, PE, HD, dan PCB dikelompokkan menjadi satu yang terdiri atas mesin mixing,
blowing, cutting, dan printing.
3. Pengurangan Waktu Pemasangan (setup)
Dari hasil kuesioner, didapat hasil bahwa setup atau waktu pemasangan merupakan hal yang penting
sebagai ukuran kinerja dalam mengevaluasi sistem produksi, karena berkaitan dengan waktu dan biaya.
Di dalam sistem JIT, waktu setup dapat dikurangi dengan mempertimbangkan rancangan alur produksi.
Jika peralatan dan mesin dirancang untuk satu jenis produk, maka tidak diperlukan lagi setup yang
berulang-ulang dan jumlah unit produksi dapat dipenuhi berapapun sesuai dengan yang diinginkan. Hal
9
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
ini yang diterapkan oleh PT X, walaupun layout pabrik pada PT X mesin-mesin ditempatkan secara
departemen, namun tiap-tiap mesin sudah dirancang untuk satu jenis produk, sehingga tidak
memerlukan perlakuan manual dalam mengubah ukuran.
Setiap mesin telah dirancang untuk sesuai dengan ukuran standar plastik yang berlaku maupun sesuai
dengan keinginan pelanggan. Oleh karena itu, karyawan tidak melakukan secara manual dalam
mengubah setting mesin, namun otomatis dari mesinnya terkhusus pada mesin blowing, cutting, dan
printing. Hal ini menyebabkan karyawan dapat bekerja dengan cepat tanpa memerlukan bantuan dari
operator.
Selain itu, terdapat kebijakan perusahaan yang tertulis dalam rencana produksi mengenai setup mesin
untuk memaksimalkan produksi dan mengurangi waktu setup (tidak ada mesin yang menunggu atau
menganggur) dan biaya setup, yaitu:
Mesin Blowing, produksi dimulai dengan ukuran lebarnya sama atau urutan order dari ukuran
terlebar sampai terkecil, atau ukuran tebalnya sama atau ukuran order dari ukuran tertebal sampai
tertipis.
Mesin cutting, apabila order non-print, urutan dimana lebarnya sama, tetapi perbedaan tebal tidak
lebih dari 10 mikron, atau apabila order print, urutan order berikutnya adalah order non-print dengan
panjangnya sama dan perbedaan tebalnya tidak lebih dari 10 mikron.
Mesin printing, urutan berdasarkan lebarnya sama atau warna yang digunakan sama.
4. Total Pemeliharaan Produktif
Dalam laporan perbaikan mesin terlihat dalam perusahaan rutin melakukan pemeliharan dan melakukan
pencegahan secara rutin. Hal ini juga terlihat dari kuesioner, perusahaan mementingkan adanya
maintenance atau pemeliharan secara terus-menerus dan dipantau oleh operator.
Berdasarkan wawancara terhadap operator pabrik, perusahaan melakukan preventive maintenance
yang dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan melalui tindakan pencegahan, seperti
selalu memeriksa laporan kondisi mesin dari departemen teknik (PPIC), setiap melakukan proses
produksi, hal ini terdapat dalam kebijakan perencanaan produksi. Selain program preventive
maintenance, perusahaan juga mengutamakan kebersihan dalam pabrik. Karyawan dituntut untuk
menjaga kebersihan tempat kerjanya, hal ini merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan, agar mesin
dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan siap bekerja pada saat pesanan datang.
Pada kasus mesin-mesin yang mengalami kerusakan langsung diperbaiki, namun apabila terdapat mesin
yang mengalami kerusakan berat, sehingga mengalami dampak lead time lebih dari 1 minggu, maka
selama tenggang 1 minggu perusahaan tidak menerima pesanan dari pelanggan yang melebihi kapasitas
mesin lain. Tindakan ini diambil, agar tidak menganggu pesanan lain dan tidak mengecewakan
pelanggan apabila ternyata produk tidak dapat selesai tepat waktu.
10
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
5. Pekerja Multifungsi
Salah satu perbedaan antara sistem manufaktur tradisional dengan sistem JIT adalah terletak pada
keahlian karyawan. Di dalam sistem JIT, karyawan dituntut untuk bisa melakukan pekerjaannya secara
multifungsi. Sedangkan didalam sistem manufaktur tradisional, karyawan tidak memiliki keahlian secara
multifungsi, yang memiliki keahlian adalah operator pabrik.
Berdasarkan wawancara terhadap karyawan produksi, sebagian besar karyawan dari PT X memiliki
kemampuan ganda dan fleksibel sesuai dengan lini produksinya (mixing, blowing, cutting). Misalnya,
pada departemen cutting yang sebagian besar merupakan karyawan perempuan yang memiliki keahlian
memasang pisau mesin, mengatur setup mesin, memasang rol plasik, maupun memasang atau
mengganti karet mesin tanpa bantuan dari operator yang merupakan standar keahlian yang harus
dimiliki oleh karyawan pabrik PT X.
Pada umumnya, karyawan di PT X dapat mengoperasikan peralatan dan mesin dalam jalur produksinya,
sehingga ketika ada karyawan lain yang absen bekerja, karyawan lain bisa menggantikannya. Namun,
pada mesin mixing, hanya karyawan dari bagian operator yang dapat mengoperasikannya, karena pada
bagian ini karyawan biasa tidak dapat sembarangan mencampur bahan baku seperti produk pada HDPE,
sebab kalau terjadi kesalahan dalam mencampur bahan, bahan baku tersebut tidak bisa dipakai untuk
produksi yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan.
6. Beban Kerja yang Sama
Dalam JIT, aspek yang tercakup dalam beban kerja yang sama adalah waktu siklus dan frekuensi
produksi. Waktu siklus produksi pada perusahaan adalah sesuai dengan lamanya waktu yang diminta
oleh pelanggan, sehingga perusahaan dapat memproduksi dengan membagi frekuensi yang sama tiap
produksinya (pembebanan secara bertingkat). Perusahaan juga memastikan jeda antar proses adalah 1
hari. Dengan demikian produksi di perusahaan lebih sistematis.
Berdasarkan wawancara dengan operator, setiap mesin dalam pabrik PT X mempunyai beban kerja yang
setara dengan jadwal produksi yang sama sesuai dengan kapasitas tiap mesin (mixing, blowing, cutting,
printing). Perusahaan juga tidak menerima pemesanan disaat ada kerusakan berat pada mesin yang
memerlukan waktu perbaikan hingga 1 minggu. Hal ini diterapkan agar tidak menganggu kelancaran
produksi dan tidak adanya tumpah-tindih pada saat produksi dan pemesanan dari pelanggan dapat tepat
waktu sesuai dengan yang diinginkan oleh pelanggan.
7. Sistem Kanban
Kanban merupakan alat komunikasi dalam sistem produksi JIT, dalam bahasa Jepang Kanban ini berarti
papan isyarat. Kanban digunakan sebagai alat kontrol produksi untuk mewujudkan sistem produksi
secara JIT.
Penerbitan kanban di PT X merupakan sebuah sinyal bagi karyawan untuk melakukan proses produksi.
Sistem kanban yang ada di perusahaan di perintah langsung oleh departemen FA (financial
accounting), kemudian diterima oleh operator pabrik untuk memproduksi produk, kemudian diberikan
oleh karyawan di pos di tiap mesin. Kemudian karyawan yang menerima kanban melakukan produksi
sesuai dengan jumlah dan jenis barang yang tertera pada kanban tersebut. Sistem kanban yang dipakai
oleh perusahaan meliputi: kanban perintah produksi, kanban pengambilan bahan baku, dan kanban
11
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
pengiriman barang.
Dalam wawancara dengan Direktur, sistem kanban yang ada di PT X akan di update dengan teknologi
baru, dimana sistem ini bisa mendeteksi adanya indikasi produk cacat dalam proses produksi, sistem
tersebut akan mengeluarkan sirine. Manfaatnya adalah karyawan maupun operator dapat membantu
karyawan untuk menghentikan proses produksi tersebut agar tidak merugikan perusahaan.
8. Pembelian JIT
Faktor pendukung dalam terwujudnya implementasi JIT adalah program kemitraan. Dalam program
kemitraaan JIT, perusahaan mempunyai 4 pemasok yang 3 pemasok berada di luar kota dan 1 pemasok
(Bapak Joni) yang berada di dekat lokasi perusahaan dan masih kerabat dengan pemilik perusahaan.
Berdasarkan wawancara dengan Direktur, perusahaan mengalami kesulitan dengan pemasok antara lain:
Antrian di pelabuhan terutama seperti hari menjelang hari raya Idul Fitri, Natal, maupun Tahun
Baru.
Akses transportasi menuju lokasi perusahaan, lokasi perusahaan berada di kawasan padat industri
disertai jalan yang tidak rata dan bergelombang menyebabkan truk harus hati-hati melewati jalan
tersebut.
Pemasok tersebut bukanlah pemasok tetap. Perusahaan hanya mempunyai kontrak jangka panjang
dengan Bapak Joni yang telah bekerjasama selama 10 tahun.
Perusahaan juga sering mengganti pemasok dalam waktu 1-2 tahun. Hal ini dikarenakan perusahaan
masih mencari pemasok yang dapat mendukung perusahaan untuk memenuhi salah satu syarat
implementasi JIT, yaitu program kemitraan. Perusahaan mencari pemasok dengan kualitas bahan baku
yang bagus dengan harga yang kompetitif, serta dapat datang tepat waktu. Sebagian besar pemasok tidak
dapat menjamin bahwa bahan baku dapat datang tepat waktu selain perusahaan Bapak Joni. Hal ini
menyebabkan perusahaan tidak ada kontrak jangka panjang dengan pemasok. Oleh karena itu, di dalam
tata letak (Gambar 1) perusahaan masih memiliki gudang. Namun perusahaan berusaha untuk menekan
persediaan hampir mendekati nol (zero inventory). Sedangkan untuk frekuensi pembelian bahan baku
dikirim oleh pemasok satu bulan sekali sehingga dalam satu tahun terjadi 12 kali frekeunsi pengiriman
barang pesanan.
9. Kontrol Kualitas Berbasis Proses
Di dalam perusahaan terdapat departemen PDC yang bertugas melakukan quality control dan product
development. Kualitas bagi perusahaan merupakan yang paling diutamakan dan sangat penting, karena
salah satu alasan perusahaan meninggalkan sistem manufaktur tradisional dan menerapkan sistem JIT
adalah produk cacat. Oleh karena itu, perusahaan meminimalkan terjadinya produk cacat. Dalam
kuesioner produk cacat dan rework atau pengerjaan kembali menjadi ukuran kinerja yang sangat
penting bagi perusahaan.
Di dalam JIT memilik tiga prinsip utama dalam pengendalian kualitas, yaitu output yang bebas cacat,
segala kesalahan dan kerusakan dapat dicegah, dan tindakan pencegahan adalah lebih murah daripada
pekerjaan mengulang (rework). Departemen PDC setiap bulan membuat laporan waste untuk
memantau dan mendeteksi adanya produk cacat.
12
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
10. Kontrol Kualitas Berbasis Produk
Produk yang dikatakan berkualitas kalau produk dapat memenuhi dimensi kualitas. Dimana dimensi
kualitas ada 8 dimensi sebagai berikut: (1) kinerja (performance) (2) estetika (3) kemudahan perawatan
dan perbaikan (4) fitur (5) keandalan (6) Tahan lama (7) kualitas kesesuaian (8) kecocokan penggunaan.
Dengan perusahaan mengimplemtasi JIT yang dimana berproduksi ketika ada order dari pelanggan.
Perusahaan akan berfokus berproduksi sesuai dengan permintaan pelanggan, dan sejumlah permintaan
pelanggan. Dari hasil kuesioner, perusahaan secara penuh memperhatikan kontrol kualitas produk.
Evaluasi dari analisis prinsip-prinsip implementasi JIT menggunakan White et al., (1999) dengan
implementasi JIT yang telah dilakukan oleh PT X dapat dilihat dalam Tabel 1 dibawah ini:
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Tabel 1
Evaluasi Implementasi JIT PT X
Prinsip Implementasi JIT
Implementasi JIT
PT X
White et al., (1999)
Fokus Pabrik
Belum terimplementasi
Teknologi kelompok
Belum terimplementasi
Pengurangan Waktu Pemasangan
Implementasi secara penuh
Total Pemeliharaan Produktif
Implementasi secara penuh
Pekerja Multifungsi
Implementasi secara penuh
Beban kerja yang Sama
Implementasi secara penuh
Sistem Kanban
Implementasi secara penuh
Pembelian JIT
Belum terimplementasi
Kontrol Kualitas Berbasis Proses
Implementasi secara penuh
Kontrol Kualitas Berbasis Produk
Implementasi secara penuh
Menurut Galhenage (1997), hal yang terpenting dalam suksesnya implementasi JIT adalah adanya
komitmen dari segala aspek perusahaan (manajemen puncak, karyawan, dan pemasok) tersebut untuk
dapat mewujudkan implementasi JIT. Hal tersebut dapat terlihat bahwa PT X telah menerapkan 7
(tujuh) prinsip implementasi JIT. Perusahaan hanya berproduksi sesuai dengan permintaan pelanggan.
Sistem JIT juga memerlukan investasi yang besar mengingat PT X adalah perusahaan keluarga. Investasi
yang telah dilakukan oleh PT X adalah pembelian mesin untuk penambahan kapasitas, pelatihan
karyawan yang intensif, dan perencanaan re-layout pabrik. Namun, perusahaan belum
mengimplementasi JIT secara sempurna karena ada 3 (tiga) prinsip JIT, yaitu fokus pabrik, teknologi
kelompok, dan pembelian JIT yang belum diimplementasikan oleh perusahaan.
Efisiensi Biaya Bahan Baku
PT X dalam proses menerapkan sistem JIT untuk meningkatkan efisiensi biaya bahan baku. Untuk
mengetahui apakah dengan menerapkan sistem JIT perusahaan sudah efisien atau belum, maka dapat
dihitung dengan membandingkan antara anggaran biaya bahan baku terhadap realisasinya.
Berikut perhitungan rasio efisensi biaya bahan baku dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini:
13
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
Tabel 2
Rasio Efisiensi Biaya Bahan Baku Tahun 2010-2015 (dalam Rp)
Tahun
Anggaran Biaya Bahan Baku Realisasi Biaya Bahan Baku Rasio Efisiensi
2010
6.415.000.000
10.033.262.500
64%
2011
7.230.000.000
9.176.250.000
79%
2012
7.440.000.000
9.824.500.000
76%
2013
7.320.000.000
9.646.000.000
76%
2014
7.740.000.000
10.611.000.000
80%
2015
12.274.675.000
14.496.045.000
85%
Sumber: Data diolah
Berdasarkan dari hasil perhitungan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebelum perusahaan
menerapkan sistem JIT, efisiensi biaya bahan baku yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah
sebesar 64%. Kemudian pada tahun 2011, efisiensi biaya bahan baku pada perusahaan sebesar 79%.
Pada masa peralihan dari sistem manufaktur tradisional dan sistem JIT terlihat perbedaan efisiensi yang
cukup besar yaitu sebesar 15% dari tahun 2010. Pada tahun 2012 efisiensi biaya bahan baku sebesar
76% mengalami penurunan sebesar 3% dari tahun 2011. Pada tahun 2013, efisiensi biaya bahan baku
sebesar 76% menunjukkan tidak ada peningkatan maupun penurunan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Pada tahun 2014, efisiensi biaya bahan baku sebesar 80%, mengalami peningkatan sebesar
4%. Kemudian, pada tahun 2015 efisiensi biaya bahan baku sebesar 85%, mengalami peningkatan
efisiensi sebesar 5%. Sedangkan untuk rata-rata efisiensi biaya bahan baku setelah menerapkan sistem
JIT (2011-2015) adalah sebesar 79%.
Permasalahan dan Solusi
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dapat ditemukan permasalahan atau kendala-kendala yang
dihadapi oleh perusahaan dalam implementasi JIT beserta dengan solusinya yang dapat dilihat pada
Tabel 3.
14
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
No.
1.
2.
3.
Tabel 3
Permasalahan dan Solusi
Permasalahan
Solusi
Bertambahnya jumlah mesin, namun
Re-layout menuju product layout,
tidak bertambahnya luas pabrik, dan
dengan melakukan ekspansi terhadap
lokasi pabrik yang terletak di kawasan
lahan pabrik
padat industri.
Belum menggunakan struktur sel
Layout baru dengan teknologi kelompok,
manufaktur dimana adanya pabrik di
PT X memiliki 4 sel manufaktur untuk
dalam pabrik atau disebut juga pabrik
masing-masing produk yaitu PP, PE, HD,
mini yang merupakan syarat dari JIT.
dan PCB. Sel manufaktur yang merupakan
ciri dari sistem JIT akan membentuk huruf
U atau setengah lingkaran yang terdiri atas
mesin-mesin untuk membuat produk
tersebut dikelompokkan menjadi satu
tempat.
Tidak adanya kontrak antara perusahaan
Membuat kontrak dengan pemasok yang
dengan pemasok. Perusahaan sulit
memiliki kriteria seperti tingkat loss bahan
menemukan perusahaan yang dapat
bakunya paling sedikit, pemasok yang
membantu mewujudkan implementasi
memberikan harga yang paling kompetitif,
JIT.
pemasok yang bahan bakunya berkualitas
baik, pemasok yang lokasinya tidak jauh
dengan perusahaan.
Perusahaan dengan pemasok bisa
terhubung
dengan
menggunakan
pertukaran data elektronik (Electronic
Data Interchange), yaitu suatu metode
terotomatisasi dari pengiriman informasi
dari komputer ke komputer. Manfaat dari
EDI ini, pemasok dapat mengakses
database PT X. Dengan mengetahui
jadwal produksi PT X, pemasok dapat
mengirimkan bahan baku ke pabrik
dengan tepat waktu. Selain itu EDI tidak
membutuhkan kertas atau menerbitkan
faktur sehingga dapat menurunkan biaya
pemesanan.
15
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
SIMPULAN & SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat 7 (tujuh) prinsip implementasi JIT yang telah diimplementasikan oleh PT X, antara lain:
pengurangan waktu pemasangan (set up), total pemeliharaan produktif, pekerja multifungsi, beban
kerja yang sama, sistem kanban, kontrol kualitas berbasis proses, dan kontrol kualitas berbasis
produk. Sementara untuk 3 (tiga) prinsip implementasi JIT yang belum diterapkan oleh PT X, yaitu:
fokus pabrik, teknologi kelompok, dan pembelian JIT.
2. Kendala dalam implementasi JIT, yaitu (1) Bertambahnya jumlah mesin, namun tidak bertambahnya
luas pabrik, dan lokasi pabrik yang terletak di kawasan padat industri. (2) Belum menggunakan
struktur sel manufaktur dimana adanya pabrik di dalam pabrik atau disebut juga pabrik mini yang
merupakan syarat dari JIT. (3) Tidak adanya kontrak antara perusahaan dengan pemasok. Perusahaan
sulit menemukan perusahaan yang dapat membantu mewujudkan implementasi JIT..
3. Sebelum perusahaan menerapkan sistem JIT, efisiensi biaya bahan baku perusahaan sebesar 64%.
Pada tahun 2015 efisiensi biaya bahan baku sebesar 85%, mengalami peningkatan efisiensi sebesar
21%. Sedangkan untuk rata-rata efisiensi biaya bahan baku setelah menerapkan sistem JIT (20112015) adalah sebesar 79%.
Implikasi
PT X harus fokus pada 3 (tiga) prinsip implementasi JIT yang belum diterapkan oleh PT X, yaitu: fokus
pabrik, teknologi kelompok, dan pembelian JIT. Pada prinsip fokus pabrik dan teknologi kelompok,
perusahaan dapat mengubah layout dari process layout menjadi sel manufaktur (product layout).
Kemudian untuk fokus pembelian JIT perusahaan harus membuat kontrak dengan pemasok atau
perusahaan dapat menggunakan EDI (Electronic Data Interchange).
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah kurang lengkapnya data-data pendukung yang diberikan oleh
perusahaan. Data-data tersebut bagi perusahaan merupakan data yang bersifat rahasia dan tidak bisa
dipublikasikan oleh perusahaan.
Saran untuk Penelitian Mendatang
Bagi penelitian selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian ini untuk perusahaan manufaktur
disektor lain, maupun UKM (Usaha Kecil Menengah) yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
produk kantung plastik.
16
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
DAFTAR PUSTAKA
Galhenage, G. 1997. Just-In-Time Manufacturing. New York, NY.
Nugroho, P. I. 2007. “The Effects of Performance Measures and Incentive Systems on The Degree of
JIT Implementation”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol XIII No. 1 pp: 35-53.
Putra, C dan Idayati, F. 2014. “Penerapan Metode Just In Time Untuk Meningkatkan Efisiensi Biaya
Persedian Bahan Baku”. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 1.
Ravianto. 2002. Dasar-dasar Produktivitas. Karunika Universitas Terbuka Jakarta.
Tjahjadi. 2001. “JIT Purchasing, JIT Production Systems:Pengaruhnya terhadap Kinerja Produktivitas”.
pp: 227-236.
White. R. E., Pearson. J. N., dan Wilson. J. R. 1999. “JIT manufacturing: a survey of implementation in
small and large US manufacturers”. Management Science, 45, pp: 1-15.
Yulianti. 2013. Analisis Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Metode Just In Time dan
dampaknya Terhadap Kualitas Produk pada CV. Yan’s Fruit Vegetables. (diakses tanggal 2
Desember 2015).
Zunariah, S. N. 2015. Analisis Penerapan Just In Time Sebagai Alternatif pengendalian Persediaan
Bahan Baku Untuk Menilai Efisiensi Biaya Pada PT Kediri Tani Sejahtera. Universitas
Nusantara PGRI Kediri.
17
Konferensi Nasional Riset Manajemen X
“Akselerasi Daya Saing Menuju Keunggulan Organisasi yang Berkelanjutan”
Lombok, 20-22 September 2016
LAMPIRAN
Laporan waste bulanan
18