KONTESTASI LANGGAR DAN PESANTREN (Studi Atas Pranata Keagamaan Lokal di Sumenep Madura) THE CONTESTATION BETWEEN LANGGAR AND PESANTREN (A Study on Local Relegious Institution in Sumenep Madura)

  32-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

KONTESTASI LANGGAR DAN PESANTREN

(Studi Atas Pranata Keagamaan Lokal

di Sumenep Madura)

THE CONTESTATION BETWEEN LANGGAR

  

AND PESANTREN

(A Study on Local Relegious Institution

in Sumenep Madura)

  

Ach. Khatib

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep

mas.khotib@gmail.com

  

Abstrak:

___________________

  

Penelitian ini adalah penelitian antropologi sosial. Teori yang digunakan

adalah teori perlawanan James C. Scott. Pengumpulan data dengan

wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini menemukan:

pertama, kontestasi antara Langgar Al-Barokah dan Pesantren Mathlabul

Ulum tidak terjadi sejak awal berdirinya, tapi sejak pesantren mendirikan

Sekolah Dasar Islam (tahun 2003), lalu tahun 2008 mendirikan Langgar

Fatimah Binti Ali. Kedua, kontestasi terjadi dalam dua bentuk: kontestasi

terbuka dan tersembunyi. Kontestasi tersembunyi lebih banyak muncul,

bahkan kadang berupa kontestasi simbolik, karena ada rasa sungkan

atau ewuh pakewuh dari para kontestan, posisi dan peranan kontestan

sebagai “kiblat” dan panutan masyarakat, serta adanya hubungan famili.

  

Ketiga, ada 5 kontestan yang terlibat yang lalu mengerucut menjadi

dua: kontestan kubu langgar dan pesantren. Keempat, dua arena yang

dikontestasikan: arena budaya dan ekonomi. Kelima, ada lima pemicu

kontestasi: dugaan terjadi pengabaian dan pembiaran masyarakat;

perbedaan corak pendidikan yang harus dipertahankan, salaf atau

modern; legitimasi masyarakat; dan persamaan wilayah dakwah.

  

___________________

Kata kunci

  : Madura, Kontestasi, Langgar Al-Barokah, Pesantren Mathlabul Ulum.

  

___________________ Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 33-54 Abstract:

  ___________________ This research is a social anthropology study. The theory used is the

resistance theory of James C. Scott. The data collection is through

interviews, observation, and documentation. This research found: first, the contestation between Langgar Barokah and Pesantren Mathlabul Ulum is not occurred since the beginning of the establishment, but since

Mathlabul Ulum established Islamic Elementary School (2003), and

then in 2008 founded Langgar Fatimah Binti Ali. Second, contestation

occurs in two forms: open and hidden contestation. Contestation

appears more hidden, sometimes even symbolic, because they realize that they have role as guide and leader of islamic society, and also they have family relationship. Third, there are five contestants are involved which then narrowed down to two: the contestants of Langgar and pesantren. Fourth, the two contested arena are cultural and economic arenas. Fifth, there are five trigger contestation: negligence of society; differences in patterns of education that should be maintained, Salaf or modern; the legitimacy of the public; and equality preaching territory.

  ___________________ Keywords

  : Madura, contestation, Langgar Al-Barokah, Pesantren of Mathlabul Ulum.

  34-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016 Pendahuluan

  Ketika menyebut “Madura”, beragam kesan muncul, mulai kesan jelek hingga bagus. Salah satu predikat jelek yang dilekatkan pada orang Madura adalah suka Carok. Memang terdapat ungkapan ango’an poteya tolang etembang poteya mata (lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malu) 1 yang memberi indikasi kuat pemicu carok, tetapi dari sisi lain, ungkapan ini sebagai bukti akan kehati-hatian serta keteguhan Manusia Madura dalam menjaga kehormatan, sesuatu yang kini diabaikan banyak orang. Selain itu, filosofi Madura yang tercermin dalam ungkapan berikut memberi indikasi akan pentingnya pemeliharaan akhlak dan tatakrama:

  tak tao bettona

langgher (tidak pernah dididik di langgar) dan tak tao jude

2

naghereh (tidak mengenal Jude Naghereh ). Dua ungkapan terakhir

  ini memberi petunjuk bahwa persoalan akhlak, moralitas, kesopanan, saling menghormati, serta kesantunan pada sesama merupakan salah satu jiwa dari Manusia Madura.

  Ungkapan-ungkapan lokal penuh makna tersebut sulit dilepaskan dengan keberagamaan masyarakat Madura secara umum. Islam masuk ke Madura sekitar abad XV dan dengan 3 pelan tapi pasti dianut secara merata oleh masyarakat Madura. Kepatuhan dan ketaatan—bahkan kefanatikan—masyarakat Madura pada agama Islam sangat tinggi. Karena itu, beberapa ungkapan di atas sangat sarat dengan ajaran Islam. Melalui

  

ungkapan, masyarakat Madura ingin mewariskan dan sekaligus

  mendorong generasi muda Madura untuk bertata tindak sesuai dengan ajaran Islam sekaligus senafas dengan kebijaksanaan lokal. Dalam konteks ini, selain ungkapan, terdapat dua pranata keagamaan yang tak kalah penting peranannya adalah langgar dan pesantren. Wilayah kerja keduanya hampir sama, yaitu penerangan agama Islam, pendidikan keagamaan, dan pranata 1 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura

  (Yogyakarta: LKiS, 2002), 172 2 Seorang Tumenggung lahir di Pamekasan dan menjadi Adipati di Sumenep pada zaman Trunojoyo yang sangat sopan dan santun.

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 35-54

  keagamaan. Hanya saja, sebagaimana anggapan masyarakat Madura, pesantren merupakan “kelanjutan” dari langgar. dalam arti bahwa setelah dinilai “lulus” dari langgar,

  Kelanjutan seorang anak baru dikirim ke pesantren.

  Merupakan pemandangan yang sudah biasa alumni suatu

langgar diantarkan oleh sang kiai langgar ke suatu pesantren.

Demikian juga terpelihara komunikasi yang intensif dan sangat akrab antara kiai langgar dengan kiai pesantren. Calon santri yang masuk ke pesantren sedang sebelumnya belum pernah “mencicipi” pendidikan di langgar akan diperlakukan sedikit berbeda di pesantren tersebut, misalnya dalam hal pendidikan membaca Al- Qur’an dan praktik-praktik ibadah dasar seperti wudlu dan lain- lain dalam bentuk diselenggarakan program intensif bagi santri baru non-langgar tersebut. Jadi pendidikan bagi santri baru di suatu pesantren di Madura berkait erat dengan riwayat pendidikan agama santri tersebut, apakah ia alumni langgar atau alumni non-

  

langgar. Alumni langgar akan dengan mudah menyesuaikan diri

  dalam konteks pendidikan agama di pesantren, sedang alumni non -langgar harus lebih dulu menyelesaikan program intensif. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang biasa dan menjadi pengetahuan bersama masyarakat Madura.

  Selain itu, langgar sendiri—dalam konteks Madura— merupakan cikal bakal berdirinya pesantren; langgar yang tumbuh lalu berkembang, dan melebarkan sayap perjuangannya kemudian 4 berubah menjadi pesantren. Pada sumbu ini terlihat kedekatan dan kesaling-terkaitan antara langgar dan pesantren di Madura. Jalinan ini pula mengapa pesantren disebut kelanjutan dari langgar. Maka patut kiranya langgar dan pesantren saling bekerjasama, bermitra, dan satu dengan yang lainnya (dalam aspek pendidikan) mesti saling berkelanjutan dan berkesinambungan. Pendidikan langgar memberi pengetahuan agama dan keterampilan ibadah dasar kepada para santri sebagai “persiapan” untuk memasuki “jenjang” 4 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

  (Jakarta: LP3ES, 1994), 33. Ison Basyuni,

Kiai Pergulatan Dunia Pesantren,

Membangun Dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985), 220. Sitrul Arsy, dkk., Satu Abad

Annuqayah: Peran Pendidikan, Politik, Pengembangan Masyarakat (Guluk-Guluk,

  36-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  pendidikan selanjutnya di pesantren. Di sisi lain, pesantren mesti menyadari bahwa pendidikan yang diselenggarakannya merupakan kelanjutan sekaligus pengembangan dari pendidikan

  

langgar. Kalaupun terdapat perubahan dan modernisasi dalam

  pendidikan pesantren, prinsip kelanjutan dan pengembangan jangan sampai terabaikan. Dari sini semakin terang bahwa langgar dan pesantren di Madura saling bertalian dan satu sama lain tidak bisa saling menegasikan.

  Akan tetapi, berdasar penelitian yang saya lakukan di Desa Jambu, Kec. Lenteng, Sumenep, Madura, terjadi fenomena yang berkebalikan, yaitu terjadi kontestasi antara langgar dengan pesantren. Langgar dan pesantren yang mestinya saling bekerjasama, bermitra, satu dengan yang lain saling melengkapi ternyata tidak demikian adanya; keduanya saling berkontestasi, saling merebut, saling berlomba. Kegelisahan akademik saya ini kemudian mewujud dalam pertanyaan penelitian yang saja ajukan, yaitu: mengapa terjadi kontestasi antara langgar dan pesantren di Desa Jambu, Lenteng, Sumenep?

  Mendefinisikan Pranata Keagamaan 5 Sejumlah ahli sosiologi dan antropologi di Indonesia

  memperdebatkan nomenklatur Pranata Sosial. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soermadi menerjemahkan Social Institution 6 dengan lembaga kemasyarakatan. Sedangkan Koentjaraningrat 7 menerjemahkan dengan pranata sosial. Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan istilah “pranata sosial”. Menurut Gillin & Gillin yang merujuk pada F.S. Chapin, pranata sosial adalah

  

A social institution is a functional configuration of culture patterns

(including actions, ideas, attitudes, and cultural equipment) which

5 Dalam lapangan Antropologi, istilah yang sering digunakan adalah

“unsur kebudayaan” untuk menganalisis aktivitas-aktivitas manusia dalam

masyarakat, meski ada sebagian kecil yang menggunakan istilah pranata

(institution). 6 Soemardjan dan Soemardi (peny.), Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta:

  Universitas Indonesia, 1964), 61. 7 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta,

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 37-54

possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt

8 social needs.

  Hampir senada dengan Gillin dan Gillin, Koentjaraningrat menyatakan bahwa pranata sosial adalah “sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam 9 masyarakat”. Definisi Koentjaraningrat inilah yang selanjutnya akan saya gunakan. Kedua pendapat di atas bertitik simpul pada— sedikitnya—tiga hal: penataan tindakan-tindakan budaya, berisikan norma-norma, dan bertujuan untuk pemenuhan ragam kebutuhan manusia. Bentuk masyarakat yang kompleks akan memiliki lebih banyak pranata daripada bentuk yang sederhana. Dan mesti diingat bahwa manusia sendiri kebutuhannya juga sangat kompleks.

  Dalam konteks pemenuhan kebutuhan manusia pada aspek penerangan yang sekaligus berkait dengan kebutuhan untuk berbakti kepada Tuhan dan sesama, dibentuklah Pranata Keagamaan. Berdasar pendapat Koentjaraningrat, Pranata Keagamaan memiliki tiga unsur, sebagaimana tergambar dalam skema di bawah ini: penataan tindakan keagamaan

  PRANATA KEAGAMAAN pemenuhan kebutuhan berisi norma agama penerangan keagamaan & 8 untuk berbakti kepada Tuhan

  John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, Cultural Sociology (New York: The Mac Millia Book Company, 1954), 313.

  38-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  Masyarakat Madura menempatkan langgar dan pesantren 10 sebagai bagian dari pranata keagamaan. Dengan kata lain, dalam hal pemenuhan penerangan keagamaan dalam kerangka pengabdian kepada Tuhan dan berbuat baik pada sesama, 11 masyarakat Madura lalu “menciptakan” aturan-aturan dan norma-norma yang lalu mewujud menjadi langgar dan pesantren.

  Pandangan ini, salah satunya, didasarkan pada pernyataan K. Abd. Wafi (17/12/2011), pengasuh langgar Al-Barokah, Jambu, Lenteng mengenai tujuan pendidikan yang diselenggarakannya di langgar yang diasuhnya:

  ”Saya berusaha membentuk kepribadian santri dengan cara membiasakan santri melakukan sesuatu yang diajarkan, seperti akhlak, fikih, dll. Jadi tidak hanya tuntas dalam pembelajaran. Sebab, titel (sebutan sebagai Santri,

  penl. ) hanya bungkus. Dan suatu keharusan, bungkus 12

  menunjukkan isi.” Memperhatikan pernyataan di atas dan didasarkan pada penelitian yang telah saya lakukan, maka tiga sudut pranata sosial; yaitu: penataan tindakan-tindakan budaya, berisikan norma-norma, dan bertujuan untuk pemenuhan ragam kebutuhan manusia; sudah terpenuhi. Oleh karena dalam ketiga sudut di atas berkaitan dengan soal keagamaan masyarakat Madura, maka pranata itu termasuk dalam kategori Pranata Keagamaan Lokal.

  10 Memang ada yang menempatkan langgar sebagai (hanya) sarana

peribadatan Islam, seperti oleh Kusnadi dalam Kusnadi, dkk, Perempuan Pesisir

(Yogyakarta: LKiS, 2006), 25. Dalam hal ini saya kurang sependapat dengan

Kusnadi yang melakukan simplifikasi yang tak tanggung-tanggung. 11 Tentu dapat difahami bahwa tidak semua lapisan dan golongan

masyarakat Madura yang terlibat, melainkan pemimpin, tokoh, dan pemuka

masyarakat yang dengan peka memperhatikan tuntutan situasi, nilai ajaran

agama, keinginan dan harapan masyarakat, sekaligus laju perkembangan

zaman. 12 Wawancara dengan K. Abd. Wafi, pengasuh Langgar Al-Barokah, pada

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 39-54 Kontestasi: Sebuah Landasan Teori

  Secara leksikal, Oxford Advanced Learner’s Dictionary memberi makna pada Kontestasi dengan “persaingan dan perebutan mendapatkan sesuatu (hadiah)atau perjuangan 13 untuk mengontol sesuatu”. Sedang dalam kajian keilmuan, beragam sekali pendefinisian kontestasi. Bourdieu, misalnya, menyebut bahwa kontestasi tidak bisa dilepaskan dari apa yang ia sebut dengan ranah atau arena (field). Baginya, ranah sebagai sebuah arena sosial yang di dalamnya terdapat perjuangan untuk memperebutkan sumber dan pertaruhan dengan akses 14 terbatas. Kontestasi yang dilakukan oleh setiap agen (individu, kelompok, maupun institusi) adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan posisinya dalam hal penguasaan dan 15 akumulasi modal; modal kultural, simbolik, dan ekonomi. Oleh karena kontestasi dilakukan oleh aktor-aktor, maka modalitas yang dimiliki aktor juga menjadi alasan aktor untuk “berani” terlibat dalam kontestasi. Dalam arena kontestasi, modal hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dimana ia memproduksi dan 16 mereproduksi. Talal Asad memandang kontestasi dari sisi representasi tradisi. Asad—sebagaimana dikutip Muhammad Endy

  Saputro dalam Kiai Langgar and Kalebun—menyatakan: “Any 17

  

representation of tradition is contestable” . Hal yang pokok dalam

  pandangan Asad mengenai kontestasi ini adalah domain tradisi dari masing-masing mereka yang terlibat dalam kontestasi. Meski Asad menyebut setiap representasi tradisi itu berada dalam kontestasi, tetapi itu tidak bisa lepas dari domain yang 13 Jhonathan Crowther [ed.], Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1995), 249. 14 Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), 124. 15 16 Pierre Bourdieu, In Other Word (Cambridge: Polity Press, 1977), 88 Pierrie Bourdieu, Distinction, A. Social Critique of the Judgement of Taste

  (New York: Routledge, 2006), 125 17 Muhammad Endy Saputro, Kiai Langgar and Klebun: A Study on Contestation Between Cultural Brokers In A Non-Pesantren Village In Madura,

  40-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016 tidak sama dari tradisi yang dinilai berkontestasi dimaksud.

  Sebagaimana pandangan ini lalu digunakan oleh Saputro dalam melihat kontestasi kiai langgar dan kalebun, yang menjadi titik fokus Saputro adalah dua domain tradisi kiai langgar dan kalebun itu sendiri.

  Berbeda dengan Bourdieu dan Asad, James C. Scott memberi tekanan pada perbedaan kelas serta tindakan-tindakan arogansi dari kelas atas yang memicu lahirnya perlawanan (dalam tulisan ini diadaptasi pada istilah ‘Kontestasi’). Scott menggunakan istilah resistensi (resistance) untuk menunjuk perlawanan. Ia, dalam

  Weapons of the Weak Everyday Form of Resistance

  mendefinisikan perlawanan dengan “tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kaum yang kalah, yang ditujukan

  

(intended) untuk mengurangi atau menolak klaim (misal: sewa,

  pajak, gengsi) yang dibuat oleh kelas atas (tuan tanah, petani 18 kaya, negara) berhadapan dengan kaum yang kalah tersebut”.

  Definisi Scott ini sangat kental akan pertentangan kelas; kelas atas dan bawah; pemilik modal dan pekerja, penindas dan tertindas. Dalam tulisan ini, pandangan Scott akan saya adaptasi dan gunakan untuk melihat kontestasi antara langgar dan pesantren.

  Setelah Scott bertahun-tahun meneliti perlawanan keseharian kaum tani di Malaysia—sebelumnya lebih luas, di 19 Asia Tenggara —ia mengambil kesimpulan yang berkebalikan dengan Marx tentang gerakan buruh dan tani dengan membuat kategorisasi perlawanan menjadi dua pola: everyday forms of

  

resistance dan open defiance atau public confrontation; perlawanan

20

  terbuka dan perlawanan tersembunyi yang terjadi sehari-hari, 21 atau real resistance dan incidental resistance. Scott memberi karakteristik pada masing-masing pola perlawanan tersebut, yaitu: perlawanan terbuka (1) organik, sistematik dan kooperatif, 18 James C. Scott, Weapons of the Weak Everyday Form of Resistance (Yale: Yale University, 1985), 290. 19 Penelitian Scott ini diterjemahkan oleh LP3ES dan diterbitkan dengan judul

  Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, tahun 1981. 20 James C. Scott, Weapons of the Weak, 29.

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 41-54

  (2) berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri, (3) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan atau (4) mengandung gagasan dan maksud-maksud yang meniadakan basis dominasi itu sendiri. Sedangkan karakteristik perlawanan tersembunyi adalah: (1) tidak terorganisir, tidak sistematik dan terjadi secara individual, (2) bersifat oportunistik dan mementingkan diri sendiri, (3) tidak berkonsekuensi revolusioner, dan atau (4) menyiratkan dalam maksud atau arti mereka, akomodasi terhadap sistem dominasi.

  Dua pola di atas akan saya adaptasi untuk menjelaskan bentuk-bentuk kontestasi antara langgar dan pesantren di Desa Jambu, Lenteng, Sumenep. Kontestasi antara langgar dan pesantren di lokasi yang saya teliti tentu mewujud dalam beberapa bentuk. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kontestasi, saya akan menggunakan karakteristik perlawanan Scott. Selanjutnya, bentuk-bentuk kontestasi itu akan saya pilah menjadi dua pola: kontestasi terbuka dan kontestasi halus yang terjadi sehari-hari. Dalam setiap bentuk-bentuk kontestasi yang ditemukan, saya akan memberikan uraian juga mengenai siapa saja aktor yang terlibat berdasar bentuk-bentuk kontestasi dimaksud, baik di langgar maupun di pesantren.

  Bagaimana memastikan suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai “tindakan kontestasi”? Untuk menjawab ini, saya akan merujuk pada pandangan Scott dalam upayanya memastikan 22 tindakan petani dinilai sebagai perlawanan. Menurut Scott, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui “tindakan kontestasi”, yaitu: maksud dan tujuan aksi (intentions behind the

  

act) dan makna aksi bagi pelaku (of what it means for the actor).

  Namun demikian, Scott menyadari kesulitan menemukan keduanya jika hanya didasarkan pada “aksi bicara”

  (speech acts)

  dari para aktor saja. Sebab aksi-aksi tersebut sudah sedemikian rupa, sehingga sang pelaku mungkin sekali tak akan mengakui perbuatannya, apalagi menerangkan apa maksudnya berbuat demikian. Sedemikian rupa karena kontestasi itu dilakukan dengan halus, sehari-hari, dan bahkan terkadang ada legitimasi

  42-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  dari tradisi daerah tertentu. Karena itu diperlukan telaah yang lebih mendalam dari sekedar memperhatikan apa yang tampak dan terkatakan saja. Selain itu, kontestasi tidak fokus pada konsekuensi, tapi fokus pada maksud. Sebagaimana dinyatakan 23 Scott “it focuses on intention rather than consequences”, sehingga diakui bahwa banyak aksi perlawanan mungkin gagal mencapai yang dimaksud, tetapi itu semua tidak menghilangkan unsur perlawanan di dalamnya.

  Medan Kemelut: Langgar dan Pesantren di Jambu, Len- teng

  Berdasar penelitian yang saya lakukan, sedikitnya ada 5

langgar di Desa Jambu, yaitu: Langgar Al-Barokah, Langgar K.

Asnawi, Langgar K. Esso, Langgar K. Sutrisno, dan—yang baru berdiri—Langgar Fatimah binti Ali, milik Pesantren Mathlabul Ulum. Selain langgar, terdapat juga beberapa pesantren. Langgar dan pesantren yang menjadi objek penelitian saya adalah Langgar Al-Barokah dan Pesantren Mathlabul Ulum.

  Langgar Al-Barokah

  Dari sisi makna kata, Barokah mempunyai arti “bahagia, 24 untung”. Secara istilah, barokah adalah “bertambahnya kebaikan”. Dalam kajian budaya Madura, nama-nama bernafaskan Islam sudah mulai dipakai sejak Islam masuk dan kemudian dianut secara merata dan mendalam oleh masyarakat 25 Madura. Salah satu tujuan dari pemberian nama bernafas

  Islam adalah terwujudnya apa yang diberi nama itu sesuai, atau paling tidak mendekati, dengan makna nama tersebut. Sebab masyarakat Madura meyakini bahwa nama (juga) merupakan doa bagi yang diberi nama. Langgar Al-Barokah berada di Jl. Raya Lenteng Sumenep. Langgar ini didirikan oleh K. As’ad Mazani, tokoh yang cukup disegani di Desa Jambu, pada tahun 23 24 James C. Scott, Weapons of the Weak, 209.

  Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Yogyakarta: Hidakarya Agung, 1990), 63.

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 43-54

  1980. Di Desa Jambu, langgar ini tergolong tua, yang di tahun 2011 ini telah berusia 31 tahun.

  Pada tahun 1990, K. As’ad Mazani menikahkan putrinya dengan Abd. Wafi yang masih keponakannya sendiri. Sejak itulah kepengasuhan Langgar Al-Barokah dialihkan kepada K. Abd. Wafi. Hubungan pendiri dengan pengasuh Al-Barokah sekarang adalah mertua-menantu. Kalau hubungan pendiri dengan pengasuh yang sekarang sebatas paman-keponakan, besar kemungkinan kepengasuhan tidak akan dialih-asuhkan kepada K. Abd. Wafi. Sebagaimana di tempat lain di Sumenep, pekerjaan kiai langgar adalah tani, maka demikian pula dengan K. Abd. Wafi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, K. Abd. Wafi menanam jagung dan sejumlah palawija lainnya. Selain bertani, K. Abd. Wafi juga sering mengisi pengajian di beberapa tempat. Tapi mata pencaharian utamanya adalah bertani.

  Pesantren Mathlabul Ulum

  Pondok Pesantren Mathlabul Ulum di Desa Jambu, Lenteng ini semula madrasah diniyah yang diberi nama Mathlabul Ulum Diniyah (MUD) yang didirikan pada tanggal 01 Maret 1979. Adalah KH. Moh. Taufiqurrahman FM yang merintis sekaligus mengasuhnya hingga sekarang. Mathlabul Ulum (yang dari sisi bahasa mengandung makna ‘tempat mencari banyak ilmu’), selanjutnya, karena kepercayaan masyarakat semakin meningkat yang ditandai dengan makin banyaknya masyarakat yang menyekolahkan anaknya ke MUD, maka sejak hari Ahad tanggal 10 Syawal 1407 bertepatan tanggal 07 Juni 1987 diresmikanlah berdirinya sebuah lembaga pendidikan dengan nama Ma’hadul Mu’allimien al-Islamie (MMI). Untuk menampung santri MMI, diresmikan pula (di hari yang sama) 26 Pondok Pesantren Mathlabul Ulum. KH. Moh. Taufiqurrahman FM merupakan alumnus Pondok

  Modern Gontor dan TMI Al-Amien, Prenduan. Kuat dugaan faktor inilah yang melatari model pengembangan pesantren 26

  http://pondpestmathlabululum.blogspot.com; diakses tanggal

  44-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  di Pesantren Mathlabul Ulum yang tidak jauh berbeda—atau bahkan sama—dengan Pesantren Gontor dan Pesantren Al- Amien. Kesamaan ini bisa dilihat dari corak pengembangannya yang modern, model kegiatan pesantren, kegiatan pramuka, cara berpakaian santri, dan beberapa aspek lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, KH. Moh. Taufiqurrahman FM menjalankan bisnis warnet dan beternak ayam petelur. Selain itu, ia juga bertani. Tapi sebagaimana kebiasaan kiai pesantren di Madura, ia tidak mengolah sendiri tanahnya, melainkan dipekerjakan kepada orang lain—atau terkadang memang santrinya.

  Pesantren Mathlabul Ulum (dengan induk Yayasan Mathlabul Ulum) mengelola sejumlah lembaga pendidikan, 27 sebagaimana dipublikasikan di website resmi pesantren , antara lain: (1) Marhalah Thufulah; terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), TK/Raudltul Athfal (RA). (2) Marhalah Ibtidaiyah; yaitu Sekolah Dasar Islam (SDI). (3)

  Marhalah Tsanawiyah; Madrasah Tsanawiyah (MTs). (4) Marhalah Aliyah; Madrasah Aliyah (MA).

  (5) Ma’hadul Mu’allimien al-Islamie (MMI) Berdasar penelusuran saya, Pesantren Mathlabul Ulum juga mendirikan dan mengelola langgar, sebagai bagian dari kegiatan

  SDI. Jadi, pesantren juga punya langgar yang diberi nama

  

Langgar Fatimah Binti Ali. Langgar ini didirikan sejak tahun 2008,

  setelah SDI berjalan selama 5 tahun (tahun 2003). Jarak antara

  

Langgar Fatimah Binti Ali ini dengan Langgar Al-Barokah hanya

  75 meter. KH. Moh. Taufiqurrahman FM menjelaskan bahwa tujuan pendirian Langgar Pesantren ini adalah untuk melayani siswa yang sekolah umum di sekitar langgar tersebut.

  

“Permintaan Masyarakat”: Pintu Gerbang Aksi Kontestasi

  Sebagaimana telah diurai di atas bahwa kontestasi menurut Scott dapat berwujud: kontestasi terbuka dan kontestasi halus yang terjadi sehari-hari, dengan karakteristik masing-masing. 27

  http://pondpestmathlabululum.blogspot.com; diakses tanggal

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 45-54

  Memastikan suatu tindakan termasuk kontestasi dilihat dari dua aspek: maksud dan tujuan aksi (intentions behind the act) dan 28 makna aksi bagi pelaku Keduanya

  (of what it means for the actor).

  bisa diidentifikasi dari “aksi bicara” atau pernyataan yang terlibat. Namun harus dipertimbangkan pula bahwa aksi-aksi yang dilakukan tersebut sudah dilakukan sehari-hari dan terkadang ada legitimasi dari tradisi, sehingga sulit mengungkap intentions

  

behind the act dari penyataan saja. Karenanya diperlukan telaah

yang mendalam, dan ini yang akan saya lakukan.

  Berdasar penyelidikan lapangan yang saya lakukan di Desa Jambu, Kec. Lenteng, Langgar Al-Barokah dan Pesantren Mathlabul Ulum tidak berkontestasi sejak awal berdirinya kedua pranata keagamaan ini. Langgar Al-Barokah yang didirikan pada tahun 1980 oleh K. As’ad Mazani sedangkan Pesantren Mathlabul Ulum pada tahun 1987, terdapat jarak waktu 7 tahun. Pada tahun ke-7 perjalanan Langgar Al-Barokah kontestasi belum terlihat.

  Sedikitnya ada tiga faktor mengapa kontestasi belum terlihat pada fase awal berdirinya kedua pranata keagamaan ini: pertama, keduanya (Langgar Al-Barokah dan Pesantren Mathlabul Ulum) sama-sama dibutuhkan dan mendapat legitimasi dari masyarakat. K. Abd. Wafi, pengasuh Langgar Al-Barokah saat ditanya (17/12/2011) mengenai bertahannya langgar yang diasuhnya itu selalu saja mengaitkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang diberikan kepada langgar yang ia asuh. Hal senada diakui pula oleh KH. Moh. Taufiqurrahman FM:

  “Apa yang kami lakukan atas dasar permintaan masyarakat. Misalnya, setelah siswa diniyah semakin banyak, maka saya mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Selanjutnya didirikan Madrasah Aliyah; semuanya atas dasar permintaan 29 masyarakat.”

  Kedua , pendirian kedua pranata keagamaan itu tak lain

  dari perwujudan dari usaha memenuhi kebutuhan masyarakat 28 29 James C. Scott, Weapons of the Weak, 290.

  Wawancara dengan KH. Moh. Taufiqurrahman FM, pengasuh PP

  46-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  Jambu, Lenteng dalam penerangan keagamaan dan untuk berbakti kepada Tuhan. Ketiga, wilayah “dakwah”nya memang berbeda. Keduanya sama-sama diharapkan keberadaannya oleh masyarakat. Karena itu, sangat wajar jika antara keduanya tidak perlu berkontestasi sebab satu sama lain saling melengkapi.

  

Langgar Al-Barokah tidak merasa terancam dengan adanya

  Pesantren Mathlabul Ulum, sebalinya Pesantren Mathlabul Ulum tidak perlu khawatir dengan keberadaan Langgar Al-Barokah.

  Namun setelah keduanya sama-sama berkembang dan ada asumsi-asumsi yang bertolakbelakang pada masing-masing pengasuh, mulailah tumbuh benih-benih kontestasi. Kontestasi mulai tampak ke permukaan dan mengeras sejak Pesantren Mathlabul Ulum mendirikan SDI pada tahun 2003. Pendirian SDI ini, sekali lagi, diakui oleh KH. Moh. Taufiqurrahman FM atas dasar pemintaan masyarakat:

  ”Pada tahun 2003, Mathlabul Ulum mendirikan Sekolah Dasar Islam (SDI). SDI tersebut didirikan atas dasar permintaan masyarakat karena di desa Jambu tidak ada 30 sekolah SD. Ini dibangun murni dari uang saya.”

  Kegiatan belajar mengajar SDI dilaksanakan pagi hari. Padahal rencana semula akan dilaksanakan sore hari. Pagi hari dipilih karena untuk sore harinya ada kegiatan (berupa pengajian) sore hari di Langgar Al-Barokah, asuhan K. Abd. Wafi. Berikut pernyataan KH. Moh. Taufiqurrahman FM terkait pilihan waktu pelaksanaan pembelajaran:

  ”Semula (dulu, penl.) memang direncanakan masuk sore, tetapi karena ada kegiatan di K. Abd. Wafi (di Langgar Al-Barokah), maka di sini (SDI, penl.) masuk pagi. Tetapi nampakknya sekarang di K. Abd. Wafi mulai merosot, maka 31 30 SDI mulai direncanakan masuk sore.”

  Wawancara dengan KH. Moh. Taufiqurrahman FM, pengasuh PP Mathlabul ulum, pada 18 Desember 2011 di kediamannya. 31 Wawancara dengan KH. Moh. Taufiqurrahman FM, pengasuh PP

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 47-54

  Setelah 5 tahun berjalan, tepatnya tahun 2008, SDI semakin mengembangkan diri dengan mendirikan Langgar. Adalah Fatimah Binti Ali nama langgar milik Pesantren

  Langgar

  Mathlabul Ulum (untuk selanjutnya saya akan menyebut ’Langgar Pesantren’). Jarak antara Langgar Pesantren dengan Langgar Al- Barokah sangatlah dekat, sekitar 75 meter. Sebagaimana langgar lainnya, kegiatan di Langgar Pesantren dilaksanakan malam hari.

  

Langgar Pesantren tidak memiliki perbedaan yang signifikan

  dengan Langgar Al-Barokah. Aspek yang membedakan adalah pada posisi dan kepemilikan langgar. Langgar Pesantren miliknya Pesantren Mathlabul Ulum, sedang Langgar Al-Barokah milik keluarga K. As’ad Mazani yang kemudian dialih-asuhkan kepada K. Abd. Wafi.

  Tujuan dari didirikannya Langgar Pesantren adalah ingin memberi pelayanan kepada siswa yang sekolah di sekolah umum di sekitar langgar tersebut. Seperti dituturkan oleh KH. Moh. Taufiqurrahman FM:

  ”Tujuannya adalah untuk melayani siswa yang sekolah 32 umum di sekitar langgar (Langgar Pesantren, penl.).” Ada beberapa bukti yang dapat saya majukan bahwa kontestasi itu baru terjadi pada tahun 2003 (diselenggarakannya

  SDI) dan semakin mengeras pada tahun 2008 (didirikannya

  

Langgar Pesantren), yaitu: pertama, tujuan didirikannya Langgar

  Pesantren yang disebut ”untuk melayani siswa yang sekolah umum di sekitar langgar”. Padahal di sekitar Langgar Pesantren bukan tidak ada langgar yang dapat menjalankan ”tugas” tersebut, dan langgar yang terdekat adalah Langgar Al-Barokah. Tersirat dua pesan implisit dari kenyataan ini: (1) terjadi pembiaran yang dilakukan oleh langgar-langgar di daerah itu kepada siswa yang sekolah umum, dan atau (2) langgar-langgar yang ada dinilai kurang sejalan dengan perubahan zaman sehingga tidak bisa menjawab kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. 32 Kedua , waktu penyelenggaraan SDI yang ”semula

  Wawancara dengan KH. Moh. Taufiqurrahman FM, pengasuh PP

  48-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  direncanakan masuk sore, karena ada kegiatan pengajian sore di Langgar Al-Barokah, maka masuk pagi. Setelah Langgar Al-Barokah merosot, SDI akan kembali ke rencana awal, masuk sore”. Sepintas terlihat tidak ada kontestasi pada bukti kedua ini karena pranata satu dengan yang lain tidak saling bersaing, tetapi kalau mengajukan tanya sederhana: mengapa

  

Langgar Al-Barokah merosot yang dibuktikan dengan semakin

  berkurangnya santri Langgar Al-Barokah? Maka dengan mudah akan terlihat betapa kontestasi antara Langgar Al-Barokah dengan Langgar Pesantren (milik Pesantren Mathlabul Ulum) benar-benar terjadi. Merosotnya jumlah santri Langgar Al- Barokah terjadi antara tahun 2008 sampai 2011, yaitu setelah SDI tersebut menyelenggarakan dan mendirikan Langgar Pesantren. Santri-santri di Langgar Al-Barokah sedikit demi sedikit pindah dan lebih tertarik ke Langgar Pesantren. Ini diakui oleh Mahsyar, ustadz yang mengelola Langgar Pesantren:

  ”Di awal-awal, yaitu tahun 2008, santrinya sedikit tapi lama kelamaan ada santri lagi yang masuk, pindahan dari K. Abd. 33 Wafi. Sekarang sudah sekitar 15 orang santri.” Jadi merosotnya jumlah santri Langgar Al-Barokah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Langgar Pesantren yang jaraknya sangatlah berdekatan. Memang kita bisa mengajukan dugaan hal ini ada faktor keinginan orang tua, faktor sang anak/santri sendiri, dan lain-lain, tetapi yang pasti merosotnya jumlah santri

  

Langgar Al-Barokah berkait erat dengan keberadaan Langgar

  Pesantren. Pada titik ini kita sudah dapat menebak: SDI yang kembali direncanakan masuk sore karena Langgar Al-Barokah sudah merosot, sejatinya kemerosotan itu dilatari oleh sejumlah efek yang muncul dari kebijakan dan berbagai program Pesantren Mathlabul Ulum sendiri.

  Namun demikian, terlepas dari sejumlah kelemahan yang melekat pada Langgar Al-Barokah, program dan kebijakan yang dicetuskan oleh Pesantren Mathlabul Ulum menjadi faktor 33 Wawancara dengan Ustadz Mahsyar , pengelola Langgar Fatimah Binti

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 49-54

  tersendiri dan sangat berat untuk dihadapi oleh Langgar Al- Barokah. Penelusuran yang saya lakukan didapat keterangan bahwa jumlah santri Langgar Al-Barokah berkurang secara signifikan dapat dilihat dari sebelum tahun 2008 dan sesudahnya.

  Sebelum tahun 2008, jumlah santri Langgar Al-Barokah masih 50 orang santri, setelah 2008—dan sangat jelas terlihat pada tahun 2003 (tahun berdirinya Langgar Pesantren)—jumlah santri hanya 30 orang santri. Memang tidak semuanya pindah ke Langgar Pesantren, sebagian ada yang pindah ke langgar-langgar lain di sekitar Langgar Al-Barokah, tetapi tidak sedikit santri yang pindah ke Langgar Pesantren adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak, sebagaimana dinyatakan oleh Mahsyar, pengelola

  Langgar Pesantren di atas.

  Melampaui Kata-Kata: Kontestasi Terbuka Al-Barokah dan Mathlabul Ulum

  Sebelum lebih jauh menjelaskan temuan saya mengenai kontestasi terbuka antara Langgar Al-Barokah dan Pesantren Mathlabul Ulum, saya ingin kembali me-reference karakteristik 34 yaitu: (1) perlawanan terbuka sebagaimana pendapat Scott, organik, sistematik dan kooperatif, (2) berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri, (3) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan atau (4) mengandung gagasan dan maksud- maksud yang meniadakan basis dominasi itu sendiri.

  Dari penelitian ini, saya menemukan lebih banyak bentuk kontestasi yang tersembunyi atau kontestasi halus dan terjadi sehari-hari daripada bentuk kontestasi yang terbuka. Lebih

  

banyak mengandung pengertian bahwa kontestasi terbuka dan

  terang-terangan juga ada dan dapat dilihat dengan mudah, tetapi jumlahnya lebih sedikit, sebaliknya kontestasi yang terbuka lebih sering muncul dengan wujud-wujud yang beragam. Penentuan apakah satu bentuk kontestasi termasuk kontestasi terang-terangan atau kontestasi halus, sejumlah karakteristik yang saya pinjam dari Scott menjadi panduan; dan terbukti,

  50-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  beberapa karakteristik itu selalu saja tergambar jelas dalam setiap bentuk kontestasi antara Langgar Al-Barokah dengan Pesantren Mathlabul Ulum.

  Kontestasi terbuka yang dilakukan Langgar Al-Barokah terhadap Pesantren Mathlabul Ulum dapat diamati dari konsistensi atau ke-istiqomah -an K. Abd. Wafi sebagai pengasuh dalam hal mempertahankan ke-salaf-an model pendidikan

  

langgar nya. Gempuran modernisasi dan perkembangan

  zaman yang sangat pesat memang dapat memancing lembaga pendidikan tergoda untuk mengikuti—dengan berbagai dalih— laju modernisasi itu. Maka tergolong istimewa mereka yang dengan konsisten menjaga dan mempertahankan kesalafan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Dalam konteks ini, K. Abd. Wafi merupakan tokoh yang kuat dan konsisten mempertahankan kesalafan langgar yang ia asuh sebagaimana diwariskan oleh pendirinya, K. As’ad Mazani. Inilah kontestasi terbuka yang dilakukannya terhadap Pesantren Mathlabul Ulum. K. Abd. Wafi menyatakan:

  ”Salah satu faktor mengapa langgar ini (Langgar Al-Barokah,

  

penl .) mampu bertahan adalah karena saya mempertahankan

35

  kesalafannya; tetap istiqomah dengan yang salaf.” Di sudut berbeda, Pesantren Mathlabul Ulum juga melakukan kontestasi secara terbuka yang mewujud dalam tiga bentuk: pertama, mendirikan SDI yang dibangun di luar kompleks Pesantren Mathlabul Ulum sehingga berdekatan dengan Langgar Al-Barokah. SDI ini dibangun, menurut KH. Moh. Taufiqurrahman FM, atas dasar permintaan masyarakat karena di desa Jambu tidak ada sekolah SD. Memang di Desa Jambu tidak ada SD, tapi di Desa Daramista, berjarak + 500 meter ada SD. Saya tidak mendapatkan keterangan mendalam mengenai pilihan lokasi pembangunan SDI di luar kompleks pesantren. Tapi yang pasti kompleks pesantren masih sangat luas untuk dijadikan tempat SDI. 35 Kedua , membuka Langgar Fathimah binti Ali (Langgar

  Wawancara dengan K. Abd. Wafi, pengasuh Langgar Al-Barokah, pada

  Ach. Khatib, Kontestasi Langgar dan Pesantren | 51-54

  Pesantren). Di atas telah saya uraikan bahwa sejak langgar ini dibangun, kontestasi antara Langgar Al-Barokah dengan Pesantren Mathlabul Ulum muncul ke permukaan. Ada tiga indikator yang dapat menjadi petunjuk: (1) berpindahnya santri

  

Langgar Al-Barokah ke Langgar Pesantren dalam jumlah yang

lumayan banyak, (2) semakin—meminjam istilah KH. Moh.

  Taufiqurrahman FM—merosotnya Langgar Al-Barokah, dan (3) diwacanakannya kembali penyelenggaraan pendidikan SDI sore hari. Kegiatan SDI diselenggarakan pagi hari karena di sore hari ada pengajian di Langgar Al-Barokah (baca: ketika jumlah santrinya masih banyak). Setelah Langgar Al-Barokah merosot, penyelenggaraan kegiatan SDI di sore hari akan menjadi kebijakan baru. Bentuk ketiga, sistem modern yang dipilih KH. Moh. Taufiqurrahman FM untuk diterapkan di Pesantren Mathlabul Ulum, ”jalur” yang berbeda dengan Langgar Al- Barokah.

  Kontestasi terbuka yang dilakukan oleh Langgar Al-Barokah terhadap Pesantren Mathlabul Ulum dan sebaliknya kontestasi terang-terangan yang dilakukan Pesantren Mathlabul Ulum kepada Langgar Al-Barokah memenuhi beberapa karakteristik kontestasi terbuka yang diberikan oleh Scott, yaitu karakteristik pertama ”organik, sistematik dan kooperatif” serta karakteristik keempat ”mengandung gagasan dan maksud-maksud yang meniadakan basis dominasi itu sendiri”. Meski karakteristik ini tidak sama persis, tetapi kalau kita perhatikan empat wujud kontestasi terbuka (satu yang dilakukan Langgar Al-Barokah dan tiga oleh Pesantren Mathlabul Ulum) di atas, dengan mudah kita menemukan unsur-unsur yang tercakup dalam dua karakteristik ini. Dengan demikian, menggolongkan keempat bentuk kontestasi di atas sebagai kontestasi terbuka atau terang- terangan sangatlah berdasar.

  Kesimpulan

  Kontestasi antara Langgar Al-Barokah dan Pesantren

  52-54 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 1, Juni 2016

  berdirinya kedua pranata keagamaan ini, tapi tampak ke permukaan sejak Pesantren Mathlabul Ulum mendirikan SDI (tahun 2003) lalu pada tahun 2008 mendirikan Langgar Fatimah Binti Ali (langgar milik pesantren). Langgar Al-Barokah, yang jaraknya hanya 75 meter, pun mulai merosot; banyak santri

  Langgar Al-Barokah yang pindah ke Langgar Pesantren.

  Kontestasi antara Langgar Al-Barokah dan Pesantren Mathlabul Ulum terjadi dalam dua bentuk: kontestasi terbuka dan kontestasi tersembunyi. Kontestasi tersembunyi atau haluslah yang lebih banyak muncul, bahkan kadang berupa kontestasi simbolik. Kontestasi tersembunyi, terkadang simbolik, yang ”dipilih” karena: pertama, ada rasa sungkan, ewuh

  

pakewuh untuk berkontestasi secara terbuka. Kedua, posisi dan

  peranan pengasuh dua pranata keagamaan itu sebagai “kiblat” dan panutan masyarakat. Ketiga, ada hubungan famili antar kontestan.

  Kontestan yang terlibat berdasar posisi dan peranannya dalam dua pranata keagamaan ini ada lima: Pengasuh Langgar Al-Barokah, ustadz Langgar Al-Barokah, Pengasuh Pesantren Mathlabul Ulum, Kepala SDI, dan ustadz di Langgar Pesantren. Kelima kontestan ini mengerucut menjadi dua: kontestan kubu

  

Langgar Al-Barokah dan kontestan kubu Pesantren Mathlabul

  Ulum. Karena telah mengerucut, maka posisi masing-masing kontestan akan bergeser dan menyesuaikan diri dengan posisi kontestan lain.

  Ada dua arena yang dikontestasikan, yaitu arena budaya dan arena ekonomi. Arena budaya berupa kepercayaan masyarakat dan pengaruhnya di masyakat yang tersimbolisasi dengan Santri. Arena ekonomi berwujud sumber-sumber dana yang dapat dikelola untuk dua pranata tersebut yang berkait erat dengan kontestasi di arena budaya.

Dokumen yang terkait

View of Rekonstruksi Pembelajaran Tauhid sebagai Fondasi Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah/Madrasah

0 0 24

URGENSI PENDIDIKAN MORAL DAN AKHLAK PADA ANAK USIA DINI

0 2 23

DILEMA INTEGRASI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI DALAM KELANJUTAN ISLAMISASI PSIKOLOGI THE DILEMMA OF INTEGRATION BETWEEN SUFISM AND PSYCHOTHERAPY IN THE CONTINUATION OF ISLAMIZATION OF PSYCHOLOGY

0 0 28

KONTRIBUSI KIAI KHOLIL BANGKALAN DALAM MENGEMBANGKAN TASAWUF NUSANTARA THE CONTRIBUTION OF KIAI KHOLIL BANGKALAN IN DEVELOPING NUSANTARA SUFISM

0 0 32

SPIRITUALITY ENHANCEMENT THROUGH COLLECTIVE PRAYING (A Study of Jamaah Zikir Kanzus Sholawat in

0 0 21

RESPONS DAN TANTANGAN KAUM TUA ATAS KRITIK KAUM MUDA TERHADAP TAREKAT DI MINANGKABAU AWAL ABAD 20 THE RESPONSES AND CHALLENGES OF THE OLD ULAMA TO THE CRITICS OF THE YOUNG ULAMA AGAINST TARIQA IN MINGKABAU IN EARLY 20TH CENTURY

0 0 36

View of Khazanah Tasawuf Nusantara: Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah di Malaysia

0 0 29

THE EMPOWERMENT OF WOMEN IN EDUCATION OF PESANTREN

0 0 26

MENEGUHKAN NKRI DI MADURA (Studi Atas Peran Pesantren dalam Membendung Radikalisme di Madura) UPHOLDING NKRI IN MADURA (A Study on The Role of Pesantren in Preventing Radicalism in Madura)

0 0 27

MADRASAH DINIYAH TAKMILIYAH (MDT) SEBAGAI PUSAT PENGETAHUAN AGAMA MASYARAKAT PEDESAAN (Studi tentang Peran MDT Di Desa Gapura Timur Gapura Sumenep) MADRASAH DINIYAH TAKMILIYAH (MDT) AS RELEGIOUS KNOWLEDGE INSTITUTION OF VILLAGER (A Study About The Role of

0 2 40