08 Pemetaan Upaya Penguatan Usaha Mikro
PEMETAAN UPAYA PENGUATAN USAHA MIKRO
1Asep Suryahadi Rizki Fillaili2
Abstract
The majority of informal economic actors were micro enterprises, and they were believed to play an important role in providing employment opportunity. Based on this belief, many organizations had attempted to provide assistance in order to empower this group. This article mapped out various assistance programs, including the name of the providing institution, type of activity, and target group. By providing this information, the writers expected to provide basic information for formulating appropriate strategy for micro and small enterprises development.
Pendahuluan
Usaha mikro merupakan salah satu jenis usaha dalam kelompok usaha yang tidak berbadan hukum, atau dikenal sebagai sektor informal. Berbagai batasan digunakan oleh berbagai pihak untuk mendefinisikan usaha mikro sesuai dengan kepentingan masing-masing. Salah satu batasan yang banyak digunakan, baik oleh lembaga lokal maupun internasional, adalah jumlah tenaga kerja. Lembaga lokal terutama instansi pemerintah membatasi tenaga kerja dalam usaha mikro sebanyak 1-4 orang, sementara lembaga internasional seperti lembaga donor membatasi jumlah tenaga kerja maksimal 10 orang. Dengan menggunakan batasan tenaga kerja 1-4 orang, hasil survei BPS menunjukkan bahwa proporsi usaha mikro terhadap usaha kecil dan menengah tidak berbadan hukum di semua jenis lapangan usaha adalah 96,1% atau sebanyak 14,1 juta unit usaha dari 14,66 juta unit usaha yang disurvei di luar sektor pertanian. Sedangkan jika mengacu pada batasan tenaga kerja maksimal 10 orang, maka proporsi usaha mikro dalam kelompok usaha ini adalah 99,3%, atau sebanyak 14,6 unit juta usaha.3 Hal ini 1 Tulisan ini merupakan ringkasan dari Studi Pemetaan Upaya Penguatan Usaha Mikro
yang dilakukan atas kerja sama tim peneliti SMERU dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
2 Penulis adalah peneliti pada Lembaga Penelitian SMERU.
3 Survei Usaha Terintegrasi 2001, Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan
(2)
menunjukkan bahwa batasan apa pun yang digunakan, usaha mikro menempati porsi terbesar dalam kelompok usaha yang tidak berbadan hukum di Indonesia. Masih berkaitan dengan tenaga kerja, usaha mikro sering kali dihubungkan dengan self employment (usaha sendiri, atau usaha dengan hanya satu orang pekerja sekaligus sebagai pemilik usaha). Usaha sendiri ini merupakan bagian terbesar dalam kelompok usaha mikro (Schreiner, 1999). Di Indonesia, dari 14,6 juta usaha mikro, 51% di antaranya adalah usaha sendiri (BPS 2001, diolah). Usaha mikro juga diidentikan sebagai usaha rumah tangga karena sebagian besar kegiatannya dilakukan di rumah, menggunakan teknologi tradisional atau sederhana, mempekerjakan anggota keluarga dalam rumah tangga, dan berorientasi pada pasar lokal (Farbman&Lessik,1989). Menurut hasil survei BPS, jenis lapangan usaha yang banyak digeluti oleh usaha mikro di Indonesia adalah perdagangan eceran, rumah makan serta jasa akomodasi (57,8%), sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga (17,1%), dan sektor angkutan dan komunikasi (12,1%).4
Studi tentang usaha mikro di beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa usaha mikro banyak digeluti oleh orang miskin, sebagai salah satu “survival strategies” mereka (Schreiner, 1999; Orlando&Pollack, Ortiz). Berkaitan dengan hal tersebut, banyak pihak menilai usaha mikro berperan dalam menanggulangi kemiskinan melalui penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan, dan juga sebagai salah satu alternatif mata pencaharian bagi mereka yang mempunyai tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah (Schreiner, 2001; Friedman). Oleh karena itu, upaya penguatan usaha mikro pada umumnya bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, memberdayakan pelaku usaha terutama perempuan (dengan asumsi bahwa usaha mikro banyak dilakukan oleh perempuan), menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengembangkan usaha.5 4Ibid
55 ILO, “Gender Issues in Micro-Enterprise Development”; ADB Report, “Microenterprise
(3)
Saat ini upaya penguatan usaha mikro menjadi sangat penting dan menjadi salah satu strategi pembangunan baik ekonomi maupun sosial dari para agen pembangunan (development agents) seperti pemerintah, ornop, lembaga keuangan internasional, dan sektor swasta.
Berangkat dari pemikiran di atas, Lembaga Penelitian SMERU bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan melakukan studi pemetaan upaya penguatan usaha mikro di tingkat nasional yang dilakukan 6 kelompok lembaga yaitu instansi pemerintah, perbankan, perusahaan, ornop, lembaga donor, dan lembaga lainnya. Studi ini menjadi signifikan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar upaya penguatan usaha mikro yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut mengingat banyaknya upaya penguatan usaha mikro yang telah dilakukan baik di tingkat nasional maupun regional, serta untuk mengetahui apakah upaya tersebut dilaksanakan secara tumpang tindih sehingga dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas upaya yang bersangkutan.
Tulisan ini memaparkan hasil pemetaan upaya penguatan tersebut ke dalam bentuk tabulasi data sederhana yang dapat memberi gambaran tentang keberadaan upaya yang berhasil dipetakan. Dalam pemetaan ini, usaha mikro didefinisikan sebagai: “Usaha non-pertanian (termasuk peternakan dan perikanan) yang mempekerjakan paling banyak 10 pekerja, termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga, memiliki hasil penjualan paling banyak Rp100 juta per tahun, dan mempunyai aset di luar tanah dan bangunan paling banyak Rp 25 juta.” Penggunaan definisi ini merupakan kombinasi antara beberapa definisi, yaitu SK Menteri Keuangan RI No. 40/KMK.06/2003 yang menetapkan hasil penjualan maksimal Rp100 juta per tahun, definisi internasional tentang usaha mikro yang umumnya menetapkan jumlah pekerja maksimal 10 orang, serta definisi menurut Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional yang menetapkan bahwa aset usaha mikro di luar tanah dan bangunan maksimal Rp 25 juta.
(4)
Beberapa Pendekatan dalam Upaya Pemberdayaan Usaha Mikro
Program usaha mikro (microenterprise programs), yang dalam tulisan ini disebut dengan upaya penguatan usaha mikro, mulai dikenal dan mendapat perhatian pada saat Mohammad Yusuf mendirikan Grameen Bank (Banking for the Poor) di Bangladesh yang memberikan pinjaman kredit mikro kepada usaha mikro dan usaha kecil, khususnya yang dikelola perempuan dengan menerapkan sistem kelompok dan mekanisme tanggung renteng. Grameen Bank berdiri pada tahun 1972, dan cukup berhasil dalam menyalurkan bantuan keuangan kepada usaha miko dan usaha kecil yang membutuhkan. Keberhasilan upaya ini telah membuat beberapa negara mulai menerapkan sistem yang sama di negaranya masing-masing.
Di Indonesia, salah satu lembaga yang menerapkan sistem Grameen Bank ini adalah Yayasan Dharma Bakti Parasahabat (YDBP).6 Lembaga keuangan lain
yang dikenal mempunyai komitmen dalam menyalurkan kredit kepada usaha mikro, terutama di pedesaan, adalah BRI.
Upaya penguatan usaha mikro umumnya mempunyai dua tujuan yaitu, tujuan kesejahteraan sosial (social welfare) berupa pemberdayaan pelaku usaha terutama perempuan, dan tujuan pembangunan ekonomi melalui kegiatan penanggulangan kemiskinan, penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan, dan pengembangan usaha (ADB Report, USDC, Orlando&Pollack). Hasil studi literatur menunjukkan bahwa pada pinsipnya terdapat 2 pendekatan yang digunakan dalam upaya penguatan usaha mikro (Hickson, 2001) yaitu :
1. Comprehensive Approach7
6 6 Informasi ini diperoleh dari hasil studi “Pemetaan Upaya Penguatan Usaha Mikro” terhadap
kelompok ornop lokal.
7 7 Beberapa tulisan mengaitkan pendekatan ini dengan tujuan upaya penguatan yaitu social welfare programs dan economic development tools. Lihat di antaranya dalam Microenterprise Development as an Economic Adjustment Strategy, USDC.
(5)
Pendekatan ini berasumsi bahwa rumah tangga atau keluarga miskin tidak mampu mengelola usaha mereka secara efektif sehingga mereka tidak akan bisa menggunakan jasa-jasa atau bantuan keuangan tanpa terlebih dahulu berpartisipasi dalam program-program penyadaran dan capacity building. Program-program tersebut menyediakan jasa dan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, masalah lingkungan, serta hal-hal lain yang penting untuk mengatasi masalah kemiskinan. Pada intinya, pendekatan ini menekankan program-program bantuan yang bersifat non-keuangan.
2. Minimalist/Incrementalist Approach
Pendekatan ini berpendapat bahwa kelompok atau orang-orang miskin pun mempunyai entrepreneurship (jiwa kewirausahaan). Oleh karena itu, tersedianya akses terhadap pelayanan keuangan akan lebih membuka kesempatan mereka dalam berusaha.
Kedua pendekatan ini memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Sebagian pihak berpendapat bahwa kedua pendekatan ini harus dilaksanakan terpisah sesuai dengan konteks dan kebutuhan usaha yang bersangkutan. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa kedua pendekatan ini harus digabung untuk mencapai hasil yang maksimal. Pada kenyatannya, banyak lembaga yang telah menggabungkan kedua pendekatan tersebut dalam merancang upaya-upaya penguatan. Mereka tidak hanya memberikan kredit tetapi sekaligus juga bantuan teknis dan bantuan dalam bentuk barang baik bersifat komersial maupun hibah. Mereka melihat bahwa ada risiko yang harus dihadapi jika hanya memberikan kredit. Kredit mikro bukanlah hal yang paling tepat untuk semua orang miskin, terutama untuk kelompok termiskin, karena mereka tidak bisa mengembalikan pinjaman atau menghasilkan pendapatan dari uang pinjaman yang disediakan. Dalam hal ini, untuk mereka yang betul-betul miskin, yang cocok bukanlah bantuan kredit komersial karena mereka tidak bisa menggunakan kredit secara konstruktif. Yang mereka butuhkan adalah bantuan sarana, prasarana, serta bantuan keuangan yang bersifat hibah yang diikuti dengan pelatihan untuk mengembangkan kemampuan usaha mereka. (Hickson, 2001; Fernando, 2004)
(6)
Upaya Penguatan Usaha Mikro: Hasil Studi Pemetaan SMERU
Upaya penguatan usaha mikro yang dipetakan dalam studi ini adalah segala bentuk upaya di tingkat pusat yang ditujukan bagi usaha mikro dan upaya yang ditujukan bagi usaha kecil namun dapat diakses oleh usaha mikro di tingkat pusat. Studi pemetaan ini berhasil memetakan upaya dari 6 kelompok lembaga yang menjadi nara sumber penelitian yang dilakukan pada periode 1997-2003. Terdapat sejumlah 594 upaya yang dipetakan, dan sebagian besar merupakan upaya yang dilakukan oleh lembaga pemerintah (65%). Upaya lainnya dilakukan oleh organisasi non-pemerintah (18%), lembaga donor (8%), perbankan (5%), perusahaan (2%), dan lembaga lain (1%). Pada saat dilakukan pengumpulan data, sebagian upaya sudah selesai dilakukan dan tersisa 44,8% upaya yang masih berjalan. Sebagian besar upaya yang sudah selesai dilakukan merupakan upaya dari lembaga pemerintah dan umumnya berupa kegiatan pelatihan dan diseminasi teknologi.
Tabel 1. Jumlah Lembaga dan Upaya Penguatan Usaha Mikro/Kecil yang Dipetakan
Nama Lembaga Jumlah Lembaga Total Jumlah UpayaMasih Berjalan
Jumlah %
Instansi Pemerintah 13 388 127 32.7
Bank 7 31 25 80.7
Perusahaan 10 12 12 100.0
Donor 8 46 15 32.6
Ornop 20 109 79 72.5
Lembaga Lain 6 8 8 100.0
Jumlah 64 594 266 44.8
Tabel 2. Proporsi Jenis Kegiatan Upaya Penguatan Usaha Mikro Berdasarkan Lembaga Pelaksana(%)
Lembaga/Jenis kegiatan
Instansi
Pemerintah Perbankan Perusahaan Donor Ornop
Lembaga
Lain Total
1. Modal 16.2 14.5 5.2 9.3 52.6 2.3 173
(7)
3. Pendampingan
/Konsultasi 35.5 2.9 4.1 5.3 52.0 0 169
4. Informasi 35.7 10.7 3.6 21.4 17.9 1.7 28
5. Sarana 84.3 0.9 1.9 9.8 2.9 0 102
6. Promosi/Pemasaran 48.5 3.0 15.1 21.2 9.1 3 33
7. Diseminasi
(Sosialisasi) 93.1 0 4.4 4.4 2.5 0 159
8. Pedoman 92. 0 0 0 8 0 25
9. Lainnya 48.5 4.0 4.0 18.2 22.2 3 99
Tabel 2 memperlihatkan jenis kegiatan yang dilakukan yang bersifat “multiple response” yaitu satu upaya yang terdiri atas berbagai macam kegiatan sehingga total jenis kegiatan yang tercantum dalam tabel ini lebih banyak dari total upaya yang dipetakan. Sebagai contoh, Kredit Usaha Sejahtera (Kukesra) yang diselenggarakan atas kerja sama BKKBN, PT BNI, dan PT Pos, mempunyai beberapa jenis kegiatan yaitu, bantuan modal, pendampingan dan konsultasi, serta bantuan teknis.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan dan memberdayakan usaha mikro adalah pelatihan, bantuan modal, dan pendampingan dan konsultasi. Ketiga kegiatan dilakukan secara terpisah atau bersamaan dengan kegiatan lainnya. Misalnya, pemberian kredit dilakukan bersamaan dengan pelatihan sekaligus pembuatan pedoman atau pembukaan akses terhadap pasar. Untuk mencapai tujuan upaya penguatan usaha secara maksimal, beberapa lembaga pelaksana mengkombinasikan beberapa jenis kegiatan dengan memperhatikan kebutuhan serta konteks tempat usaha tersebut berada.
Peran instansi pemerintah cukup besar pada hampir semua jenis kegiatan, terutama pemberian bantuan sarana (84,3%), diseminasi informasi melalui seminar atau workshop (93,1%), dan pembuatan pedoman (92%). Besarnya peran pemerintah dalam upaya penguatan usaha ini disebabkan pemerintah mempunyai kapasitas yang besar dalam menyelenggarakan berbagai macam upaya melalui instansi-instansi terkaitnya.
(8)
Sementara pemberian bantuan modal banyak dilakukan oleh ornop lokal maupun internasional (52,6%), dan diikuti oleh instansi pemerintah (16,2%). Peran ornop juga cukup besar dalam kegiatan pelatihan (37,9%) serta pendampingan dan konsultasi (52%). Bahkan dibandingkan dengan lembaga pelaksana lainnya, ornop adalah lembaga yang paling banyak berperan dalam memberikan bantuan tersebut. Aktivitas ornop ini banyak didukung oleh bantuan dana dan tenaga ahli dari lembaga lainnya seperti lembaga dana internasional (donor).
Tabel 3. Distribusi Upaya Penguatan Berdasarkan Mekanisme Penyaluran (%)
Lembaga Langsung keusaha/masy lembaga lainMelalui Kombinasi Jumlah 1.Instansi Pemerintah 81.2 13.2 5.6 341
2. Perbankan 37.9 44.8 17.2 29
3. Perusahaan 58.3 0 41.7 12
4. Donor 7.7 87.2 5.1 9
5. Ornop 33 60.7 6.3 112
6. Lembaga lain 37.5 25 37.5 8
Total 62.5 29.9 7.6 541
Keterangan: Data per November 2003
Distribusi upaya berdasarkan mekanisme penyaluran disajikan pada Tabel 3. Terlihat bahwa instansi pemerintah lebih banyak menyalurkan upaya penguatan langsung kepada masyarakat (81,2%), sementara donor dan ornop lebih banyak menyalurkan upaya tersebut melalui lembaga lain. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lembaga donor umumnya menyalurkan bantuan melalui ornop, baik lokal maupun internasional. Sementara ornop internasional sendiri juga tidak menyalurkan bantuannya secara langsung melainkan melalui lembaga lain, seperti melalui ornop di tingkat lokal atau di daerah yang bersangkutan. Perbankan, dalam hal ini, selain menyalurkan langsung bantuan modal kepada masyarakat, juga menyalurkan lewat lembaga lainnya. Lembaga lain tersebut adalah lembaga yang biasanya bermitra dengan bank seperti LKM, BPR, atau koperasi setempat.
(9)
Secara keseluruhan, upaya penguatan lebih banyak disalurkan langsung kepada kelompok usaha mikro dan usaha kecil maupun kepada masyarakat (62,5%). Mekanisme penyaluran ini berdampak pada pengawasan terhadap pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi suatu upaya. Upaya yang disalurkan langsung kepada masyarakat mempunyai mekanisme pengawasan langsung ke masyarakat. Contohnya adalah program P2KER dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dengan demikian, dapat diketahui proses pelaksanaan upaya di lapangan, sejauh mana upaya tersebut dapat mencapai target, dan apakah sesuai dengan sasaran atau tidak. Sementara itu, pengawasan terhadap upaya yang disalurkan melalui lembaga lain tidak dilakukan secara langsung dan lebih terbatas. Misalnya, upaya yang dilaksanakan oleh donor; peran donor hanya sebatas memberikan bantuan dana melalui lembaga perantara (Ornop lokal) untuk disalurkan kepada masyarakat atau kelompok usaha. Dalam hal ini pengawasan/pemantauan biasanya hanya dilakukan kepada lembaga perantara tersebut, dan biasanya lembaga perantara memberikan laporan tertentu tentang pelaksanaan di lapangan.
Tabel 4. Proporsi Upaya Penguatan Usaha Mikro dan Usaha Kecil Berdasarkan Sasaran Akhir (%)
Lembaga Khusus
Perempuan MengutamakanPerempuan DibedakanTidak N
Instansi Pemerintah 3 2 95 388
Bank 0 16 84 31
Perusahaan 0 0 100 12
Donor 11 4 85 46
Ornop 16 6 68 109
Lembaga Lain 62 38 0 8
Total 7 4 89 594
Tabel 4 di atas menunjukkan distribusi upaya berdasarkan jenis sasaran akhir. Hampir semua lembaga tidak membedakan sasaran akhir dari upaya mereka, kecuali lembaga lain yang semua upayanya ditujukan khusus atau mengutamakan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapatkan
(10)
kesempatan dan akses yang sama terhadap upaya penguatan. Hasil wawancara SMERU dengan salah satu lembaga pelaksana upaya mengungkap bahwa penetapan target atau sasaran khusus, misalnya khusus perempuan, malah menyebabkan upaya menjadi tidak efektif, upaya tidak dapat mencapai target atau sasaran secara optimal.
Tabel 5. Distribusi Upaya Berdasarkan Kelompok Sasaran
Lembaga Mikro Mikro, MasyarakatKecil Mikro,Kecil Mikro, Kecil,Menegah MenengahKecil, Total 1.Instansi
Pemerintah 12% 5.6% 24.9% 0.9% 52.5% 341
2.Perbankan 13.8% 7% 75.9% 0% 3.5% 29
3.Perusahaan 16.7% 8.3% 33.3% 25% 16.7% 12
4.Donor 25.6% 12.8% 20.5% 2.6% 20.5% 39
5.Ornop 11.6% 7.1% 62.5% 0.9% 0% 112
6.Lembaga lain 50% 0% 12.5% 37.5% 0% 8
Total 13.7 6.4 35.1 2 34.9 541
Keterangan: Data per November 2003
Tabel 5 mengelompokkan upaya penguatan berdasarkan kelompok sasaran. Jika sebelumnya sasaran dibedakan menurut jenis kelamin, maka kali ini sasaran upaya dibedakan berdasarkan masyarakat dan kelompok usaha. Sebelum membaca tabel ini perlu diingat lagi bahwa upaya yang dipetakan adalah upaya penguatan baik yang ditujukan khusus kepada usaha mikro maupun ditujukan kepada usaha kecil namun dapat diakses oleh usaha mikro. Tabel tersebut menunjukkan bahwa upaya yang ditujukan khusus kepada usaha mikro hanya 13.7%, sementara upaya yang ditujukan kepada usaha mikro dan usaha kecil 35,1%, dan upaya bagi usaha kecil dan usaha menengah 34,9%. Upaya pemerintah yang khusus bagi usaha mikro hanya sebesar 12%, lebih kecil dibanding proporsi upaya untuk usaha mikro dan usaha kecil dan usaha kecil dan usaha menengah yang masing-masing sebesar 24,9% dan 52,5%. Beberapa lembaga lebih memfokuskan upayanya kepada usaha mikro dan usaha kecil, yaitu perbankan (75,9%), perusahaan (33,3%) dan ornop (62,5%). Sementara lembaga donor memfokuskan upaya penguatannya kepada usaha mikro.
(11)
Kondisi di atas memperlihatkan bahwa perhatian kepada usaha mikro, jika dibandingkan dengan perhatian pada usaha kecil dan usaha menengah, relatif kecil. Masih minimnya perhatian kepada usaha mikro ini antara lain disebabkan selama ini usaha mikro sering kali digabungkan atau dimasukkan ke dalam kelompok usaha kecil dan menengah. Walaupun usaha mikro juga menjadi sasaran upaya penguatan yang ditujukan kepada usaha kecil-menengah (lihat pengelompokan di atas), usaha yang berbeda memiliki karakter yang berbeda, sehingga memerlukan program pemberdayaan yang berbeda pula.
Kesimpulan
1. Studi pemetaan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai keberadaan upaya serta lembaga yang melaksanakannya, dengan harapan agar upaya penguatan yang akan dilakukan di masa yang akan datang mempertimbangkan upaya-upaya yang sudah ada, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan dapat mencapai sasaran secara lebih tepat.
2. Skala usaha yang berbeda (mikro-kecil-menengah) mempunyai karakteristik yang berbeda, dan akan berimplikasi pada penentuan kebijakan serta strategi yang tepat bagi pengembangan usaha-usaha tersebut selanjutnya. Upaya penguatan usaha mikro tidak bisa disamakan dengan upaya penguatan usaha kecil, begitu pula penguatan usaha kecil tidak bisa dilakukan bersamaan dengan penguatan usaha menengah. Walaupun usaha mikro juga menjadi sasaran upaya penguatan yang ditujukan bagi usaha kecil dan usaha menengah, penggabungan seperti itu tidak akan berdampak positif bagi usaha mikro. Usaha mikro relatif tidak mampu memenuhi persyaratan yang diajukan untuk dapat memperoleh bantuan, karena persyaratan itu biasanya ditetapkan tanpa mempertimbangkan keragaman dari sasaran upaya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan dan mengembangkan upaya penguatan yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan usaha dengan memperhatikan karakter usaha yang bersangkutan.
(12)
3. Upaya hasil pemetaan ini pada umumnya terdiri atas berbagai macam jenis kegiatan. Pengkombinasian berbagai jenis kegiatan ini dilakukan sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing lembaga pelaksana. Pengkombinasian jenis kegiatan tersebut sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangakan kebutuhan usaha yang bersangkutan serta konteks tempat usaha tersebut berada. Usaha yang berada di daerah pedesaan membutuhkan upaya penguatan yang berbeda dari usaha yang berada di daerah perkotaan. 4. Perhatian yang khusus ditujukan bagi usaha mikro (yang ditunjukkan
melalui upaya penguatan usaha) masih kurang jika dibandingkan dengan perhatian kepada usaha kecil dan menengah. Padahal, seperti telah dikemukakan sebelumnya, usaha mikro merupakan kelompok usaha terbesar dalam kelompok usaha yang tidak berbadan hukum. Menimbang keadaan tersebut, sudah saatnya usaha mikro mendapatkan perhatian yang layak, apalagi jika mempertimbangkan peran usaha mikro dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menjadi alternatif pekerjaan di kalangan penduduk miskin dan tidak memiliki ketrampilan yang memadai.
5. Pemerintah masih merupakan aktor utama dalam mengadakan upaya penguatan. Dari sisi usahanya sendiri, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terungkap bahwa ada harapan/keinginan yang sangat besar dari para pengusaha mikro kepada pemerintah untuk dapat menyediakan program bantuan. Namun, sampai saat ini belum ada studi yang komprehensif yang mengukur efektivitas kinerja upaya penguatan yang dilakukan oleh pemerintah dan dampaknya terhadap perkembangan usaha mikro.
6. Peran ornop, perbankan, perusahaan, dan lembaga lainya dalam menguatkan usaha mikro ternyata cukup besar. Jenis bantuan yang diberikan bermacam-macam sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas dari masing-masing lembaga. Di masa yang akan datang, lembaga-lembaga diharapkan memiliki upaya penguatan yang memadai untuk bisa dijalankan secara sehat dan berkelanjutan.
(13)
Daftar Rujukan
ADB Report. Microenterprise Not by Credit Alone
< http://www.adb.org/Documents/Books/Microenterprise/microenterprise.pdf> Badan Pusat Statistik. 2002. Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan
Hukum Indonesia. : 2001. Jakarta: BPS.
Farbman, Michael dan Alan Lessik. 2001. “The Impact of Classification on Policy” Course MLR 210C, Title Entrepreneurship and Development, Institute of Social Studies. The Hague 2001/2002
Economic Development Administrator, United States Department of Commerce, Center for Urban Policy Research, Rutgers University. Microenterprise Development as an Economic Adjustment Strategy
<http://www.eda.gov/ImageCache/EDAPublic/documents/pdfdocs/1g3_5f
9_5fmicro_2epdf/v1/1g3_5f9_5fmicro.pdf>
Fernando, Nimal A. 2004. “Microfinance Outreach to the Poorest: A Realistic Objective?” ADB Finance for the Poor, A Quarterly Newsletter of the Focal Point for Microfinance, March 2004-Vol 5 No. 1
Friedman, Pamela. “Microenterprise Development: An Employment Option for Welfare Recipients”
<http://www.financeprojectinfo.org/Publications/microenterpriseissuenote.htm> Hickson, Robert. 2001. “Financial Service for the Very Poor. Thinking Outside the
Box” Small Enterprise Development Vol 12 no 2, June 2001 ILO. Gender Issues in Micro-Enterprise Development.
<http://www.ilo.org/public/english/employment/ent/papers/gender.htm
Orlando, María Beatriz dan Molly Pollack. “Microenterprises and Poverty Evidence from Latin America”
<http://www.iadb.org/sds/doc/MIC&POVERTY.pdf>
Ortiz, Jaime. “Rethinking the Approach to the Microenterprise Sector in Latin America, An Integrating Framework”
<http://marriottschool.byu.edu/microfinance/articles/article49.pdf
Schreiner, Mark. “Microenterprise in the First and Third Worlds.” Juni 2001. Microfinance Risk Management and Center for Social Development Washington University
<http://www.microfinance.com/English/Papers/Microenterprise_in_First_a nd_Third_Worlds.pdf>
(14)
Schreiner, Mark. “Self-Employment, Microenterprise, and the Poorest.” Juni 1999. Microfinance Risk Management and Center for Social Development WashingtonUniversity
<http://www.microfinance.com/English/Papers/Self_Employment_and_Po orest.pdf>
(1)
Secara keseluruhan, upaya penguatan lebih banyak disalurkan langsung kepada kelompok usaha mikro dan usaha kecil maupun kepada masyarakat (62,5%).
Mekanisme penyaluran ini berdampak pada pengawasan terhadap pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi suatu upaya. Upaya yang disalurkan langsung kepada masyarakat mempunyai mekanisme pengawasan langsung ke masyarakat. Contohnya adalah program P2KER dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dengan demikian, dapat diketahui proses pelaksanaan upaya di lapangan, sejauh mana upaya tersebut dapat mencapai target, dan apakah sesuai dengan sasaran atau tidak. Sementara itu, pengawasan terhadap upaya yang disalurkan melalui lembaga lain tidak dilakukan secara langsung dan lebih terbatas. Misalnya, upaya yang dilaksanakan oleh donor; peran donor hanya sebatas memberikan bantuan dana melalui lembaga perantara (Ornop lokal) untuk disalurkan kepada masyarakat atau kelompok usaha. Dalam hal ini pengawasan/pemantauan biasanya hanya dilakukan kepada lembaga perantara tersebut, dan biasanya lembaga perantara memberikan laporan tertentu tentang pelaksanaan di lapangan.
Tabel 4. Proporsi Upaya Penguatan Usaha Mikro dan Usaha Kecil Berdasarkan Sasaran Akhir (%)
Lembaga Khusus
Perempuan MengutamakanPerempuan DibedakanTidak N
Instansi Pemerintah 3 2 95 388
Bank 0 16 84 31
Perusahaan 0 0 100 12
Donor 11 4 85 46
Ornop 16 6 68 109
Lembaga Lain 62 38 0 8
Total 7 4 89 594
Tabel 4 di atas menunjukkan distribusi upaya berdasarkan jenis sasaran akhir. Hampir semua lembaga tidak membedakan sasaran akhir dari upaya mereka, kecuali lembaga lain yang semua upayanya ditujukan khusus atau mengutamakan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mendapatkan
(2)
kesempatan dan akses yang sama terhadap upaya penguatan. Hasil wawancara SMERU dengan salah satu lembaga pelaksana upaya mengungkap bahwa penetapan target atau sasaran khusus, misalnya khusus perempuan, malah menyebabkan upaya menjadi tidak efektif, upaya tidak dapat mencapai target atau sasaran secara optimal.
Tabel 5. Distribusi Upaya Berdasarkan Kelompok Sasaran
Lembaga Mikro Mikro, MasyarakatKecil Mikro,Kecil Mikro, Kecil,Menegah MenengahKecil, Total 1.Instansi
Pemerintah 12% 5.6% 24.9% 0.9% 52.5% 341
2.Perbankan 13.8% 7% 75.9% 0% 3.5% 29
3.Perusahaan 16.7% 8.3% 33.3% 25% 16.7% 12
4.Donor 25.6% 12.8% 20.5% 2.6% 20.5% 39
5.Ornop 11.6% 7.1% 62.5% 0.9% 0% 112
6.Lembaga lain 50% 0% 12.5% 37.5% 0% 8
Total 13.7 6.4 35.1 2 34.9 541
Keterangan: Data per November 2003
Tabel 5 mengelompokkan upaya penguatan berdasarkan kelompok sasaran. Jika sebelumnya sasaran dibedakan menurut jenis kelamin, maka kali ini sasaran upaya dibedakan berdasarkan masyarakat dan kelompok usaha. Sebelum membaca tabel ini perlu diingat lagi bahwa upaya yang dipetakan adalah upaya penguatan baik yang ditujukan khusus kepada usaha mikro maupun ditujukan kepada usaha kecil namun dapat diakses oleh usaha mikro. Tabel tersebut menunjukkan bahwa upaya yang ditujukan khusus kepada usaha mikro hanya 13.7%, sementara upaya yang ditujukan kepada usaha mikro dan usaha kecil 35,1%, dan upaya bagi usaha kecil dan usaha menengah 34,9%. Upaya pemerintah yang khusus bagi usaha mikro hanya sebesar 12%, lebih kecil dibanding proporsi upaya untuk usaha mikro dan usaha kecil dan usaha kecil dan usaha menengah yang masing-masing sebesar 24,9% dan 52,5%. Beberapa lembaga lebih memfokuskan upayanya kepada usaha mikro dan usaha kecil, yaitu perbankan (75,9%), perusahaan (33,3%) dan ornop (62,5%). Sementara lembaga donor memfokuskan upaya penguatannya kepada usaha mikro.
(3)
Kondisi di atas memperlihatkan bahwa perhatian kepada usaha mikro, jika dibandingkan dengan perhatian pada usaha kecil dan usaha menengah, relatif kecil. Masih minimnya perhatian kepada usaha mikro ini antara lain disebabkan selama ini usaha mikro sering kali digabungkan atau dimasukkan ke dalam kelompok usaha kecil dan menengah. Walaupun usaha mikro juga menjadi sasaran upaya penguatan yang ditujukan kepada usaha kecil-menengah (lihat pengelompokan di atas), usaha yang berbeda memiliki karakter yang berbeda, sehingga memerlukan program pemberdayaan yang berbeda pula.
Kesimpulan
1. Studi pemetaan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai keberadaan upaya serta lembaga yang melaksanakannya, dengan harapan agar upaya penguatan yang akan dilakukan di masa yang akan datang mempertimbangkan upaya-upaya yang sudah ada, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan dapat mencapai sasaran secara lebih tepat.
2. Skala usaha yang berbeda (mikro-kecil-menengah) mempunyai karakteristik yang berbeda, dan akan berimplikasi pada penentuan kebijakan serta strategi yang tepat bagi pengembangan usaha-usaha tersebut selanjutnya. Upaya penguatan usaha mikro tidak bisa disamakan dengan upaya penguatan usaha kecil, begitu pula penguatan usaha kecil tidak bisa dilakukan bersamaan dengan penguatan usaha menengah. Walaupun usaha mikro juga menjadi sasaran upaya penguatan yang ditujukan bagi usaha kecil dan usaha menengah, penggabungan seperti itu tidak akan berdampak positif bagi usaha mikro. Usaha mikro relatif tidak mampu memenuhi persyaratan yang diajukan untuk dapat memperoleh bantuan, karena persyaratan itu biasanya ditetapkan tanpa mempertimbangkan keragaman dari sasaran upaya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan dan mengembangkan upaya penguatan yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan usaha dengan memperhatikan karakter usaha yang bersangkutan.
(4)
3. Upaya hasil pemetaan ini pada umumnya terdiri atas berbagai macam jenis kegiatan. Pengkombinasian berbagai jenis kegiatan ini dilakukan sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing lembaga pelaksana. Pengkombinasian jenis kegiatan tersebut sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangakan kebutuhan usaha yang bersangkutan serta konteks tempat usaha tersebut berada. Usaha yang berada di daerah pedesaan membutuhkan upaya penguatan yang berbeda dari usaha yang berada di daerah perkotaan. 4. Perhatian yang khusus ditujukan bagi usaha mikro (yang ditunjukkan
melalui upaya penguatan usaha) masih kurang jika dibandingkan dengan perhatian kepada usaha kecil dan menengah. Padahal, seperti telah dikemukakan sebelumnya, usaha mikro merupakan kelompok usaha terbesar dalam kelompok usaha yang tidak berbadan hukum. Menimbang keadaan tersebut, sudah saatnya usaha mikro mendapatkan perhatian yang layak, apalagi jika mempertimbangkan peran usaha mikro dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menjadi alternatif pekerjaan di kalangan penduduk miskin dan tidak memiliki ketrampilan yang memadai.
5. Pemerintah masih merupakan aktor utama dalam mengadakan upaya penguatan. Dari sisi usahanya sendiri, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terungkap bahwa ada harapan/keinginan yang sangat besar dari para pengusaha mikro kepada pemerintah untuk dapat menyediakan program bantuan. Namun, sampai saat ini belum ada studi yang komprehensif yang mengukur efektivitas kinerja upaya penguatan yang dilakukan oleh pemerintah dan dampaknya terhadap perkembangan usaha mikro.
6. Peran ornop, perbankan, perusahaan, dan lembaga lainya dalam menguatkan usaha mikro ternyata cukup besar. Jenis bantuan yang diberikan bermacam-macam sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas dari masing-masing lembaga. Di masa yang akan datang, lembaga-lembaga diharapkan memiliki upaya penguatan yang memadai untuk bisa dijalankan secara sehat dan berkelanjutan.
(5)
Daftar Rujukan
ADB Report. Microenterprise Not by Credit Alone
< http://www.adb.org/Documents/Books/Microenterprise/microenterprise.pdf> Badan Pusat Statistik. 2002. Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan
Hukum Indonesia. : 2001. Jakarta: BPS.
Farbman, Michael dan Alan Lessik. 2001. “The Impact of Classification on Policy” Course MLR 210C, Title Entrepreneurship and Development, Institute of Social Studies. The Hague 2001/2002
Economic Development Administrator, United States Department of Commerce, Center for Urban Policy Research, Rutgers University. Microenterprise Development as an Economic Adjustment Strategy <http://www.eda.gov/ImageCache/EDAPublic/documents/pdfdocs/1g3_5f 9_5fmicro_2epdf/v1/1g3_5f9_5fmicro.pdf>
Fernando, Nimal A. 2004. “Microfinance Outreach to the Poorest: A Realistic Objective?” ADB Finance for the Poor, A Quarterly Newsletter of the Focal Point for Microfinance, March 2004-Vol 5 No. 1
Friedman, Pamela. “Microenterprise Development: An Employment Option for Welfare Recipients”
<http://www.financeprojectinfo.org/Publications/microenterpriseissuenote.htm> Hickson, Robert. 2001. “Financial Service for the Very Poor. Thinking Outside the
Box” Small Enterprise Development Vol 12 no 2, June 2001 ILO. Gender Issues in Micro-Enterprise Development.
<http://www.ilo.org/public/english/employment/ent/papers/gender.htm
Orlando, María Beatriz dan Molly Pollack. “Microenterprises and Poverty Evidence from Latin America”
<http://www.iadb.org/sds/doc/MIC&POVERTY.pdf>
Ortiz, Jaime. “Rethinking the Approach to the Microenterprise Sector in Latin America, An Integrating Framework”
<http://marriottschool.byu.edu/microfinance/articles/article49.pdf
Schreiner, Mark. “Microenterprise in the First and Third Worlds.” Juni 2001. Microfinance Risk Management and Center for Social Development Washington University
<http://www.microfinance.com/English/Papers/Microenterprise_in_First_a nd_Third_Worlds.pdf>
(6)
Schreiner, Mark. “Self-Employment, Microenterprise, and the Poorest.” Juni 1999. Microfinance Risk Management and Center for Social Development WashingtonUniversity
<http://www.microfinance.com/English/Papers/Self_Employment_and_Po orest.pdf>