UPAYA-UPAYA SIMBOLIS MENGIMBANGI “SERANGAN” KEPADA KPK.

UPAYA-UPAYA SIMBOLIS MENGIMBANGI “SERANGAN” KEPADA KPK
Oleh: GPB Suka Arjawa
Berbagai pesan simbolis terlihat dalam hubungan segitiga antara KPK, Kepolisian dan Politisi.
Termasuk di dalamnya partai dan kelompok politik. Setelah Kompol Budi Gunawan dinyatakan
tersangka oleh KPK, hubungan antara lembaga ini dengan kepolisian tegang. Ketegangan itu
diperparah lagi oleh kelompok partai dan politisi yang ikut-ikutan memojokkan komisioner
KPK. Saat ini sedang berlangsung berbagaii tuduhan yang ditimpakan kepada ketua KPK. Pada
saat yang sama, berbagai pihak yang dipanggil lembaga ini sebagai saksi, tidak bersedia hadir.
Tidak hanya dari pihak kepolisian dalam kasus Budi Gunawan tetapi juga pihak lain seperti Jero
Wacik serta Suryadharma Ali. Suasana seperti ini, dalam lingkup sepakbola, merupakan strategi
untuk mengeroyok lawan saat lawan sedang lemah mental. Inilah merupakan cara jitu membobol
lawan pada saat lawan sedang dalam keadaan kedodoran. Komisi Pemberantasan Korupsi tibatiba saja terasa kedodoran setelah menyatakan Budi Gunawan sebagai tersangka. Akan tetapi,
jangan lupa di sebuah stadion seangker Nou Camp, dukungan penonton akan mampu
membangkitkan tim yang sedang terpuruk, apalagi misalnya tim itu tuan rumah. Jelas rakyat
Indonesia adalah penonton disini.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara simbolis KPK mendapatkan perlawanan secara
komplit. Tidak bersedianya Jero Wacik dan Suryadharma Ali sebagai saksi, dapat saja dikatakan
sebagai sebuah perlawanan individual terhadap lembaga ini. Masing-masing orang mempunyai
penafsiran tersendiri terhadap pemanggilan tersebut. Akan tetapi dalam hal ini dapat dikatakan
sebagai perlawanan karena secara sosial seharusnya warga bersedia menjadi saksi membantu
lembaga negara untuk memperjelas masalah. Pemanggilan itu sesungguhnya untuk memperjelas

persoalan yang dihadapi KPK. Dari sisi kelembagaan, perlawanan kepada KPK memang masih
tidak kelihatan. Akan tetapi kalau kemudian aparatur berpengaruh dari lembaga itu berbicara,
dalam konteks teori pilihan rasional dapat ditafsirkan sebagai sebuah perlawanan yang bersifat
kelembagaan juga. Budi Gunawan merupakan tokoh di lembaga kepolisian, Hasto Kristiyanto
juga orang berpengaruh di PDI Perjuangan. Baik Jero Wacik maupun Suryadarma Ali juga
merupakan individu berpengaruh. Dengan demikian, boleh dikatakan secara individual maupun
kelembagaan, KPK mendapat serangan bertubi-tubi.
“Serangan” simbolis akan menjadi berbahaya bagi apapun (apalagi lembaga), jika gerakan itu
dilakukan secara serempak. Keserempakan ini memperlihatkan adanya persetujuan antara
beberapa pihak yang melakukan penyerangan itu. Artinya mereka telah sepakat, mempunyai
alasan bahwa obyek itu merugikan, dalam hal ini eksitensi mereka. Dari sinilah kemudian
muncul berbagai argumen pembenar dari masing-masing pihak. Dan di dalam keserempakan itu,
argument tersebut saling mendukung satu sama lain. Berbahayanya adalah apabila kemudian
keserempakan ini mencoba menyebarkan argumen pembenar itu secara meluas ke masyarakat
dengan alat-alat canggih tertentu. Biasanya lembaga besar dan berpengaruh, mempunyai mediamedia tertentu untuk menyebarkan argument ini demi pembenaran mereka, walaupun sepihak.

Yang akhirnya terjadi adalah hegemoni argument pembenar yang menguasai masyarakat,
meskipun sesungguhnya argument tersebut tidak benar. Di jaman teknologi komunikasi yang
amat modern sekarang, hal inilah yang paling ditakutkan. Bisa dilihat, bagaimana perang katakata, argumentasi yang masing-masing membenarkan langkah yang dilakukan KPK, Kepolisian,
Budi Gunawan, Jero Wacik dan sebagainya berseliweran di tekevisi dan jagat maya sekarang.

Menghadapi keadaan seperti ini, tidak lain kerjakeras sosial harus ditingkatkan untuk
mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Masyarakat tidak boleh hanya menerima satu
sumber saja dari pemberitaan itu, melainkan melakukan croscek dengan pendapat lain. Artinya
interaksi sosial harus ditingkatkan, terutama dalam hal menanggapai upaya hegemonisasi
pendapat ini.
Meskipun yang mendapat “serangan” adalah komisioner, tetapi seluruh komisoner KPK ini
mendapat tuduhan macam-macam. Setelah Bambang Widjoyanto, tiga komisioner lain,
termasukketua KPK juga dilaporkan mempunyai tindakan yang tidak baik di masa lalu. Maka,
jika dilihat bahwa keempat komisioner tersebut telah dipermasalahkan, dapat ditafsirkan bahwa
serangan juga ditujukan kepada lembaga KPK. Paling tidak kinerja lembaga ini akan terganggu
dengan adanya berbagai tuduhan kepada unsur-unsurnya tersebut. Jadi, masuk akal kalau
dikatakan memang ada upaya-upaya melemahkan KPK. Salah satu upaya sistematik
melemahkan sebuah lembaga adalah dengan “menyerang” pihak yang menjalankan lembaga
tersebut. Jika serangan dilakukan kepada aktor lembaganya, maka paling tidak ke depan,
meskipun lembaga ini masih ada, tetapi ada potensi terkoreksi. Maksudnya, lembaga tersebut
akan dipimin oleh orang-orang yang sudah tidak idealis lagi, berpihak kepada kelompokkelompok tertentu, atau sekedar menjalankan ritual tugas saja, untuk selanjutnya pelan-pelan
akan kembali mendapat kecaman dan akhirnya hilang, tercerabut dari struktur pemerintahan dan
negara Indonesia.
Apabila lembaga ini hilang dari struktur pemerintahan Indonesia, sungguh merupakan mara
bahaya. Reformasi yang digulirkan tahun 1998 itu salah satu tujuannya adalah memberanatas

korupsi. Lembaga KPK merupakan penggerak, sekaligus symbol perjuangan dari pemberantasan
korupsi. Jadi ia harus mutlak dipertahankan, tidak saja sebagai symbol tetapi juga penggerak
peemberantasan korupsi. Merupakan kekeliruan besar bagi negara dan bangsa Indonesia kalau
sampai membiarkan lembaga ini hilang dari struktur pemerintahan dan negara Indonesia.
Mungkin saja komisionernya berganti, tetapi lembaga ini harus tetap ada dengan komisioner
yang sesuai dengan visi dari KPK.
Karena itu, simbolisisasi dan gerakan perjuangan untuk mempertahankannya harus ada. Apabila
para elit dan lembaga-lembaga kelihatan memperlemah kekuatan KPK, maka pengimbangnya
tidak ada lain dari gerakan masyarakat. Datangnya ratusan orang ke gedung KPK ketika
Bambang Widjoyanto ditangkap merupakan pernyataan simbolis mendukung lembaga itu.
Berbagai perwakilan seperti intelektual, kampus, profesi, lembaga swadaya yang mengeluarkan

sikap, juga merupakan simbolisasi dukungan. Gerakan ini bukan sekedar komponen tetapi
bermakna bangsa Indonesia tetap mendukung tegaknya KPK. ****