M01803

MENYAMBUT DAN MERANGKUL ALAM DALAM KETAKTERHINGGAN
SUATU KAJIAN EKOFEMINIS TERHADAP YEREMIA 4:23-28 DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PERJUANGAN PEREMPUAN MOLLO DI
DALAM MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN ALAM
Ira D. Mangililo1

23 Aku melihat kepada bumi, ternyata campur baur dan kosong dan melihat kepada langit,
tidak ada terangnya.
24 Aku melihat kepada gunung-gunung, ternyata goncang; dan seluruh bukitpun goyah.
25 Aku melihat, ternyata tidak ada manusia, dan semua burung di udara sudah lari
terbang.
26 Aku melihat, ternyata tanah subur sudah menjadi padang gurun, dan segala kotanya
sudah runtuh di hadapan TUHAN, di hadapan murka-Nya yang menyala-nyala!
27 Sebab beginilah firman TUHAN: “Seluruh negeri ini akan menjadi sunyi sepi, tetapi
Aku tidak akan membuatnya habis lenyap.
28 Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku
telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak
akan mundur dari pada itu.” – Yer 4:23-28

Dunia yang digambarkan di dalam penglihatan Yeremia 4:23-28 adalah dunia
yang berbanding terbalik dengan gambaran dunia yang ditawarkan oleh Kejadian 1:12:4a. Jika kita memperhatikan Kejadian 1 maka ada kesan yang kuat bahwa Allah sang

Pencipta membentuk dunia dengan penuh perhitungan. Ibaratnya seorang maestro yang
sejati, Allah melantunkan irama-irama penciptaan mulai dari hari pertama hingga hari
yang ke-enam di dalam sebuah liturgi yang mengalir indah membuat siapapun yang
mendengar kisah penciptaan ini akan larut di dalam perasaan keindahan dan
1

Dosen Perjanjian Lama, Bahasa-bahasa Alkitab dan Teologi Feminis di UKSW. Makalah disampaikan
pada kegaitan Annual Meeting 2015 ATI tanggal 4 Agustus 2015

keharmonisan yang ditawarkan oleh sang Pencipta. Namun ketika kita membaca Yeremia
4:23-28 maka kita mendapatkan pembalikan dari cerita penciptaan. Di sini, kita tidak lagi
berjumpa dengan alam yang telah melebur di dalam alunan nada-nada indah sang
Pencipta melainkan alam sendiri bangkit menjadi sebuah karakter yang menaikkan
suaranya di dalam bahasa gerakan yang unik bahkan terkesan ironis. Alam tidak lagi
merupakan sosok yang berkolaborasi dengan Allah untuk mengandung dan melahirkan
berbagai sumber daya alam yang menopang kehidupan manusia dan segala makluk
lainnya di muka bumi ini. Di dalam penglihatan Yeremia, alam adalah sosok yang
mandul, depresi bahkan tidak malu-malu untuk mengekspresikan perkabungannya karena
kondisi dirinya yang secara perlahan telah mengering. Ketika membaca teks seperti ini
maka kita bertanya tentang konteks di mana tulisan seperti ini muncul dan mengapa ia

muncul? Mengapa bumi digambarkan oleh Yeremia sebagai karakter yang telah
kehilangan keteraturan dan keharmonisan yang sangat kuat digambarkan di dalam
Kejadian? Bagaimana relasi di antara tanah, bangsa Israel dan Allah sendiri di dalam teks
ini?
Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan ….Kemudian saya akan membawa
teks ini ke masa kini untuk melihat bagaimana ….
II. Kitab Yeremia di dalam Konteks Imperialisme
Karir kenabian Yeremia terjadi setelah kehancuran Yerusalem dan Baik Allah di
tahun 589 Sebelum Zaman Bersama (SZB) sehingga isi kitabnya banyak mengandung
kritik terjadap Babilonia yang mengisyaratkan perlawanan terhadap imperialisme. Sama
seperti kebanyakan nabi yang muncul di Israel kuno, Yeremianpun merupakan utusan
Allah yang bereaksI terhadap penyerbuan dan penaklukan asing. Ia bertugas di tengahtengah lingkungan yang kompleks akibat interaksi masyarakat dengan kaum penjajah
yang berasal dari luar sehingga tindakan-tindakan yang dilakukannyapun terkadang
bersifat ambigu. Akibat keterlibatannya yang mendalam di dalam dunia politik maka ia
tidak segan-segan melaksanakan perintah Tuhan dengan melakukan tindakan-tindakan
unik seperti membiarkan ikat pinggang menjadi lapuk (Yer 13:1-11) atau memecahkan
buli-buli yang dibelinya guna mengilustrasikan kehancuran Yerusalem dan Yehuda.

Akibat dari tindakan-tindakannya ini maka Yeremia dicemooh, ditolak, dianiaya,
dipenjarakan dan bahkan dibuang ke Mesir. Di tengah-tengah situasi yang ambigu seperti

itu maka sebagai seorang nabi, Yeremia dituntut untuk mampu berpindah dari satu ruang
ke ruang yang lainnya; ia dituntut untuk mampu menciptakan “ruang ketiga” di mana ia
masuk dan menyesuaikan diri di dalam celah kekuasaan yang bahkan membuatnya
bertentangan dengan kekuasaan yang ada.
Kehidupan dan pelayanan Yeremia sendiri mulai dilakukan sekitar tahun 626 atau
609 SZB. Pada saat itu Yosia sebagai pemimpin Yehuda menggunakan situasi
melemahnya kekuasaan Asyur sebagai kesempatan untuk melakukan reformasinya.
Reformasi ini berkenaan dengan penghancuran tempat-tempat peribadahan lokal di Utara
dan ritual-ritual peribadahannya (2 Raja-raja 23). Tujuan dari reformasi ini adalah adanya
sentralisasi keagamaan yang akan menuntun pada sentralisasi kekuasaan di Yerusalem.
Yeremia tampil sebagai sosok yang mendukung perjuangan Yosia tersebut. Namun
kematian Yosia di tangan Firaun Necho menyebabkan gagalnya reformasinya. Seiring
dengan itu, Mesir menunjuk Yehoakim untuk menggantikan Yosia. Kekuasaan Mesir
yang sementara dikalahkan oleh Babilonia yang di dalam penyerbuannya berhasil
menaklukkan daerah-daerah di sekitar Yehuda. Yehoakim yang tadinya pro terhadap
Mesir mengubah haluan politiknya dengan menyerahkan dirinya sebagai orang yang
tunduk di bawah kekuasaan Babilonia (2 Raja-raja 24:1). Raja Yehoakim digantikan oleh
anaknya Yehoakin dan pada masa pemerintahannyalah Israel mengalami pembuangan ke
Babilonia (Yer 29:1-2; 2 Raja2 24:8-17).
Raja baru yang menggantikan Yehoakin adalah Zedekiah yang berusaha untuk

mengadakan perlawanan terhadap Babilonia karena didasari oleh perasaan sentiment
nasionalisme-nya (Yer 27:3). Ia melakukan pemberontakan kepada Babilonia dan sebagai
akibatnya Yerusalem dan bait Allah dihancurkan pada tahun 587 BCE. Pada saat inilah
arus deportasi yang kedua terjadi seiring dengan dibunuhnya anak-anak raja dan Zedekia
sendiri dicungkil matanya dan dibuang bersama dengan rakyat yang lainnya. Babilonia
menunjuk Gedaliah, anggota dari keluarga bangsawan dari keluarga Yehuda, sebagai
pemimpin baru. Kepemimpinannya dilumpuhkan oleh pemberontakan lokal. Kelompok
pemberontak ini kemudian melarikan diri ke Mesir guna menghindari perlawanan dari

Babilonia. Mereka membawa serta si enggan Yeremia bersama mereka (Yer 41; 43; 2
Raja2 25:25-26).
Setelah kehancuran Yerusalem maka nubuat Yeremia berisi kritik terhadap
Babilonia yang mengisyaratkan perlawanan terhadap imperialisme. Tulisan Yeremia
dipelihara dan ditransformasikan guna dipakai baik oleh mereka yang tinggal di
Yerusalem maupun yang dibuang ke Mesir dan di Babilonia. Hal ini dimungkinkan
mengingat bahwa hanya sekitar 10% saja yang dibuang sementara yang 90% penduduk
tinggal di Yerusalem sehingga ada perpindahan kekuasaan dari kota kembali ke desadesa kecil. Kekuasaan berpusat pada para tuan tanah kecil dan kelas bawah yang tidak
memiliki tanah yang tetap tinggal di Yerusalem. Ada implikasi terhadap perubahan
sosial, ekonomi dan kepemimpinan di Yerusalem. Terjadi reformasi agrikultural yang
menempatkan kepemilikan tanah di dalam kekuasaan petani kecil. Namun demikian

tingkat stratifikasi sosial tetap ada. Hal ini ditandai dengan munculnya tuan tanah baru
dengan kebijakan pajak dan lain sebagainya yang menggantikan kekuasaan monarki.
Pada saat itu dibuka pula pusat-pusat peribadahan di luar Yerusalem dengan dipimpin
oleh imam-imam yang tidak ikut dibuang. Kelompok yang dibuang juga mengalami
perubahan di dalam hidup mereka. Ada dua kelompok yang terbentuk di Babilonia:
mereka yang tinggal di wilayah pedesaan di pembuangan dan bekerja mengusahakan
pertanian dan mereka yang tinggal di kota dan bekerja di administrasi pemerintahan.
Kelompok ini membantu memelihara tradisi Daud/ideologi raja beserta teologi Zion-nya
yang adalah bentuk anti-Babilonia di bawah kepemimpinan Yehoakin. Kelompok yang
ada di Mesir merupakan kaum immigrant yang tidak bersetuju dengan kekuasaan
Babilonia dan juga kekuasaan para elite baru di Yerusalem. Kebanyakan mereka
berkedudukan sebagai tentara bayaran yang berjuang untuk Mesir. Kelompok ini juga
mencari perlindungan Persia untuk menghadapi kekuasaan Mesir.
Dari pemaparan tentang latar belakang sejarah yang membentuk dan
mempengaruhi penulisan kitab Yeremia maka dapatlah disimpulkan bahwa kitab ini
sendiri bergumul dengan masalah ketercabutan dari tanah asal mereka. Melalui
tulisannya, Yeremia berusaha untuk memberikan penjelasan tentang mengapa peristiwa
penghancuran Yerusalem dan Bait Allah harus terjadi, mengapa bangsa Israel dibuang ke
Babilonia, dan sikap serta tindakan yang harus dilakukan untuk bertahan di dalam situasi


penindasan seperti itu. Di sini, Yeremia menulis kitabnya guna menyampaikan pesan
khusus bagi mereka yang dibuang di Babilonia. Targetnya adalah agar mereka dapat
melakukan penyesuaian terhadap situasi baru yang ditimbulkan akibat kekuasaan
imperial. Ketercabutan mereka dari “rumah” menyebabkan mereka harus menciptakan
rumah baru di situasi yang baru dan asing bagi mereka. Surat Yeremia memberikan
sebuah petunjuk tentang strategi untuk mengkonstruksi rumah jauh dari tanah kelahiran
mereka.
III. Alam yang Berduka; Alam sebagai “Sang Lain”
Tulisan Yeremia menyediakan bagi kita sebuah jendela untuk memahami
perjuangan bangsa Israel yang dibuang ke tanah Babilonia untuk menegoisasikan realitas
kehidupan mereka yang telah tercabut dari akarnya dengan cara mengartikulasikan
kembali identitas diri mereka. Namun, sedikit sekali informasi yang kita ketahui tentang
keadaan orang-orang yang tinggal tetap di Yerusalem dan sekitarnya yang tidak ikut di
dalam pembuangan. Namun Yeremia 4:23-28 memberikan kepada kita gambaran tentang
kondisi tanah Israel paska penghancuran Yerusalem dan Bait Allah. Melalui
penggambarannya di dalam teks ini Yeremia memperkenalkan tiga kelompok yaitu
tanah-bangsa Israel-Tuhan yang merupakan karakter yang memiliki hubungan yang
sangat erat. Mereka menyampaikan pikiran dan perasaan mereka di dalam komunikasi
yang mereka lakukan terhadap satu dengan yang lainnya.
Di dalam upaya untuk memahami dan menelanjangi berbagai hasil tafsiran Barat

terhadap teks kitab suci yang sangat dipengaruhi oleh pendekataan antroposentrik,
patriarkal, dan andronsentris yang tidak mengecilkan dan tidak menghargai alam, maka
sekelompok orang yang terlibat di dalam the Earth Bible team (EBT) telah
mengembangkan sebuah cara membaca Alkitab yang bertujuan untuk memperhatikan
dan memulihkan bumi dan komunitas-komunitas tertentu yang telah ditindas.2 Dalam
rangka menolong proses pembacaan maka EBT memperkenalkan enam prinsip ecojustice
yang berfungsi sebagai pedoman di dalam menafsir:
Norman C. Habel, “Introducing Ecological Hermeneutic,” di dalam Exploring Ecological Hermeneutics,
diedit oleh Norman C. Habel and Peter Trudinger (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2008), 1-2.
2

1. The principle of intrinsic worth: The Universe, Earth and all its
components have intrinsic worth/value.
2. The principle of interconnectedness; Earth is a community of
interconnected living things that are mutually dependent on each other for
life and survival.
3. The principle of voice: Earth is a subject capable of raising its voice in
celebration and against injustice.
4. The principle of purpose: The Universe, Earth and all its components are
part of a dynamic cosmic design within which each piece has a place in

the overall goal of that design.
5. The principle of mutual custodianship: Earth is a balanced and diverse
domain where responsible custodians can function as partners with, rather
than rulers over, Earth to sustain its balance and a diverse Earth
community.
6. The principle of resistance: Earth and its components not only suffer from
human injustices but actively resist them in the struggle for justice. 3
Dari keenam prinsip ini maka poin ke tiga yang menyatakan bahwa bumi adalah
subyek yang mampu menaikkan suaranya untuk merayakan dan melawan ketidakadilan.
Di dalam cara berpikir seperti ini maka meskipun Tuhan, manusia, dan tanah adalah
unsur yang terpisah namun mereka sangat bergantung satu dengan yang lainnya.
Ketiganya juga merupakan karaktek yang mampu mengekspresikan perasaan dan
keprihatinan mereka melalui kata-kata dan tindakan. Di dalam Yer 4:23-28 bumi
memiliki suara yang mengungkapkan kepedihannya akibat kondisinya yang telah
kembali seperti sebelum dunia dibentuk oleh Allah. Melalui suaranya, bumi menaikkan
perkabungan karena kondisinya yang telah mengering. Di sinilah, ketika Israel
dihancurkan oleh Babilonia, bukan hanya manusia yang tercabut dari akarnya; alampun
merasakan sakit dan kepedihan yang mendalam karena iapun harus menerima
konsekuensi kemarahan Allah akibat rusaknya hubungan perjanjian di umat Israel
denganNya.

Lebih lanjut, di dalam cara berpikir masyarakat Israel kuno, tanah adalah
pemberian Tuhan yang tidak boleh diperjualbelikan selamanya; dan karena pemberian
Tuhan maka tanah memiliki peranan yang sangat penting. Dari tanahlah mereka dapat
menghasilkan berbagai tanaman yang digunakan untuk makan. Tanah juga merupakan
3

Habel, “Introducing Ecological Hermeneutic,” 2.

tempat asalnya sumber air yang berguna bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
penting bagi orang Israel untuk menjaga dan melindungi tanah mereka. Ketika mereka
mereka melakukan tindakan-tindakan yang akan mendatangkan penghukuman Tuhan
bukan hanya bagi manusia melainkan juga bagi alam. Di sinilah alam menderita bersamasama dengan manusia untuk kejahatan yang tidak dilakukannya. Di sinilah manusia telah
gagal untuk menempatkan hubungannya dengan alam sebagai “sang lain” di dalam relasi
tanggung jawab yang bersifat infiniti melainkan di dalam hubungan yang bersifat totalitas.
Di dalam tulisannya yang berjudul Totality and Infinity, Levinas membahas
tentang pandangan metafisika Levinas yang meliputi hubungan manusia. Bagi Levinas,
hubungan metafisik antara makhluk manusia ditandai dengan alteritas radikal, atau apa
yang dia sebut “eksterioritas.” Di sini, “Sang Lain” berdiri di hadapan saya sebagai yang
tidak teruraikan hadir namun dalam waktu yang bersamaan benar-benar aneh, radikal
“sang Lain” yang radikal. Pengakuan saya akan “Sang Lain” harus terjadi dalam dunia

hubungan yang dihidupi dan ekspresi tetapi juga harus meninggalkan “Sang Lain” di
dalam “Keberlainan”nya, sebagai yang Infinity (abadi). Namun pengakuan ini
memprovokasi “kritik dari yang Sama” - sang “Aku,” juga secara radikal diubah oleh
relasi tersebut. Itulah sebabnya mengapa kita dipanggil untuk mempertanyakan
spontanitas kita sendiri di dalam menghadapi kehadiran nilai-nilai etis “Sang Lain.”4 Di
sini, “Sang Lain” berdiri terpisah dari saya; Saya tidak dipanggil untuk dibingkai ataupun
takluk kepadanya. Aku dapat – dan memang, harus - berdiri teguh dalam subjektivitas
saya. Pada saat yang sama, saya dipanggil untuk menanggapi “Sang Lain” karena hanya
dengan menanggapinya maka saya akan mengerti kemerdekaan saya sendiri. Ketika saya
melakukan hal tersebut, saya dimampukan untuk menanggapi “Sang Lain” dengan penuh
hospitalitas. Tindakan saya ini merupakan sebuah infinitas yang merangkul “Sang Lain”
namun juga membiarkan “Sang Lain” untuk tetap berada di dalam keadaan utuh dan
dengan demikian akan melawan kecenderungan totalitas untuk menguasai “Sang Lain.”
Di dalam Totality and Infinity pula, Levinas menggambarkan situasi paradoks ini
di mana “Sang Lain” merupakan ssebuah kerinduan yang menguasai hasrat seseorang
untuk dinanti dengan kerinduan yang meluap meresapi “Sang Lain” – sebuah keinginan
E. Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (Pittsburg, PA: Duguesne University Press,
1969), 43.

4


metafisika terhadap sesuatu yang lain sama sekali, terhadap sesuatu yang benar-benar
lain.5 “Sang Lain” berdiri terpisah dari saya namun saya memiliki “Sang Lain” tersebut di
dalam subjektivitas saya bukan karena saya harus, melainkan karena saya menghasrati
orientasi keberlainan ini yang nanti kemudian akan mampu mentransendensikan
pengalaman-pengalaman saya dan juga alam semeseta saya. Di dalam Otherwise than
Being, or, Beyond Essence, Levinas melanjutkan argumen ini dengan mengatakan bahwa
kegagalan untuk merangkul “Sang Lain” dan menanggapi “Sang Lain dengan penuh
hospitalitas merupakan sebuah tindakan totaliti yang diartikan sebagai tindakan
pemisahan yang sistematis dan teratur. Infiniti, di lain pihak, merupakan merasakan,
menyambut, pelukan kepada “Sang Lain.”6
Penjelasan Levinas ini sangat menolong kita untuk memahami relasi hubungan di
antara Tuhan, manusia dan bumi atau tanah di dalam Yeremia 4:23-28. Melalui suara dan
gerakannya, tanah mengungkapkan keadaannya yang telah kacau dan kosong (tobu
wabohu). Bumi melihat dirinya yang tidak lagi berada di dalam situasi yang teratur
karena benda-benda penerang telah meninggalkan langit sehingga dunia diliputi oleh
kegelapan. Hal ini adalah sebuah tragedi mengingat bahwa dunia membutuhkan cahaya
itu sendiri untuk menghamili dan melahirkan buah-buah bumi yang akan menopang
kehidupan. Bumipun menunjukkan keadaan dirinya yang depresi karena dibiarkan hidup
di dalam kesepian – teman-temannya, burung-burung di udara telah lari
meninggalkannya. Tanah yang selama ini sangat bangga karena kesuburannya telah
membuatnya berguna ternyata harus menelan kenyataan pahit bahwa ia kini telah
berubah menjadi padang gurun. Semua ini terjadi karena ulah manusia yang di dalam
relasinya dengan tanah, telah gagal menempatkan tanah sebagai “Sang Lain” yang harus
dirasakan, disambut dengan segala keramahan, dipeluk dengan segala penghargaan.
Manusia telah melihat tanah sebagai obyek yang dikuasai, dieksploitas dan perlakukan
semena-mena. Di dalam relasinya dengan sang Pencipta yang telah menetapkan
ketetapan perjanjian sebagai panduan etis di dalam berelasi, manusiapun tidak sampai
pada tahap memikirkan nasib sang tanah sebagai “Sang Lain” ketika ketetapan perjanjian
tersebut dilanggar.
5
6

Levinas, Totality and Infinity, 33.
Levinas, Otherwise than Being, or, Beyond Essence (Pittsburg, PA: Duquesne University Press, 1974).

Di dalam Yer 4:23-28 inilah kita menyaksikan titik klimaks dari tanggapan bumi
terhadap ketidakpedulian manusia. Bumi berhenti berdenyut dan bumi mengering; dan
seiring dengan mengeringnya bumi, bangsa Israel dihadapkan pada suatu kenyataan
totaliti – kehidupan yang terpisah secara sistematis dan teratur bukan saja hanya dengan
Tuhan tetapi juga dengan alam. Keterpisahan inilah yang menjadi pengingat bahwa
manusia bisa saja terus memelihara hasrat untuk meresapi bumi sebagai “Sang Lain”
tetapi tidak di dalam semangat untuk membingkai, menaklukkan bumi dan bahkan
mengekspoitasi bumi. Karena bumi harus dibiarkan untuk berdiri teguh dengan sebagai
kesubjektivitasannya agar ia dapat mencapai titik kemerdekaan yang akan
memungkinkannya untuk terus berfungsi merawat dan memelihara manusia. Inilah inti
dasar ketetapan perjanjian di antara Tuhan, manusia dan alam – ketetapan perjanjian yang
memungkinkan terjadinya transendensi bersama yang dilandasi oleh hospitaliti. Israel
jelas telah gagal menjalankan ketetapan perjanjian tersebut, namun seruan dan kritikan
Yeremia memberikan sebuah petunjuk etis terhadap apa yang harus dilakukan oleh Israel
untuk memperbaiki ketetapan perjanjian yang telah ada. Di sini, Yeremia mengundang
bangsa Israel untuk masuk mendasari hubungan dengan Tuhan dan alam dengan
berdasarkan semangat infinitas.
III. Perempuan Mollo Merangkul Alam dalam Ketakterhinggaan
Relasi bangsa Israel dengan alam yang bersifat totalitas adalah berbanding
terbalik dengan sikap para perempuan Mollo di wilayah Timor Tengah Selatan (TTS),
Nusa Tenggara Timur (NTT) yang melihat alam di dalam kapasitasnya sebagai “Sang
Lain” yang harus diperlakukan dihargai ketakterhinggaannya. Para perempuan Mollo
adalah bagian dari masyarakat Dawan yang sering disebut Atoin Pah Meto (orang dari
tanah kering). Mereka tinggal menetap di bagian Selatan Cagar Alam Gunung Mutis di
pulau Timor. Pulau Timor sendiri dikarakteristikkan sebagai wilayah yang kering
bergunung-gunung dan memiliki musim hujan yang pendek. Kebanyakan para
penduduknya adalah para petani yang menopang kehidupannya dengan menanam
tanaman-tanaman seperti sayur-sayuran, jagung dan kacang-kacangan yang merupakan
makanan-makanan yang sangat diperlukan pada masa musim kemarau yang keras.

Namun, berbeda dengan sebagian wilayan Timor yang sangat kering, wilayah
Mollo merupakan daerah kaya yang banyak menghasilkan batu mangan, emas, minyak
dan gas. Gunung Mutis sendiri dikelilingi oleh hutan-hutan yang menyediakan sumber air
yang sangat kritis bagi kelangsungan kehidupan orang-orang Timor. Sumber-sumber
daya alam ini merupakan sumber kehidupan bagi orang Mollo dan oleh karena itu
dianggap sacral. Karena perempuan Mollo secara khusus merupakan bertanggung jawab
untuk melakukan semua pekerjaan di rumah, maka adalah tugas para perempuan tersebut
untuk memastikan bahwa ketersediaan makanan bagi keluarga dan komunitas mereka.
Mereka menjamin ketersediaan tersebut dengan mengumpulkan makanan dan obatobatan dari hutan, menanam tanaman-tanaman pangan di lahan-lahan subur, dan
membawa pulangbuah-buahan dan akar-akaran yang berasal dari beraneka ragam
tumbuhan guna dijadikan bahan pewarna untuk tenunan mereka – sebuah aktivitas
tradisional yang mendefinisikan identitas para perempuan Mollo.
Mayoritas perempuan Mollo telah memeluk agama Kristen yang menganut
kepercayaan monoteisme. Namun, kepercayaan spiritual dan praktek-praktek penduduk
asli tetap dipelihara hingga saat ini dan dikombinasikan dengan kekristenan. Salah satu
spiritualitas kepercayaan asli di Mollo adalah berhubungan dasar filosofis yang ditarik
dari nilai-nilai kebudayaan atau kearifan lokal yang menetapkan gagasan holistik tentang
keterhubungan antar unsur-unsur yang terdapat di bumi dan alam semesta, baik itu yang
hidup maupun mati, di mana manusia, tanaman dan hewan, alam dan benda langit saling
terkait.7 Perempuan Mollo percaya bahwa tanah (nijan) dilihat sebagai daging; batu (fatu)
diibaratkan sebagai tulang. Air (oel) adalah darah yang terus mengalir dalam tubuh.
Hutan adalah paru-paru. Dengan pengidentifikasian alam (bumi) seperti demikian maka
tentu saja bagi atoin pah meto, alam harus dijaga dan dipelihara sebagaimana halnya
orang memelihara tubuhnya sendiri karena jika ada di antara salah satu organ tubuhnya
yang diambil atau ditiadakan maka tentu saja ia tidak akan berfungsi secara baik atau
bahkan lumpuh. Di dalam kaitannya dengan batu mangan maka dapat dipastikan bahwa
ketika batu yang ibaratnya adalah tulang manusia diambil atau dipindahkan dari

7

Vicki Grieves, “Aboriginal Spirituality: A Baseline for Indigenous Knowledges Development in
Australia,” The Canadian Journal of Native Studies XXVIII, 2008, 2, 364.

tempatnya maka tentu saja tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada orangorang Mollo.8
Dengan pengidentifikasian alam (bumi) seperti demikian maka tentu saja bagi
atoin pah meto, alam harus dijaga dan dipelihara sebagaimana halnya orang memelihara
tubuhnya sendiri karena jika ada di antara salah satu organ tubuhnya yang diambil atau
ditiadakan maka tentu saja ia tidak akan berfungsi secara baik atau bahkan lumpuh. Di
dalam kaitannya dengan batu mangan maka dapat dipastikan bahwa ketika batu yang
ibaratnya adalah tulang manusia diambil atau dipindahkan dari tempatnya maka tentu
saja tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada orang-orang Mollo.9
Namun, interkoneksi antara orang Mollo dan lingkungan mereka secara perlahan
sedang dirusak oleh kehadiran perusahaan pertambangan yang agenda utamanya adalah
untuk mengekstrak/mengambil sebanyak mungkin mangan atas ijin pemerintahan lokal. .
Akibatnya, sebagian besar petani terpaksa beralih ke pertambangan seiring denganse
dikonversinya tanah dari peternakan kecil menjadi tambang. Banyak wanita dan anakanak telah dipaksa untuk terlibat dalam kegiatan pertambangan dalam rangka memenuhi
kebutuhan pangan mereka dan untuk melunasi utang mereka, meskipun kegiatan ini
membahayakan nyawa mereka. Kehadiran perusahaan pertambangan di TTS juga telah
mengakibatkan kerusakan lingkungan besar, menghancurkan tanah, hutan, air, dan udara.
Di sini jelaslah secara finansial, pertambahangan hanya memperkaya sedikit saja orang
tetapi menyakiti banyak orang terutama mereka yang tinggal di sekitar mangan yang
masih tetap miskin sampai sekarang.
Dalam menghadapi situasi ini, perempuan Mollo telah menolak untuk hanya
menerima penderitaan dan penindasan mereka serta menyerah. Sebaliknya mereka telah
membentuk koalisi perempuan yang bertujuan memprotes kepentingan pertambangan dan
pemerintah daerah yang mendapatkan manfaat dari kegiatan pertambangan tersebut.
Koalisi ini telah dipimpin oleh seorang ibu pekerja tangga bernama Aleta Baun, yang
memulai usahanya untuk menjangkau para perempuan Mollo lainnya untuk berjuang
bersama-sama dengannya. Ia pergi dari rumah ke rumah dan desa ke desa untuk
mengumpulkan sebanyak mungkin perempuan untuk bergabung dengannya dalam protes
8
9

Weeklyline.Net., “Batu Mangan.”
Weeklyline.Net., “Batu Mangan.”

tersebut. Dalam pencariannya dukungan, Mama Aleta telah menggunakan kepercayaan
lokal bahwa lingkungan merupakan bagian dari kehidupan mereka yang tanpanya mereka
tidak dapat bertahan untuk membujuk banyak wanita untuk mengambil tindakan dalam
melawan penindasan mereka. Dia juga menyoroti pentingnya menyelamatkan hutan yang
menyediakan bahan dan alat pewarna bagi tenun mereka - simbol identitas mereka. Baun
juga berhasil mendapatkan dukungan dari orang-orang dengan menekankan pentingnya
perempuan berada di garis depan protes dan di dalam tindakan negosiasi. Di sinilah,
dengan menggunakan pemahaman budaya yang melihat peran gender perempuan sebagai
pemelihara, yang memiliki intuisi spiritual, dan lebih dekat dengan alam, Baun yakin
orang-orang bahwa adalah lebih baik untuk menempatkan perempuan di garis depan
kampanye karena perempuan adalah orang-orang yang membutuhkan hutan untuk
bertahan hidup. Selain itu, adalah lebih kecil bagi para perempuan untuk terlibat dalam
konflik atau bentrokan dengan perusahaan pertambangan karena mereka dianggap lebih
sabar dari pada laki-laki. Mereka akan akan menggunakan intuisi dan sensitivitas mereka
dalam menyampaikan tuntutan mereka. Argumen ini diterima dengan baik oleh kaum
laki-laki yang pada gilirannya memungkinkan istri, saudara perempuan dan anak
perempuan mereka untuk membentuk protes damai, mulai tahun 2006, di mana sekitar
150 perempuan duduk di bebatuan marmer di lokasi pertambangan, diam-diam menenun
kain tradisional mereka yang merupakan simbol identitas mereka. Mereka melakukannya
selama sekitar satu tahun. Sebagai tanda dukungan mereka untuk perjuangan perempuan
mereka untuk mengklaim hak-hak mereka atas tanah, para lelaki Mollo melakukan
sesuatu yang tidak biasa dalam budaya Timor. Mereka membantu kaum perempuan
dengan melakukan tugas-tugas perempuan di rumah - memasak, membersihkan, dan
merawat anak-anak. Tindakan Mollo perempuan perlawanan itu tidak sia-sia. Pada tahun
2010 perusahaan tambang meninggalkan empat tambang yang ada di TTS. Tentu saja
perusahaan-perusahaan tambang sudah lama berlalu, namun, saya merasa perlu untuk
membawa masalah ini lagi sebagai tantangan bagi masyarakat setempat untuk
memperbaiki kerusakan yang telah dilakukan tetap menjadi perhatian serius. Selain itu,
media lokal kami baru-baru ini melaporkan keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur
untuk mengeluarkan 315 Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk beberapa perusahaan
pertambangan beroperasi di Nusa Tenggara Timur. Salah satu perusahaan tambang yang

menerima lisensi adalah perusahan pertambangan PT.So’e Makmur Resources (SMR)
yang meskipun belum secara resmi melakukan kegiatan pertambangannya tetapi
memiliki janji untuk membangun dan memperbaiki jalan, membangun gereja dan sekolah,
dan menyediakan air bersih dan pekerjaan untuk meredakan masyarakat Mollo. Namun,
Baun dan Mollo wanita telah mengajarkan kita bahwa kehadiran perusahaan tambang ini
dapat menciptakan kekacauan sosial, kekerasan, dan perpecahan di dalam masyarakat dan
keluarga.
Pemaparan tentang perjuangan Mama Aleta dan para perempuan Mollo untuk
mengklaim hak atas kepemilikan tanah menunjukkan bahwa para perempuan Mollo telah
menjiwai dengan keterhubungan mereka dengan alam sebagai “Sang Lain” di dalam
relasi keterhubungan di dalam ketakterhinggaan. Mereka tidak melihat alam sebagai
“Sang Lain” yang dapat saja mereka ekspolitasi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan
dari tanah itu sendiri. Sebaliknya, dengan menempatkan tanah sebagai karakter hidup
yang tanpanya mereka tidak dapat bertahan hidup, maka para perempuan Mollo
merasakan, menyambut, dan memeluk alam dengan penuh tanggung jawab dan kasih;
dengan menempatkan alam sebagai bagian dari tubuh mereka sendiri – sebagai tulang,
darah, daging, rambut dan paru-paru mereka maka para perempuan Mollo juga turut
merasakan sakit dan penderitaan telah yang dirasakan oleh alam. Perasaan solidaritas
inilah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk melakukan aksi protes damai yang
pada akhirnya berhasil mengusir para perusahaan tambang. Mereka bukan saja berjuang
untuk mengangkat penderitaan yang dialami oleh alam namun berusaha pula untuk
menyembuhkan depresi dan kesepian yang dialami oleh alam. Para perempuan tentu saja
adalah kaum yang dapat melakukan tindakan yang penuh keberanian seperti ini karena
mereka sendiri juga adalah bagian dari “Sang Lain” yang telah merasakan akibat dari
suatu keterhubungan yang didasarkan pada totality yang memimpin pada keterpisahan
yang bersifat sistematik! Perempuan Mollo telah menjawab seruan dan kritik yang
diserukan oleh Yeremia di masa lampau untuk setia terhadap ketetapan perjanjian di
antara Tuhan, manusia dengan alam dengan cara merangkul erat alam di dalam hubungan
yang ketakterhinggaan/infiniti.

Dokumen yang terkait