Comparison Of Validity Apache Ii, Sofa And Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient.

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

1

Jurnal Anestesiologi Indonesia

2

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia nomor ini memuat artikel penelitian mengenai Kadar
Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien
Kraniotomi, Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur
Anestesi Spinal Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria, Efek Blok
Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik
Pascabedah Herniorafi, Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache II, Sofa, Dan
Customized Sequential Organ Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan
Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif, Ketamin, Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada Anak

dan Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria
dengan anestesi spinal

Semoga bermanfaat

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Ucapan Terima Kasih:
Kepada Mitra Bestari
Jur al A estesiologi I do esia Vol. VII No. Tahu

:

Prof. dr.Soe arjo, SpA , KMN, KAKV Se ara g
Prof. dr.Marwoto, SpA , KIC, KAO Se ara g
Dr. dr. Moha ad Sofya Harahap, SpA , KNA Se ara g

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015


3

Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR ISI
PENELITIAN

Hal

Bondan Irtani Cahyadi, Hariyo Satoto, Heru Dwi Jatmiko

67

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena Perioperatif Pada Pasien
Kraniotomi
The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P Level In Craniotomy Patient

Syafri Kamsul Arif, Iwan Setiawan


79

Perbandingan Efek Kecepatan Injeksi 0,4 ml/dtk Dan 0,2 ml/dtk Prosedur Anestesi Spinal
Terhadap Kejadian Hipotensi Pada Seksio Sesaria
A Comparison Between The Effect Of Injection Rate Of 0,4 ml/sec And 0,2 ml/sec In Spinal
Anesthesia Procedure On Hypotension Incidence In Sectio Caesaria
Nur Asdarina , Syamsul Hilal Salam, A. Husni Tanra

89

Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik
Pascabedah Herniorafi
The Effect of Transversus Abdominis Plane Block Landmark Technique on the Analgesic Requirement
Postoperative Herniorrhaphy

Stefanus Taofik, Tjokorda Gde Agung Senapathi, Made Wiryana

102

Perbandingan Validitas Sistem Skoring Apache Ii, Sofa, Dan Customized Sequential Organ

Failure Assessment (Csofa) Untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien Non-Bedah Yang
Dirawat Di Ruang Perawatan Intensif
Comparison Of Validity Apache Ii, Sofa And Customized Sequential Organ Failure Assessment
(Csofa) For Predicting Non-Surgical Patient
Nur Hajriya Brahmi, Doso Sutiyono

114

Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi
Pada Anak
Ketamin And Peritonsiller Infiltration As Post Operative Tonsillectomi Pain Management In
Children.
Uripno Budiono

120

Meperidin, ketamine dan klonidin efektif untuk terapi menggigil pada Sectio Secaria dengan
anestesi spinal
Meperidine, ketamine and clonidine effective for the treatment of shivering in Sectio Secaria with
spinal anesthesia


Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015
Terakreditasi DIKTI dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019
Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014

4

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Kadar Substansi P Serum Pada Pemberian Parasetamol Intravena
Perioperatif Pada Pasien Kraniotomi
The Effect Of Perioperative Intravenous Paracetamol On Serum Substance P
Level In Craniotomy Patient

Bondan Irtani Cahyadi *, Hariyo Satoto*, Heru Dwi Jatmiko*

* Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Korespondensi/ Correspondence: [email protected]


ABSTRACT
Background: Pain management after craniotomy is very important, 60-84% patient
experience moderate to severe pain. Postoperative pain especially transmitted by C
fiber neurons involved neuropeptide Substance P (SP). Postoperative opioid analgesia
gives some adverse effect, such as allergy, gastrointestinal effect, nausea. vomiting,
hypotension, sedation, repiratory depression and urinary retention. Paracetamol has
opioid sparing effect that may reduce the need of opioid analgesia, and also inhibits
SP mediated hyperalgesia.
Objective: To study the effect of perioperative intravenous paracetamol on SP level in
post craniotomy patient
Methods: Forty subject aged 18 – 45 years underwent elective craniotomy
intracerebral tumour resection who have ASA physical status I-II, divided into 2
groups. P group received 1000 mg intravenous paracetamol every 6 hours during 24
hours postoperative, K group received placebo. Postoperative analgesia using
morphine syringe pump 0,01 mg/Kg/hour titration to VAS. SP serum levels were
examined with Cusabio substance Elisa kit ELx 800 before and 12 hours after surgery.
Visual Analog Scale noted in 1, 6, 12, and 24 hours postoperative. Total amount of
morphine given, nausea and vomiting was noted.
Results: Preoperative SP level in P group was 16,89± 31,395 pg/ml and 36,58 ±

46,960 pg/ml postoperatively. Preoperative SP Level in K group was 9,58 ± 10,656 pg/
ml and 26,09 ± 22,506 pg/ml postoperatively. SP level elevation in P group and K
group were 19,69± 28,625 pg/ml and 16,51 ± 14,972 pg/ml. Postoperative SP level
and the elevation were not significantly different between two groups (p=0,793 and
p=0,540), VAS and total amount of morphine given was significantly different
(p 2 mg/dL), riwayat atau
suspek
konsumsi
alkohol
atau
penyalahgunaan obat, hamil atau
menyusui, keterbatasan komunikasi
karena gangguan kesadaran atau
kognitif dan hipertensi tidak terkontrol.
Sampel sebanyak 40 subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,
dibagi dalam dua kelompok: kelompok
K mendapat infus NaCl 0,9% 100 cc
tiap 6 jam selama 24 jam, kelompok P
mendapat infus parasetamol 1000 mg

(100 cc) tiap 6 jam selama 24 jam.
Kedua kelompok mendapat analgetik
morfin syring pump 0,01 mg/kgBB/jam,
dosisnya dinaikkan bila nilai VAS > 3.
Kebutuhan analgetik opioid
pasca
operasi dan komplikasi pasca operasi
seperti mual, muntah dan sedasi dicatat.
Pemberian analgetik OAINS lain tidak
diperbolehkan. Sampel darah untuk
69

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pemeriksaan substansi P diambil
sebelum operasi dan 12 jam setelah
operasi.
HASIL
Didapatkan
40

subjek
penelitian masuk dalam kriteria
inklusi. 2 orang subjek dieksklusi
karena mengalami kejadian tidak
diharapkan
yaitu
satu
subjek
meninggal saat operasi (kelompok
kontrol) da satu subjek dengan
penundaan operasioleh dokter bedah
(kelompok parasetamol). Dengan
demikian, sampel penelitian ini adalah
sebanyak 19 pasien dari kelompok K
dan 19 pasien dari kelompok P. Pada
kelompok kontrol, diperoleh subjek
laki-laki berjumlah 6 orang dan subjek
perempuan berjumlah 13 orang.Pada
kelompok perlakuan, diperoleh 5 orang
subjek laki-laki dan 14 orang subjek

perempuan (Tabel 1). Rerata usia
untuk kelompok kontrol adalah 37,95±
11,754 dan untuk kelompok perlakuan
42,47 ± 12,712 (p = 0,262). Hal ini

menunjukkan bahwa usia subjek
penelitian diantara kedua kelompok
tidak berbeda bermakna. Rerata Body
Mass Index (BMI) untuk kelompok
kontrol adalah 21,69± 2,532 dan untuk
kelompok perlakuan 22,58 ± 2,626 (p =
0,315). Lama operasi untuk kedua
kelompok tidak berbeda bermakna,
yaitu pada kelompok kontrol 277,89±
77,358 menit dan kelompok perlakuan
293,68 ± 96,348 menit dengan p =
0,581 (Tabel 3). Kedua kelompok dapat
dikatakan homogen.
Penilaian tingkat keparahan
nyeri pasca operasi menggunakan

Visual Analog Scale (VAS). Pada Tabel
4, rerata nilai VAS 1 jam pasca operasi
pada kelompok kontrol adalah 2,42 ±
1,017, berbeda bermakna dengan rerata
nilai VAS 1 jam pasca operasi pada
kelompok perlakuan, yaitu 1,11 ± 1,243
(p = 0,002). VAS 6 jam pasca operasi
pada kelompok kontrol 2,37 ± 0,761
dan pada kelompok perlakuan 1,11 ±
1,197, berbeda bermakna dengan nilai p

Tabel 1. Karakteristik Data

Kelompok

Variabel

p

Kontrol

Perlakuan

6 (31,6%)
13 (68,4%)

5 (26,3%)
14 (73,7%)

0,721¥

Umur

37,95 ± 11,754

42,47 ± 12,712

0,262¤

BMI
Lama operasi

21,69 ± 2,532
277,89 ± 77,358

22,58 ± 2,626
293,68 ± 96,348

0,315¤
0,581¤

Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan

Keterangan :
¥
Pearson Chi-Square Test
¤
Independent t-Test
70

Jurnal Anestesiologi Indonesia

= 0,001. VAS 12 jam pasca operasi pada
kelompok kontrol 1,89 ± 0,459, berbeda
bermakna jika dibandingkan dengan VAS
12 jam pasca operasi pada kelompok
perlakuan , yaitu 1,11 ± 1,100 (p = 0,008).
Setelah 24 jam pasca operasi, rerata nilai
VAS pada kelompok kontrol adalah 1,95 ±
0,524 dan pada kelompok perlakuan 1,00
± 1,000, berbeda bermakna dengan p =
0,001 (Tabel 2).
Intensitas nyeri pasca kraniotomi
pada kelompok perlakuan lebih rendah
dibanding kelompok kontrol. Nilai VAS
pada kelompok perlakuan stabil diantara
nilai 1 dan 1,5 dalam 24 jam pasca
kraniotomi. Nilai VAS pada kelompok
kontrol dalam 6 jam pasca kraniotomi
sekitar 2-2,5 kemudian turun menjadi 1,5-

2 pada 12-24 jam pasca kraniotomi (Grafik
1).
Rerata total pemakaian morfin
sebagai analgetik pasca operasi pada
kelompok kontrol adalah 18,97 ± 3,946
mg, berbeda bermakna dibanding dengan
total pemakaian morfin pada kelompok
perlakuan, yaitu 11,95 ± 5,876 mg (p <
0,001). Pemakaian morfin lebih sedikit
pada kelompok perlakuan dibanding
kelompok kontrol (Tabel 3).
Pada diagram batang tampak
bahwa
pemakaian
morfin
sebagai
analgetik pasca kraniotomi lebih sedikit
pada kelompok perlakuan dibandung
kelompok kontrol dalam 24 jam pasca
kraniotomi. Selisih jumlah morfin

Tabel 2. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi

Kontrol

Perlakuan



2,42 ± 1,017
2,37 ± 0,761
1,89 ± 0,459
1,95 ± 0,524

1,11 ± 1,243
1,11 ± 1,197
1,11 ± 1,100
1,00 ± 1,000

0,002
0,001
0,008
0,001

VAS
VAS 1
VAS 6
VAS 12
VAS 24
Keterangan :
§
Mann-Whitney Test

Grafik 1. Nilai VAS 1, VAS 6, VAS 12 dan VAS 24 jam pasca operasi

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

71

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sebanyak 7,02 mg (Grafik 2)
Pada kelompok kontrol ditemukan
kejadian mual pada 2 subjek dan muntah
pada 2 subjek, sedangkan pada kelompok
kontrol tidak ditemukan kejadian mual
atau muntah (Tabel 4).
Rerata kadar substansi P sebelum
operasi pada kelompok kontrol adalah
9,58± 10,656 pg/ml, tidak berbeda
bermakna dengan kadar substansi P
sebelum
operasi
pada
kelompok
perlakuan, yaitu 16,89 ± 31,395 pg/ml (p =
0,918). Hal ini menunjukkan bahwa kadar
substansi P sebelum operasi pada kedua
kelompok relatif sama atau homogen.
Setelah 12 jam pasca operasi, rerata kadar
substansi P pada kelompok kontrol
menjadi 26,09± 22,506 pg/ml, sedangkan

pada kelompok perlakuan 36,58 ±
46,960pg/ml. Pada kedua kelompok,
peningkatan kadar substansi P setelah 12
jam pasca operasi berbeda bermakna (p
< 0,001) (Tabel 5)
Kadar substansi P kelompok
kontrol 12 jam pasca operasi meningkat
sebesar

16,51

±

14,972pg/ml.

Sedangkan pada kelompok perlakuan,
peningkatannya sebesar 19,69 ± 28,625
pg/ml. Kedua peningkatan ini tidak
berbeda bermakna dengan p = 0,540
(Tabel 6).
Pada penelitian ini, pemberian
parasetamol

intravena

perioperatif

memberikan tingkat analgesia

yang

Tabel 3. Pemakaian analgetik morfin saat pasca operasi

Kelompok

Morfin

Kontrol

18,97 ± 3,946

Perlakuan

11,95 ± 5,876


< 0,001

Keterangan :
§
Mann-Whitney Test

Grafik 2. Pemakaian morfin pasca operasi

72

Jurnal Anestesiologi Indonesia

lebih

baik

dibanding

dengan

Durasi analgesia juga menjadi lebih

kontrol.Intensitas nyeri dalam 24 jam

lama dan waktu pemberian analgetik

setelah operasi (dinilai dengan VAS

rescue pertama juga tertunda lebih lama

pada jam 1, 6, 12 dan 24 pascaoperasi)

dengan

lebih

pemberian

intravena.11

parasetamol dibanding tanpa pemberian

Efek

rendah

dengan

pemberian
analgesia

parasetamol
parasetamol

parasetamol. Hal ini dikarenakan onset

kemungkinan melalui beberapa cara

analgesik parasetamol tercapai dalam

yaitu:

waktu singkat dalam 5-10 menit setelah

prostaglandin di sistem saraf pusat (aksi

pemberian

analgesik

sentral), memblok timbulnya impuls

puncak tercapai dalam waktu 1 jam dan

nyeri di perifer, memperkuat jalur

bertahan selama 4-6 jam.8

desendens

intravena.Efek

menghambat

penghambat

sintesis

nyeri

Nyeri pasca bedah, khususnya

serotonergik, inhibisi produksi nitric

pada operasi kraniotomi paling sering

oxide (NO) dan hiperalgesia yang

terjadi dalam 48 jam setelah operasi,

diinduksi

terutama setelah 12 jam pasca operasi.2

(NMDA) atau substansi P, dan berperan

Dengan

pada jalur endokanabinoid dan opioid.12

pemberian

perioperatif,

nyeri

parasetamol

akut

ini

dapat

-15

tertangani. Hal ini sesuai dengan
penelitian

Savvina

et

al.

N-methyl-D-aspartate

Pemakaian

morfin

sebagai

yang

analgesia pasca kraniotomi berkurang

menyebutkan

bahwa

pemberian

sebesar 37 % pada penelitian ini. Hal

parasetamol

sebagai

analgesia

ini sesuai dengan penelitian Remy et al.

preemptif pada pasien pediatrik yang

yang menyebutkan bahwa parasetamol

menjalani bedah saraf memberikan

memiliki opioid sparing effect, dimana

analgesia pasca operasi yang adekuat,

pada bedah mayor yang memerlukan

dimana nilai VAS pasca operasi 0-2

morfin sebagai analgesia pasca operasi,

atau tidak nyeri.9 Wininger et al. juga

kebutuhan morfin berkurang 20%.12

menyebutkan

bahwa

pemberian

Nour AA juga menyebutkan

parasetamol intravena juga mengurangi

bahwa

nyeri dalam 24 jam pasca operasi pada

mengurangi

operasi bedah laparoskopi abdomen.

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

10

parasetamol
konsumsi

intravena
Patient

Controlled Analgesia (PCA) morfin

73

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Kejadian mual muntah pasca operasi

Kelompok
Kontrol
Perlakuan

Mual
2
0

Muntah
2
0

Tabel 5. Kadar Substansi P sebelum dan 12 jam setelah operasi

Kelompok
Kontrol
Perlakuan
p (tidak berpasangan)

SP pre
9,58 ± 10,656
16,89 ± 31,395
0,918§

SP post
26,09 ± 22,506
36,58 ± 46,960
0,793§

p (berpasangan)
40 detik menggunakan bupivacaine
0,75% ditambahkan morfin 200 mcg,
didapatkan hasil bahwa injeksi AS yang
cepat dengan bupivakain hiperbarik
tidak mempengaruhi penyebaran obat
anestesi lokal, dan tidak ada perbedaan
bermakna terhadap insiden hipotensi
dan mual muntah.8 Prakash dkk (2010),
menggunakan kecepatan injeksi 0,38
mL/dtk dan 0,05 mL/dtk dan mendapat
kesimpulan bahwa kecepatan injeksi
AS yang berbeda pada pasien geriatri
yang menjalani TUR-P tidak memiliki
perbedaan dalam hal karakteristik
blok.9
Dengan adanya hasil dan efek
yang
bervariasi
dari
berbagai
penelitian, penelitian ini bertujuan
melihat injeksi anestesi spinal yang
lebih lambat dapat mengurangi insiden
hipotensi pada seksio sesaria tanpa
memengaruhi onset blok anestesi.
METODE
Penelitian ini uji klinis acak dan
tersamar tunggal, dilakukan dengan
mengambil populasi ibu hamil usia 1840 tahun dengan IMT 18-40 kg/
m2kategori pasien ASA PS 1-2 yang
direncanakan persalinan seksio sesaria.
Dari total 90 populasi diambil 52 yang
masuk dalam criteria inklusi dipilih
secara counsecutive random sampling.
8 sampel di keluarkan dari penelitian, 2
karena obat anestetik local tidak
adekuat, 6 sampel dikeluarkan Karena
tidak sesuai kecepatan injeksi, tiap

81

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kelompok masing-masing 24 sampel,
menggunakan
anestestik
local
Bupivacain 0,5% 10 mg ditambahkan
Fentanyl 25 mcg.
Sampel dibagi dalam dua
kelompok,
yang
pertama
yang
mendapat perlakukan di injeksi anestesi
spinal dengan kecepatan 0,4 mL/dtk
selanjutnya disebut kelompok IC.
Sedangkan kelompok yang kedua
mendapatkan perlakuan injeksi anestesi
spinal dengan kecepatan 0,2 mL/dtk
selanjutnya disebut kelompok IL.
Pasien di persiapkan terlebih
dahulu
dengan
premedikasi
ondansentron 4 mg dan Ranitidin 50
mg, Pada saat tiba di kamar operasi,
pasien dipasang alat untuk monitor
tanda vital yang akan menjalani operasi
seksio sesaria, diberikan preloading
dengan larutan kristaloid ringer laktat
10 – 15 ml/kgbb selama 15 menit
sebelum injeksi anestesi spinal,
kemudian tanda vital diukur sebelum
pasien di posisikan untuk left lateral
decubitus selanjutnya disebut T0.
Anestesi
spinal
dilakukan
dengan menggunakan jarum spinal
(Spinocan®)no.25G yang di insersi
padacelah
vertebra
lumbal
3-4
menggunakan jarum disposible 3cc
dengan pasien posisi left lateral
decubitus (LLD).
Kelompok IC menerima bupivakain
hiperbarik 10 mg ditambahkan Fentanyl
25 µg dengan kecepatan injeksi 0.4 ml/
detik dengan total waktu injeksi 6 detik,

sedangkan kelompok IL menerima
bupivakain
hiperbarik
10
mg
ditambahkan Fentanyl 25 µg dengan
kecepatan injeksi 0.2 ml/detik dengan
total waktu injeksi 12 detik, di ukur
dengan menggunakan alat pencatat
waktu.
Setelah
injeksi,
pasien
diposisikan supine dengan bantal di
bawah kepala dan di berikan O2 lewat
nasal kanul 3 L/menit. Akhir injeksi
anestetik local adalah waktu untuk
mengukur ketinggian blok dinilai
menggunakan tes “pinprick”. Pada
garis midklavikular kiri dan kanan
observasi ketinggian blok dilakukan
setiap menit sampai dengan didapatkan
blok sensoris menggunakan tes pinprick
setinggi thorakal 6 dan blok motorik
dengan skala bromage 4, selanjutnya
operasi dapat dimulai.
Tekanan darah sistolik, tekanan
darah diastolic dan tekanan arteri rerata
di ukursetiapmenitsampaidengan 15
menitpertama, setelahitusetiap lima
menitsampai 35 menit atau sampai
selesai operasi. TD diukur dengan
metode non invasive. Insiden hipotensi
dicatat apabila tekanan darah turun
20% dari T0 atau TAR 4 detik,
84

Jurnal Anestesiologi Indonesia

beberapa peneliti menggunakan syringe
pump untuk akurasi ketepatan injeksi,
berbeda dengan penelitian ini kecepatan
injeksi di ukur menggunakan stopwatch
dengan posisi injeksi LLD.
Penelitian ini dilakukan pada
wanita hamil, dimana wanita hamil
dihubungkan dengan blok sensoris yang
lebih tinggi setelah injeksi dengan
bupivakain hiperbarik, faktor yang
dapat mempengaruhi antara lain,
kurvatur tulang belakang, peningkatan
tekanan intra abdomen, melebarnya
vena – vena di ruang epidural, dan
berkurangnya ruang dalam daerah
subarachnoid menjadi lebih sempit,
juga dapat dihubungkan dengan
peningkatan sensitifitas neuronal akibat
meningkatnya hormon progesteron.
Singh
et
al(2007),
menyimpulkan bahwa kecepatan injeksi
yang berbeda tetap memberikan efek
hipotensi dengan efek samping mual
dan muntah8, berbeda dengan penelitian
ini, kecepatan injeksi yang lebih lambat
dapat mengurangi kejadian hipotensi,
hal ini dapat disebabkan karena
perbedaan konsentrasi anestetik lokal
yang digunakan pada penelitian Singh
menggunakan bupivakain hiperbarik
0,75% sedangkan pada penelitian ini
menggunakan bupivakain hiperbarik
0,5%, dimana konsentrasi anestetik
lokal merupakan faktor major yang
memengaruhi sebaran di ruang
subarachnoid.

Volume VII, Nomor 2, Tahun 2015

Kang dkk (2012), melakukan uji
klinis mengenai kecepatan injeksi
anestesi spinal antara dua kelompok
menggunakan bupivakain 0,5% 9 mg
dengan fentanyl 10 mcg dengan
kecepatan 0,1 mL/dtk dan 0,02 mL/dtk
pada wanita hamil, di dapatkan
kecepatan injeksi yang lebih lambat
tidak berpengaruh terhadap onset dan
level blok sensoris, dan juga tidak
mengurangi insiden hipotensi, tapi
menunda onset terjadinya hipotensi10,
hal ini berbeda dengan hasil penelitian
ini dimana insiden hipotensi dapat
berkurang dengan injeksi lebih lambat,
hal ini mungkin dikarenakan metode
yang berbeda dalam hal kriteria
objektif, dimana kriteria hipotensi dari
Kang ditentukan apabila TAR