IND PUU 7 2008 Petunjuk Teknis Propinsi LAMPIRAN I

Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor
: 20 Tahun 2008
Tanggal : 28 November 2008

PETUNJUK TEKNIS
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG.
Dengan
meningkatnya
berbagai

usaha
dan/atau
kegiatan
yang
menimbulkan pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan lahan
dan/atau tanah, dan meningkatnya pengaduan masyarakat terkait adanya
dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup pada
pemerintah provinsi, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang optimal
agar masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh
karena itu, pemerintah provinsi perlu memberikan pelayanan dasar sesuai
dengan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup.
Dalam rangka pencapaian penerapan standar pelayanan minimal bidang
lingkungan hidup daerah provinsi yang terkait dengan permasalahan
lingkungan hidup di daerah kabupaten/kota terutama dalam pelaksanaan
kegiatan pembinaan teknis dan pengawasan,
jenis pelayanan bidang
lingkungan hidup daerah provinsi lebih ditekankan pada penyampaian
informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dengan demikian, jenis pelayanan dasar bidang lingkungan hidup daerah

provinsi diprioritaskan pada:
1. Informasi status mutu air.
2. Informasi status mutu udara ambien.
3. Tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.

B.

TUJUAN.
Petunjuk teknis ini bertujuan untuk memberikan panduan kepada
pemerintah provinsi dalam penerapan pencapaian standar pelayanan
minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi secara bertahap.

1

C.

RUANG LINGKUP.
Ruang lingkup standar pelayanan minimal daerah provinsi meliputi:
1. Pelayanan informasi status mutu air.

2. Pelayanan informasi status mutu udara ambien.
3. Pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Masing-masing jenis pelayanan tersebut dijabarkan secara rinci yang
meliputi:
1. Gambaran umum.
2. Pengertian.
3. Indikator dan cara perhitungan.
4. Sumber data.
5. Batas waktu pencapaian.
6. Langkah kegiatan.
7. Rujukan/referensi.

II.

PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU AIR

A.

GAMBARAN UMUM.

Penetapan status mutu air merupakan tahapan yang penting dalam rangka
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, karena akan
menjadi titik tolak untuk pelaksanaan suatu program/kegiatan selanjutnya.
Status mutu air juga merupakan hak masyarakat yang harus diakomodir,
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran,
bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta
pengendalian pencemaran air”. Penentuan status mutu air dan rencana
tindak lanjutnya disajikan pada Gambar 1.
Dari Gambar 1, diilustrasikan secara sederhana, bahwa penentuan status
mutu air pada suatu sumber air dilakukan dengan cara membandingkan
hasil pemantauan kualitas air dengan baku mutu air (BMA) yang diterapkan
pada sumber air tersebut. Baik atau buruknya kualitas air diindikasikan
oleh parameter-parameter, antara lain parameter kadar polutan yang
dikandungnya. Jika kadar polutan melebihi kadar maksimum yang
dibakukan dalam BMA, air tersebut dinyatakan sebagai air yang cemar. Hal
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, bahwa air dinyatakan dalam kondisi cemar, jika mutu

airnya tidak memenuhi BMA dan air dinyatakan dalam kondisi baik, jika
mutu airnya memenuhi BMA.
Selanjutnya Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan
bahwa jika status mutu air dalam kondisi baik atau tidak tercemar, upaya
2

untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas air perlu dilakukan,
dan jika status mutu air berada dalam kondisi cemar, dibutuhkan upaya
penanggulangan dan pemulihan dengan menetapkan mutu air sasaran.
STATUS
MUTU AIR

BAKU
MUTU AIR

Pemantauan
Kualitas
Air


Baik

Upaya
Mempertahankan
dan Meningkatkan
Kualitas Air

Cemar

Mutu Air Sasaran

Upaya
Penanggulangan
dan Pemulihan

Gambar 1. Status mutu air dan tindak lanjutnya
Penetapan status mutu air pada suatu sumber air dapat dilakukan jika
tahapan-tahapan sebelumnya telah dilaksanakan yaitu penetapan kelas air
dan BMA, penetapan titik pantau dan pemantauan kualitas air. Kegiatan
pemantauan kualitas air di titik-titik pengambilan contoh merupakan

kegiatan yang harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Contoh
hasil kegiatan pemantauan kualitas air disajikan pada Tabel 1.
Secara sederhana, penentuan status mutu air dilakukan dengan cara
membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan BMA yang
diterapkan pada sumber air tersebut, namun mengingat jumlah parameter
dalam BMA tidak sedikit (lihat Tabel 1), sehingga dengan hanya
membandingkan masing-masing hasil pemantauan dengan BMA akan
menghasilkan status mutu yang berbeda-beda untuk tiap parameter kualitas
air. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu metode yang dapat memberikan status
mutu yang merupakan gabungan dari semua parameter yang dipantau
sehingga menjadi satu nilai yang menggambarkan status mutu air secara
keseluruhan.

3

Dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air telah diatur 2 (dua) metode
untuk menentukan status mutu air yaitu metode storet dan metode indeks
pencemaran. Pada metode storet, status mutu air, dengan menggunakan
sistem klasifikasi US-EPA, dinyatakan sebagai berikut:

1. Kelas A : baik sekali, skor = 0  memenuhi baku mutu).
2. Kelas B : baik, skor antara -1 sampai dengan -10  cemar ringan).
3. Kelas C : sedang, skor antara -11 sampai dengan -30  cemar sedang).
4. Kelas D : buruk, skor ≤ -31  cemar berat).
Sedangkan metode
1.
0 ≤ PIj ≤ 1,0
2.
1,0 < PIj ≤ 5,0
3.
5,0 < PIj ≤ 10
4.
PIj > 10

indeks pencemaran dinyatakan bahwa nilai :
: memenuhi baku mutu.
: cemar ringan.
: cemar sedang.
: cemar berat.


Contoh hasil penetapan status mutu air yang menggunakan kedua metode
tersebut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

STATUS PENCEMARAN SUNGAI CISADANE TAHUN 2007
-70
SKOR STORET

-60
CEMAR BERAT

-50
-40
-30

CEMAR SEDANG

-20
-10

CEMAR RINGAN


0
Sebelum
Intake
PDAM

Cihuni

Jembatan Jembatan Jembatan Bendung
Gading Cikokol Robinson Pasar
Serpong
Baru

Bayur

Kali Baru

Gambar 2. Contoh status mutu air menggunakan metode soret

4


25

25 Mar 2004
15 Jun 2004

20

7 Sep 2004
CEMAR BERAT

15

21 Des 2004

10
CEMAR SEDANG

5
CEMAR RINGAN

Ci

bu

ri a

At
ta

l, C A w u
i sa n
m
Je
m C ile p a i
ba
m
be
ta
n
r
G
K a ad
tu o g
la m
Ke
S pa
du em
p
n
P o g H ur
J e nd o a lan
m
ba k Ra g
ta
n je k
Ke Pa
la p nu s
a
D
Co ua
M nd
an et
gg
a
G u K w ra i
it
nu
ng ang
Sa
ha
ri
PI
K

0

Gambar 3. Contoh status mutu air menggunakan metode indeks
pencemaran

Kewenangan penetapan status mutu air ada pada pemerintah, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, namun karena penetapan kelas
air pada sumber air skala provinsi dan penetapan baku mutu air lebih ketat
berada dalam kewenangan pemerintah provinsi serta penetapan status mutu
air berkaitan erat dengan penetapan kelas air dan baku mutu air tersebut,
sehingga dalam standar pelayanan minimal ini, penetapan status mutu air
menjadi bagian dari standar pelayanan minimal provinsi.

5

Tabel 1. Contoh hasil pemantauan kualitas air
HASIL PEMANTAUAN KUALITAS AIR DAS ABC
PERIODE BULAN SEPTEMBER 2008
Baku Mutu Berdasarkan PP No: 82 Tahun 2001 tangggal 14 desember 2001
Sungai
Lokasi

ABC
1

Koordinat Lokasi

Lintang (S)

ABC
3

ABC
4

ABC
5

Baku
Mutu

-6.35889

-6.35917

-6.35500

-6.34917

-6.25917

106.24306
9/1/2008

106.2225
9/2/2008

106.23083
9/3/2008

106.24806
9/4/2008

106.28417
9/5/2008

11.30

12.15

12.14

11.45

12.55

II

Satuan

1

2

3

4

5

10

Bujur (T)
Tanggal
Jam
Parameter

ABC
2

Kelas

FISIKA
1.

Temperatur

0C

27.50

27.50

27.40

27.40

27.50

deviasi 3

2

Zat Terlarut/TDS

mg/l

53.00

55.00

37.00

50.00

53.00

1000

3

Zat Tersuspensi/TSS

mg/l

99

28

70.5

197

77

50

6-9

KIMIA ANORGANIK
1

pH

-

5.68

5.60

5.72

5.67

5.71

2

BOD

mg/l

1.007

0.402

0.604

1.007

0.806

3

3

COD

mg/l

30.217

29.502

29.217

28.731

29.778

25

4
5

Oksigen Terlarut/DO

mg/l

4.429

4.026

4.228

3.825

4.278

fosfat/PO4

mg/l

0.015

0.012

0.008

0.010

0.008

4
0.2

6
7

Nitrat/NO3

mg/l

8.050

3.280

2.627

6.392

1.827

Amonia

mg/l

0.005

0.004

0.002

0.005

0.004

10
(-)

8

Arsen

mg/l

-

-

-

-

-

1

9

Cobalt/Co

mg/l

0.0099

0.0096

0.0095

0.0097

0.0098

0.2
(-)

10

Barium

mg/l

-

-

-

-

-

11

Boron

mg/l

-

-

-

-

-

1

12

Selenium

mg/l

-

-

-

-

-

0.05

13

Kadmium Total/Cd

mg/l

0.0097

0.0097

0.0096

0.0098

0.0099

0.01

14

Khrom (VI)

mg/l

-

-

-

-

-

0.05

15

Tembaga Total/Cu

mg/l

0.0122

0.0124

0.0116

0.0124

0.0126

16
17

Besi Total/Fe

mg/l

0.8266

0.8371

0.6539

0.8927

0.8975

0.02
(-)

Timbal Total/Pb

mg/l

0.0116

0.0119

0.0112

0.0119

0.0121

0.03

18

Mangan/Mn

mg/l

0.0168

0.0174

0.0153

0.0179

0.0187

(-)

19
20

Air Raksa

mg/l

-

-

-

-

-

0.002

Seng Total/Zn

mg/l

0.0165

0.0168

0.0148

0.0175

0.0183

0.05

21
22

Clorida/Cl

mg/l

5.339

11.650

2.912

3.883

5.334

Sianida

mg/l

tt

tt

tt

tt

tt

600
1

23

Flourida

mg/l

-

-

-

-

-

1.5

24

Nitrit/NO2

mg/l

0.153

0.144

0.073

0.092

0.104

0.05

25

Sulfat/SO4

mg/l

4.370

3.450

0.588

1.785

1.620

26

Khlorin Bebas

mg/l

-

-

-

-

-

400
0.03

27

Belerang sbg H2S

mg/l

-

-

-

-

-

0.002

MIKROBIOLOGI
1
E Coli
2

Total Coli

koloni/100 ml

3400

4400

3400

6000

2300

1000

koloni/100 ml

28000

28000

24000

54000

22000

5000

RADIOAKTIVITAS
1

Gross-A

Bq/L

-

-

-

-

-

0.1

2

Gross-B

Bq/L

-

-

-

-

-

1

KIMIA ORGANIK
1
Minyak Dan Lemak
2
MBAS
3

Fenol

ug/l

1000

1000

500

1000

500

1000

ug/l

200

200

200

200

200

200

ug/l

0.0302

0.0265

0.0235

0.0274

0.0259

1

m3/detik
cm

70.12
45

11.22
10

65.31
20

65.11
20

40.15
20

-

LAIN-LAIN (Tidak diatur PP 82/01)
1
2

Debit
Muka Air

6

B.

PENGERTIAN.
Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:
1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan
tanah, kecuali air laut dan air fosil.
2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di bawah dan di atas
permukaan air, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai,
rawa, danau, situ, waduk dan muara.
3. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan
parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
4. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan.
5. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
6. Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang
direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu
melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air.

C.

INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.
1. Indikator.
Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu
airnya dan diinformasikan status mutu airnya.
2. Cara Perhitungan.
Prosentase (%) jumlah
sumber air yang dipantau
kualitasnya, ditetapkan
status mutu airnya dan
diinformasikan status
mutu airnya.

=

Jumlah sumber air yang
dipantau kualitasnya, ditetapkan
status mutu airnya dan
diinformasikan status mutu
airnya.

x 100%

Jumlah sumber air yang telah
ditetapkan berdasarkan hasil
identifikasi provinsi.

3. Contoh Perhitungan.
Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah sumber air yang dipantau
kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan
status mutu airnya kepada masyarakat sebanyak 1 (satu)
sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah
ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5
(lima) sumber air, prosentasenya menjadi:

7

Prosentase (%) jumlah
sumber air yang
dipantau kualitasnya,
ditetapkan status mutu
airnya dan
diinformasikan status
mutu airnya.

1
x 100%

=

=

20 %

5

Selanjutnya pada tahun berikutnya:
Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu
airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat
bertambah sebanyak 1(satu) sumber air lagi sehingga menjadi 2 (dua)
sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan
berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air,
prosentasenya menjadi 2/5 = 40%.
D.

SUMBER DATA.
1. Laporan instansi teknis terkait antara lain: instansi lingkungan hidup,
Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan.
2. Hasil pemantauan (data primer).
3. Sumber lain yang relevan.

E.

BATAS WAKTU PENCAPAIAN.
1.
2.
3.
4.
5.

F.

Sampai
Sampai
Sampai
Sampai
Sampai

dengan
dengan
dengan
dengan
dengan

tahun
tahun
tahun
tahun
tahun

2009
2010
2011
2012
2013

:
:
:
:
:

20 %
40 %
60 %
80 %
100 %

LANGKAH KEGIATAN.
1. Perencanaan pemantauan kualitas air.
a. Pengumpulan data sekunder.
Data sekunder berguna untuk mendukung interpretasi data primer
yang telah dihasilkan. Data sekunder yang perlu dikumpulkan antara
lain gambaran lokasi pemantauan (panjang, lebar, sumber air,
peruntukan, batas administrasi sumber air, peta lokasi, data
pemantauan sebelumnya (jika ada), kegiatan sekitar lokasi
pemantauan, dan sumber pencemar.
b. Penyusunan tim pemantauan kualitas lingkungan.
Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di setiap daerah provinsi harus
menyusun tim teknis pemantauan yang melibatkan berbagai personil
seperti pada Tabel 2 di bawah ini yang meliputi:

8

Tabel 2. Susunan tim teknis pemantauan kualitas lingkungan.
No.
Peranan
1
Koordinator

2

Personil perencana
program pemantauan

3

Personil pengambil
sample

4

Personil pengujian
laboratorium

5

Personil pengolah
data dan pembuatan
laporan

Uraian Pekerjaan
Bertanggungjawab terhadap
keseluruhan proses pelaksanaan
pemantauan kualitas air
Merencanakan program pemantauan,
dan menyusun proposal sesuai tujuan
pemantauan
Mengambil sampel di badan air sesuai
tujuan pemantauan dan standar yang
ditetapkan
Melaksanakan pengujian parameter
kualitas air sesuai standar yang
ditetapkan
Melakukan pengumpulan data hasil
analisis yang telah diverifikasi dan
divalidasi oleh penyelia laboratorium,
memeriksa integritas data, melakukan
analisis data (membandingkan dengan
kriteria mutu air kelas I sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air,
melakukan penghitungan status mutu
air berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 115
Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air, dan
menginterpretasikan data sesuai
tujuan pemantauan, serta menyusun
laporan sesuai format yang
ditentukan.

c. Penetapan sumber air.
Lokasi pemantauan ditetapkan terutama untuk sumber air yang
diperuntukkan untuk Air Baku Air Minum (ABAM) dengan parameter
sesuai kelas 1 (satu) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
d. Penetapan tujuan pemantauan.
Pemantauan bertujuan untuk mendapatkan data kualitas air sungai
yang bermanfaat bagi masing-masing daerah provinsi sebagai bahan
untuk penyusunan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan air
sungai.
9

e. Survei pendahuluan.
Digunakan sebagai pertimbangan untuk penyusunan perencanaan
pemantauan kualitas sumber air yang dijadikan sebagai ABAM
termasuk dalam hal penentuan titik pantau yang representatif,
frekuensi pengambilan contoh air yang seharusnya diambil, sumber
pencemar yang berpengaruh terhadap sumber air, kemudahan akses,
dan kebutuhan biaya. Survei pendahuluan ini diperlukan untuk
kegiatan pemantauan pada lokasi dan titik pemantauan yang baru.
f. Disain pemantauan.
1). Identifikasi sumber air dan penetapan lokasi sumber air yang
akan dipantau paling sedikit 5 (lima) lokasi sumber air.
2). Penetapan lokasi sumber air diprioritaskan pada sumber air
untuk dijadikan sebagai ABAM.
3). Penetapan titik pantau paling sedikit 3 (tiga) titik yang mewakili
daerah hulu, tengah dan hilir sesuai dengan SNI 6989.57:2008 Air
dan Air limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air
Permukaan, dan – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air
tanah.
4). Penetapan parameter pemantauan sesuai dengan kriteria mutu
air kelas I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
5). Penetapan waktu dan frekuensi pemantauan (waktu pengambilan
contoh air dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu pada
musim hujan dan musim kemarau disesuaikan dengan kondisi
cuaca).
2. Pelaksanaan pemantauan.
a. Pelaksanaan pengambilan contoh air.
Setelah lokasi sumber air yang akan dipantau kualitasnya ditetapkan
dilakukan penetapan titik pantau dengan mengacu pada Metode
Pengambilan Contoh Air Permukaan, SNI 6989.57:2008 Air dan Air
Limbah-Bagian 57 dan selanjutnya dilakukan pengambilan contoh air
pada sumber air yang telah ditetapkan tersebut.
b. Analisis laboratorium.
Pelaksanaan analisis contoh air dapat dilakukan melalui laboratorium
yang kompeten dan menerapkan sistem mutu.
c. Verifikasi dan validasi data.
Laboratorium harus melakukan verifikasi dan validasi data untuk
menjamin mutu data hasil pengujian.
d. Analisis dan interpretasi data.
Analisis dan interpretasi data hasil pengujian merupakan suatu proses
pengolahan data untuk menampilkan informasi yang sesuai dengan
tujuan pemantauan yang mudah dipahami oleh pengguna dan
pengambil kebijakan.
Data hasil pengujian yang telah dikeluarkan oleh laboratorium dan
telah melalui proses verifikasi dan validasi data, harus ditabulasikan
dalam bentuk tabel data.
10

Analisis dan interpretasi meliputi beberapa tahapan seperti yang
tercantum dalam Gambar 4 di bawah ini:
Persiapan data

Pemeriksaan integritas data

Analisis dan interpretasi data
1. Membuat grafik garis atau batang yang menyatakan konsentrasi
parameter dari hulu sampai ke hilir
2. Membandingkan dengan kriteria mutu air pada kelas air yang telah
ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
3. Menghitung status mutu air dengan metode indek pencemar (IP)
dan/atau metode storet sesuai dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air.

Gambar 4. Alur kerja analisis dan interpretasi data
e. Penyebaran Informasi.
Hasil analisis dan interpretasi data dari angka 2 huruf d
diinformasikan kepada masyarakat melalui :
1). Papan pengumuman.
2). Media cetak.
3). Media elektronik.
3. Penetapan status mutu air.
Data hasil analisis laboratorium dilakukan verifikasi dan validasi
kemudian diolah dalam bentuk perhitungan status mutu air dengan
metode storet atau indeks pencemaran sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
G.

RUJUKAN/ REFERENSI.
Peraturan perundang-undangan, pedoman/standar teknis yang terkait
dengan pelayanan informasi status mutu air antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air.
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
11

5. Pedoman/Standar Teknis:
a. SNI 6989.57:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 57: Metoda
Pengambilan Contoh Air Permukaan.
b. SNI 6989.58:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 58: Metoda
Pengambilan Contoh Air Tanah.
III. PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU UDARA AMBIEN
A.

GAMBARAN UMUM.
Fakta empirik menunjukkan bahwa udara merupakan komponen kehidupan
yang sangat penting bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (seperti
tumbuhan dan hewan). Tanpa makan dan minum manusia bisa hidup untuk
beberapa hari, tetapi tanpa udara manusia hanya dapat hidup untuk
beberapa menit saja. Tidak seperti air yang bisa dipilih untuk diminum,
sekali udara tercemar susah untuk membersihkannya. Karena manusia
tidak dapat memilih udara yang dihirup.
Kualitas udara (ambien) sangat berhubungan dengan tingkat kesehatan
masyarakat dan kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentunya akan
meningkatkan penggunaan energi. Semakin banyak energi yang dibakar
pada akhirnya akan meningkatkan pencemaran udara. Udara yang tercemar
(tidak memenuhi baku mutu udara ambien) dapat meningkatkan berbagai
jenis penyakit seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) atau bahkan
dapat menyebabkan kematian apabila kadarnya di udara tidak sehat atau
berbahaya untuk jangka waktu yang panjang.
Penduduk Indonesia diproyeksikan akan meningkat antara tahun 2000
dan 2025 dari sekitar 206 juta menjadi sekitar 274 juta. Pada tahun
2000 kebanyakan penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan,
namun lambat laun jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan semakin
menurun, yang disebabkan oleh perkembangan pedesaan menjadi kotakota baru serta urbanisasi. Apabila pada tahun 2000 jumlah penduduk
perkotaan hanya berjumlah sekitar 47 juta jiwa, pada tahun 2025
jumlah penduduk perkotaan akan meningkat menjadi sekitar 187 juta
jiwa atau sekitar 68% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2025.
Oleh karena itu, tingkat pencemaran udara pada masa yang akan
datang akan semakin meningkat khususnya di wilayah perkotaan dan
industri serta wilayah permukiman.

12

Gambar. 5 Dampak polusi udara ambien pada kesehatan
Penjelasan gambar pencemaran udara dari sumber :
1. Pembakaran terbuka (Open Burning), contoh: pembakaran sampah, TPA
(tempat pengelolaan sampah ).
2. Tranportasi, contoh: sepeda motor, mobil penumpang , bus dan truk.
3. Permukiman, contoh: pemakaian gas LPG, kompor minyak tanah, briket
batu bara dan tungku bakar.
4. Industri, contoh: pencemaran udara dari cerobong pabrik industri agro,
manufaktur dan industri minyak dan gas bumi.
B.

PENGERTIAN.
Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:
a. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia
yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup
dan unsur lingkungan hidup lainnya.
b. Status mutu udara ambien adalah tingkat kondisi mutu udara yang
menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik dalam waktu tertentu
dengan membandingkan baku mutu udara yang ditetapkan.
c. Kawasan padat lalu lintas adalah daerah di wilayah perkotaan yang
memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi terutama pada
jam-jam sibuk pagi dan sore hari.
d. Kawasan permukiman adalah daerah di wilayah perkotaan yang
memiliki tingkat perumahan untuk tempat tinggal yang tinggi.
e. Kawasan Industri adalah kawasan yang merupakan tempat
pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan

13

sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan
kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri.
Contoh: kawasan industri Pulo Gadung di Jakarta, KIM di Medan,
Rungkut di Surabaya, KIMA di Makassar. Apabila di daerah tidak
mempunyai kawasan industri, pengukuran bisa dilakukan pada
daerah sekitar industri yang berpotensi mencemari udara di
sekitarnya.
f. Kualitas udara ambien yang dipantau adalah partikulat atau total
suspended particulate (TSP) dan CO untuk lokasi padat lalu lintas , PM10
(partikel dengan diameter di bawah 10 mikron) dan SO2 untuk kawasan
industri dan O3 dan PM untuk lokasi permukiman.
g. Kualitas udara ambien yang diinformasikan adalah kualitas udara
ambien pada saat dilakukan pengukuran parameter kunci di setiap lokasi
pemantauan (permukiman, padat lalu lintas dan industri) dan
diinformasikan mutu udara ambiennya dalam satu tahun.
C.

INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.
a. Indikator:
Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan
diinformasikan mutu udara ambiennya.
b. Cara Perhitungan:

Prosentase (%)
jumlah
kabupaten/kota
yang dipantau
kualitas udara
ambiennya dan
diinformasikan
mutu udara
ambiennya

=

Jumlah kabupaten/kota yang
dipantau kualitas udara
ambiennya di lokasi/kawasan
padat lalu lintas, kawasan
permukiman, dan kawasan
industri dalam 1 (satu) tahun
dan diinformasikan mutu
udara ambiennya
X 100 %
Jumlah kabupaten/kota
yang ada di wilayah provinsi

c. Contoh Perhitungan:
Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah kabupaten/kota yang dipantau
kualitas udara
ambien dan diinformasikan mutu udara
ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan
permukiman, dan kawasan industri sebanyak 5 (lima)
kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada
di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga
prosentasenya:
Prosentase (%) jumlah
kabupaten/kota yang
dipantau kualitas udara
ambiennya dan
diinformasikan mutu 14
udara ambiennya

5
X 100%

=
25

=

20%

Selanjutnya pada tahun berikutnya:
jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan
diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat
lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri bertambah
sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota sehingga menjadi 10 (sepuluh)
kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah
provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya menjadi
10/25 = 40%.
D.

SUMBER DATA.
1. Hasil pemantauan kualitas udara ambien yang dipantau oleh pemerintah
provinsi
2. Laporan tahunan hasil pemantauan kualitas udara ambien dari
pemerintah kabupaten/kota (instansi lingkungan hidup kabupaten/kota,
Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan).
Tabel 3. Contoh pelaporan udara ambien sekitar industri .

Kualitas Udara Ambien
Parameter
SO2
Partikulat

Satuan

Tanggal 19 januari 2008
Lokasi 1

3

µg/Nm
µg/Nm3

Lokasi 2

Lokasi 3

Lokasi 4

Lokasi 5

12.01
5.21

0.69
ttd

ttd
ttd

0.21
ttd

28.19
57.26

Penjelasan:
Lokasi 1 : lingkungan pabrik utara.
Lokasi 2 : lingkungan pabrik selatan.
Lokasi 3 : lingkungan pabrik barat.
Lokasi 4 : lingkungan pabrik timur.
Lokasi 5 : lingkungan dalam pabrik (dekat cerobong).
Tabel 4. Contoh pelaporan udara ambien sekitar permukiman.
Kualitas Udara Ambien
Parameter
O3 (Ozon)
Partikulat

Tanggal 19 januari 2008

Satuan

Lokasi 1

Lokasi 2

Lokasi 3

Lokasi 4

Lokasi 5

µg/Nm3
µg/Nm3

28.19
57.26

12.01
5.21

0.69
ttd

ttd
ttd

0.21
ttd

Penjelasan:
Lokasi 1 : lingkungan
Lokasi 2 : lingkungan
Lokasi 3 : lingkungan
Lokasi 4 : lingkungan
Lokasi 5 : lingkungan

permukiman utara.
permukiman selatan.
permukiman barat.
permukiman timur.
dalam permukiman (tengah).
15

Tabel 5. Contoh pelaporan udara ambien daerah transportasi :
Kualitas Udara Ambien
Parameter
CO
Partikulat

Tanggal 19 januari 2008

Satuan

Lokasi 1

Lokasi 2

Lokasi 3

Lokasi 4

Lokasi 5

ppm
µg/Nm3

ttd
57.26

ttd
5.21

ttd
ttd

ttd
ttd

1.25
ttd

Penjelasan:
Lokasi 1 : daerah
Lokasi 2 : daerah
Lokasi 3 : daerah
Lokasi 4 : daerah
Lokasi 5 : daerah

padat
padat
padat
padat
padat

lalu
lalu
lalu
lalu
lalu

lintas
lintas
lintas
lintas
lintas

utara.
selatan.
barat.
timur.
tengah.

3. Data statistik kabupaten/kota atau data dari status lingkungan hidup
daerah (SLHD).
4. Hasil pemantauan kualitas udara ambien dari Kementerian Negara
Lingkungan Hidup
5. Sumber lain yang relevan .
E.

BATAS WAKTU PENCAPAIAN.
1.
2.
3.
4.
5.

F.

Sampai
Sampai
Sampai
Sampai
Sampai

dengan
dengan
dengan
dengan
dengan

tahun
tahun
tahun
tahun
tahun

2009
2010
2011
2012
2013

:
:
:
:
:

20 %
40%.
60 %
80%
100%

LANGKAH KEGIATAN.
1. Melakukan inventarisasi hasil laporan kualitas udara ambien dari
kabupaten/kota dari berbagai sumber.
2. Melakukan inventarisasi laboratorium pengukuran udara yang ada di
wilayahnya. Apabila daerah belum memiliki laboratorium yang bisa
melakukan pengukuran udara ambien, daerah bisa melakukan kerjasama
dengan laboratorium daerah lain atau dengan pihak ketiga.
3. Melakukan survei pendahuluan atau mengumpulkan data pada kawasan
padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri di setiap
kabupaten/kota.
4. Menetapkan 3 (tiga) lokasi pemantauan pada setiap kabupaten/kota.
5. Menetapkan kabupaten/kota yang akan dipantau berdasarkan skala
prioritas sesuai dengan kemampuan daerah dalam rangka memenuhi
pencapaian standar pelayanan minimal.
6. Melakukan pengumpulan data melalui pengambilan dan pemeriksaan
contoh udara pada setiap lokasi pemantauan tersebut. Ditetapkan
minimal 1 (satu) titik pantau pada setiap lokasi pemantauan yang diambil
2 (dua) kali dalam setahun. Adapun parameter kunci yang diperiksa TSP
atau PM10, CO, SO2, dan O3 (kawasan padat lalu lintas: TSP dan CO,
16

kawasan permukiman: PM10, dan O3 dan kawasan industri: PM10 dan
SO2). Khusus untuk pemantauan parameter SO2 dan NO2 di udara
ambien dapat menggunakan metoda pasif sampler yang sederhana,
murah dan mudah. Pelaksanaan pemantauan mengacu pada Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep205/BAPEDAL/07/1996
tentang
Pedoman
Teknis
Pengendalian
Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Alat ukur udara ambien pada
Gambar 6.

G.

Gambar 6 . Peralatan pengukur udara ambien (TSP, O3, dan SOx).
7. Hasil pemantauan kualitas udara dari masing-masing lokasi dianalisis
untuk menetapkan status mutu udara ambien dengan mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
8. Penyusunan laporan dan penyampaian informasi dilakukan dengan
melibatkan pihak laboratorium dan unit/instansi terkait di daerah.
G.

RUJUKAN/REFERENSI.
Peraturan perundang-undangan dan pedoman yang terkait dengan
pelayanan informasi status mutu udara ambien antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1999 tentang
Indeks Standar Pencemaran Udara.
3. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman
Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.
4. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
107/BAPEDAL/ II/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan Serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
5. Pedoman Pemantauan Kualitas Udara Jalan Raya Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Tahun 2007.

17

IV. PELAYANAN TINDAK LANJUT PENGADUAN MASYARAKAT AKIBAT ADANYA
DUGAAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP.
A.

GAMBARAN UMUM
Meningkatnya pembangunan di berbagai sektor telah mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut dan didorong oleh
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendapatkan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, menyebabkan makin meningkatnya
pengaduan masyarakat akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah pengaduan
masyarakat yang masuk ke instansi lingkungan hidup provinsi meningkat
setiap tahunnya rata-rata 10% (Tahun 2005-2008).
Salah satu upaya pemerintah untuk menyikapi kondisi tersebut dengan
peningkatan efektivitas pengelolaan pengaduan masyarakat.
Berbagai
ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur dasar hukum
upaya pemerintah tersebut. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan hak
kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 7
ayat
(1) Undang-Undang tersebut juga mengatur, bahwa masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peran tersebut salah
satunya dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi dan/atau
laporan. Hak setiap orang untuk melaporkan adanya potensi maupun
keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga
diatur dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melipui:
1. Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.
2. Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.
3. Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
4. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Dalam rangka menjamin hak dan peran setiap orang, instansi lingkungan
hidup provinsi wajib mengelola pengaduan masyarakat. Tanggung jawab
pengelolaan ini sebagai bentuk pelayanan tindak lanjut terhadap pengaduan
tersebut. Tanggung jawab pemerintah provinsi untuk menerima laporan
telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan
kewajiban untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut dimandatkan oleh
berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang meliputi:
1. Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun.
18

2. Pasal 17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 150
Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi
Biomassa.
3. Pasal 39 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran
Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
4. Pasal 27 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya
telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19
Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran
dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Berdasarkan peraturan ini setiap
orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat
menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada gubernur
atau kepala instansi lingkungan hidup provinsi.
Untuk meningkatkan efektivitas waktu pengelolaan pengaduan masyarakat,
instansi lingkungan hidup provinsi melalui gubernur atau kepala instansi
yang bersangkutan dapat membentuk pos pengaduan lingkungan. Pos
pengaduan ini berfungsi sebagai unit kerja yang mengkoordinir pengelolaan
pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, bagi
instansi yang belum memiliki unit kerja struktural yang bertanggung jawab
untuk mengelola pengaduan. Sedangkan bagi instansi yang telah memiliki
unit kerja struktural dimaksud akan berperan untuk meningkatkan
koordinasi kerja antar unit kerja yang terlibat dalam pengelolaan pengaduan
masyarakat.
Pengaduan masyarakat tentang kasus pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan yang wajib dikelola oleh instansi lingkungan hidup provinsi
meliputi:
1. Usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya bersifat lintas
kabupaten/kota.
2. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi di wilayah 4-12 mil
laut.
3. Usaha dan/atau kegiatan yang penilaian analisis mengenai dampak
lingkungan hidup oleh komisi penilai analisis mengenai dampak
lingkungan hidup provinsi.
4. Usaha dan/atau kegiatan yang izin usaha dan/atau izin lingkungannya
diberikan oleh pejabat provinsi.
B.

PENGERTIAN.
Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:
19

1. Pengaduan adalah pemberitahuan secara tertulis dan/atau lisan
mengenai dugaan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup kepada instansi lingkungan hidup provinsi.
2. Pengelolaan pengaduan adalah upaya terpadu untuk menerima,
menelaah, mengklasifikasi, memverifikasi dan mengajukan usulan tindak
lanjut hasil verifikasi serta menginformasikan proses dan hasil
pengelolaan kepada pengadu.
3. Mengklasifikasi
pengaduan
adalah
mengelompokkan
pengaduan
berdasarkan aspek pencemaran dan/atau perusakan lingkungan serta
aspek kewenangan dari instansi penerima pengaduan.
4. Verifikasi pengaduan adalah kegiatan untuk memeriksa kebenaran
pengaduan.
5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemaran lingkungan hidup mencakup pencemaran air, laut, tanah,
dan udara termasuk dalam hal ini yang berbentuk debu, kebauan,
getaran dan kebisingan.
6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan.
Perusakan lingkungan hidup mencakup perusakan tanah, lahan dan
hutan.
C.

INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.
1. Indikator
Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.
Jumlah pengaduan
masyarakat akibat adanya
dugaan pencemaran
dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang
ditindak lanjuti.

2. Cara Perhitungan
Prosentase (%)
jumlah pengaduan
masyarakat akibat
adanya dugaan
pencemaran
dan/atau perusakan
lingkungan hidup
yang ditindak lanjuti.

=

x 100%
Jumlah pengaduan yang
diterima instansi
lingkungan hidup provinsi
dalam 1 (satu) tahun.

20

3. Contoh Perhitungan:
Misalkan : Pada tahun 2009 instansi lingkungan hidup provinsi
menerima 50 (lima puluh) pengaduan. Dari 50 (lima puluh)
pengaduan, 30 (tiga puluh) pengaduan telah ditindaklanjuti,
sehingga prosentase pengaduan yang ditindaklanjuti sebesar
60 %.
Prosentase (%) jumlah
pengaduan
masyarakat akibat
adanya dugaan
pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan
hidup yang ditindak
lanjuti
D.

30
=

=

60%

50

SUMBER DATA.
Data didapat dari berbagai sumber, baik secara lisan maupun tertulis antara
lain:
1. Masyarakat.
2. Lembaga swadaya masyarakat.
3. Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
4. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
5. Instansi terkait di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota.
6. Media cetak dan elektronik.

E.

BATAS WAKTU PENCAPAIAN.
1.
2.
3.
4.
5.

F.

Sampai
Sampai
Sampai
Sampai
Sampai

dengan
dengan
dengan
dengan
dengan

tahun
tahun
tahun
tahun
tahun

2009
2010
2011
2012
2013

:
:
:
:
:

60%
70%
80%
90%
100%

LANGKAH KEGIATAN.
Instansi lingkungan hidup provinsi paling lama jangka waktu 7 (tujuh) hari
setelah menerima pengaduan dari masyarakat melakukan pengelolaan
pengaduan dengan tahapan:
1. Mencatat pengaduan dalam buku pengaduan.
2. Menelaah dan mengklasifikasikan pengaduan.
Telaahan dan kalsifikasi pengaduan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari
sejak diterimanya pengaduan. Dalam rangka telaahan dan klasifikasi
dapat dilakukan koordinasi dengan instansi/pihak terkait. Berdasarkan
hasil telaahan dan klasifikasi pengaduan dapat dikategorikan:
21

a. Tidak termasuk pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, segera diteruskan kepada instansi teknis yang
membidangi usaha dan/atau kegiatan dengan tembusan kepada pihak
yang mengadukan.
b. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, namun bukan merupakan kewenangan instansi lingkungan
hidup provinsi segera diserahkan kepada Kementerian Negara
Lingkungan Hidup atau kepada instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
c. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup dan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup
provinsi, segera dilakukan verifikasi lapangan paling lama dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak selesainya telaahan dan
klasifikasi.
3. Melakukan verifikasi pengaduan.
Pelaksanaan verifikasi harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut pelaksanaan
kegiatan verifikasi belum selesai dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari. Verifikasi dilakukan dengan berpedoman pada:
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004
tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran
dan/atau Perusakan Lingkungan.
b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002
tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup
Bagi Pejabat Pengawas.
c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002
tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di
Provinsi/Kabupaten/Kota.
d. Pedoman Verifikasi Pengaduan.
Berdasarkan hasil verifikasi, tim/petugas verifikasi wajib membuat
laporan verifikasi, termasuk mengajukan usulan penanganan dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya verifikasi kepada
pejabat yang menugaskan verifikasi.
4. Usulan tindak lanjut.
Pejabat yang berwenang di instansi lingkungan hidup provinsi harus
memberikan keputusan menolak atau menerima usulan tersebut dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan.
Usulan tindak lanjut penanganan dapat berupa pembinaan teknis atau
penegakan hukum (administrasi, perdata dan pidana) sesuai dengan hasil
verifikasi. Apabila menyetujui usulan tindak lanjut penanganan
tim/petugas verifikasi, selanjutnya ditindaklanjuti atau diajukan atau
diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Usulan
22

tindak lanjut penanganan merupakan akhir dari tahapan tindak lanjut
(pengelolaan) pengaduan masyarakat yang perlu dilakukan verifikasi.
Jenis usulan tindak lanjut penanganan berdasarkan hasil verifikasi
meliputi:
a. Diteruskan kepada instansi teknis yang berwenang apabila bukan
merupakan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
b. Dilakukan pembinaan teknis dan pemantauan, apabila tidak terjadi
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
c. Dikenakan sanksi administrasi (oleh pejabat yang berwenang), apabila
telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
tetapi tidak mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
d. Dikenakan sanksi administrasi dan/atau penyelesaian sengketa
lingkungan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, apabila telah
terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan
mengakibatkan
terjadinya
pencemaran
dan/atau
perusakan
lingkungan hidup, dan telah menimbulkan kerugian bagi orang atau
lingkungan hidup.
e. Dilakukan sanksi administrasi dan/atau penegakan hukum pidana,
apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup atau ada indikasi tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
f. Direkomendasikan kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan
atau meninjau kembali kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah,
apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup karena belum adanya atau kesalahan kebijakan pemerintah
atau pemerintah daerah.
Mekanisme pengelolaan pengaduan sebagaimana dijelaskan di atas
tertuang dalam bagan alir Gambar 7.

23

Pengaduan secara
tertulis atau lisan

Instansi lingkungan hidup
provinsi.
7 hr

Instansi terkait di
provinsi

Telaahan dan klasifikasi
pengaduan
7 hr

7 hr

Bukan pengaduan
kasus lingkungan
hidup.

Pengaduan kasus lingkungan hidup

Pengaduan kasus
lingkungan hidup,
bukan kewenangan
provinsi

14 hr

Verifikasi
30hr
+30 hr
30 hr + 30 hr

Instansi
teknis yang
berwenang

Usulan
penanganan
kepada
pejabat yang
berwenang

Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup

Instansi
lingkungan hidup
kabupaten/kota

Usulan penanganan oleh tim
7 hr

7 hr

14 hr

Menerima

14 hr

Atasan pengawas/
pemberi perintah

Menolak

Arah tindak
lanjut

Gambar 7. Mekanisme pengelolaan pengaduan kasus lingkungan hidup
G.

RUJUKAN/REFERENSI.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan tindak lanjut
pengaduan masyarakat akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
antara lain:
1. Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
2. Peraturan Pemerintah:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian
Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan
Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
3. Peraturan/Keputusan Menteri:
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001
tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah.
24

b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002
tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup
Bagi Pejabat Pengawas.
c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002
tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di
Provinsi/Kabupaten/Kota.
d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004
tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran
dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.
4. Peraturan/Keputusan Kepala Daerah.
Peraturan daerah provinsi atau keputusan gubernur yang mengatur
tentang pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi V MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,
ttd
Ilyas Asaad.

25