T1 802007121 Full Text

PERBEDAAN ENTREPRENEURIAL SELF EFFICACY PADA
SISWA SMK NEGERI 2 SALATIGA DITINJAU DARI
JENIS KELAMIN

PENDAHULUAN
Setiap negara tanpa terkecuali Indonesia tidak terlepas dari
persoalan pengangguran. Pertambahan angkatan kerja dari tahun
ke tahun, tanpa diimbangi dengan jumlah lapangan kerja, menjadi
penyebab utama semakin bertambahnya jumlah pengangguran
(www.makassar.antaranews.com).

Data

survey

keadaan

ketenagakerjaan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari
2012


mencapai

120,4

juta

orang.

Sedangkan

tingkat

pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia menurut pendidikan
tertinggi yang ditamatkan pada Februari 2012 mencapai 6,32
persen. Tingkat pengangguran terbuka untuk tingkat pendidikan
Sekolah Dasar sebanyak 3,69 persen, Sekolah Menengah Pertama
sebanyak 7,80 persen, Sekolah Menengah Atas sebanyak 10,34
persen, Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 9,51 persen,
diploma I/II/III sebanyak 7,50 persen dan universitas sebanyak
6,95 persen (www.bps.go.id).

Dari

data

tersebut

mengindikasikan

bahwa

biaya

pendidikan yang begitu tinggi sejak dari taman kanak-kanak
hingga perguruan tinggi pada akhirnya hanya sebagai pemasok
pengangguran terdidik. Penganggur-penganggur tersebut bukan

1

2


orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan,
melainkan karena ingin menjadi pekerja, sementara kesempatan
kerja terbatas (Saiman, 2009).
Salah satu jalan untuk mengatasi pengangguran di
Indonesia adalah menciptakan lapangan pekerjaan baru. Menurut
Alma (2001), semakin maju suatu negara semakin banyak orang
terdidik dan banyak pula orang yang menganggur, maka semakin
dirasakan pentingnya wirausaha. Pembangunan akan lebih
berhasil jika ditunjang oleh wirausahawan yang dapat membuka
lapangan kerja karena kemampuan pemerintah sangat terbatas.
Oleh

sebab

itu,

wirausaha

merupakan


potensi

pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha
itu sendiri. Sekarang ini Indonesia sedang dihadapkan pada
kenyataan bahwa jumlah wirausahawan Indonesia masih sangat
sedikit. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah pengusaha di
Indonesia pada tahun 2012 sekitar 1,56 persen dari seluruh
penduduk. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan jumlah
wirausahawan di beberapa negara yang tingkat pertumbuhan
ekonominya tinggi seperti Amerika Serikat yang merupakan
negara maju, mencapai sekitar 12 persen dan jumlah wirausaha di
Singapura juga tinggi, yaitu mencapai 7 persen (Sukandar, 2012).
Beberapa puluh tahun yang lalu ada pendapat yang
mengatakan bahwa kewirausahaan tidak dapat diajarkan. Akan
tetapi sekarang ini kewirausahaan merupakan mata pelajaran
yang dapat diajarkan di sekolah menengah atas dan berbagai

3

perguruan tinggi, bahkan dijadikan sebagai kurikulum wajib

(Saiman,2009).
Salah satu sekolah yang mendapatkan mata pelajaran
kewirausahaan adalah Sekolah Menengah Kejuruan. Sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan menengah
kejuruan merupakan pendidikan pada jenjang pendidikan
menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan
peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu,
kemampuan beradaptasi di lingkungan kerja, melihat peluang
kerja, dan mengembangkan diri di kemudian hari. Dengan kata
lain, SMK berperan dalam mempersiapkan peserta didik agar siap
kerja, baik bekerja secara mandiri (berwirausaha) maupun
mengisi lowongan pekerjaan yang ada (Depdikbud, 1993).
Kenyataan sering dijumpai saat ini banyak lulusan SMK
yang lebih berorientasi pada pencari kerja dari pada membuka
usaha sendiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan siswa SMK
yang tidak tertarik berwirausaha setelah lulus adalah karena tidak
mau mengambil resiko, takut gagal, tidak memiliki modal dan
lebih menyukai bekerja dengan orang lain. Alasan tersebut
bertentangan dengan tujuan individu masuk sekolah kejuruan
yang ingin cepat bekerja dan ingin membuka usaha sendiri. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa siswa tidak tertarik berwirausaha karena
kurang memiliki motivasi dan tidak memiliki semangat serta
keinginan untuk berusaha sendiri. Akibatnya individu berfikir
bahwa berwirausaha merupakan sesuatu yang sulit untuk

4

dilakukan dan lebih senang untuk bekerja pada orang lain
(Wijaya, 2007).
Persepsi tentang kelayakan sangat berkaitan dengan kemampuan
diri seorang calon wirausaha. Kekuatan akan keyakinan dalam
kemampuan seseorang untuk berhasil melakukan peran dan tugas
seorang wirausaha disebut entrepreneurial self efficacy (Chen,
Greene & Crick, 1998). Penelitian oleh Scherer, Brodzinski &
Wiebe (1990) menemukan bahwa pria memiliki entrepreneurial
self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Sedangkan

penelitian oleh Zhao, Seibert dan Hills (2005) tidak mendukung
temuan tersebut. Hasil dari penelitian Zhao, Seibert dan Hills
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam

entrepreneurial self efficacy antara pria dan wanita. Sehingga

peneliti

merumuskan

masalah

yaitu

adakah

perbedaan

entrepreneurial self efficacy pada siswa SMKN 2 Salatiga

ditinjau dari jenis kelamin. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan entrepreneurial self efficacy
pada siswa SMKN 2 Salatiga ditinjau dari jenis kelamin.


TINJAUAN PUSTAKA
Entrepreneurial Self Efficacy
Entrepreneurial self efficacy berguna untuk mengukur

kekuatan keyakinan individu bahwa ia mampu berhasil
melaksanakan

tugas

dalam

berwirausaha

(Mueller,2007).

Entrepreneurial self efficacy umumnya merupakan keyakinan

5

seseorang terhadap kemampuan mereka untuk mengambil

tindakan kewirausahaan (DeNoble, Jung dan Ehrlich. 1999).
Sedangkan Chen, Greene & Crick, (1998) mendefinisikan
entrepreneurial self efficacy sebagai keyakinan yang kuat

terhadap kemampuan seseorang untuk berhasil melakukan peran
dan tugas seorang wirausaha.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa
entrepreneurial self efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap

kemampuan mereka untuk mengambil tindakan kewirausahaan.
Komponen Entrepreneurial Self Efficacy
DeNoble, Jung dan Ehrlich pada tahun 1999 juga
mengembangkan alat ukur entrepreneurial self efficacy. Dalam
penelitiannya, DeNoble, Jung dan Ehrlich memasukkan enam
komponen yang secara khusus terkait dengan persyaratan
ketrampilan yang harus dimiliki seseorang untuk memulai suatu
usaha. Komponen-komponen tersebut antara lain :
a. Developing new product or market opportunities

Mengembangkan


produk

baru

atau

peluang

pasar,

mencakup seperangkat ketrampilan yang berkaitan dengan
penghargaan kesempatan. Ketrampilan ini akan sangat
penting bagi seorang individu yang memperhatikan
pencapaian sebuah usaha. Misalnya, orang yang percaya
pada kemampuan mereka untuk memulai sebuah usaha,
harus kreatif dalam melihat peluang untuk tetap bertahan
atau tidak bertahan dalam perubahan pasar. Mereka percaya

6


bahwa produk atau peluang pasar yang mereka identifikasi
dapat menjadi landasan yang kokoh untuk memulai suatu
usaha.
b. Building an innovative environment

Membangun lingkungan yang inovatif mengacu pada
kemampuan seseorang untuk mendorong orang lain
mencoba ide baru, melakukan tindakan, dan bertanggung
jawab pada hasil mereka sendiri, serta kemampuan
seseorang untuk mendorong tindakan inovatif antara
pekerja

potensial.

Tantangan

dalam

membangun

lingkungan kerja yang dari awal dalam situasi usaha baru
jauh berbeda dari seorang manajer yang berusaha
menanamkan inovasi dalam pengaturan usaha yang sudah
berdiri lama. Pada penelitian Chen, Greene & Crick (1998)
komponen ini disebut sebagai pengambilan resiko dan
inovasi.
c. Initiating investor relationships

Memulai hubungan dengan para penyedia modal, telah
ditemukan untuk menjadi aktivitas yang penting untuk
memperoleh dana yang cukup untuk membuka suatu usaha
baru. Jenis kegiatan membuat jaringan dengan rekan usaha
merupakan bagian integral dari apa yang seseorang harus
lakukan untuk mewujudkan dan mempertahankan visi
tersebut. Tuntutan mencari dan memelihara jaringan dengan
rekan usaha ini sering kali diremehkan ketika memulai

7

suatu usaha, namun ketika proses usaha dimulai, kegiatan
ini bisa sering kali memakan waktu paling banyak dan
menuntut kegiatan yang memerlukan ketrampilan yang
signifikan.
d. Defining core purpose

Mendefinisikan tujuan inti, berfungsi untuk memperjelas
dan fokus seseorang pada visi penting bahwa usaha yang
akan mereka jalankan perlu untuk menarik pekerja inti,
pekerja, dan penyedia modal. Jika seseorang percaya bahwa
ia tidak mampu menetapkan tujuan inti, tidak mungkin
mereka akan merasa termotivasi untuk memulai suatu
usaha. Fokus pada visi dan nilai-nilai dalam suatu usaha itu
dilaporkan

menjadi

keterampilan

kritis

dengan

pertumbuhan tinggi seseorang yang membuka usaha dalam
penelitian yang dilakukan oleh Eggers (dalam DeNoble,
Jung dan Ehrlich, 1999).
e. Coping with unexpected challenges

Menghadapi tantangan tak terduga, berkaitan dengan
ambiguitas atau ketidakpastian yang meliputi kehidupan
seorang dalam membuka suatu usaha. Jenis tantangan akan
terjadi dengan umpan balik dari penyedia modal yang
potensial, naik turunnya harga pasar, persyaratan untuk
dana tunai, dan masalah serupa lainnya. Transisi dari
kenyamanan suatu usaha yang ada ke dalam dunia
penciptaan

usaha

membutuhkan

seseorang

untuk

8

mentoleransi kurangnya informasi, pesan yang ambigu, dan
penolakan yang akan dihadapi dalam proses usaha.
f.

Developing critical human resources

Pengembangan

sumber

daya

manusia

yang

kritis,

merupakan kemampuan seseorang untuk menarik dan
mempertahankan pekerja-pekerja utama sebagai bagian dari
usaha itu. Seorang individu yang memulai suatu usaha
harus menyadari kebutuhan untuk melibatkan orang lain
dalam proses penciptaan. Percaya bahwa seseorang
memiliki kemampuan untuk menarik dan mempertahankan
individu-indivdu berbakat merupakan komponen penting
dalam kegiatan usaha. Komponen sumber daya manusia
juga telah ditemukan untuk menjadi suatu keterampilan
yang dilaporkan sendiri kritis terhadap pertumbuhan tinggi
usaha di studi Eggers (dalam DeNoble, Jung dan Ehrlich,
1999).
Perbedaan Entreprenurial Self Efficacy ditinjau dari Jenis
Kelamin.
SMK merupakan salah satu sekolah menengah di
Indonesia yang mengutamakan kemampuan peserta didik untuk
dapat bekerja dalam bidang tertentu, kemampuan beradaptasi di
lingkungan kerja, melihat peluang kerja, dan mengembangkan
diri di kemudian hari (Depdikbud, 1993). Setelah lulus, tamatan
SMK dapat bekerja sebagai pegawai di berbagai bidang industri

9

ataupun

dapat

membuka

usaha

sendiri

dengan

menjadi

wirausahawan.
Namun, kenyataan yang sering dijumpai saat ini banyak
lulusan SMK yang lebih berorientasi pada pencari kerja dari pada
membuka usaha sendiri. Wijaya (2007) menjelaskan bahwa
beberapa hal yang menyebabkan siswa SMK tidak tertarik
berwirausaha setelah lulus yaitu karena tidak mau mengambil
resiko, takut gagal, tidak memiliki modal dan lebih menyukai
bekerja dengan orang lain. Individu berfikir bahwa berwirausaha
merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan lebih senang
untuk bekerja pada orang lain.
Entrepreneurial self efficacy dalam Chen, Greene & Crick
(1998) didefinisikan sebagai kekuatan akan keyakinan dalam
kemampuan seseorang untuk berhasil melakukan peran dan tugas
seorang wirausaha. Persepsi tentang kelayakan sangat berkaitan
dengan kemampuan diri seorang calon wirausaha. Beberapa teori
kewirausahaan (entrepreneurship) yakin bahwa self efficacy
memainkan peranan penting dan berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan untuk memulai suatu usaha baru
(Mueller,

2007).

Individu

yang

memiliki

intensi

untuk

berwirausaha atau memilih untuk menjadi wirausaha, memiliki
entrepreneurial self efficacy yang tinggi. Mereka yakin bahwa

mereka dapat berhasil dalam bidang wirausaha. Siswa SMK yang
memiliki entrepreneurial self efficacy yang tinggi setidaknya
akan memiliki intensi untuk menjadi seorang wirausahawan.

10

Sebaliknya siswa yang memiliki entrepreneurial self efficacy
yang rendah akan memiliki intensi yang rendah untuk membuka
usaha sendiri (Zhao, Seibert dan Hills, 2005).
Penelitian Scherer, Brodzinski & Wiebe (1990) serta
Chen, Greene & Crick (1998) menemukan bahwa ada perbedaan
tingkat entrepreneurial self efficacy antara wanita dan pria. Pria
memiliki entrepreneurial self efficacy yang lebih tinggi dibanding
wanita. Peneliti beranggapan bahwa wanita memiliki social
support yang kurang dibanding dengan pria. Bisa jadi siswa

wanita dan siswa pria memiliki entrepreneurial self efficacy yang
berbeda karena Support sosial yang diperoleh seseorang dapat
mempengaruhi tingkat entrepreneurial self efficacy mereka.
Zhao, Seibert dan Hills (2005) menemukan bahwa tingkat
entrepreneurial self efficacy dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor yang salah satunya adalah social persuation . Social
persuation dapat berupa social support dari orang-orang di

sekeliling siswa terutama dari para pendidik dan orangtua. Jika
siswa mendapat dukungan dan keyakinan dari orang-orang di
sekitarnya bahwa dirinya mampu menjadi seorang wirausaha
kemungkinan besar siswa akan memiliki entrepreneurial self
efficacy yang tinggi.

Sejalan dengan penelitian di atas Mueller (2007)
menyebutkan bahwa sosial budaya juga memengaruhi perbedaan
entrepreneurial self efficacy antara wanita dan pria. Wanita dan

pria secara historis diasumsikan memiliki peran yang berbeda di

11

masyarakat, dimana anak wanita dan pria memiliki perbedaan
dalam aspirasi karir, termasuk keinginan untuk menjadi
wirausahawan. Pada sistem sosial tradisional, karir menggunakan
stereotip maskulin untuk pria dan feminin untuk wanita. Yang
termasuk dalam stereotip sikap maskulin adalah ketegasan, daya
saing, kemandirian, dan agresif. Sedangkan stereotip feminin
meliputi

penuh

kasih

sayang,

tunduk,

ketergantungan,

menghormati, bekerjasama, merawat dan memelihara.
Dari berbagai uraian di atas kemungkinan terdapat
perbedaan entrepreneurial self efficacy pada siswa wanita dan
siswa pria.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah uji beda. Dalam penelitian ini
terdapat satu variabel yaitu entrepreneurial self efficacy. Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMKN 2 Salatiga Jurusan
Teknik Komputer Jaringan dengan jumlah total 113 siswa.
Peneliti memilih subjek siswa SMK N 2 Salatiga karena tamatan
jurusan teknik komputer jaringan di SMK Negeri 2 Salatiga
memiliki peluang yang besar untuk menjadi wirausahawan.
Namun dari hasil penelusuran tamatan alumni SMKN 2 Salatiga
jurusan teknik komputer jaringan pada tahun 2011/2012 hanya
9,8 persen yang membuka usaha sendiri. Selain itu jumlah siswa
laki-laki dan siswa perempuan pada jurusan ini yang hampir
seimbang dirasa tepat digunakan sebagai subjek penelitian.

12

Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan menggunakan sampling jenuh.
Tingkat entrepreneurialself efficacy di ukur dengan skala
psikologis entrepreneurial self efficac. Skala entrepreneurial
self

efficacy

yang

digunakan

dimodifikasi

dari

skala

entrepreneurial self efficacy dari DeNoble, Jung dan Ehrlich

(1999). Skala entrepreneurial self efficacy ini memiliki 42 item.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan
entrepreneurial self efficacy pada siswa SMKN 2 Salatiga

ditinjau dari jenis kelamin”.
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik uji
beda Independent Sample T-test. Perhitungan dalam analisis ini
dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer
Statistical Product and Servise Solution (SPSS) version 17.0 for
windows.

HASIL PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Dari hasil penelitian menunjukkan skor entrepreneurial
self efficacy pada siswa laki-laki yang berada pada kategori

sedang sebanyak 17 siswa, 38 siswa berada pada kategori tinggi,
dan 8 siswa berada pada kategori sangat tinggi. Sedangkan skor
entrepreneurial self efficacy pada siswa wanita yang berada pada

kategori sedang sebanyak 24 siswa, 21 siswa berada pada

13

kategori tinggi, dan 5 siswa berada pada kategori sangat tinggi.
Selain itu berdasarkan pengalaman berwirausaha menunjukkan
bahwa dari 63 subjek laki-laki yang memiliki pengalaman
berwirausaha ada 19 orang. Sedangkan ada subjek perempuan
dari 50 subjek perempuan ada 7 orang yang memiliki pengalaman
berwirausaha.
Hasil analisis data juga dapat diketahui kategori skor tiap
aspek entrepreneurial self efficacy pada siswa laki-laki dan siswa
perempuan. Entrepreneurial self efficacy memiliki enam aspek
yaitu developing new product or market opportunities , building
an innovative environment, initiating investor relationships,
defining core purpose, coping with unexpected challenges,
developing critical human resources. Data tiap aspek yang telah

terkumpul diklasifikasikan ke dalam lima kategori, yaitu : sangat
tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Hasilnya aspek
coping with unexpected challenges merupakan aspek yang

memiliki skor terendah diantara kelima aspek lainnya. Sedangkan
aspek developing new product or market opportunities mendapat
urutan terendah setelah aspek coping with unexpected challenges .
Selain kedua aspek tersebut juga terdapat aspek initiating investor
relationships dan developing critical human resources yang

memiliki skor rendah. Tabel skor keenam aspek entrepreneurial
self efficacy pada siswa laki-laki dan siswa perempuan dapat

dilihat pada tabel 1 berikut ini.

14

Tabel 1
Kategori skor aspek entrepreneurial self efficacy
No.

1

2

3
4
5

6

Aspek
Developing
new product
or market
opportunities
Building an
innovative
environment
Initiating
investor
relationships
Defining core
purpose
Coping with
unexpected
challenges
Developing
critical human
resources

Laki-laki
Sedang Tinggi

Sangat
rendah

Rendah

Sangat
tinggi

-

-

12

77

24

-

-

-

18

95

-

-

7

88

18

-

-

5

76

32

-

1

22

75

15

-

-

3

86

24

Uji Beda
Berdasarkan hasil perhitungan uji beda Independent Sample
T-test diketahui nilai F (equal variances assumed) 0,685 dengan

nilai signifikansi sebesar (Sig) 0,410 (p>0,05) berarti populasi
dalam penelitian ini memiliki varians yang sama, sehingga uji t
dibaca berdasarkan baris equal variances assumed dengan nilai t
= 0,572 dengan nilai signifikansi 0,568 lebih besar dari 0,05 yang
berarti tidak ada perbedaan Entrepreneurial Self Efficacy yang
signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan.

15

PEMBAHASAN
Hasil analisa menunjukan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan tingkat entrepreneurial self efficacy pada siswa
laki-laki dan siswa perempuan. Hasil penelitian ini didukung
dengan penelitian Zhao, Seibert dan Hills (2005) yang
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
entrepreneurial self efficacy antara pria dan wanita. Pada

penelitian Zhao, Seibert dan Hills menggunakan sampel
mahasiswa lulusan MBA yang selama 2 tahun terakhir mendapat
pelatihan akademik dalam bidang bisnis. Menurut Zhao, Seibert
dan Hills pengalaman belajar formal menghilangkan perbedaan
entrepreneurial self efficacy pada laki-laki dan wanita yang

ditemukan dalam studi sebelumnya dengan menggunakan sampel
sarjana atau mahasiswa non-bisnis. Di sisi lain dapat dikatakan
bahwa waktu telah berubah. Dalam masyarakat modern saat ini
perbedaan antara laki-laki dan wanita sudah tidak eksis lagi.
Nampaknya hal tersebut juga terjadi di SMK Negeri 2
Salatiga dimana seluruh siswanya baik laki-laki maupun wanita
sama-sama telah dibekali dengan pendidikan kewirausahaan
sehingga entrepreneurial self efficacy antara siswa laki-laki dan
siswa wanita tidak mengalami perbedaan.
Mata pelajaran kewirausahaan ini merupakan program
akademik formal yang diberikan pada jenjang pendidikan
Sekolah Menengah Kejuruan. Mata pelajaran kewirausahaan
memiliki dampak positif terhadap siswa untuk memulai sebuah

16

usaha wiraswasta (Saiman, 2009). Pembelajaran kewirausahaan
dapat menghasilkan perilaku wirausaha dan jiwa kepemimpinan
yang sangat terkait dengan cara mengelola usaha untuk
membekali peserta didik agar dapat berusaha secara mandiri.
Mata pelajaran kewirausahaan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagi berikut yaitu ; memahami dunia
usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di
lingkungan

masyarakat,

berwirausaha

dalam

bidangnya,

menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya, serta
mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.
Ruang lingkup mata pelajaran kewirausahaan di SMK
meliputi aspek-aspek yaitu sikap dan perilaku wirausaha,
kepemimpinan dan perilaku prestatif, solusi masalah, serta
pembuatan keputusan. Standar kompetensi mata pelajaran
pendidikan kewirausahaan di SMKN 2 Salatiga yaitu :
mengidentifikasi sikap dan perilaku wirausaha, menunjukkan
sikap pantang menyerah dan ulet, mengelola konflik, membangun
visi dan misi usaha, menganalisis peluang usaha, menganalisis
aspek-aspek perencanaan usaha, menyusun proposal usaha,
mempersiapkan

pendirian

usaha,

menganalisis

resiko

menjalankan usaha, menjalankan usaha kecil, serta mengevaluasi
hasil usaha.
Para pendukung penyelenggara pendidikan kewirausahaan
juga berpendapat bahwa pada usia sedini mungkin siswa harus
diarahkan dan dipersiapkan untuk karier masa depan mereka

17

terutama sebagai remaja. Selain itu keinginan pertama untuk
berwirausaha terbentuk pada tingkat sekolah menengah. Remaja
pada usia ideal ini yang memperoleh pengetahuan tentang
kewirausahaan memiliki entrepreneurial self efficacy yang tinggi
dan mendorong sikap positif untuk menuju kewirausahaan
(Wilson, Kickul, dan Marlino 2007).
Selain pendidikan kewirausahaan, SMKN 2 Salatiga juga
memiliki unit produksi. Unit produksi “Karya ESEMKA” pada
jurusan Teknik Jaringan Industri ini memproduksi perakitan
laptop, pemasangan perangkat, merancang jaringan, memperbaiki
jaringan, membuat server jaringan, membagi IP komputer,
program game, karikatur animasi, editing foto, serta membuat
program java. Secara tidak langsung baik siswa wanita maupun
siswa laki-laki dapat belajar berwirausaha melalui unit produksi
yang ada di sekolah. Para siswa diajarkan untuk menciptakan
suatu produk atau jasa di bidang komputer serta bagaimana cara
memasarkan produk atau jasa mereka.
Unit produksi sebagaimana yang dituangkan oleh
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan bahwa unit produksi
di sekolah adalah : Suatu proses kegiatan usaha yang di lakukan
di sekolah, bersifat bisnis (profit oriented) dengan para pelaku
warga sekolah, mengoptimalkan sumber daya sekolah dan
lingkungan, dalam berbagai bentuk unit usaha sesuai dengan
kemampuan yang di kelola secara profesional. Unit Produksi
berfungsi

untuk

memproduksi

barang

dan

jasa

dengan

18

memanfaatkan semua sumber daya yang ada di sekolah dan
lingkungannya.
Melalui data yang telah diperoleh terdapat 26 subjek
yang telah memiliki pengalaman berwirausaha. Pengalaman
berwirausaha yang dialami pada setiap subjek tentunya berbedabeda.

Ketika

pengalamannya

subjek

mengalami

berwirausaha

keberhasilan

maka

dapat

dalam

meningkatkan

entrepreneurial self efficacy yang dimilikinya. Terlebih lagi jika

keberhasilan tersebut didapat dengan melalui hambatan yang
besar dan merupakan perjuangan sendiri, maka hal itu akan
membawa pengaruh pada peningkatan entrepreneurial self
efficacy seseorang. Akan tetapi jika subjek merasakan kegagalan

dalam pengalamannya berwirausaha maka dapat menurunkan
entrepreneurial self efficacy yang dimilikinya. Pengalaman

berwirausaha merupakan sumber entrepreneurial self efficacy
yang berupa enactive mastery experiences.
Menurut Zhao, Seibert dan Hills (2005) enactive mastery
experiences merupakan informasi yang paling berpengaruh

karena menyediakan bukti yang paling otentik berkenaan dengan
kemampuan seseorang dalam melakukan tugas wirausaha. Hasil
yang dicapai oleh seseorang dalam pengalamannya berwirausaha
adalah informasi yang penting karena langsung berhubungan
dengan pengalaman pribadi seseorang. pengalaman yang telah
dilalui oleh seseorang yang dapat meningkatkan maupun
menurunkan

entrepreneurial

self

efficacy.

pengalaman

19

keberhasilan

yang

sering

didapatkan

seseorang

akan

meningkatkan entrepreneurial self efficacy yang dimiliki
seseorang

sedangkan

kegagalan

akan

menurunkan

entrepreneurial self efficacy seseorang. Sebagai contoh, enactive
mastery experiences dapat diperoleh siswa melalui kegiatan

berwirausaha mandiri di luar tugas sekolah. Sedangkan di dalam
sekolah enactive mastery experiences dapat diperoleh melalui
latihan simulasi bisnis, studi kasus persaingan usaha, bahkan
penyediaan modal usaha bagi siswa.
Selain dengan enactive mastery experiences, masih
terdapat tiga sumber entrepreneurial self efficacy juga dapat
mempengaruhi entrepreneurial self efficacy. Pertama adalah role
modelling

and

vicarious

experiences

yaitu

pengalaman

keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu
dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan
entrepreneurial self efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas

yang sama. Role modelling and vicarious experiences dapat
diperoleh dengan mendatangkan tokoh wirausaha yang sukses
sehingga siswa dapat belajar langsung dari pengalaman sang
tokoh, atau juga dapat diperoleh dengan bekerja dengan seorang
wirausaha dalam suatu proyek melalui program “magang”. Kedua
social persuation yaitu nformasi tentang kemampuan yang

disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh
biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup
mampu melakukan suatu tugas. Pendidik dapat menggunakan

20

social persuation untuk meningkatkan entrepreneurial self
efficacy siswa ketika sedang mengevaluasi siswa, atau ketika

memberi mentoring siswa tentang tujuan karir mereka. Ketiga
adalah physiological and emotional states dimana kecemasan dan
stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas
sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Entrepreneurial self
efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan

kecemasan, sebaliknya entrepreneurial self efficacy yang rendah
ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula.
Strategi coping dapat membantu siswa untuk mempertahankan
motivasi dan kontrol terhadap pekerjaan yang berhubungan
dengan kecemasan yang menyebabkan harapan keberhasilan
lebih tinggi.
Dari hasil pengukuran entrepreneurial self efficacy juga
menunjukkan bahwa aspek coping with unexpected challenges
memiliki skor yang paling bawah diantara ke lima aspek lainnya.
Coping with unexpected challenges berkaitan dengan ambiguitas

atau ketidakpastian yang meliputi kehidupan seseorang dalam
membuka suatu usaha. Dapat dikatakan bahwa aspek coping with
unexpected challenges merupakan keyakinan seseorang terhadap

kemampuannya untuk menghadapi tantangan yang tak terduga
dalam kehidupan berwirausaha. Nampaknya dalam hal ini baik
siswa laki-laki maupun siswa perempuan kurang memiliki
kepercayaan bahwa dirinya mampu untuk menghadapi tantangan
dan ketidakpastian hidup dalam berwirausaha.

21

Sementara itu aspek developing new product or market
opportunities memiliki skor terbawah kedua dari aspek coping
with unexpected challenges. Aspek developing new product or
market opportunities merupakan keyakinan seseorang terhadap

kemampuannya
menganalisis

dalam
peluang

mengembangkan
pasar,

serta

produk

baru,

ketrampilan

dalam

memanfaatkan kesempatan yang datang. Dalam hal ini baik siswa
laki-laki maupun perempuan sama-sama merasa kurang memiliki
kepercayaan akan kemampuannya dalam menganalisis peluang
pasar,

mengembangkan

produk

baru,

serta

ketrampilan

memanfaatkan peluang yang datang.
Selain kedua aspek tersebut di atas juga terdapat aspek
initiating investor relationship dan defining core purpose yang

memiliki skor sedang. Initiating investor relationship merupakan
keyakinan akan kemampuan dalam mengembangkan hubungan
dengan para penyedia modal. Sedangkan defining core purpose
merupakan keyakinan terhadap kemampuan dalam menetapkan
tujuan inti serta fokus pada visi misi didirikannya sebuah usaha.

22

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
diuraikan sebelumnya, data disimpulkan bahwa :
1. Tidak ada perbedaan yang signifikan entrepreneurial self
efficacy antara siswa laki-laki dan siswa perempuan pada

siswa SMKN 2 Salatiga.
2. Rerata siswa laki-laki dan rerata siswa wanita sama-sama
berada pada kategori tinggi.
3. Aspek coping with unexpected challenges memiliki skor
terendah.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka penulis
memberi saran sebagai berikut ;
1. Bagi siswa
Siswa yang memiliki tingkat entrepreneurial self
efficacy yang sangat tinggi dapat dipertahankan. Sedangkan

siswa yang memiliki entrepreneurial self efficacy yang
masih sedang dapat ditingkatkan dengan lebih aktif dalam
mengikuti kegiatan yang diadakan di sekolah yang dapat
melatih jiwa kewirausahaan serta meningkatkan keyakinan
diri bahwa dirinya mampu menghadapi berbagai tantangan
dalam berwirausaha.
2. Bagi sekolah
Sekolah dapat lebih meningkatkan keyakinan diri
siswa yang masih memiliki tingkat entrepreneurial self
efficacy yang masih sedang dalam kaitannya dengan

23

kemampuannya menghadapi berbagai tantangan dalam
berwirausaha yang dapat dilakukan melalui berbagai
macam kegiatan seperti latihan berwirausaha, melakukan
mentoring pada siswa dalam berwirausaha , memotivasi
siswa, mendatangkan tokoh wirausahawan yang telah
berhasil, hingga pemberian pinjaman modal usaha.
3. Penelitian selanjutnya
Bagi peneliti lain yang memiliki keinginan untuk melakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan tingkat
entrepreneurial self efficacy pada siswa sekolah, maka untuk

penelitian selanjutnya dapat mengambil sampel dari sekolahsekolah lain. Selanjutnya peneliti juga dapat mempertimbangkan
untuk menggunakan faktor lain seperti desicion making, cognitive
style, entrepreneurial education.

24

DAFTAR PUSTAKA
Alma, B. (2010). Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian. Suatu pendekatan
Praktek. Edisi revisi V. Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajarakarta: Pustaka Belajar.
Azwar, S. (2003). Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta:
Pustaka Belajar
BPS. (2011). Berita Resmi Statistik. Available (online)
http://www.bps.go.id/brs_file/naker_07mei12.pdf. Diunduh
tanggal 4 September 2012
Chen, C. C., Greene, P. G., & Crick, A. (1998). Does
entrepreneurial self-efficacy distinguish entrepreneurs from
managers? Journal of Business Venturing, 13, 295–316.
Dagun, S.M. (1992). Maskulin dan feminin : perbedaan priawanita dalam fisiologi, psikologi, sexual, karier dan masa
depan. Jakarta: Rineka Cipta
DeNoble, A., D. Jung, & S. Ehrlich. (1999). Entrepreneurial self
efficacy: the development of a measure and its relationship
to entrepreneurial action. In Frontiers of entrepreneurship
research. Wellesey, MA: Babson College. Diunduh dari
http://fusionmx.babson.edu/entrep/fer/papers99/I/I_C/IC%2
0Text.htm
Depdikbud, (1993). Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). Jakarta: Depdikbud

25

Forbes, D. P. (2005). The effects of strategic decision making on
entrepreneurial self efficacy. Journal of Entrepreneurship
Theory and Practice, 599-626.
Hadi, S. (1991). Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi UGM
McGee, J., M. Peterson. (2009). "Entrepreneurial Self Efficacy:
Refining the Measure. Journal of Entrepreneurship Theory
and Practice 33 (4): 965-988.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1992). Psikologi
Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya .
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mueller, S.L. (2007). Gender-role orientation as a determinant of
entrepreneurial self efficacy. Journal of Development
Entrepreneurship, Vol.13,No.1, 3-20.
Pihie, Z. A. L., & A. Bagheri (2010). Entrepreneurial attitude and
entrepreneurial efficacy of technical secondary school
students. Journal of Vocational Education and Training ,
Vol.62, No.3, September 2010, 351-366.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2002). Kamus
Besar Bahasa Inodesia . Jakarta : Balai Pustaka
Priyatno, D. (2010). Teknik Mudah dan Cepat Melakukan
Analisis Data Penelitian. Yogyakarta: Gava Media
Saiman, L. (2009). Kewirausahaan. Jakarta: Salemba Empat.
Scherer, R. F., Brodzinski, J. D., & Wiebe, F. A. (1990).
Entrepreneur career selection and gender: A socialization
approach. Journal of Small Business Management, 28, 37–
44.

26

Sears, D. O dan Peplau, L. A. (1999). Psikologi Sosial: Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Seqiera, JM, JE McGee & SL Mueller (2005). Entrepreneurial
Self-Efficacy: Refining the Measure. Journal of
Entrepreneurship Theory and Practice, Baylor University.
Sugiyono. (2010). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sukandar, D. (2012). Menjadi Wirausahawan. Available (online)
http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/08/20/men
jadi-wirausahawan-dan-mendirikan-pt/. Diunduh tanggal 4
September 2012
Suriani. (2011). Mengubah Pengangguran Menjadi Potensi
Negara.
Available
(online)
http://makassar.antaranews.com/berita/27838/mengubahpengangguran-jadi-potensi-negara). Diunduh tanggal 23
Desember 2011
Suryabrata, S. (2000). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT.Raja
Grafindo
Suryadi. (2006). Pengembangan Sistem dan Kurikulum
Pendidikan
Kejuruan.
Available
(online)http://sipil.upi.edu/direktori/Direktori/MATERI%2
0KULIAH/Dedi%20Suryadi%2C%20Drs.%20%2C%20M
Pd./Artikel/Mkl-Semnasfptk06.pdf). Diunduh tanggal 18
februari 2012
Urban, B. (2006). Entrepreneurial self efficacy in a multicultural
society: measures and etnich differences. Journal of
industrial psychology 32, no.1:2-10
Wijaya, T. (2007). Hubungan adversity intelligence dengan
intensi berwirausaha (studi empiris pada siswa SMKN 7
Yogyakarta) Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan , vol.9,
No.2, September 2007: 117-127.

27

Wilson, F., J. Kickul, & Marlino. D. (2007). Gender,
entrepreneurial self efficacy, and entrepreneurial career
intentions: Implications for entrepreneurship education.
Journal of Entrepreneurship Theory and Practice 31, no.3:
387-401.
Zhao, H, SE Seibert & GE Hills (2005). The mediating role of
self-efficacy in the development of entrepreneurial
intentions. Journal of Applied Psychology, 90(6), 1265–
1272.