KAJIAN KONVERGENSI REGULASI TELEKOMUNIKA. pdf

TUGAS UAS
MATA KULIAH REGULASI DAN HUKUM ICT

KAJIAN KONVERGENSI REGULASI TELEKOMUNIKASI DAN REGULASI
PENYIARAN TERHADAP PENYELENGGARAAN IPTV DI INDONESIA

Oleh :
Ignatius Widiatmoko Setiawan
55414110001

PROGRAM MAGISTER TEKNIK ELEKTRO
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA

KAJIAN KONVERGENSI REGULASI TELEKOMUNIKASI DAN REGULASI
PENYIARAN TERHADAP PENYELENGGARAAN IPTV DI INDONESIA

ABSTRACT
Perkembngan teknologi digital ini mendorong majunya teknologi informasi dan
komunikasi (ICT). Perkembangan teknologi digital yang kian pesat mengarah kepada
konvergensi, yaitu terintegrasinya layanan telekomunikasi, data, informasi dan penyiaran.

Salah satu layanan konvergensi adalah IPTV. Dengan kondisi di Indonesia yang masih dalam
masa peralihan teknologi, perlu dikaji apakah diperlukan kovergensi regulasi telekomunikasi
dan regulasi penyiaran terhadap penyelenggaraan IPTV. Dengan analisa eksploratoris dan
deskriptif dari sumber data yang bersifat publik misalnya aturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan sektor telekomunikasi y a n g diperoleh dari pusat dokumentasi
Departemen Komunikasi dan Informasi, dan aturan perundang-undangan lainnya yang
dipublikasikan secara luas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan telah ditetapkannya
Peraturan Menteri KOMINFO No. 30 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Layanan IPTV,
maka penyelenggaraan layanan IPTV sudah dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu
ditetapkannya ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang konvergensi,
Penyelenggara IPTV dapat menyelenggarakan layanan IPTV apabila telah memiliki izin
penyelenggaraan Jasa Akses Internet (Internet Service Provider), Jaringan Tetap Lokal
berbasis Packet Switched dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB).

1.

LATAR BELAKANG

Industri telekomunikasi dalam dua dekade terakhir ini mengalami perubahan yang
sangat dinamis, baik dari sisi bisnis, filosofi, teknologi, aplikasi, layanan dan kebutuhan

pengguna. sejak teknologi pesawat telepon kabel ditemukan oleh Graham Bell
pada
1876, hampir selama satu abad fungsi teknologi itu tak berubah, yaitu hanya
berfungsi sebagai pengantar komunikasi suara dua arah. Penambahan fungsi baru terjadi
pada dekade 1970-an dengan kemampuannya yang dapat menyalurkan data yang dikirim
dan diterima dengan mesin facsimile secara simultan. Penambahan fungsi (fitur) yang lebih
fenomenal pada saat itu adalah ketika kabel tembaga itu bisa menyalurkan suara, data, dan
sekaligus video (triple play) dengan teknologi digital. Hanya dalam waktu kurang dari dua
dekade sejak internet diperkenalkan pada publik, teknologi ini menjadi sedemikian populer
yang jauh lebih lengkap dibandingkan fitur pada mesin/perangkat facsimile.
Perkembangan yang sedemikian fenomenal tersebut didorong oleh teknologi digital
yang antara lain memicu perkembangan mikroprosesor. Pengolah elektronik inilah yang
kemudian memacu perkembangan perangkat beserta peripheral komputer sehingga bisa
dihasilkan komputer personal (pribadi) dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Perkembngan teknologi digital ini mendorong majunya teknologi informasi dan
komunikasi (ICT). Dari sektor telekomunikasi muncul teknologi telepon seluler (mobile
phone) yang juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Di sisi lain, sektor
yang semula berada terpisah dari sektor telekomunikasi, yakni sektor penyiaran (televisi
dan radio), juga mengalami perubahan teknologi penyiaran digital terestrial (penyiaran


dari darat ke darat) yang membuka peluang untuk terjadinya interaksi antara penyedia jasa
penyiaran dengan konsumen/pemirsa dan fitur ini tak ubahnya seperti telekomunikasi dua
arah, selain itu dari sektor ini juga terjadi inovasi dengan munculnya layanan penyiaran
bergerak (mobile). Perkembangan teknologi digital yang kian pesat mengarah kepada
konvergensi, yaitu terintegrasinya layanan telekomunikasi, data, informasi dan penyiaran.
Salah satu layanan konvergensi adalah IPTV (Internet Protocol Television) yaitu suatu
layanan multimedia dalam bentuk televisi, video, audio, text, graphic, data yang disalurkan
ke pelanggan melalui jaringan IP (Internet Protocol), yang dijamin kualitasnya (Quality of
Service), keamanannya (security), keandalannya (realibility) dan
memungkinkan
komunikasi dengan pelanggan secara dua arah atau interaktif secara real time
Dengan teknologi IPTV ini diperlukan peralihan dari sistem penyiaran analog ke
sistem penyiaran digital yang mengarah ke konvergensi. D e n g a n k o n d i s i
p e r a l i h a n i n i , regulator sangat diharapkan untuk mengatur kondisi peralihan ini secara
lebih komprehensif, agar tidak menimbulkan kesenjangan bagi masyarakat dalam
mengakses program-program siaran yang diinginkan, serta tetap melindungi kepentingan
ekonomi, sosial budaya dan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2.

POKOK PERMASALAHAN


Apakah diperlukan kovergensi regulasi
penyelenggaraan IPTV?

telekomunikasi dan regulasi penyiaran terhadap

3.

TUJUAN
Dalam kebijakan penyelenggaraan IPTV, regulator diharapkan merancang suatu
kebijakan yang menciptakan kompetisi bagi pelaku bisnis secara adil, memberi jaminan bagi
pelanggan dalam hal private protection, security of transaction, dan quality of service,
serta mendorong tumbuhnya industri IPTV di dalam negeri dengan tetap menjaga
keseimbangan antara perkembangan teknologi tinggi (high tech) dan kepekaan sosial (high
touch).
Dengan diterbitkannya kebijakan penyelenggaraan IPTV, maka diharapkan akan ada
kepastian hukum bagi pelaku bisnis untuk menyelenggarakan layanan IPTV, dan
bagi konsumen/pelanggan untuk menikmati layanan IPTV secara aman, terlindungi dan
berkualitas.
4.


RUANG LINGKUP
Adapun dalam penulisan ini lebih difokuskan membahas tentang kajian regulasi
tentang telekomunikasi, media, penyiaran yang saat ini trend menuju ke arah konvergensi
serta regulasi-regulasi lainnya yang turut serta memegang peranan penting terkait dengan
persaingan usaha, perlindungan konsumen, HAKI, pornografi, perfilman, pers, transaksi
elektronik dan cybercrime dalam rangka penyelenggaraan layanan IPTV yang diharapkan
akan dapat memberikan pemecahan solusi terhadap bisnis entertainment dengan tarif
relatif murah

5.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam peneltian ini, berdasarkan sifatnya merupakan
metode eksploratoris dan deskriptif. data yang digunakan merupakan data diperoleh dari
serangkaian sumber data yang bersifat publik misalnya aturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan sektor telekomunikasi y a n g diperoleh dari pusat dokumentasi
Departemen Komunikasi dan Informasi, dan aturan perundang-undangan lainnya yang
dipublikasikan secara luas dan data yang diperoleh dari berbagai sumber besar referensi
yang berkenaan dengan permasalahan seperti benchmarking dengan negara lain yang

sudah menggelar layanan IPTV dan standar internasional.
6.

LANDASAN TEORI
Internet telah menjadi katalisator bagi konvergensi, misalnya, siaran radio dan
televisi tidak lagi menjadi ranah (domain) penyelenggara atau lembaga penyiaran, tetapi
juga menjadi ranah penyedia jasa telekomunikasi, demikian pula sebaliknya. IPTV adalah
suatu layanan multimedia yang terdiri atas program siaran televisi, video (gambar bergerak),
audio (suara), tulisan (text), grafis (gambar diam) dan data yang disalurkan ke pelanggan
melalui suatu jaringan tertutup berbasis IP. Pada dasarnya IPTV dalam mekanisme
pengiriman konten video pada Internet dapat mempergunakan jaringan berbasis IP publik
atau melalui jaringan berbasis IP privat (dedicated), karena IPTV wajib menggunakan IP
sebagai mekanisme pengiriman, IP dapat dipergunakan untuk mengirimkan berbagai jenis
konten melalui Internet dan jaringan berbasis IP privat. Pemacu pasar IPTV adalah
konvergensi suara, data dan video. Karena setiap informasi direpresentasikan dalam format
digital, keduanya sangat mungkin dan mudah untuk mengirimkan suara, data dan gambar
melalui jaringan yang dipergunakan secara bersama-sama, dan disetiap stasiun tujuan, suara,
data dan gambar dapat disimpan pada perangkat yang sama.
SISTEM IPTV
IPTV merupakan suatu layanan yang memberikan konten-konten audio visual dan

juga bisa ber-interaktif yang berbasis Internet Protocol. Internet Protocol Television
merupakan sistem transmisi televisi digital menggunakan protokol internet (IP) yang
melewati infrastruktur jaringan IP. Prinsip penyalurannya hampir serupa dibandingkan
dengan penyaluran secara konvensional, dimana program yang sudah dikonversikan
menjadi digital disalurkan melalui internet protokol dan jenis layanan ini ada yang gratis
ataupun berbayar. Saluran IPTV gratis tersebut hanya memerlukan saluran internet dan
perangkat pendukung internet seperti PC atau Set Top Box yang disambung ke televisi.
IPTV Set Top Box adalah sebuah terminal multimedia yang mudah digunakan untuk jaringan
IP broadband, alat ini menerima dan mengatur media video streaming, menyediakan
aplikasi interaktif, dan memperbaharui aplikasi dan fungsi melalui jaringan IP.
Gambar 1 dibawah ini menunjukkan bagaimana suatu sistem televisi berbasis IP
dapat digunakan oleh pengguna untuk mengakses ke beberapa sumber media yang berbeda.
Diagram ini menunjukan bagaimana suatu televisi terhubung dengan Set Top Box (STB) yang
mengkonversi video IP ke dalam sinyal televisi standar. STB merupakan gateway ke sistem
switching video IP.

Gambar 1. Pengaksesan layanan IPTV
7. TINJAUAN HUKUM
Layanan IPTV yang diimplementasikan di Indonesia dibatasi pada :
a. penyiaran yang terdiri atas push services, yaitu siaran dari penyelenggara TV baik secara

linier (sesuai jadual aslinya) maupun non-linier (waktu/jadual penayangan diatur oleh
pelanggan) dan pay per-view program. Untuk dapat memberikan layanan ini
penyelenggara IPTV harus memiliki izin sebagai Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB).
b. Layanan Multimedia yang terdiri atas pulled services, yaitu layanan atau tayangan
diberikan apabila ada permintaan dari pelanggan, seperti video on demand, music on
demand, gaming, TV web browsing/Internet TV. Untuk dapat memberikan layanan ini
penyelenggara IPTV harus memiliki izin sebagai penyelenggara Internet Service Provider
(ISP).
c. Layanan Transaksi Elektronik (T-Commerce), yaitu layanan komersial perdagangan
yang melibatkan transaksi keuangan secara elektronik. Untuk itu harus memiliki
sertifikasi yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
d. Layanan akses Internet untuk kepentingan Publik. Untuk hal ini, penyelenggara IPTV
harus memiliki izin penyelenggaraan Internet Service Provider (ISP).
e. Layanan IP Telephony atau Voice over Broadband (VoBB). Untuk hal ini perizinan akan
dibuka setelah regulasi ENUM, interkoneksi, dll ditetapkan.
f. Penyelenggara wajib menyelenggarakan layanan penyiaran dan layanan akses internet
pada 1 (satu) tahun pertama penyelenggaraan layanan IPTV dan berkomitmen untuk
menambah jenis layanan untuk layanan multimedia dan layanan transaksi elektronik
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.
Dalam ketentuan Per Men KOMINFO Nomor 30 tahun 2009 telah dipersyaratkan,

bahwa dalam menyelenggarakan layanan IPTV, penyelenggara harus memiliki infrastruktur
jaringan tetap lokal kabel yang mampu menjamin kecepatan downlink untuk pelanggan

sekurang-kurangnya 2 Mbps (dua mega bit per detik) serta berkomitmen melakukan
pembangunan jaringan tetap lokal kabel dengan kecepatan sekurang-kurangnya 2 Mbps.
Sesuai yang tercantum pada Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b dan Pasal 8 ayat (1) UU
Telekomunikasi, disebutkan bahwa Pemerintah telah membuka seluas-luasnya peluang
usaha bagi badan usaha-badan usaha Indonesia untuk dapat menggeluti bisnis layanan
IPTV, sehingga konsisten memenuhi kriteria (comply) dengan Pasal 10, tetapi ketentuan
pada Pasal 9 ayat (1) justru rentan kepada terjadinya praktek-praktek monopoli, khususnya
bagi penyelenggara-penyelenggara besar/dominan, seperti PT. TELKOM, Excelcom,
Indosat, namun regulasi tentang Telekomunikasi ini telah memperhitungkan hal-hal
tersebut, seperti yang tercantum pada Pasal 9 ayat (2) yang memiliki esensi bahwa
penyelenggara besar/dominan diharapkan oleh Pemerintah untuk membantu penyelenggara
kecil yang tidak memiliki kemampuan membangun infrastruktur jaringan yang dipertegas
lagi dengan ketentuan pada Pasal 17 yang menyebutkan bahwa penyelenggara jaringan
dalam menyewakan jaringan infrastrukturnya kepada penyelenggara jasa berdasarkan prinsip
tidak diskriminatif, efisien dan menjaga standar kualitas layanan jaringan infrastrukturnya
serta Pasal 19 yang menyebutkan bahwa setiap pengguna berhak memilih penyelenggara
jaringan yang diinginkan.

Dalam memenuhi persyaratan sebagai penyelenggara layanan IPTV, maka
infrastruktur yang berupa jaringan kabel harus dilakukan restrukturisasi secara menyeluruh
hingga sampai ke pelosok daerah di wilayah Republik Indonesia, mengingat sebagian besar
penyelenggara dominan seperti PT. TELKOM yang secara Group telah memiliki ketiga izin
yang dibutuhkan untuk dapat menyelenggarakan layanan IPTV masih didominasi oleh
jaringan berbasis kabel tembaga sampai akses ke
pelanggan
yang
pada
saat
pembangunan masih berorientasi untuk mentransmisikan informasi berbentuk suara,
dan apabila infrastruktur ini dipergunakan untuk melewatkan (mentransmisikan) informasi
berupa data, gambar diam atau bergerak dan multimedia sudah tidak memungkinkan lagi,
dimana untuk layanan data, gambar diam atau bergerak dan multimedia dibutuhkan
kecepatan downlink sekurang-kurangnya 2 Mbps. Untuk menangani informasi seperti ini
infrastruktur jaringan yang sesuai adalah dengan melakukan restrukturisasi infrastruktur
kabel tembaga menuju jaringan serat cahaya (fiber optic).
Kendala utama bagi
penyelenggara layanan IPTV dalam membangun infrastruktur jaringannya sesuai UU
Telekomunikasi pada Pasal 12, yang menyebutkan bahwa dalam membangun infrastruktur

jaringannya setiap penyelenggara berhak memanfaatkan/melintasi tanah negara, bangunan
yang dimiliki atau dikuasai oleh Pemerintah setelah mendapat izin persetujaun dari instansi
Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini akan berkorelasi dengan telah diberlakukannya UU otonomi daerah
yang pengelolaanya telah diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri selaku Pemerintah
Pusat beserta jajarannya yaitu Pemerintah Daerah dengan diberlakukannya otonomi
daerah sebagai justifikasi dalam mengkontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD),
dimungkinkan setiap Pemerintah Daerah setempat, dimana infrastruktur jaringan yang akan
dibangun oleh penyelenggara infratsruktur jaringan yang akan dipergunakan untuk
menyalurkan layanan IPTV dapat dikenakan retribusi sesuai ketentuan yang berlaku dalam
Peraturan Daerah setempat yang telah ditetapkan, sehingga hal ini akan mempengaruhi
akselerasi pembangunan infrastruktur jaringan dan akan berdampak terhadap beban biaya

pembangunan bagi penyelenggara infrastruktur jaringan, yang semula bertujuan bersamasama dengan Pemerintah membantu menangani kesenjangan di sektor penyebarluasan
informasi (digital devide) hingga ke pelosok-pelosok daerah, terlebih apabila terjadi
ketidaksinergian antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yang dapat
menimbulkan terbitnya Peraturan-Peraturan Daerah disetiap wilayah Indonesia memiliki
kepentingan dan esensi yang berbeda satu dengan lainnya dengan justifikasi untuk
memperoleh PAD sebesar-besarnya..
Dalam menyalurkan layanan IPTV, setiap penyelenggara diwajibkan
mempergunakan sistem perangkat dengan standar dan spesifikasi teknis sesuai dengan
standar internasional, apabila terjadi penyesuaian sistem perangkat, pelanggan tetap dapat
menerima layanan IPTV. Dalam ketentuan per Men No. 30 tahun 2009 Pasal 13 ayat (2)
yang menyebutkan untuk sistem perangkat penerima yang berupa Internet Protocol Set
Top Box (IP-STB) mengutamakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sekurangkurangnya 20 % dan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun ditingkatkan menjadi 50 %. Industri
dalam negeri telah mampu untuk mendesain, merekayasa, dan memproduksi perangkat yang
dibutuhkan untuk penggelaran TV Digital Terrestrial khususnya STB-DVB-T, sehingga
kemampuan dan pengalaman ini dapat ditingkatkan untuk memproduksi IP-STB. Pada
awalnya mungkin masih dibutuhkan kerjasama dengan vendor-vendor dari negara maju,
namun secara bertahap, dapat ditingkatkan untuk mencapai TKDN yang maksimal.

REGULASI IPTV DI BEBERAPA NEGARA DI DUNIA
Regulasi di Australia
Di Australia, Primus telah mengumumkan IPTV mulai ditawarkan pada tahun 2006
menggunakan jaringan DSLAM, seluruh penyelenggara telekomunikasi akan
mempertimbangkan strategi IPTV, seperti halnya teknologi baru yang ada pasti akan terjadi
perbedaan pendapat mengenai cara terbaik untuk meregulasi.
Adapun kesulitan yang akan dihadapi Regulator (Australian Communications and
Media Authority) dalam meregulasi IPTV secara signifikan lebih rumit dibandingkan dengan
meregulasi Voice over lnternet Protocol (VoIP), jika konten yang disampaikan dengan cara
yang terdapat pada layanan kereta api, maka penyelenggaraan konten akan diatur oleh
Undang-Undang Telekomunikasi 1997, karena sebuah layanan IPTV yang mempergunakan
Internet bukan merupakan domain layanan penyiaran, ini berarti bahwa penyelenggara IPTV
tidak membutuhkan lisensi,
meskipun akan bersaing dengan penyelenggara Television
Broadcasting, penyelenggara IPTV tidak akan tunduk pada Peraturan Pemerintah, meskipun
Peraturan Pemerintah saat ini merupakan acuan bagi para pemegang lisensi, termasuk
kepatuhan terhadap persyaratan lisensi, kode industri dan kepemilikan media lintas hokum.

Regulasi di Perancis
Di Perancis dua regulator mengatur roadmap komunikasi:
a. des I'Autorite de Electroniques et des Komunikasi Postes (ARCEP) bertanggung
jawab dalam sektor telekomunikasi. Tanggung jawab utamanya adalah: penyediaan dan
pendanaan infrastruktur dan komponen- komponen frekuensi yang membentuk sektor
telekomunikasi untuk publik, memperkuat transparansi regulasi dalam lingkungan yang
kompetitif, dan konvergensi serta mengawasi masalah-masalah lain yang muncul.
b. Supérieur Conseil de I'audiovisuel (CSA) yang bertanggung jawab atas layanan
linear (apapun platformnya termasuk IPTV), tetapi tidak untuk layanan non linier. Dalam hal
ini Perancis harus memutuskan, ketika mentransposisi arahan dan otoritas yang bertanggung
jawab di tingkat nasional untuk regulasi konten layanan non linier. Pada saat ini, baik ARCEP
maupun CSA memiliki tanggung jawab untuk mengelola layanan non linier 22 seperti VoD.
Menurut UU Penyiaran tanggal 9 Juli 2004 yang dirubah EC Directives, setiap
kanal layanan televisi perlu menandatangani suatu perjanjian atau membuat pernyataan
sederhana pada CSA (Consell Superieur del Audiovisual) tanpa menghiraukan infrastruktur
transmisi yang mendasari (cable networks, satellite, internet, ADSL, mobile telephony
networks, dll). Layanan televisi dalam UU Penyiaran didefinisikan sebagai layanan yang
dipersiapkan untuk dapat diterima secara simultan oleh publik dan program utamanya
tersusun dari program-program (dengan image dan suara) serial terorganisir. Menurut CSA,
bagaimanapun layanan video internet, apabila menyalurkan layanan televisi satu arah dari
website internet ke komputer pribadi pelanggan melalui IP publik, dianggap sebagai layanan
televisi karena definisi sah dari layanan televisi tidak memiliki hubungan pada jenis jaringan
transmisi atau peralatan penerimaan sinyal TV. Layanan PVR (Personal Video Recorder),
fasilitas merekam program-program live TV ke dalam harddisk (storage) dalam set-top box
atau server jaringan, sehingga pelanggan dapat melihat/memutar ulang/menghentikan
program-program live TV kapanpun pelanggan inginkan, termasuk layanan televisi selama
program-program live TV dikirimkan searah kepada masyarakat umum walaupun
pengguna mungkin tidak menyaksikan sejumlah program pada waktu sinyal TV sampai pada
pengguna melalui peralatan penerimaan sinyal TV.

Regulasi di Jepang
IPTV menganut konsep penyiaran melalui jaringan telekomunikasi yang langsung
diterima oleh public. Bagi penyelenggara yang tidak memiliki fasilitas telekomunikasi dan izin
penyelenggaraan tidak diperbolehkan memasuki industri penyiaran melalui kabel, karena
siaran televisi kabel telah diatur dalam UU Penyiaran Televisi Kabel, namun penegakan
hokum memungkinkan penyedia konten untuk memasuki industri penyiaran dengan menyewa
fasilitas telekomunikasi dari sebuah penyelenggara jaringan telekomunikasi, walaupun
telah terjadi reformasi regulasi seperti tersebut di atas, ada beberapa masalah untuk layanan
IPTV di Jepang, karena adanya perbedaan konsep pada siaran, maka hal ini menjadi alasan
untuk mencegah pengembangan dan perluasan layanan IPTV, meskipun penyelenggaraan
IPTV adalah siaran dalam UU Penyiaran, tetapi layanan IPTV, termasuk yang dilindungi oleh

UU Hak Cipta. tentang Penyiaran, yang didefinisikan sebagai komunikasi publik yang
merupakan tanggapan atas permintaan dari masyarakat.
Dalam layanan IPTV, karena tidak semua kanal siaran akan dikirim ke STB (Set
Top Box) pengguna, tetapi hanya kanal yang dipilih akan dikirim ke penerima, layanan ini
dianggap sebagai layanan interaktif dalam UU Hak Cipta. Beberapa penyelenggara layanan
IPTV hanya menyewa jalur utama (backbone) dari perusahaan telekomunikasi; bahkan
penyelenggara IPTV lain tidak hanya menyewa jalur utama, tetapi juga infrastruktur yang
menghubungkan antara penyedia dan pengguna.

Regulasi di Amerika Serikat
Pada Maret 2004, Federal Communication Commision (FCC) mengeluarkan
pengumuman Proposed Rulemaking untuk menguji isu-isu terkait dengan layanan-layanan dan
aplikasi-aplikasi yang dibuat dengan menggunakan Internet Protocol (IP), termasuk layanan
VoIP (IP-enabled services). Untuk menghormati pendatang baru (new entrance), dalam
Communication Act tahun 1934 disebutkan bahwa pendatang baru diberikan 4 (empat) opsi
untuk masuk kedalam pasar Multichannel Video Programming Distributor (MVPD). Mereka
dapat mernyediakan video programming kepada pelanggan melalui komunikasi radio,
sistem kabel atau open video system, atau mereka dapat menyediakan transmisi video
programming untuk berbasis jaringan telekomunikasi. Jika perusahaan telepon (common
carrier) ingin menyediakan video programming untuk pelanggan dengan menggunakan
radio communication, maka mereka harus tunduk pada aturan- aturan yang terkait dengan
radio, tapi tidak tunduk pada syarat-syarat komunikasi kabel. Open Video System (OVS)
mengkombinasikan fitur-fitur ”common carriers” dan sistem kabel dalam penyediaan video
programming. Jika permintaan melebihi kapasitas, operator OVS dibatasi untuk
menyediakan programming hanya sepertiga dari kapasitas sistemnya sendiri, dan
berkewajiban untuk mengaloksikan dua pertiga untuk provider program video yang tidak
berafiliasi. Undang-undang memerlukan FCC untuk menetapkan regulasi guna mencegah
operator OVS melakukan diskriminasi dengan tidak adil kepada provider-provider video
program. Pada kenyataannya sangat sedikit provider yang memilih untuk menawarkan
layanan sebagai open video system, bahkan pemain barupun lebih condong memilih untuk
mengirimkan multichannel programming melalui penggunaan teknologi lain, seperti DBS
(Direct Broadcasting Satellite) atau SMATV (Satellite Master Antenna Television).
Undang-undang menetapkan video programming disediakan oleh stasiun penyiaran
televisi, dan programming lain seperti informasi yang disediakan oleh operator kabel untuk
seluruh pelanggannya. Dalam hal ini, video yang dialirkan melalui internet secara searah (one
way) pada pelanggan kemungkinan tidak sesuai dengan ketentuan dari video programming,
jika kualitasnya tidak sebanding dengan kualitas televisi.
Operator kabel di Amerika Serikat tunduk pada ketentuan-ketentuan franchise
kabel dari pemegang otoritas franchise. Perusahaan Telekomunikasi telah mengkalim, bahwa
penghalang terbesar untuk kompetisi dalam pasar layanan video adalah persyaratan dalam
mendapatkan franchise lokal di tiap-tiap area yang diberikan layanan.

AT&T dan Verizon yang menyebarkan jaringan fibre optic untuk menawarkan
layanan IPTV telah secara aktif mempengaruhi Pemerintah Pusat, agar pembuat undangundang negara untuk membuat franchise video nasional atau mempersingkat proses franchise
lokal, sehingga dapat memasuki pasar TV lebih cepat. Pada desember 2006, sedikitnya 11
negara bagian (Alaska, California, Connecticut, Delaware, Hawaii, Indiana, Kansas, New
Jersey, North Carolina, South carolina dan Texas), perwakilan negara bagiannya telah
melarang pemegang otoritas franchise untuk menolak penyerahan
franchis
tanpa
alasan yang layak. Layanan
IPTV yang dikeluarkan terlibat dalam proses franchise,
tetapi persyaratan aplikasi dan partisipasi lokalnya sangat bervariasi antara negara-negara
bagian tersebut. Walaupun hukum spesifik di tiap-tiap negara bagian berbeda, tetapi negaranegara bagian itu telah mempersingkat proses franchise dan menetapkan batas waktu
pengesahan franchise. Pada Desember 2006, FCC oleh AT&T Inc. berupa U-verse TV adalah
suatu layanan informasi dan bukan layanan kabel, jadi tidak tunduk pada ketentuan franchise
kabel lokal. Menurut AT&T, U-verse TV adalah suatu hubungan point to point maupun two
way network yang akan memfasilitasi pelanggannya untuk berinteraksi secara langsung
dengan jaringan dan memilih program spesifik, dimana kemudian jaringan akan
mentransmisikan ke pelanggan tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan point to multipoint
broadcast yang ditransmisikan oleh operator kabel (incumbent), yang secara simultan
mengirimkan seluruh kanalnya untuk seluruh pelanggan sekaligus, dan tergantung pada
peralatan set-top box untuk dapat menampilkan kanal-kanal yang dipilih, dan dalam hal ini
FCC tidak memiliki aturan untuk setiap layanan IPTV.
Menghadapi informasi-informasi yang online, masyarakat disini sangat waspada,
terutama mengenai informasi yang masih meragukan, dari perspektif kewajiban hukum, cara
terbaik untuk menghindari tuntutan, Pemerintah Pusat dan hukum internasional mengambil
langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mematuhi semua yang relevan dengan hukum,
terutama orang tua dalam mempertahankan dengan cara yang terbaik untuk melindungianakanaknya dari tindakan cabul (obscenity on Internet).

8. KAJIAN KONVERGENSI REGULASI TELEKOMUNIKASI DAN REGULASI
PENYIARAN TERHADAP PENYELENGGARAAN IPTV DI INDONESIA
Sampai saat ini Pemerintah Republik Indonesia cq. Regulator belum berhasil
merumuskan UU
Konvergensi, walaupun
pada pembahasan awalnya
telah
dicantumkan dalam roadmap Teknologi Informasi dan Komunikasi periode 2007 – 2011.
Dikarenakan tuntutan masyarakat akan informasi berupa media dan edutainment dengan biaya
murah, maka Pemerintah melalui Menteri KOMINFO telah menerbitkan Peraturan Menteri
KOMINFO Nomor 30/PER/M.KOMINFO/8/2009, tanggal 19 Agustus 2009 tentang
Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet (Internet Protocol Television/IPTV) di
Indonesia.
Penyelenggaraan jasa IPTV yang paling memungkinkan untuk saat ini adalah melalui
jaringan telekomunikasi. Hal ini membuat kita menjadi sulit untuk mengkategorikan
IPTV yang merupakan gabungan antara telekomunikasi dan penyiaran dalam regulasi dan

perundang-undangan. Berdasarkan UU Telekomunikasi dan UU Penyiaran, yang dimaksud
dengan Telekomunikasi dan Penyiaran adalah :
a. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman. dan atau penerimaan dari setiap
informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui
sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.
b. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau
sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi
radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan
bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Sebelum menetapkan regulasi yang sesuai untuk penyelenggaraan IPTV perlu disadari
bahwa ada beberapa kerangka pikir dalam memandang permasalahan IPTV dengan
berdasar pada Undang-undang terkait yang telah kita miliki, diantaranya :
1) Bila penyelenggara IPTV dikategorikan sebagaipenyelenggara telekomunikasi khusus
untuk keperluan penyiaran, maka dalam hal ini penyelenggara melakukan penyediaan
konten (bisa milik sendiri ataupun bekerjasama dengan penyedia konten) dan sekaligus
melakukan pendistribusian konten sebagai carrier. Dalam hal ini undang-undang yang
terkait adalah UU Telekomunikasi dan peraturan konten dari KPI (standar program siaran
dan pedoman perilaku penyiaran).
2) Bila penyelenggara IPTV dikategorikan sebagai Lembaga Penyiaran Berlangganan yang
mempergunakan fasilitas jaringan telkomunikasi, maka penyelenggara IPTV dibagi
menjadi 2 (dua) komponen, yaitu : penyelenggara layanan konten, yaitu Lembaga
Penyiaran Berlangganan, yang terkait dengan UU Penyiaran dan penyelenggara layanan
carrier, yaitu Penyelenggara Jaringan dan Jasa Telekomunikasi, yang terkait dengan UU
Telekomunikasi.
3) Bila penyelenggara IPTV dikategorikan sebagai Penyelenggara Jasa Telekomunikasi, maka
penyelenggara IPTV masuk sebagai kategori penyelenggaraan jasa multimedia.
4) Bila penyelenggara IPTV dikategorikan Penyelenggara Telekomunikasi Khusus untuk
keperluan Penyiaran.
Dalam UU Telekomunikasi, penyelenggaraan siaran IPTV memungkinkan untuk
dimasukkan sebagai kategori penyelenggara telekomunikasi khusus, dan sesuai dengan definisi
disebutkan bahwa penyelenggara telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang sifat, peruntukkan dan pengoperasiannya khusus. Seperti disebutkan
dalam pasal 9, ayat (3), yang berbunyi : Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk
keperluan sendiri, keperluan pertahanan keamanan negara dan keperluan penyiaran. Untuk
mengakomodasi penyelenggaraan IPTV, perlu dipertimbangkan beberapa pasal, yaitu :
a) Pasal 8 ayat (2)
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)
huruf c, dapat dilakukan oleh perorangan, instansi pemerintah, dan badan hukum selain

penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi. Hal yang
perlu dipertimbangkan adalah pada kenyataanya justru penyelenggara jaringan dan jasa
telekomunikasi adalah badan hukum yang paling siap untuk menyelenggarakan IPTV dengan
cara membentuk anak perusahaan (subsidary) yang bergerak dalam bisnis bidang penyiaran
berlangganan.
b) Pasal 11 ayat (1)
Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dapat
diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
dalam UU Penyiaran, disebutkan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diperoleh dari
Menteri setelah mendapat rekomendasi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
c) Pasal 16 ayat (1)
Setiap penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi wajib memberikan
kontribusi dalam pelayanan universal.
Karena penyelenggara telekomunikasi khusus tidak termasuk yang diatur dalam hal
kewajiban untuk memberikan kontribusi pada pelayanan universal, maka apabila
penyelenggaraan IPTV masuk kedalam kategori penyelenggara telekomunikasi khusus, maka
penyelenggara IPTV tidak diwajibkan untuk memberikan kontribusi dalam pelayanan
universal.
d) Pasal 18 ayat (1)
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian
jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi. Karena penyelenggara
telekomunikasi khusus tidak termasuk yang diatur dalam hal kewajiban mencatat/merekam
secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi, apabila penyelenggaraan IPTV masuk ke dalam
kategori penyelenggara telekomunikasi khusus, maka penyelenggara IPTV tidak diwajibkan
untuk mencatat/merekam secara rinci pemakaian siaran IPTV.
e) Pasal 23 ayat (1)
Dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan
sistem penomoran. Karena penyelenggara telkomunikasi khusus tidak termasuk yang diatur
dalam hal pengaturan nomor, apabila penyelenggaraan kontribusi dalam pelayanan
universal.
d) Pasal 18 ayat (1)
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian
jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi. Karena penyelenggara
telekomunikasi khusus tidak termasuk yang diatur dalam hal kewajiban mencatat/merekam
secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi, apabila penyelenggaraan IPTV masuk ke dalam
kategori penyelenggara telekomunikasi khusus, maka penyelenggara IPTV tidak diwajibkan
untuk mencatat/merekam secara rinci pemakaian siaran IPTV.

e) Pasal 23 ayat (1)
Dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan
sistem penomoran. Karena penyelenggara telkomunikasi khusus tidak termasuk yang diatur
dalam hal pengaturan nomor, apabila penyelenggaraan IPTV masuk ke dalam kategori
penyelenggara telekomunikasi khusus maka penyelenggara IPTV dalam mengimplemenasikan
siaranya tidak mempergunakan sistem penomoran.
9.

KESIMPULAN

Dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri KOMINFO No. 30 tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Layanan IPTV, maka penyelenggaraan layanan IPTV sudah dapat
dilaksanakan tanpa harus menunggu ditetapkannya ketentuan perundang-undangan yang
mengatur tentang konvergensi, Penyelenggara IPTV dapat menyelenggarakan layanan IPTV
apabila telah memiliki izin penyelenggaraan Jasa Akses Internet (Internet Service Provider),
Jaringan Tetap Lokal berbasis Packet Switched dan Lembaga Penyiaran Berlangganan
(LPB).

10. DAFTAR PUSTAKA

Ismail,

Nanang.

Sistem

Keamanan

pada

IPTV

(Internet

Protocol

Television).

Bandung: Teknologi Informasi ITB, 2006.

Indonesia, Peraturan Menteri KOMINFO No.30/PER/M.KOMINFO/8/2009, tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Layanan IPTV

Indonesia, Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan Telekomunikasi. PP No. 52 Tahun
2000. LN No. 107 Tahun 2000. TLN No. 3980.

Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2004.