RENSTRA Ditjen Migas 2015 - 2019

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI

i

Rencana Strategis 2015-2019
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi

Pelindung:
IGN Wiratmaja Puja
(Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi)
Pengarah:
Susyanto, SH, M.Hum
(Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi)
Ir. Agus Cahyono Adi, M.T.
(Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi)
Dr.Ir. Djoko Siswanto, MBA
(Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi)
Ir. Setyorini Tri Hutami
(Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi)

Dr. Ir. Naryanto Wagimin, M.Si
(Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi)
Penanggung Jawab:
Soerjaningsih
(Kasubdit Penyiapan Program Minyak dan Gas Bumi)
Editor:
Naufal Noor Rochman
(Kasie Penyiapan Program Pengembangan Minyak dan Gas Bumi)
Tim Penyusun:
Aldi Martino Hutagalung
Winda Yunita
Nadiar Chairani Rahamri
Ardianto Johansyah

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL

KATA PENGANTAR

iv
v
vii

BAB I:

PENDAHULUAN
I.1 KONDISI UMUM DAN CAPAIAN SUB SEKTOR MIGAS
I.2 POTENSI DAN PERMASALAHAN

1
2
16

BAB II:

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS
II.1 VISI DAN MISI PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

II.2 TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS DITJEN MIGAS

20
20
22

BAB III:

ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI,
KERANGKA KELEMBAGAAN
III.1 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI
III.2 KERANGKA REGULASI
III. 3 KERANGKA KELEMBAGAAN

29
31
45
45

BAB IV:


TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
IV.1 TARGET KINERJA
IV.2 KERANGKA PENDANAAN

47
47
48

BAB V:

PENGEMBANGAN SUB SEKTOR MIGAS PER KEWILAYAHAN

51

LAMPIRAN 1.1 MATRIKS RINERJA DAN PENDANAAN DITJEN MIGAS 2015-2019
LAMPIRAN 2.2 MATRIKS KERANGKA REGULASI DITJEN MIGAS 2015-2019

iii


DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 1.3
Gambar 1.4
Gambar 1.5
Gambar 1.6
Gambar 1.7
Gambar 1.8
Gambar 1.9
Gambar 1.10
Gambar 1.11
Gambar 1.12
Gambar 1.13
Gambar 1.14
Gambar 1.15
Gambar 1.16
Gambar 1.17
Gambar 1.18
Gambar 1.19

Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5

iv

Tahapan Sasaran RPJMN dalam RPJPN 2005-2025
Sejarah Produksi Minyak Indonesia
Produksi Energi Fosil Indonesia 2010-2014
Penandatanganan KKS, Firm Commitment dan
Bonus Tanda Tangan
Pemboran Sumur Eksplorasi dan Penemuan Cadangan
Pemenuhan Gas Bumi Domestik dan Ekspor
Pangsa Ekspor Gas Bumi Indonesia
Infrastruktur Gas Bumi Indonesia

Kuota dan Realisasi BBM Bersubsidi
Penyaluran BBM Bersubsidi dan Non Subsidi
Kapasitas Terpasang Kilang Minyak Indonesia 2014
Kapasitas Kilang dan Kebutuhan BBM Indonesia
Target dan Realisasi Penyediaan Volume LPG 3g
Realisasi dan Rencana Pembangunan SPBG
Penerimaan Negara Sub Sektor Migas
Tahun 2009 – 2014 (dalam miliar Rupiah)
Investasi Sub Sektor Migas
Tahun 2005 – 2013 (dalam juta US$)
Cadangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia
Potensi Coalbed Methane Indonesia
Potensi Shale Gas Indonesia
Konsep Ketahanan Energi
Kebijakan Umum Pengelolaan
Energi dan Sumber Daya Mineral
Rencana Penawaran Wilayah Kerja Migas
Konvensional 2015 Tahap I
Terminal Regasifikasi Arun
Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung

Floating Storage Regasification Unit (FSRU)
Nusantara Regas Jawa Barat
Kilang LNG Lampung
Kilang LNG Tangguh

1
2
3
4
4
5
5
6
7
8
10
10
11
13
15

15
16
17
17
37
29
30
33
51
52
52
53
53

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 1.3
Tabel 1.4
Tabel 1.5

Tabel 1.6
Tabel 1.7
Tabel 1.8
Tabel 2.1
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 4.1

Realisasi Volume BBM Bersubsidi
Kenaikan Harga BBM
Penurunan Harga BBM
Hasil Pengawasan Penyalahgunaan BBM
Tahun 2010-2014
Konversi Minyak Tanah ke LPG 3 kg
Pembangunan Jaringan Gas Kota
Realisasi dan Rencana Program Konversi BBM
ke BBG untuk Transportasi
Pembagian Konverter Kit
Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja KESDM

Wilayah Kerja Migas yang akan Habis Kontrak
Kualifikasi pendidikan pegawai
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Komposisi usia pegawai
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Target Kinerja Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
Tahun 2015-2019

7
7
8
9
11
12
14
14
22
35
45
46
47

v

vi

K ATA P E N G A N TA R

Rencana strategis Direktorat Minyak dan Gas Bumi 2015-2019
disusun sebagai penjabaran Rencana Strategis Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana diamanatkan
dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.13
Tahun 2015.
Sub sektor minyak dan gas bumi mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional,
baik sebagai sumber energi, bahan bakar dan penerimaan negara dari ekspor. Pada kurun waktu
2015-2019 pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya minyak dan gas bumi menghadapi
beberapa kendala. Pada sisi pasokan penyediaan seperti penurunan jumlah cadangan, daya tarik
dan iklim investasi, tumpang tindih pemakaian lahan dengan kegiatan lain. Pada sisi konsumsi
kita dihadapkan pada kondisi harga minyak dan gas bumi yang cenderung tinggi, terbatasnya
infrastruktur, rendahnya efisiensi penggunaan bahan bakar minyak dan gas, tuntutan regulasi
lingkungan akan emisi yang lebih bersih, dan sebagainya.
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi 2015-2019, diharapkan dapat
memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi aparat pemerintah, masyarakat, dan dunia
usaha dalam menyusun perencanaan, pengembangan regulasi dan kebijakan serta strategi bisnis
untuk mengatasi kendala-kendala tersebut di atas dan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan
pembangunan nasional sesuai dengan visi, misi dan arah pembangunan yang disepakati bersama
sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan, khususnya di sub sektor
minyak dan gas bumi bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di
dalam suatu pola sikap dan pola tindak.

Direktur Jenderal
Minyak dan Gas Bumi

IGN WIRATMAJA

vii

BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana Undang-Undang (UU) No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJP) Tahun 2005-2025, terdapat 4 tahap pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 5 tahunan. Masing - masing periode RPJMN tersebut memiliki tema
atau skala prioritas yang berbeda - beda. Tema RPJMN tahun 2015-2019 atau RPJM ke-3, adalah:
“Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan
kompetitif perekonomian yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia, Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas, serta kemampuan Iptek”. Dalam rangka mewujudkan tema tersebut, maka
RPJMN tahun 2015-2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 pada tanggal
8 Januari 2015.
Seiring dengan penerbitan Perpres dimaksud, Ditjen Migas juga menerbitkan Rencana Strategis
(Renstra) Migas Tahun 2015-2019 yang penyusunannya dilakukan bersamaan dan bersinergi dengan
RPJMN. Renstra Migas tersebut, antara lain berisi mengenai:
1.

Kondisi umum (mapping), mencakup capaian kinerja tahun 2010-2014, potensi dan tantangan;

2.

Tujuan, merupakan cerminan dari visi yang mencakup sasaran kuantitatif (indikator kinerja)
yang harus dicapai pada tahun 2019.

3.

Strategi, merupakan cara atau alat untuk mencapai tujuan dan sasaran serta menjawab tantangan
yang ada. Strategi mencakup kegiatan yang dibiayai APBN dan non-APBN serta kebijakan yang
sifatnya implementatif.

 

Gambar 1.1 Tahapan Sasaran RPJMN dalam RPJPN 2005-2025

1

Rencana Strategis 2015 - 2019

1.1 KONDISI UMUM DAN CAPAIAN SUB SEKTOR MIGAS
1. PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI
Industri minyak bumi nasional sudah tua, lebih dari 100 tahun, dan produksinya semakin menurun.
Sepanjang sejarah Republik Indonesia merdeka, puncak produksi minyak terjadi sebanyak 2 kali yaitu
pada tahun 1977 dan 1995 dimana produksi minyak bumi masing-masing sebesar 1,68 juta bpd dan 1,62
juta bpd. Setelah 1995 produksi minyak Indonesia rata-rata menurun dengan natural decline rate sekitar
12% per tahun. Namun sejak tahun 2004 penurunan produksi minyak dapat ditahan dengan decline rate
sekitar 3% per tahun.

Gambar 1.2 Sejarah Produksi Minyak Indonesia

 

Pada tahun 2014, produksi minyak bumi hanya sekitar 789 ribu bpd atau menurun menjadi 96%
dibandingkan tahun 2013 sebesar 824 ribu bpd. Sejak tahun 2010 s.d. 2014 terjadi penurunan produksi
rata-rata sekitar 4,41% per tahun. Penurunan produksi tersebut lebih disebabkan selain usia lapangan
minyak Indonesia yang sudah tua, dan adanya kendala teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran
pipa, kerusakan peralatan, kendala subsurface dan gangguan alam. Selain itu, terdapat kendala non
teknis masih terjadi seperti perizinan daerah, lahan, sosial dan keamanan. Selain itu, terlambatnya peak
production dari the giant field-Blok Cepu, akibat pembebasan lahan yang berlarut-larut menyebabkan onstream proyek mundur menjadi tahun 2015.

Rencana Strategis 2015 - 2019

2

Meskipun produksi minyak bumi tahun 2014 hanya sekitar 789 ribu bpd, namun jika dilihat minyak dan gas
bumi as a single comodity, produksinya mencapai 2,01 juta barrel oil equivalen per day (boepd). Bahkan jika dilihat
energi fosil sebagai satu kesatuan mencakup migas dan batubara, maka produksi energi fosil Indonesia tahun
2014 mencapai 7,25 juta boepd, hampir mendekati produksi minyak negara di Timur Tengah, dimana mereka
lebih dominan memiliki migas tetapi tidak batubara sebagaimana Indonesia.

Gambar 1.3 Produksi Energi Fosil Indonesia 2010-2014

 

Sebaliknya, produksi gas bumi Indonesia relatif meningkat sejak tahun 1970-an, meskipun akhir-akhir ini
produksinya cederung stagnan pada level kisaran 8.000 mmscfd. Pada tahun 2014 produksi gas bumi sebesar
8.177 mmscfd. Angka produksi gas tersebut berbeda dengan angka lifting gas bumi yang pada tahun 2014 sekitar
6.838 mmscfd atau 1.221 ribu boepd. Produksi, merupakan volume gas yang tercatat di wellhead dikurangi
pemakaian sendiri (own use) yaitu untuk gas reinjeksi dan gas lift. Sedangkan lifting gas bumi adalah produksi
dikurangi losses (flare) dan merupakan sejumlah volume gas yang terjual (terkontrak). Dalam penetapan APBN,
yang dipakai adalah lifting gas bumi karena dikaitkan dengan perhitungan penerimaan negara. Namun, dari sisi
teknis produksi gas juga penting karena terkait dengan perhitungan cadangan (reservoir performance migas).

3

Rencana Strategis 2015 - 2019

2. PENYIAPAN WILAYAH KERJA DAN EKSPLORASI MIGAS

Dalam rangka peningkatan produksi migas dalam jangka panjang maka perlu dilakukan pembukaan
wilayah kerja dan eksplorasi migas secara masif. Pada periode 2010-2014 telah ditandatangani Kontrak
Kerja Sama (KKS) Wilayah Kerja (WK) Migas sebanyak 116 KKS yang terdiri dari 81 KKS Migas konvensional
dan 35 KKS Migas non-konvensional (34 KKS Coal Bed Methane/CBM dan 1 KKS Shale Gas).
Salah satu tantangan penemuan cadangan migas adalah menurunnya minat penandatanganan WK
Migas sejak tahun 2011 hingga tahun 2014. Hal yang perlu menjadi catatan penting yaitu Kontrak Shale
Gas Indonesia pertama kali ditandatangani pada 31 Januari 2013 yaitu Wilayah Kerja MNK Sumbagut
yang dioperasikan oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE).

Gambar 1.4 Penandatanganan KKS, Firm Commitment dan Bonus Tanda Tangan
Meskipun eksplorasi telah dilakukan termasuk pemboran sumur wildcat, namun peluang kegagalan
penemuan cadangan atau dry hole masih besar, ini adalah resiko tinggi kegiatan hulu migas. Selama periode
2010-2014, dari 494 sumur eksplorasi yang dikerjakan, hanya 153 sumur yang disinyalir menemukan
cadangan atau success ratio penemuan cadangan migas Indonesia sekitar 31%..

Gambar 1.5 Pemboran Sumur Eksplorasi dan Penemuan Cadangan

Rencana Strategis 2015 - 2019

4

3. ALOKASI GAS BUMI UNTUK DOMESTIK DAN INFRASTRUKTUR GAS

Pemerintah sangat sadar dan menetapkan Kebijakan Gas Bumi Nasional diutamakan untuk domestik, dengan
tetap memperhatikan keekonomian lapangan dan contract sanctity. Untuk mendukung kebijakan tersebut,
diterbitkan Permen ESDM No. 3/2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.
Bukti konkrit Pemerintah dalam memenuhi demand gas dalam negeri adalah porsi penyaluran gas bumi
domestik yang semakin meningkat tiap tahunnya dari tahun 2003 sebesar 25% meningkat menjadi 57% pada
tahun 2014. Sebaliknya, porsi penyaluran untuk ekspor relatif menurun. Sebagaimana pada gambar di bawah ini
bahwa terjadi lonjakan ekspor pada tahun 2010 yang disebabkan karena mulai beroperasinya LNG Tangguh Train
1 dan 2 dengan pengiriman utamanya ke Fujian, China pada pertengahan tahun 2009, namun puncak ekspor mulai
terjadi di tahun 2010. Pada tahun 2011 porsi ekspor kembali menurun seiring dengan meningkatnya penyaluran
untuk domestik. Yang menarik dari kebijakan Pemerintah ini adalah, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia,
mulai tahun 2013 penyaluran gas untuk domestik lebih besar daripada ekspor.
Ekspor gas Indonesia pertama kali
dilakukan pada tahun 1977 melalui
LNG. Kegiatan ekspor LNG ini ditopang
oleh kilang LNG Arun di Nanggroe Aceh
Darussalam, Bontang di Kalimantan
Timur, dan Tangguh di Papua. Pada
tahun 2013, porsi ekspor gas bumi
Indonesia sebesar 72% dilakukan
melalui LNG dan 28% melalui pipeline.
Pangsa pasar ekspor LNG Indonesia
mulai dari yang terbesar yaitu Jepang,
Korea, Cina, Taiwan dan Amerika.
Sedangkan pangsa ekspor gas melalui
pipa yaitu mayoritas atau sekitar
79% ke Singapore dan selebihnya ke
Malaysia.

Gambar 1.6 Pemenuhan Gas Bumi Domestik dan Ekspor Penemuan Cadangan

Gambar 1.7 Pangsa Ekspor Gas Bumi Indonesia Tahun 2013

5

Rencana Strategis 2015 - 2019

Tahun 2014, Pemerintah berhasil melakukan renegosiasi harga gas LNG Tangguh ke Fujian, Tiongkok yaitu
meningkat dari US$ 3,345/mmbtu menjadi US$ 12,8/mmbtu (dengan asumsi harga minyak sebesar US$ 100
barel dan batasan maksimum harga minyak sebesar US$ 38/bbl kini ditiadakan). Sehingga, penerimaan negara
selama durasi kontrak (2009-2034) dengan asumsi harga minyak sebesar US$ 100/bbl adalah sebesar US$ 21,46
miliar.
Dalam rangka meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik, maka dilakukan pembangunan infrastruktur gas
secara masif, antara lain: Floating Storage Regasification Unit (FSRU), LNG Receiving Terminal, dan pipa transmisi
gas. Beberapa infrastruktur gas bumi strategis yang telah dibangun pada periode 2010-2014, antara lain:


Floating Storage Receiving Unit (FSRU) Jawa Barat 3 MTPA, dibangun oleh Nusantara Regas, merupakan
FSRU pertama di Indonesia yang beroperasi pada Juli 2012. FSRU tersebut mendapat suplai gas dari LNG
Tangguh dan LNG Bontang untuk disalurkan ke PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok.



FSRU Lampung 3 MTPA, dibangun oleh PT PGN yang beroperasi pada bulan Agustus 2014. Pada tahap awal,
FSRU Lampung mendapatkan alokasi gas dari Tangguh dan disalurkan bagi belasan industri di Lampung.
Selanjutnya tidak menutup kemungkinan untuk pembangkit listrik, rumah tangga dan UMKM.



LNG Regasification Unit Arun 3 MTPA dan pipa transmisi gas Arun-Belawan, dibangun oleh Pertamina yang
beroperasi pada awal 2015. Pada tahap awal, FSRU mendapat alokasi gas dari Bontang dan Tangguh, untuk
kemudian disalurkan bagi pembangkit listrik dan kawasan industri.



Peresmian pembangunan ruas pipa gas bumi Kalija I (Kepodang-Semarang) oleh Presiden RI pada tanggal
14 Maret 2014. Ruas pipa tersebut merupakan tahap awal pembangunan pipa Kalija (Bontang-Semarang),
dengan panjang sekitar 207 km, diameter 14 inchi dan kapasitas desain 150 MMSCFD serta ditargetkan dapat
beroperasi pada tahun 2015.

Selain pipa transmisi gas Kepodang-Semarang, beberapa infrastruktur gas lainnya yang masih dalam proses
persiapan pembangunan antara lain: LNG Donggi-Senoro, LNG Masela, LNG Tangguh Train-3, Floating Storage
Cilegon, FSRU Jawa Tengah, Pipa transmisi gas Cirebon-Semarang, pipa Gresik-Semarang, dan Pipa CirebonBekasi.

Gambar 1.8 Infrastruktur Gas Bumi Indonesia

Rencana Strategis 2015 - 2019

6

4. PENYEDIAAN BAHAN BAKAR MINYAK
Pada tahun 2010 realisasi volume BBM bersubsidi sebesar 38,2 juta Kilo Liter (KL) dan meningkat sekitar 9% per
tahun. Tahun 2014 volume BBM bersubsidi sebesar 46,79 juta KL atau sedikit lebih tinggi dari kuota pada APBN-P
sebesar 46 juta KL. Kuota tersebut menurun dari kuota pada APBN 2014 sebesar 48 juta KL. Hal tersebut memaksa
Pemerintah untuk terus meningkatkan upaya pengendalian dan pengawasan BBM bersubsidi.
Apabila dilihat dari per jenis BBM bersubsidi, kenaikan konsumsi paling tinggi umumnya terjadi pada jenis BBM
Minyak Solar. Hal tersebut disinyalir karena potensi penyalahgunaan pada jenis BBM Minyak Solar masih besar,
khususnya di sektor industri dan pertambangan. Selama periode 2010-2014 ini terjadi 3 fenomena Volume BBM
bersubsidi, yaitu:
Tabel 1.1 Realisasi Volume BBM Bersubsidi

Tabel 1.2 Kenaikan Harga BBM

• Pada tahun 2010, terjadi over kuota BBM
bersubsidi, namun pada besaran subsidi
BBM tidak melebihi alokasi pada APBN-P.
• Pada tahun 2013, realisasi volume BBM
bersubsidi sebesar 46,51 juta KL dimana
terdapat penghematan sebesar 1,49 juta
KL dari kuota pada APBN-P 2013 sebesar
48 juta KL. Hal tersebut disebabkan antara
lain karena Pengendalian BBM melalui
Permen ESDM No. 1/2013 dan adanya
kenaikan harga BBM pada 22 Juni 2013
sehingga masyarakat cenderung melakukan
penghematan konsumsi BBM.
• Pada tahun 2014, kuota APBN-P diturunkan
dari 48 juta KL pada APBN menjadi 46 juta KL
pada APBN-P dan Pemerintah dituntut untuk
melakukan langkah-langkah pengendalian
BBM bersubsidi yang lebih masif lagi.
Upaya pengendalian BBM bersubsidi yang
telah dilakukan selama peridoe 2010-2014,
yaitu Pengalihan subsidi BBM dari belanja
konsumtif ke belanja produktif melalui
penyesuaian BBM bersubsidi pada tanggal
22 Juni 2013 dan 18 November 2014.
Seiring dengan menurunnya harga
minyak pada akhir tahun 2014, maka mulai
1 Januari 2014 diterapkan kebijakan harga
BBM baru dimana bensin Premium tidak
lagi disubsidi dan Solar hanya mendapatkan
subsidi tetap sebesar Rp. 1.000/liter sehingga
mengurangi penyelundupan. Kebijakan baru
tersebut, berdampak pada harga Premium
dan Solar menjadi fluktuatif dan ditetapkan
satu kali setiap bulan atau lebih, mengacu
pada harga keekonomian.

Gambar 1.9 Kuota dan Realisasi BBM Bersubsidi

7

Rencana Strategis 2015 - 2019

Tabel 1.3 Penurunan Harga BBM



Permen ESDM No. 1/2013 tentang
Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar
Minyak yang mengatur:
- Pelarangan konsumsi BBM bersubsidi
jenis premium bagi kendaraan dinas
Pemerintah, BUMN & BUMD di Jawa dan
Bali, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi
- Pelarangan konsumsi BBM bersubsidi jenis
solar bagi kendaraan dinas Pemerintah,
BUMN & BUMD di Jawa dan Bali,
Kendaraan Pertambangan, perkebunan
dan kehutanan serta kapal barang Non
Pelra dan non perintis di NKRI



Pembatasan konsumen pengguna BBM Bersubsidi, mulai dari langkah/tindakan melarang industri penerbangan,
pembangkit listrik, industri besar, pertambangan, perkebunan, kehutanan, perkapalan, kendaraan TNI/POLRI,
Pemerintah/ BUMN/ BUMD menggunakan BBM Bersubsidi.



Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu untuk Konsumen Pengguna Tertentu yang mengatur
antara lain:
- Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Minyak Tanah (Kerosene) konsumen pengguna Rumah Tangga, Usaha
Mikro, Usaha Perikanan;
- Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Bensin (Gasoline) RON 88 konsumen pengguna Usaha Mikro, Usaha
Perikanan, Usaha Pertanian, Tranportasi, Pelayanan Umum
- Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Minyak Solar (Gas Oil) konsumen pengguna Usaha mikro, Usaha
Perikanan, Usaha Pertanian, Transportasi, Pelayanan Umum.



Pengendalian BBM tahun 2014 mulai Agustus 2014 atau pasca Idul Fitri, agar kuota 46 juta KL tidak terlampaui,
antara lain:
- Batas waktu pelayanan Minyak Solar di
Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Bali
(cluster tertentu) pukul 08.00-18.00 mulai
04 Agustus 2014.
- Menghentikan
Premium
dan
menggantinya dengan Pertamax jalan tol
mulai 6 Agustus 2014.
- Tidak menyalurkan Minyak Solar di
Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014.
- Menyesuaikan alokasi Solar di Lembaga
Penyalur Nelayan dengan menekan
volume 20% sejak 04 Agustus 2014
dengan mengutamakan kapal nelayan
berukuran di bawah 30 GT.
- Optimalisasi produk Pertamina Dex untuk
wilayah cluster terpilih
- Melakukan pengaturan penyaluran BBM
PSO (Kitir).
Gambar 1.10 Penyaluran BBM Bersubsidi dan Non Subsidi
- Optimalisasi Pengawasan melalui CCTV di
SPBU.

Rencana Strategis 2015 - 2019

8

Sebagaimana amanat Pasal 8 ayat
2 Undang-undang Migas No 22/2001
pasal 8 ayat 2 bahwa Pemerintah
wajib menjamin ketersediaan dan
kelancaran
pendistribusian
BBM
yang merupakan komoditas vital dan
menguasai hajat hidup orang banyak
di seluruh wilayah NKRI. Dalam hal ini
Pemerintah tidak hanya menyediakan
BBM bersubsidi tetapi juga BBM nonsubsidi.

Tabel 1.4 Hasil Pengawasan Penyalahgunaan BBM Tahun 2010-2014

Penyalur BBM bersubsidi utamanya
adalah PT Pertamina dengan 2
pendamping yaitu PT Aneka Kimia Raya (AKR), dan PT Surya Parna Niaga (SPN). Sedangkan penyalur BBM nonsubsidi dilakukan oleh PT Pertamina, Total, dan Shell.
Di masa depan, trend konsumsi BBM bersubsidi mulai bergeser dari BBM bersubsidi ke BBM non-subsidi, seiring
dengan telah dilakukannya penyesuaian harga BBM pada 18 November 2014, yang menyebabkan disparitas
antara BBM subsidi dan non-subsidi semakin menipis. Sehingga, Pertamina diharapkan dapat terus meningkatkan
performa usaha khususnya di bidang retail BBM non-subsidi di SPBU agar tidak kalah bersaing dengan BBM nonsubsidi asing yang beroperasi di Indonesia.
Saat ini terdapat depo BBM sebagai berikut, diantaranya 80 depot laut, 22 depot darat, dan 53 depot pengisian
pesawat udara (DPPU) dengan jumlah kapasitas tangki penyimpanan BBM sebesar 5,068 juta KL.
Dalam rangka pengawasan atas penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi, telah dilakukan tindakan atas
penyalahgunaan BBM bersubsidi dengan hasil sebagaimana tabel dibawah ini. Untuk tahun 2013 sendiri, temuan
volume yang disalahgunakan sekitar 7.235 KL.

9

Rencana Strategis 2015 - 2019

5. PRODUKSI KILANG, IMPOR MINYAK MENTAH DAN IMPOR BBM
Total kapasitas kilang minyak dalam negeri tahun 2014 sebesar 1,167 juta bpd (desain produksi) dari 10 kilang,
terdiri dari 7 kilang Pertamina dan 3 kilang non Pertamina.

Gambar 1.11 Kapasitas Terpasang Kilang Minyak Indonesia 2014
Sedangkan pada tahun 2013, kebutuhan BBM Indonesia tercatat sebesar 1,3 juta barrel per day (bpd). Namun,
kapasitas kilang BBM Indonesia sebesar 1,16 juta barrel crude per day (bcpd) dan hanya dapat menghasilkan
produksi BBM sebesar 650 ribu bpd. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, diperlukan impor
BBM sekitar 600 ribu bpd dengan nilai lebih dari US$ 1 triliun per hari.

Gambar 1.12 Kapasitas Kilang dan Kebutuhan BBM Indonesia

Gambar 1.12 Kapasitas Kilang dan Kebutuhan BBM Indonesia
Selain impor BBM, Indonesia juga melakukan impor minyak mentah sebagai input Kilang BBM dalam negeri.
Produksi minyak mentah Indonesia sekitar 800 ribu bpd tetapi tidak seluruhnya diolah di Kilang BBM dalam negeri.
Sekitar 40% produksi minyak mentah Indonesia diekspor karena tidak semua spesifikasi kilang BBM dalam negeri
cocok untuk mengolah minyak mentah Indonesia.
Ekspor minyak mentah Indonesia dilakukan ke beberapa negara antara lain Jepang, USA, Korea, Taiwan dan
Singapura. Selain ekspor, Indonesia juga melakukan impor minyak mentah sebagai input kilang BBM dalam negeri
antara lain dari negara Arab Saudi, Azerbaijan, Brunei, Angola dan Nigeria. Sedangkan impor dalam bentuk produk
BBM antara lain berasal dari Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Kuwait, China dan India.
6.

Rencana Strategis 2015 - 2019

10

6. PENYEDIAAN LPG
Dalam rangka mengurangi subsidi BBM khususnya minyak tanah, Pemerintah menjalankan program konversi
minyak tanah ke LPG 3 kg yang dimulai sejak tahun 2007. Sejak pertama kali dijalankan hingga tahun 2013 telah
didistribusikan paket perdana LPG 3 kg sebanyak 55 juta paket. Dari sisi volume, penyediaan LPG 3 kg semakin
meningkat tiap tahunnya dari tahun 2007 sebanyak 0,021 juta Metric Ton (MT) meningkat pada tahun 2013
menjadi sekitar 4,4 juta MT sehingga kumulatif volume LPG yang telah disediakan hingga tahun 2013 sebesar
16,88 juta MT. Sedangkan kumulatif volume penarikan minyak tanah untuk periode yang sama didapat sebesar
39,52 juta KL dan didapat penghematan sebesar 107,8 triiun rupiah.
Tabel 1.5 Konversi Minyak Tanah ke LPG 3 kg

Pada tahun 2013 pendistribusian paket perdana LPG 3 kg dilakukan di 10 propinsi yaitu Aceh, Sumatera Barat,
Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi
Tenggara dan Sulawesi Tengah. Sedangkan pada tahun 2014 direncanakan akan didistribusikan paket perdana
LPG 3 Kg di 30 Propinsi yang belum terkonversi sebanyak 1,63 juta paket perdana dan penyaluran volume LPG 3
kg sebanyak 5,01 juta MT berdasarkan APBN-P 2014.
Saat ini di wilayah Jawa dan Bali sudah 100% tidak ada lagi minyak tanah bersubsidi. Adapun wilayah Sumatera
Barat, Kalimantan dan Sulawesi diharapkan bebas dari Minyak Tanah Bersubsidi mulai tahun 2015. Minyak tanah
bersubsidi hanya ada di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Kedepan,
program
konversi
minyak tanah ke LPG perlu diantisipasi
mengingat saat ini sekitar 60% LPG
Indonesia disediakan melalui impor.
Sejak program ini dilakukan mulai
tahun 2007, harga LPG 3 kg sebesar
Rp. 4.250/kg ini belum pernah
dinaikkan, padahal harga impor LPG
mencapai Rp. 10.000 (CP Aramco,
Juni-Juli 2014). Hal tersebut dapat
menyebabkan besaran subsidi LPG
semakin meningkat.

Gambar 1.13 Target dan Realisasi Penyediaan Volume LPG 3 kg

11

Rencana Strategis 2015 - 2019

7. JARINGAN GAS KOTA

Pada tahun 2008, Pemerintah melaksanakan pembangunan jaringan gas kota (jargas) melalui pendanaan
APBN, dimulai dengan pelaksanaan FEED dan DEDC.
Pada tahun 2014 direncanakan akan dibangun jaringan gas untuk rumah tangga sebanyak 16.949 Sambungan
Rumah (SR) di 5 lokasi yaitu Kota Semarang, Bulungan, Sidoarjo (lanjutan), Kab. Bekasi, dan Lhoksumawe. Sehingga
dari tahun 2009 s.d. 2014, kumulatif pembangunan jaringan gas kota melalui pendanaan APBN sebanyak 25
lokasi dengan peruntukan bagi 89.460 SR.
Selain melalui pendanaan APBN, sampai dengan tahun 2014, PGN juga telah melakukan pembangungan jargas
untuk 92.858 SR di 10 Kota.
Tabel 1.6 Pembangunan Jaringan Gas Kota

Rencana Strategis 2015 - 2019

12

8. KONVERSI BBM KE BBG UNTUK TRANSPORTASI

Program ini dilakukan melalui pembangunan SPBG, bengkel dan penyediaan koverter kit. Sampai dengan tahun
2014, total pembangunan SPBG dan jumlah SPBG eksisting sebanyak 43 SPBG dan 12 Mobile Refuling Unit (MRU)
yang dibangun melalui pendanaan APBN maupun swasta dan tersebar di wilayah Jabodetabek, Palembang,
Surabaya, Semarang, dan Balikpapan.

Gambar 1.14 Realisasi dan Rencana Pembangunan SPBG
Untuk mendorong program ini telah diterbitkan peraturan, yaitu:
1. Permen ESDM No. 8 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Gas
untuk Transportasi Jalan.
2. Kepmen ESDM No. 2435 Tahun 2014 tentang Penugasan kepada PT Pertamina dalam Penyediaan dan
Pendistribusian Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan.
3. Kepmen ESDM No. 2436 Tahun 2014 tentang Penugasan kepada PT PGN (Persero) Tbk dalam Penyediaan
dan Pendistribusian Bahan Bakar Gas untuk Transportasi Jalan.
4. Kepmen ESDM No 2261 Tahun 2013 tentang Harga Jual Gas Bumi dari Kontraktor Kerja Sama dan Badan
Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui Pipa yang Dialokasikan untuk Bahan Bakar Gas
Transportasi.
5. Kepmen ESDM No. 2932 Tahun 2010 tentang Harga Jual Bahan Bakar Gas yang digunakan untuk
Transportasi di Wilayah Jakarta, yang menetapkan harga BBG sebesar Rp. 3.100/LSP.
Selain itu, berdasarkan Keputusan Direktur Pertamina No. Kpts-043/F20000/2013-S3 tahun 2013 tentang Harga
Jual Vi-Gas tanggal 12 Juli 2013, harga LGV untuk transportasi adalah sebesar Rp. 5.100/LSP.

13

Rencana Strategis 2015 - 2019

Tabel 1.7 Realisasi dan Rencana Program Konversi BBM ke BBG untuk Transportasi

Sejak tahun 2011 s.d. 2014, KESDM menyediakan konverter kit sebanyak 5.500 unit untuk wilayah Jabodetabek,
Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Kepulauan Riau. Selain itu, Kementerian Perhubungan
dan Kementerian Perindustrian juga menyediakan konverter kit, sehingga sejak 2007 s.d. 2014 total penyediaan
konverter kit sebanyak 14.587 unit.
Tabel 1.8 Pembagian Konverter Kit

Untuk mendukung suksesnya program ini, telah dialokasikan gas per tahunnya mulai tahun 2012 sebesar 35,5
mmscfd dan meningkat 1 mmscfd tiap tahun menjadi 37,5 mmscfd pada tahun 2014.

Rencana Strategis 2015 - 2019

14

9. PENERIMAAN NEGARA

(Juta Rupiah)

Salah satu peran sub sektor migas dalam pembangunan nasional adalah menjadi sumber penerimaan negara.
Pada kurun waktu 2010-2014 kontribusi sub sektor migas dalam penerimaan APBN adalah sebesar 30%. Pada
tahun 2010, sub sektor ini menyumbang sekitar 220.987,10 miliar rupiah dan meningkat menjadi 305.569,84
miliar rupiah pada tahun 2013. Kontribusi penerimaan terutama berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) migas. Secara rata-rata industri migas menyumbang sekitar 21% dari pendapatan ekspor dan 30% dari
pendapatan pemerintah. Penerimaan negara sub sektor migas pada tahun 2009 sampai tahun 2013 dapat dilihat
pada Gambar 1.15

Tahun

Gambar 1.15 Penerimaan Negara Sub Sektor Migas Tahun 2009 – 2014 (dalam miliar Rupiah)

10. INVESTASI
Di samping itu, peran sub sektor migas dalam pembangunan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Investasi migas dalam lima tahun terakhir relatif meningkat. Pada tahun 2010, nilai investasi migas mencapai
sekitar 14.487,1 Juta USD, dan pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar 22.994,63 Juta USD. Diproyeksikan
dalam kurun 5 tahun ke depan, investasi migas akan terus bertambah mencapai sekitar 29.934 Juta USD. Nilai
investasi di sektor hulu migas sangat dominan, rata-rata mencapai lebih dari 80% dari total investasi migas,
sedangkan sisanya merupakan nilai investasi di sektor hilir migas.

Gambar 1.16 Investasi Sub Sektor Migas Tahun 2005 – 2013 (dalam juta US$)

15

Rencana Strategis 2015 - 2019

I.2 POTENSI DAN PERMASALAHAN
1. POTENSI
MINYAK DAN GAS BUMI
Indonesia memiliki potensi hidrokarbon di 60 cekungan sedimen. Bahkan hasil penelitian Badan Geologi terakhir
diidentifikasi cekungan migas sebanyak 128 cekungan. Cadangan terbukti minyak bumi tahun 2014 sebesar
3,6 miliar barel dan dengan tingkat produksi saat ini maka usianya sekitar 13 tahun. Sedangkan cadangan
terbukti gas bumi tahun 2014 sebesar 100,3 TCF dan akan bertahan selama 34 tahun. Usia cadangan migas,
diasumsikan apabila tidak ada penemuan cadangan migas baru. Dalam 5 tahun terakhir, cadangan terbukti migas
mengalami penurunan sebagaimana gambar di bawah ini.

Gambar 1.17 Cadangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia
Adapun dengan produksi gas bumi Indonesia tahun 2013 sebesar 8.130 mmscfd, dengan asumsi tidak
penemuan cadangan gas baru maka usia gas bumi Indonesia sekitar 34 tahun (based on cadangan terbukti).

Rencana Strategis 2015 - 2019

16

COALBED METHANE
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman energi juga dianugerahi Coalbed Methane (CBM)
sebagai salah satu unconventional gas. Unconventional gas merupakan sumber daya yang relatif masih sulit dan
mahal untuk dikembangkan, namun potensinya biasanya lebih besar daripada conventional gas. Berdasarkan
penelitian Ditjen Migas dan Advance Resources International, Inc. pada tahun 2003, sumber daya CBM Indonesia
disinyalir sekitar 453 TCF. Sejak ditandatanganinya Kontrak Kerja Sama (KKS) CBM yang pertama di Indonesia pada
tanggal 27 Mei 2008 sampai dengan bulan Oktober 2014, total jumlah kontrak CBM yang telah ditandatangani
sebanyak 54 kontrak.

Gambar 1.18 Potensi Coalbed Methane Indonesia

SHALE GAS
Hasil survei potensi yang dilakukan oleh Badan Geologi, telah berhasil diidentifikasikan Shale Gas Resources
pada cekungan sediman utama Indonesia sebesar 574 TSCF yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan
Papua. Dalam rangka mendorong pengembangan Shale Gas, telah diterbitkan Permen ESDM No. 5/2012 tentang
tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional
Sejak ditandatanganinya KKS Shale gas yang pertama di Indonesia pada tanggal 31 Januari 2013 sampai
dengan bulan Oktober 2014, total jumlah kontrak CBM yang telah ditandatangani sebanyak 1 kontrak yaitu
Wilayah Kerja MNK Sumbagut yang dioperasikan oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE).

Gambar 1.19 Potensi Shale Gas Indonesia

17

Rencana Strategis 2015 - 2019

2. TANTANGAN DAN PERMASALAHAN
Beberapa tantangan dan permasalahan sub sektor Migas antara lain sebagai berikut:
A. Penurunan produksi minyak bumi
B. Pemanfaatan energi domestik masih rendah
C. Akses energi terbatas (BBM, gas)
D. Ketergantungan impor BBM/LPG
E. Harga energi belum kompetitif dan subsidi energi tinggi
A. Penurunan produksi minyak bumi
Indonesia merupakan salah satu Negara produsen tertua minyak dunia, jumlah cadangan minyaknya saat ini
hanya sekitar 0,20% dari cadangan minyak dunia. Belum ada penemuan cadangan minyak besar lagi selain dari
lapangan Banyu-Urip Blok Cepu. Sejak tahun 2010-2013, laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi
atau Reserve to production ratio (RRR) sekitar 55%, artinya Indonesia lebih banyak memproduksikan minyak bumi
dibandingkan menemukan cadangan minyak. Padahal idealnya setiap 1 barel minyak yang diproduksikan harus
dikompensasi dengan penemuan cadangan sejumlah 1 barel juga sehingga RRR sebesar 100% atau lebih besar
lebih bagus.
Penyebab rendahnya penemuan cadangan dan produksi minyak bumi antara lain karena:
• Sebagian Kontraktror Kontrak Kerja Sama (KKKS) eksplorasi, belum berpengalaman, dimana dari sekitar
147 KKKS eksplorasi, 50 KKKS diantaranya merupakan pemain baru, dan banyak KKKS yang tidak dapat
merealisasikan komitmen eksplorasinya. Selain itu, terdapat perusahaan yang mengelola lebih dari 30 Wilayah
Kerja sehingga secara teknis dan finansial menjadi kurang sehat dan produktif.
• Permasalahan sosial, birokrasi dan teknis, seperti perizinan daerah, lahan, sosial dan keamanan juga menjadi
penyebab kendala produksi minyak, selain permasalahan teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran pipa,
kerusakan peralatan, kendala subsurface dan gangguan alam serta keterlambatan on-stream proyek. Kendala
yang menjadi penghambat jadwal produksi yang paling menonjol adalah pembebasan lahan yang berlarutlarut di Blok Cepu menyebabkan keterlambatan onstream POD lapangan Banyu Urip yang seharusnya rencana
pertama kali onstream tahun 2008 kemudian mundur menjadi tahun 2014 dan tahun 2015.
• Mekanisme pengenaan PBB. Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2010 seluruh pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Migas ditanggung oleh pemerintah melalui mekanisme “Assume and
Discharge”, di mana pengenaan PBB Migas dibayarkan oleh pemerintah. Namun, sejak pemberlakuan PP Nomor
79 Tahun 2010 seluruh pengenaan PBB Migas dimasukkan sebagai komponen biaya bagi Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS) Migas pada Masa Eksplorasi dan akan dikembalikan melalui mekanisme Cost Recovery pada
saat masa produksi, sehingga Kontrak Kerja Sama (KKS) yang ditandatangani setelah tahun 2010, diwajibkan
untuk membayar lebih dahulu PBB Migas dan baru dapat dibebankan sebagai biaya ketika berproduksi.
• Pengenaan PBB pada masa eksplorasi dirasa masih memberatkan kontraktor mengingat masa eksplorasi
belum terdapat kepastian penemuan cadangan migas dan masih terdapat kemungkinan kegagalan eksplorasi
sehingga terdapat biaya yang tidak dapat dikembalikan. Dampaknya, terjadi penurunan minat keikutsertaan
penawaran langsung wilayah kerja (WK). Pada tahun 2013 penawaran langsung sebanyak 16 WK dan hanya
5 WK yang berlanjut ke penandatanganan kontrak (31%). Sedangkan 5 tahun sebelum tahun 2013, penawaran
langsung yang berlanjut ke penandatanganan kontrak rata-rata sebesar 81%.

Rencana Strategis 2015 - 2019

18

B. Pemanfaatan energi domestik masih rendah
Gas bumi masih terikat kontrak ekspor meskipun mulai tahun 2013 volume ekspor lebih rendah
dari pemanfaatan domestik. Keterbatasan infrastruktur gas bumi merupakan salah satu penyebabnya,
mengingat kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, dan lokasi sumber gas berada jauh
dari lokasi pertumbuhan. Sejak tahun 2010an, infrastruktur gas seperti FSRU mulai digencarkan agar
gas dari Pulau Kalimantan dan Papua tidak melulu untuk ekspor tetapi dapat dibawa ke Pulau Jawa dan
Sumatera. Selain itu Indonesia memiliki jaringan pipa yang terbatas dengan design dan operasi jaringan
pipa distribusi yang dimiliki PGN bersifat dedicated hilir. Agar pipa distribusi PGN dapat dimanfaatkan
untuk open access perlu dilakukan perubahan secara singifikan dari skema design dan operasi jaringan
pipa distribusi yang semula dedicated (single user) menjadi skema open access (multi user)

C. Akses energi terbatas
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyalurkan bahan bakar secara merata ke
seluruh wilayah NKRI, untuk itu perlu didukung oleh berbagai sarana dan prasarana transmisi dan
pendistribusian bahan bakar yang baik. Wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau memerlukan
skema pendistribusian yang khusus. Harga BBM di wilayah Indonesia Timur pada prakteknya lebih
mahal dari harga yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Pembangunan infrastruktur pendistribusian
BBM sangat vital untuk ditingkatkan demi mengurangi biaya transportasi yang mahal.
Pada saat ini pemerintah sedang meningkatkan penggunaan bahan bakar gas seiring dengan terus
berkurangnya cadangan bahan bakar minyak, peningkatan penggunaan bahan bakar gas tersebut
juga perlu ditopang oleh berbagai infrastruktur pendistribusian yang baik tidak hanya terkonsentrasi
di suatu wilayah, sehingga program pemerintah untuk menggantikan bahan bakar fosil tersebut dapat
dinikmati di seluruh wilayah Republik Indonesia.

D. Ketergantungan impor BBM/LPG
Konsumsi BBM yang terus meningkat sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi dan pertambahan
penduduk, sementara produksi minyak mentah dalam negeri terus mengalami penurunan dan
kapasitas kilang yang stangnan menyebabkan impor minyak mentah dan BBM terus meningkat.
Ketergantungan Indonesia pada minyak mentah dan BBM impor sangat besar. Pembangunan Kilang
merupakan keniscayaan.
60% kebutuhan LPG dalam negeri masih dipenuhi dari impor. Suksesnya program konversi
minyak tanah ke LPG menyebabkan konsumsi LPG domestik tumbuh drastis, sementara pasokan dan
kilang LPG dalam negeri terbatas. Kondisi ini harus diantisipasi karena subsidi LPG 3 kg semakin besar
mengingat harga jual saat ini sebesar Rp. 4.250/kg belum pernah mengalami kenaikan, padahal harga
keekonomian LPG sekitar Rp. 10.000/kg. Subsidi LPG 3 kg tahun 2014 dapat mencapai sekitar Rp. 50
triliun.

E. Harga energi belum kompetitif dan subsidi energi tinggi
Pemberlakuan subsidi terhadap energi fosil utamanya BBM, membuat energi lainnya terutama
energi baru dan terbarukan sulit berkembang. Di satu sisi, pengembangan energi baru dan terbarukan
membutuhkan nilai investasi yang besar sehingga membuat harga jual keekonomian lebih tinggi dari
poduk energi fosil. Hal tersebut membuat energi baru dan terbarukan minim investor dikarenakan,
selain membutuhkan investasi yang besar, harga yang berlaku tidak bisa kompetitif dengan harga
produk energi fosil yang disubsidi.

19

Rencana Strategis 2015 - 2019

BAB II
VISI, MISI, TUJUAN DAN
SASARAN STRATEGIS
II.1 VISI DAN MISI PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Dengan mempertimbangkan masalah pokok bangsa, tantangan pembangunan yang
dihadapi dan capaian pembangunan selama ini, maka Visi Pembangunan Nasional untuk
tahun 2015-2019 adalah:
Visi :

Presiden dan Wakil Presiden, adalah: “Terwujudnya Indonesia yang
berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”

Misi :

Presiden dan Wakil Presiden, adalah:
1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan
wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan
sumberdaya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai
negara kepulauan ;
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis
berlandaskan negara hukum ;
3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jatidiri
sebagai negara maritim ;
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan
sejahtera ;
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing ;
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional ;
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Rencana Strategis 2015 - 2019

20

Untuk menterjemahkan Visi dan Misi tersebut, disusun Nawacita atau 9 (sembilan) Agenda Prioritas Presiden
Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yaitu:
1. Menghindarkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga negara.
2. Membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola Pemerintah yang bersih, efektif,
demokratis dan terpercaya.
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan.
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermatas dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik
8. Melakukan revolusi karakter domestik
9. Mempengaruhi ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Sub Sektor Migas mendukung Nawacita khususnya agenda prioritas ke-7 yaitu “mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”, yang terdiri dari:
• Membangun kedaulatan pangan
• Mewujudkan kedaulatan energi
• Mewujudkan kedaulatan keuangan
• Mendirikan Bank Petani/Nelayah dan UMKM termasuk gudang dengan fasilitas pengolahan paska panen di
tiap sentra produksi tani/nelayan.
• Mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan penciptaan sistem inovasi nasional
Ditjen Migas menjabarkan Visi dan Misi Presiden terkait sub sektor Migas secara operasional dalam bentuk
konkrit yang tercermin dalam tujuan, sasaran, kebijakan dan strategi

21

Rencana Strategis 2015 - 2019

II.2 TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS DITJEN MIGAS

Tujuan merupakan intisari dari visi, yaitu kondisi yang ingin dicapai pada tahun 2019. Tujuan tersebut merupakan
suatu kondisi yang ingin diwujudkan dalam kurun waktu 5 tahun kedepan sesuai dengan tugas dan fungsi Ditjen
Migas. Masing-masing tujuan memiliki sasaran dan indikator kinerja yang harus dicapai melalui strategi yang
tepat, serta juga harus dapat menjawab tantangan yang ada.
Tabel 2.1 Tujuan, Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja KESDM
TUJUAN

SASARAN STRATEGIS

INDIKATOR KINERJA

1. Mengoptimalkan kapasitas
penyediaan migas
2. Meningkatkan alokasi migas
domestik
3. Meningkatkan akses dan
infrastruktur migas

3

2. Terwujudnya peran penting
Subsektor Migas dalam
penerimaan negara

4. Mengoptimalkan penerimaan
negara dari sektor migas

1

3. Terwujudnya pengurangan
beban subsidi BBM

5. Mewujudkan subsidi migas
yang tepat sasaran

1

4. Terwujudnya peningkatan
investasi sektor migas

6. Mewujudkan peningkatan
investasi sektor migas

1

5. Terwujudnya peningkatan
peran sub sektor Migas dalam
pembangunan daerah

7. Mengoptimalkan dana bagi
hasil dari sektor migas

1

1. Terjaminnya pasokan migas
dan bahan bakar domestik

1
1

Rencana Strategis 2015 - 2019

22

Tujuan tersebut merupakan suatu kondisi yang ingin diwujudkan dalam kurun waktu 5 tahun kedepan sesuai
dengan tugas dan fungsi Ditjen Migas. Masing-masing tujuan memiliki sasaran dan indikator kinerja yang harus
dicapai melalui strategi yang tepat serta juga harus dapat menjawab tantangan permasalahan.
Adapun uraian terhadap makna masing-masing tujuan yang mencakup sasaran dan indikator kinerja untuk
periode Renstra KESDM tahun 2015-2019, sebagai berikut:

TUJUAN-1: TERJAMINNYA PASOKAN MIGAS DAN BAHAN BAKAR DOMESTIK

Dari 7 tujuan Renstra Migas 2015-2019, Tujuan-1 ini merupakan yang utama dan paling
mencerminkan tanggung jawab Ditjen Migas, serta sangat penting karena dampaknya langsung
kepada perekonomian dan kesejahteraan rakyat yang merupakan indikator keberhasilan
pembangunan nasional.
Peningkatan penyediaan energi dan bahan baku domestik meliputi 3 sisi yaitu:
1.

Sisi penyediaan (supply), berkaitan dengan potensi sumber daya alam;

2.

Aksesibilitas (accessibility), berkaitan dengan infrastruktur; dan

3.

Sisi pemanfaatan (demand), berkaitan dengan pola (behavior) konsumen energi

Potensi sumber daya alam, merupakan anugerah bagi Indonesia. Selain jumlahnya yang
cukup besar, Indonesia juga sangat kaya akan keanekaragaman potensi energi dan mineral.
Minyak bumi, yang telah menjadi tulang punggung energi Indonesia sejak lebih dari 120 tahun
yang lalu, saat ini mulai menurun cadangan dan produksinya. Namun, potensi sumber energi
lainnya seperti gas bumi, coal bed methane, shale gas, batubara, masih sangat berlimpah
dan harus ditingkatkan. “Eksploitasi sumber daya energi dan mineral harus disertai dengan
peningkatan nilai tambah agar Indonesia terlepas dari bayang-bayang kutukan sumber
daya alam”.
Infrastruktur migas, merupakan jembatan agar besarnya sumber daya alam Indonesia
dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menggerakkan kehidupan dan perekonomian.
Sebagai negara kepulauan, sering kali lokasi sumber energi sangat jauh dari konsumen dan
pusat pertumbuhan. Infrastruktur migas Indonesia harus terus dibangun secara masif sehingga
potensi sumber daya yang besar dapat maksimal dimanfaatkan oleh konsumen dalam negeri.
Pola konsumen migas, merupakan behavior masyarakat dalam mengkonsumsi energi baik
dari jenis energi yang digunakan maupun seberapa banyak energi yang digunakan. Target
dari kebijakan pada sisi demand ini adalah agar masyarakat beralih ke energi non-BBM dan
melakukan penghematan energi.

23

Rencana Strategis 2015 - 2019

Produksi minyak bumi. Trend produksi minyak 5 tahun kedepan relatif menurun, meskipun
akan terjadi peningkatan di tahun 2016. Produksi minyak bumi tahun 2015 ditargetkan
sebesar 825 ribu bpd sebagaimana APBN-P 2015. Full scale lapangan Banyu Urip Blok Cepu
akan terjadi pada akhir 2015, sehingga peningkatan produksi akan terjadi tahun 2016 menjadi
sebesar 830 ribu bpd. Selanjutnya, produksi minyak bumi diperkirakan akan menurun hingga
mencapai 700 ribu bpd pada tahun 2019, karena peningkatan produksi dari Blok Cepu tidak
dapat mengimbangi natural decline lapangan minyak Indonesia pada umumnya yang sudah
berproduksi lebih dari 100 tahun.
Lifting gas bumi tahun 2015-2019 diperkirakan relatif stabil pada kisaran 6.400-7.300
mmscfd. Tahun 2015 lifting gas bumi direncanakan sebesar 6.838 mmscfd atau 1,21 juta boepd
sebagaimana APBN-P 2015, dan tahun 2019 ditargetkan meningkat sekitar 7.525 mmscfd atau
1,3 juta boepd. Naik turunnya perkiraan lifting gas bumi mengacu pada kontrak gas yang ada
saat ini, dan adanya trend turunnya produksi minyak dimana terdapat gas yang associated
dengan minyak bumi. Beberapa proyek gas yang menjadi andalan peningkatan produksi gas
antara lain lapangan Kepodang, Donggi Senoro, Indonesian Deep Water Development (IDD)
Bangka-Gendalo-Gehem, lapangan Jangkrik (Blok Muara Bakau), Tangguh Train-3 dan Masela.
Penandatangangan Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas. Untuk mengusahakan suatu
Wilayah Kerja (WK) Migas diawali dengan penyiapan dan lelang WK (reguler tender or direct
proposal), penetapan pemenang WK dan penandatanganan Kontrak Kerja Sama (KKS) migas.
Penandatanganan KKS Migas selama 5 tahun kedepan direncanakan minimal sebanyak 40 KKS
atau 8 KKS per tahun, yang dapat terdiri dari 6 KKS migas konvensional per tahun dan 2 KKS
Migas non-konvensional per tahun
Rekomendasi Wilayah Kerja, dilakukan oleh Badan Geologi melalui kegiatan survei geologi
dalam rangka mendukung penetapan Wilayah Pengusahaan Migas, CBM, Panas Bumi, Batubara
dan Mineral melalui pendanaan dari APBN, yaitu migas melalui survei umum, minerba melalui
penyelidikan umum dan panas bumi melalui survei pendahuluan. Sejak tahun 2014, Direktorat
Jenderal tidak lagi memiliki anggaran untuk melakukan survei geologi. Adapun kegiatan survei
geologi melalui APBN hanya dapat dilakukan oleh Badan Geologi. Kedepan, hasil rekomendasi
Wilayah Kerja Migas ikut dilelangkan oleh Ditjen Migas disamping program reguler tender dan
direct proposal yang memang biasanya dilakukan oleh Ditjen Migas. Hal ini akan meningkatkan
peluang peningkatan penandatanganan WK Migas dan anggaran negara untuk survei geologi
yang dilakukan Badan Geologi lebih bermanfaat

Rencana Strategis 2015 - 2019

24

Pemanfaatan gas bumi dalam negeri. “Mulai tahun 2013 untuk pertama kalinya dalam sejarah
Indonesia, pemanfaatan gas bumi dalam negeri lebih besar daripada untuk ekspor”. Kondisi
tersebut akan terus dipertahankan, dimana untuk tahun 2015 ditargetkan porsi pemanfaatan
gas domestik sebesar 59% dan meningkat menjadi 64% pada tahun 2019. Target pemanfaatan
gas domestik 64% tahun 2019 sesungguhnya merupakan target yang sangat optimis,
mengingat berdasarkan kontrak saat ini justru terdapat penurunan persentase pemanfataan
domestik akibat on-streamnya proyek Tangguh Train-3 yang 60%-nya kontrak eskpor dan
ENI Jangkrik serta IDD. Target DMO gas bumi didukung dengan meningkatnya pembangunan
infrastruktur gas nasional seperti FSRU, LNG receiving terminal, dan pipa transmisi. Sehingga,
gas dari sumber-sumber besar yang ada di Kalimantan, dan Indonesia Timur dapat dialirkan ke
daerah konsumen gas utamanya Jawa dan Sumatera.

Volume BBM bersubsidi mengalami penurunan drastis dari tahun 2014 sekitar 46,8 juta Kilo
Liter (KL) menjadi 17,9 juta KL (kuota APBN-P 2015). Hal tersebut akibat perubahan kebijakan
harga BBM, dimana sejak 1 Januari 2015, Bensin Premium Ron-88 tidak lagi merupakan BBM
bersubsidi dan subsidi solar hanya dipatok sebesar Rp. 1.000/liter.
Tugas Pemerintah adalah mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi sehingga subsidi tidak
membebani APBN. Sesuai Pasal 8 ayat 2 UU No.22/2001 tentang Migas, Pemerintah