Draft laporan 5 perspektif antikorupsi bagi anggota DPR

  LIMA PERSPEKTIF ANTIKORUPSI KPK BAGI ANGGOTA DPR 2014-2019 Prakarsa tentang

pemberantasan korupsi,

penegakan hukum, politik, kerakyatan, & pemerintahan

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(KPK)

2014

SAMBUTAN PIMPINAN

  Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Esa, atas perkenan-Nya buku ini terselesaikan. Penyusunan buku ini menjadi bagian ikhtiar KPK membangun sinergi dengan DPR dalam mewujudkan Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945.

  Buku ini disusun dari hasil abstraksi kiprah KPK selama kurang lebih 10 tahun berjalan. Oleh karenanya isu yang disampaikan merentang tidak hanya berisikan tema-tema yang berkaitan dengan tantangan kebangsaan umum semata, namun mencakup pula soal yang ada di kelembagaan DPR sendiri.

  Terdapat dua tujuan atas penyampaian gagasan yang teramu dalam buku ini kepada anggota DPR. Pertama. KPK memberikan prasaran atas tema-tema besar pemberantasan korupsi yang harus mendapat perhatian mendalam anggota DPR dikala melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kedua, penyampaian gagasan dari KPK ke DPR merupakan upaya komunikasi konstruktif dengan DPR untuk bekerja bersama.

  Akhir kata, Kami mengucapkan selamat bertugas kepada Sdra/Sdri. Besar harapan kami, materi yang teramu dalam buku menjadi tambahan informasi dan ditindaklanjuti dikala melaksanakan tugas dan kewenangan lembaga. Harapannya, perwujudan Indonesia yang sejahtera, Indonesia yang bebas dari korupsi bukan menjadi hal yang utopis namun menjadi keniscayaan..

  Salam Antikorupi Pimpinan KPK

DAFTAR ISI

  Pendahuluan

  3 Tujuan

  9 Tantangan Ke-indonesian

  10 Komitmen Anggota DPR dalam Pemberantasan Korupsi

  18 Perspektif Antikorupsi Anggota DPR

  19 Perspektif I : Penguatan Parlemen

  20 Perspektif II : Penguatan Pembangunan Negeri

  35 Perspektif III : Penguatan Pranata Kebangsaan

  61 Perspektif IV : Penguatan Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Penerimaan Negara

  80 Perspektif V : Penguatan Kesejahteraan Rakyat 105 Penutup 117

  PENDAHULUAN

  Menyongsong masa kerja anggota DPR periode 2014-2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berinisiatif menyampaikan sejumlah gagasan upaya pemberantasan korupsi. Gagasan yang disampaikan merupakan abstraksi pengalaman-pengalaman KPK selama kurang lebih 10 tahun kiprahnya. Gagasan-gagasan yang disampaikan diharapkan menjadi perhatian dan ditindaklanjuti anggota DPR di kala menjalankan tugas dan kewenangannya. Harapan KPK, dengan adanya tindak lanjut terhadap sejumlah gagasan yang disampaikan ini kelak bisa mengakselerasi pencapaian tujuan berbangsa sebagaimana diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945.

  Signifikansi penyampaian gagasan pada anggota DPR setidaknya tidak dapat dilepaskan dari empat hal. Pertama peran strategis DPR. DPR merupakan institusi yang diharapkan mampu mengawal roda penyelenggaraan kehidupan bernegara. Fungsi-fungsi kelembagaan yang diamanatkan mencakup penganggaran, legislasi dan pengawasan akan sangat menentukan arah kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya negara. Optimalisasi pelaksanaan fungsi bagi sebesar-besarnya kepentingan bangsa akan membawa Indonesia ke arah yang dicitakan bersama. Kedua, kekinian DPR. Di era reformasi, alih-alih menjadi lokomotif pemberantasan korupsi, DPR dipersepsikan masyarakat sebagai sarang koruptor. Stigma ini tidak dapat dipisahkan dari mencuatnya kasus-kasus korupsi yang membelit anggota legislatif di periode sebelumnya. Statistik di KPK menunjukan selama periode 2004 sampai juli 2014 tercatat

  

  Korupsi yang dilakukan oknum anggota DPR tidak dapat dipisahkan dari kewenangan yang dimiliki. Tidak dapat dipungkiri di era reformasi, lembaga DPR mengalami penguatan yang signifikan. Adagium ‘power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely1 menemukan embrionya pada pelaksana fungsi DPR.

  Anti-corruption Clearing House, ‘Penanganan tpk berdasarkan profesi/jabatan’, Hal ketiga, krisis ideologi kebangsaan. Realisasi pengembanan, pengejawantahan, dan pengamalan tata kelola negara dan pemerintah dalam enam dekade ini telah menimbulkan sejumlah problem besar. Di antaranya adalah tentang krisis praktik kepemimpinan, ruh, dan ideologi kebangsaan (UUD tahun 1945), negara hukum, kedaulatan rakyat dan demokrasi. Problem besar ini telah lama mengakibatkan terjadinya praktik korupsi sistemik dan tidak berjalannya pemberdaulatan tata kelola perekonomian negara untuk kepentingan rakyat (demokratisasi perekonomian negara). Landasan ketatanegaraan menegaskan bahwa yang berdaulat adalah rakyat (UUD pasal 1 ayat 2) sebagai “subyek hukum permanen”. Kekuatan status hukum rakyat adalah terkuat dan legitimasinya permanen. Sedangkan negara dalam pengertian lembaga negara bersifat tidak permanen, dapat dibubarkan jika pemimpinnya mengkhianati konstitusi. Dalam praktik, posisi rakyat semakin dilemahkan dan posisi negara kian diperkuat oleh negara. Artinya, demokrasi sekarang sedang menghadapi tantangan yang mencemaskan, dan yang paling menderita: “Rakyat”, sedangkan negara mengalami krisis martabat. Sejalan dengan situasi ini, perembesan nilai-nilai materialisme-pragmatisme-hedonisme yang tidak sesuai dengan konsep “manusia otentik” dan menyimpang dari ideologi bangsa dengan cepat merubah cara pandang para pejabat publik. Penguasa, sebagiannya gagal memaknai aspirasi rakyat dan secara simultan rendah keadabannya dalam memaknai ruh ideologi bangsa. Strategi pembangunan gagal mengartikulasikan hak-hak demokrasi rakyat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan mengakibatkan kemiskinan multi-dimensional.

  Ruh dan komitmen nasional untuk mengedepankan kemerdekaan (liberty) dan sekaligus menghadapkannya dengan penjajahan (colonialism) tidak diserap sepenuhnya dalam perumusan kebijakan nasional yang based on people empowering. Yang terjadi, kemudian, adalah kolonialisasi sektor ekonomi oleh kaum neo-liberalisme dari dalam negeri dan asing. Kebijakan sektor migas, minerba, hutan, pangan, serta pengembangan kawasan hunian, kawasan bisnis, dan pusat belanja super mewah, dan internasionalisasi pendidikan adalah fakta sempurna terjadinya krisis ideologi dalam ruang publik. Apa yang menjadi tuntutan ruh dan ideologi negara Pancasila dengan praktik kepemimpinan paska reformasi semakin mengalami kesenjangan. Budaya “intransparansi dan monopoli lebih sistemik dan struktural. Korupsi sistemik dalam bentuk corruption by design dengan dampak kerugian perekonomian negara, lumpuhnya demokrasi ekonomi, dan pelanggaran HAM adalah akibat semata krisis ideologi dan komitmen kebangsaan. Proses-proses politik gagal melahirkan sumber daya insani pemangku amanah rakyat, justru menciptakan atmosfir politik yang terasa hipokrit. Pemimpin dan kepemimpinan semakin kehilangan makna hakiki. Hubungan antara rakyat dengan negara bukan sebagai hubungan yang menghadirkan suasana keteduhan perlindungan rakyat dan hak-hak dasariahnya. Cita-cita negara “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” kian menjauh capaiannya. Perbaikan sistem tata kelola negara dan pemerintah saatnya dinafasi oleh ruh dan ideologi kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai relijiusitas, kejujujuran, keadilan, dan transparansi.

  Keempat, sistemiknya praktik korupsi. Keberadaan Negara Republik Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga ketertiban dunia. Tujuan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 tersebut hanya akan terwujud jika bangsa Indonesia mampu

  

  Sayangnya, berbagai faktor menyebabkan upaya mewujudkan tujuan mulia tersebut menghadapi kendala. Ada cukup banyak survei dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat memandang korupsi sebagai permasalahan utama bangsa yang perlu

  

  segera diatasi, jauh di atas faktor lai Di satu sisi, survei dan penelitian ini mengonfirmasi dugaan tentang parahnya tingkat korupsi di Indonesia, tetapi di sisi lain hal tersebut perlu diapresiasi karena paling tidak masyarakat telah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu korupsi.

  Memberantas korupsi memerlukan partisipasi masyarakat, karena ini bukan saja masalah penegakan hukum, tetapi juga tentang cara berpikir dan tingkah laku. Dengan kata lain, 2 korupsi juga merupakan masalah sosial dan budaya. Jika dimanfaatkan dengan baik, maka 3 Sistem Integritas Nasional Indonesia: konsep dan flosof, KPK, 2013.

  

Survei Kompas, 2010, menyebutkan bahwa 38,6% masyarakat menempatkan korupsi tingkat kepedulian dan kemarahan masyarakat tersebut merupakan modal yang penting bagi upaya pemberantasan korupsi.

  Korupsi di Indonesia bersifat sistemik dan mempunyai sejarah yang panjang; bahkan lebih panjang dari sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1970, Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai penasihat presiden mengatakan bahwa korupsi sudah

  

  membudaya di Indonesi Sejarah mencatat bahwa sejak masa penjajahan Belanda, korupsi sudah merajalela; bahkan VOC, sebuah BUMN milik pemerintah Belanda yang bertugas mengeksploitasi Indonesia, terpaksa gulung tikar pada tahun 1779 karena masalah korupsi.

  VOC digantikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, dimana praktik korupsi tetap tumbuh subur. Setelah masa kemerdekaan, masa orde baru, hingga masa paskareformasi 1998, korupsi tetap subur. Upaya memberantas korupsi bukanlah agenda baru di Indonesia. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno mengeluarkan berbagai peraturan dan mendirikan beberapa institusi untuk memberantas korupsi termasuk korupsi di lingkungan angkatan bersenjata. Lalu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah membentuk Tim Empat yang salah satunya bertugas memberantas Korupsi, diikuti dengan berbagai institusi dan peraturan yang semuanya ditujukan untuk menekan tingkat korupsi. Setelah reformasi 1998, pada tahun 2003 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diikuti dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) setahun kemudian. Ada beberapa Instruksi Presiden yang ditetapkan oleh kepala pemerintahan selama periode reformasi.

  Kehadiran KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah membuka lembaran baru bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pendekatan pemberantasan korupsi yang terkesan formalitas dan basa-basi, yang terjadi sebelum KPK dan pengadilan Tipikor terbentuk, pun diakhiri. Dampaknya, cukup banyak koruptor, yang dikualifikasi sebagai High

  

Ranking Officials, yang tertangkap dan dipidanakan. Sebagai anak kandung reformasi, KPK

  mendapatkan dukungan luar biasa dari masyarakat. Dukungan tersebut sangat penting, tidak saja dalam mengonsolidasikan upaya memberantas korupsi tetapi juga untuk membangun gerakan sosial antikorupsi.

  Terlepas dari berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan, tingkat korupsi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Di tahun 2013, Indonesia berada pada urutan ke-114 dari 177 negara dalam peringkat Corruption Perception Index (CPI). Tanpa terobosan berarti, akselerasi kemajuan tidak akan berlanjut di masa-masa mendatang.

  Maraknya korupsi politik di era demokrasi dan korupsi antarnegara di era globalisasi merupakan tantangan nyata. Globalisasi memungkinkan barang, jasa, orang, dan modal berpindah dari satu negara ke negara lain dengan mudah. Sayangnya, kasus korupsi pun ikut serta sebagai penumpang gelap proses globalisasi. Ada kecenderungan bahwa korupsi lintas negara akan semakin sering terjadi di masa mendatang. Pendekatan dan strategi baru diperlukan agar upaya memberantas korupsi dapat tetap dilakukan dengan optimal.

  Upaya memberantas korupsi hanya akan berhasil jika ia menyentuh akar permasalahan. Korupsi adalah gejala dari rendahnya integritas institusi dan individu. Mengobati gejala saja tidak akan menyembuhkan. Tanpa memperbaiki integritas, suplai koruptor baru akan terjadi dan berbagai kasus korupsi baru akan terus bermunculan. Tanpa memperbaiki integritas, maka sebaik apa pun sistem yang diterapkan akan tetap muncul kolusi. Perang melawan korupsi akan menjadi perang abadi yang menguras energi dan sulit untuk dimenangkan. Kehadiran integritas di level individu, organisasi, dan nasional merupakan pertahanan terbaik untuk mencegah terjadinya korupsi. Sistem yang akuntabel juga menjadi kata kunci utama lainnya untuk meminimalisir potensi korupsi. Integrasi antara sistem dan integritas inilah yang akan menjadi faktor fundamental pemberantasan korupsi.

  Atas empat pertimbangan diatas, gagasan anti korupsi yang disampaikan KPK menjadi bagian penting guna memperkaya perspektif anggota dewan dikala menjalankan fungsi lembaga maupun dalam mewujudkan komitmen nyata pemberantasan korupsi. Dipahami bahwa tidak semua anggota DPR memiliki pengetahuan yang sama atas permasalahan yang dihadapi bangsa. Oleh karenanya, gagasan-gagasan yang disampaikan KPK diharapkan menjadi penanda bagi anggota DPR terpilih atas area-area utama yang harus segera dibenahi guna mewujudkan Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Dalam perumusannya, gagasan yang disampaikan berangkat dari fakta yang bersifat normatif dan empirik. Fakta normatif mengacu kepada literatur. Sementara, fakta empirik diperoleh informasi akademisi yang kompeten dibidangnya. Berangkat dari dua fakta tersebut-lah KPK memformulasikan gagasan-gagasan yang disampaikan kepada anggota DPR.

  TUJUAN Ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam penyampaian gagasan ini.

  Pertama, KPK mengajukan prasaran berkenan persoalan-persoalan pokok dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.

  Lewat pengajuan gagasan-gagasan, KPK tidak berpretensi mendikte fokus kerja anggota DPR, namun sejumlah kajian, studi, dan analisis KPK beberapa tahun belakangan menunjukkan bahwa gagasan-gagasan yang disampaikan melalui buku ini merupakan tantangan besar yang harus mendapat respon serius dari anggota DPR. Dengan begitu, kemudian, diharapkan pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga yang dijalankan oleh anggota DPR diarahkan dalam upaya menjawab gagasan yang disampaikan.

  Kedua, anggota DPR dan KPK sejak awal sudah menciptakan komunikasi konstruktif untuk upaya pemberantasan korupsi.

  Anggota DPR sebagai representasi rakyat dan KPK sebagai lembaga negara, pada hakikatnya, secara bersama, mempunyai kepentingan yang sebangun: mewujudkan

  

  masyarakat adil, makmur, dan sejahte Oleh sebab itu, sinergi menjadi keharusan. Hasil kerja KPK menjadi informasi berharga untuk ditindaklangjuti anggota DPR dikala menjalankan tugas dan kewenangannya. Dengan begitu, semakin mengoptimalkan sinergi kelembagaan antara DPR dan KPK dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang bebas dari korupsi.

  TANTANGAN KE-INDONESIAN Kekinian Indonesia Genap 69 tahun Indonesia merdeka, telah banyak capaian pembangunan yang ditorehkan.

  Sekedar menyebut, di bidang ekonomi, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Di tahun 2007, kala krisis finansial global terjadi, Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertengger di angka 6,3%. Sebuah capaian yang membanggakan di tengah kontraksi ekonomi yang banyak dialami negara lainnya.

  Di fora internasional, Indonesia telah tergabung pada berbagai forum kerjasama baik di tingkat bilateral, regional maupun multilateral. Keanggotaan Indonesia pada

  

(ASEAN), World Trade Organization (WTO), G20 merupakan

  sebagian kecil keterlibatan Indonesia dikancah pergaulan internasional. Di tataran politik, Indonesia telah bertransformasi menjadi negara demokratis ketiga terbesar di dunia. Pemilihan pejabat politik di pucuk pimpinan eksekutif maupun keanggotaan legislatif, pusat maupun daerah, dipilih langsung oleh rakyat. Lebih jauh, Indonesia telah berhasil pula memisahkan peran antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kepolisian. Kepolisian yang selama 30 tahun lebih dibawah naungan TNI, menjadi institusi mandiri yang berada langsung dibawah Presiden. Dari sekian banyak capaian pembangunan, layak dipertanyakan sejauhmana tujuan berbangsa yang terkandung dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 tercapai. Hal yang lumrah dipertanyakan mencermati fakta empirik yang ada. Dalam lima tahun terakhir, penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat rendah. Sejak 2009 sampai 2013, tingkat kemiskinan hanya turun 3,98 juta. Lengkapnya, berdasarkan data BPS, dapat terlihat bahwa pada 2009 jumlah orang miskin adalah sebesar 32,53 juta; pada 2010 sebesar 31,03 juta; pada 2011 sebesar 30,02 juta; pada 2012 sebesar 28,59 juta; dan pada 2013 sebesar 28,55 juta. Pada sisi lain, ketimpangan ekonomi dan sosial masih menjadi tantangan yang dihadapi bangsa. Hal ini jelas terlihat dari indikator koefisien gini dan indeks williamson. Capaian pertumbuhan ekonomi tidak serta merta berkorelasi positif dengan fakta ril di lapangan.

  Koefisien gini, yang merupakan indikator utama ketimpangan ekonomi atau kesenjangan pendapatan penduduk, mengkonfirmasi hal tersebut. Dalam kurun waktu 2009-2012 disaat pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren membaik, angka koefisien gini mengalami peningkatan. Mengacu data Biro Pusat Statistik (BPS), pada 2009, nilai koefisien gini Indonesia adalah sebesar 0,37; pada 2010 sebesar 0,38; pada 2011 sebesar 0,39; pada 2012 sebesar 0,41; dan, pada 2013, sebesar 0,41. Meningkatnya nilai indeks koefisien gini tersebut menunjukan ketimpangan pendapatan penduduk terus membesar. Situasi yang tidak jauh berbeda juga muncul di tingkat wilayah. Di periode 2010-2012, indeks williamson selaku parameter ketimpangan pembangunan menunjukan nilai > 1. Artinya, ketimpangan pembangunan antar provinsi sangat tinggi.

  Refleksi perwujudan tujuan berbangsa, tidak terlepas pula dari realitas layanan publik yang ada. Layanan publik sebagai bagian dari tugas pokok pemerintah masih memprihatinkan. Asas Pelayanan publik sebagaimana tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009 mencakup kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus kepada kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan belum secara menyeluruh terlembaga pada pelayanan publik.

  Fenomena Korupsi

  Sulit dipungkiri, masalah-masalah di atas timbul karena korupsi. Korupsi merupakan issue

  

  abadi yang dihadapi di banyak nega Ragamnya bervariasi, bermetamorfosa seiring berjalannya waktu. Dalam konteks Indonesia, korupsi terjadi secara masif dan sistemik. Korupsi menyebar di setiap sendi kehidupan berbangsa. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan secara terang bahwa tingkat korupsi yang masif di Indonesia membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.

6 Dokumen Arthapharastra yang berumur 2400 tahun, Lihat Farrales, M, 2005, What is corruption:a history of

  Situasi ini tergambarkan sekurangnya dalam bidang ekonomi, politik dan penegakan hukum. Dalam bidang ekonomi, korupsi menjadi sebuah pilihan yang mesti dihadapi dan dilalui pelaku usaha. Pelaku usaha dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya berdamai dengan lingkungan birokrasi yang korup. Menjadi rahasia umum bahwa sistem birokrasi yang ada turut menyuburkan praktek korupsi. Minimnya informasi yang memuat kejelasan tahapan, syarat maupun biaya menjadi contoh nyata yang kerap dihadapi pelaku usaha dikala bersinggungan dengan layanan birokrasi.

  Tingginya intensitas korupsi dalam dunia usaha di Indonesia tergambarkan pula dari beberapa hasil survei. Sejak diukur di tahun 2001 sampai 2013, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada pada rentang angka 1.8 dan 3.2 (skala 0-10, 0 terendah dan sebaliknya). Hasil yang sama juga muncul dalam survei yang dilaksanakan oleh Political Economic and Risk Consultancy –PERC-. Di 2013, Indonesia bertengger pada posisi dua terbawah dengan nilai 8.85 (skala 0-10, 0 terbaik dan 10 terburuk). Rendahnya perolehan nilai tersebut menunjukan korupsi menjadi sebuah hal yang lumrah ditemui dalam pengurusan administrasi

  

  Ranah politik tidak terlepas pula dari jangkauan virus korupsi. Sebagai sebuah aktivitas,

  

  politik sejatinya merupakan sarana mencapai kebaikan bersam Akan tetapi, fenomena faktual menunjukkan individu yang terjun ke dunia politik lebih menitikberatkan pada upaya memperoleh kekuasaan ketimbang mendayagunakan kekuasaan yang dimiliki bagi kemaslahatan bersama. Terungkapnya beberapa kasus korupsi yang melibatkan politisi

  

  Disisi lain, masif dan intensifnya pemberitaan atas korupsi yang dilakukan oleh pejabat

  

  legislatif memicu sinisme masyarakat terhadap institusi perwakilan rakya Kegeraman masyarakat akan laku korup tersebut mendorong elemen masyarakat melalukan judicial 7

review terhadap kewenangan DPR. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor

Penilaian atas kemudahan dalam memulai usaha menempatkan Indonesia pada posisi 175 dari 189 negara.

  

Lihat, The World Bank, 2014, Doing business 2014:understanding regulations for small and medium-size

8 enterprises, The World Bank, hlm. 198. 9 Phillips & Rielly 1982, Key concepts in politics, Nelson Australia, hlm. 1.

  

Data penanganan korupsi di KPK sampai dengan Juli 2014, politisi yang terjerat proses hukum di KPK

10 mencapai 75 orang.

  

Indonesia Today, ‘DPR terkorup: inilah hasil survei soegeng sarjadi syndicate’, diakses pada 01 Mei 2013 di

  35/PUU-XI/2013 menganulir kewenangan Badan Anggaran untuk membahas anggaran sampai tingkat kegiatan dan menghapus kewenangan DPR memberikan persetujuan APBN sampai tingkat kegiatan dan jenis belanja. Setali tiga uang, korupsi juga merasuk bidang penegakan hukum. Institusi-institusi konvensional yang berkait langsung dalam upaya penegakan hukum masih bergulat dengan

  

issue korupsi di internal organisasinya. Alih-alih sebagai tempat mencari keadilan, institusi

  penegakan hukum tersebut belum mampu secara optimal memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Buruknya kualitas institusi penegak hukum tercermin pula dari nilai indeks

  

  indeks Rule of La Penilaian atas indikator sistem peradilan pidana sebagai salah satu penyokong indeks rule of law menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi pekerjaan rumah

  

  Imbas korupsi sebagaimana diurai diatas pada akhirnya merenggut hak rakyat untuk hidup sejahtera. Padahal, negara berkewajiban memajukan derajat kemakmuran rakyatnya. Negara mesti sanggup memuaskan tuntutan kesejahteraan sosial rakyatnya. Hak konstitusi adalah hak yang melekat pada tiap warganegara untuk meraih perlindungan, kesetaraan, kehidupan

  

  layak, dan kesejahteraaKewajiban dan tanggung jawab itu harus terpenuhi, apakah negara itu kaya atau tidak, karena bila tidak negara tersebut patut dikategorikan sebagai negara

  

  Kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya sesungguhnya sudah tertuang secara tegas dan eksplisit dalam konstitusi. Pasal 27 ayat 2 menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua mencetuskan: “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Lalu, pasal 28H ayat 2 memberi mandat bahwa “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan 11 Rule of Law index merupakan index komposit dari penilaian beberapa indikator mencakup: constraints on

  

government powers, absence of corruption, open government, fundamental rights, order and security, regulatory

enforcement, civil justice, dan criminal justice system. Lihat, The World Justice Project 2014, Wjp rule of law

12 index:2014, The World Justice Project, hlm. 16.

  

Untuk Indikator sistem peradilan pidana, Indonesia berada posisi 71 dari 99 negara dengan nilai 0.37 (skala 0-

1, 0 terendah dan 1 terbaik). Lihat, The World Justice Project 2014, Wjp rule of law index:2014, The World Justice Project, hlm. 106. manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Dan, pasal 28H ayat 3 memerintahkan negara agar “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Lebih jauh, sejumlah pasal lain dalam konstitusi menguatkan tanggung jawab negara untuk memajukan kesentosaan warganya. Pasal 33 ayat 3 berbunyi, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 34 ayat 1 (amandemen keempat) mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Kemudian, pasal 34 ayat 2 mendesak negara untuk “mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Lalu, dalam pasal 34 ayat 3 disebutkan bahwa “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Pasal-pasal di atas memberi amanat agar tiap warganegara bisa bebas dari ketakberdayaan.

  Pesan konstitusi ini sesungguhnya sudah jauh lebih dahulu sebelum Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1998, mengatakan perlunya pembangunan sebagai proses menuju kebebasan. Bila pembangunan adalah sebuah proses menuju kebebasan, maka, bagi Sen, pembangunan mensyaratkan sirnanya sumber-sumber utama ketidakbebasan. Pangkal pokok ketakmandirian itu adalah kemiskinan, tirani, peluang berusaha yang diisolasi oleh negara, penghirauan akan penyediaan fasilitas-fasilitas yang bermanfaat bagi publik,

  

  Bila diperhatikan sejumlah fakta korupsi belakangan ini, kemudian membandingkannya dengan amanat konstitusi, maka terlihat bahwa korupsi sesungguhnya adalah pelanggaran

  

  terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, muncul semacam korupsi konstitusi Maksudnya adalah bahwa ada kesengajaan untuk mengingkari amanat konstitusi; mengabaikan pesan- pesan konstitusi. Memperhatikan pelaku korupsi berdasarkan jabatan sejak tahun 2004-2013 (tabel 1.1.) cukup membuat miris. Korupsi telah merasuk di semua lini kehidupan bernegara, melibatkan 15 kalangan eksekutif legislatif, eksekutif, yudikatif, masyarakat dan dunia usaha.

  Amartya Sen, Development as Freedom, 1999.

  Tabel 1.

Tabulasi Data Pelaku Korupsi Berdasarkan Jabatan Tahun 2004-2014

(per Juli 2014)

  

No Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total

Anggota DPR &

  1

  2

  7

  8

  27

  5

  16

  8

  2

  75 DPRD Kepala

  2

  1

  1

  1

  1

  2

  1

  4

  7

  18 Lembaga/Kementerian

  3 Duta Besar

  2

  1

  1

  4

  4 Komisioner

  3

  2

  1

  1

  7

  5 Gubernur

  1

  2

  2

  2

  1

  2

  1

  11 Walikota/Bupati &

  6

  3

  7

  5

  5

  4

  4

  4

  3

  6

  41 Wakil

  7 Eselon I/II/III

  2

  9

  15

  10

  22

  14

  12

  15

  8

  7 1 115

  8 Hakim

  1

  2

  2

  3

  2

  10

  9 Swasta

  1

  4

  5

  3

  12

  11

  8

  10

  16

  24 8 102

  10 Lainnya

  6

  1

  2

  4

  4

  9

  3

  3

  8

  3

  43 Jumlah

  4

  23

  29

  27

  55

  45

  65

  39

  50

  59 30 426 Sumber: KPK, 2014

  Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang kehidupan, dengan pelaku yang berpendidikan tinggi, kekayaan yang sudah memadai, dan pemahaman agama yang mumpuni. Perilaku korup oleh mereka yang sudah berkecukupan secara materiil tersebut kita sebut corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan.

  Grand corruption menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun

  non-finansial, yang tidak hanya menggerus keuangan negara tetapi juga telah merampas hak- hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi yang dilakukan secara tersembunyi banyak terjadi karena adanya kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan para pengambil kebijakan publik. Dengan pengaruh yang dimilikinya, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi pengambil kebijakan agar mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat mengontrol proses perumusan kebijakan publik, maka fenomena inilah yang sering disebut dengan state capture atau elite capture. Besarnya imbas kerugian negara akibat korupsi dapat tergambarkan dari besarnya keuangan negara yang diselamatkan KPK. Sejak berdiri sampai dengan Juli 2014, KPK telah menyelamatkan total kerugian negara sebesar Rp 248,97 Triliun. Uang negara sebesar itu terdiri atas perolehan dari upaya penindakan dan upaya pencegahan melalui penyelamatan kerugian negara sebesar Rp 197,46 Triliun. Juga, dari potensi penyelamatan kerugian negara dengan program pencegahan sebesar Rp 51,50 Triliun .

  

Tabel 2

Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara oleh KPK 2005-2014

No. Penindakan* RUPIAH U$D

  Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari

  1 1.252.938.613.187,30 Tindak Pidana Korupsi

  Jumlah uang yang disetor ke Kas Negara dari

  2 19.965.419.214,00 Gratifikasi

3 Sub Total 1.272.904.032.401,30

  Pencegahan Penyelamatan keuangan negara akibat pengalihan hak milik negara (HMN) yang

  1 2.876.296.051.256,00 dapat dicegah pada 25 Kementerian/Lembaga

  2009 s.d Oktober 2011 Penyelamatan keuangan dan kekayaan negara

  2 186.620.009.340.084,00 dari sektor hulu migas

  Penyelamatan dari alokasi gas bumi untuk

  3 6.700.000.000.000,00 pupuk Tahun 2013

  Sub Total 196.196.305.391.340,00 Total Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara 197.469.209.423.741,30 (Penindakan + Pencegahan) Program Pencegahan Potensi penerimaan negara bukan pajak akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh

  1 15.900.000.000.000,00 pertambangan per Agustus 2013

  Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral per Agustus

  2 6.777.607.062.722,36 2013

  Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral

  3 24.661.547,49 (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan

  Pertambangan Mineral (2011) Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi

  4 Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) 1.224.212.608,84 dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012) Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data

  5 28.500.000.000.000,00 Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS

  Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8

  6 331.275.179.147,00 546.111.426,00 Provinsi (2011-2013)

  Total Potensi Penyelamatan Kerugian Keuangan 51.508.882.241.869,40 1.794.985.582,33 Negara (Pencegahan) Grand Total Penyelamatan Kerugian Keuangan 248.978.091.665.610,70 1.794.985.582,33 Negara

  • data hingga Juli 2014 Sumber: KPK, 2014

KOMITMEN ANGGOTA DPR DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

  Dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, anggota DPR memiliki peran strategis dalam mewujudkannya. Sebagai pelaksana fungsi representasi, anggota DPR dituntut mampu mengutamakan kepentingan nasional ketimbangan kepentingan pribadi dan golongan. Dalam kerangka tersebut, beberapa hal yang harus dilakukan anggota DPR sebagai perwujudan komitmen nyata pemberantasan korupsi adalah:

  1. Menolak dan melaporkan segala bentuk gratifikasi yang diterima dikala melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangan DPR.

  2. Melaporkan harta kekayaan secara jujur.

  3. Menentang setiap usaha yang akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

  4. Menindaklanjuti dan melaksanakan rekomendasi-rekomendasi KPK guna mewujudkan DPR yang kuat dan bebas dari korupsi.

  5. Melibatkan tim pakar yang berintegritas dan profesional dalam seleksi dan pemilihan pejabat publik

PERSPEKTIF ANTI KORUPSI BAGI DPR

  Gagasan yang akan disampaikan di sini merupakan abstraksi persoalan-persoalan aktual yang

  KPK berkeyakinan bahwa korupsi menjadi faktor utama yang menghambat perwujudan tujuan berbangsa. Korupsi menyebabkan terganggunya gerak langkah organ negara mencapai kesepakatan berbangsa. Melalui buku ini KPK menghadirkan masalah-masalah kenegaraan yang harus mendapat atensi anggota DPR untuk ditindaklanjuti dikala menjalankan tugas dan kewenangannya. Masalah yang disampaikan merentang dari soal internal kelembagaan DPR, pelaksanaan fungsi DPR, sampai dengan hal-hal yang bersifat tematik yang mengiringi berjalannya kegiatan penyelenggaraan negara. Secara keseluruhan, perspektif anti korupsi anggota DPR dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu:

  1. Penguatan parlemen.

  2. Penguatan pembangunan negeri.

  3. Penguatan pranata kebangsaan.

  4. Penguatan pengelolaan sumberdaya alam dan transportasi.

  5. Penguatan kesejahteraan rakyat Agenda-agenda di atas akan diuraikan lebih jauh dalam uraian selanjutnya.

  

PERSPEKTIF I:

PENGUATAN PARLEMEN

Perspektif penguatan parlemen terbagi atas dua

hal: penguatan internal DPR dan perbaikan dalam

pelaksanaan fungsi serta kewenangan DPR

PENGUATAN INTERNAL DPR

  

Bagian ini terdiri atas revitalisasi sistem

pendukung DPR, restrukturisasi alat

kelengkapan, revitalisasi kode etik anggota DPR

dan penegakannya, serta pelembagaan prinsip

akuntabilitas anggota DPR atas pelaksanaan

fungsi institusi Revitalisasi Sistem Pendukung DPR

  Sistem pendukung DPR memegang peran penting dalam menunjang pelaksanaan fungsi DPR. Peran penting tersebut menjadi tak terbantahkan mengingat terbatasnya kapasitas legislator melaksanakan fungsi DPR. Tidak dapat dipungkiri, tingginya elektabilitas legislator tidak serta merta berbanding lurus dengan kapabilitas yang dimiliki. Mengingat peran strategis yang melekat pada anggota DPR, ketidak-kompetenan politisi berpotensi mengganggu pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga.

  Realita, sistem pendukung DPR belum mampu memberikan layanan optimal kepada penggunanya. Data dan informasi yang diberikan kepada anggota, fraksi maupun alat kelengkapan masih terbatas. Hal ini tidak terlepas dari pencermatan atas struktur dan keluaran utama yang ada dalam sistem pendukung DPR. Struktur organisasi sistem

  

  pendukung DPR belum terbentuk sepeAkibatnya dukungan data, informasi maupun referensi kepada legislator terfragmentasi. Fragmentasi menjadi sebuah masalah ketika legislator menjadikan dasar utama pengambilan kebijakan pada masukan yang diberikan tenaga ahli-nya. Hal ini layak disoal mengingat integritas dan profesionalitas tenaga ahli

  

  Dari sisi keluaran, belum seluruh unit utama dalam sistem pendukung mendefinisikan produknya. Akibatnya, keluaran yang dihasilkan belum secara spesifik menjawab kebutuhan 17 anggota parlemen. Sebagai contoh, dalam halnya dukungan terhadap pelaksanaan fungsi

  

Badan Fungsional/Keahlian sebagai pendukung DPR sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3 belum terbentuk. pengawasan, sistem pendukung belum secara optimal memberikan masukan terhadap area- area prioritas yang perlu mendapat perhatian utama anggota DPR. Input yang disampaikan kepada legislator masih sebatas meneruskan informasi yang tertuang dalam laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal serupa muncul pula di waktu anggota

  

  Restrukturisasi Alat Kelengkapan DPR

  Alat kelengkapan sejatinya merupakan sarana anggota DPR melaksanakan fungsi representasinya. Dari perspektif tersebut, keberadaan alat kelengkapan mesti diletakkan dalam kerangka pelaksanaan fungsi representasi. Mengacu Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3, alat kelengkapan DPR beragam. Undang-Undang MD3 menyebut alat kelengkapan DPR terdiri atas pimpinan, komisi, badan, dan panitia kerja. Alat kelengkapan tersebut dapat melakukan satu atau lebih fungsi representasi. Namun, terdapat pula alat kelengkapan yang tidak secara spesifik melakukan fungsi representasi. Pimpinan, Badan Kerjasama Antar Parlemen dan Badan Urusan Rumah Tangga merupakan contoh dari hal tersebut.

  Beragamnya alat kelengkapan layak dievaluasi. Evaluasi dilakukan dalam perspektif menciptakan alat kelengkapan yang minim jumlah namun kaya fungsi. Muara akhir yang dituju, keberadaan suatu alat kelengkapan dapat dinilai urgensinya dengan mengacu pada kebutuhan dan fungsi spesifik yang akan diembannya. Lebih dari itu, restrukturisasi alat kelengkapan diperlukan pula dalam upaya mengoptimalkan peran anggota dalam menjalankan fungsi representasi-nya. Menilik jenis alat kelengkapan yang ada, pelaksanaan fungsi lembaga tersebut hanya ada di komisi. Namun, mencermati jumlah alat kelengkapan

  

  yang a pelaksanaan ketiga fungsi tersebut berpotensi tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Suatu hal logis muncul mengingat fraksi (partai politik) akan berupaya mengoptimalkan perwakilannya di tiap alat kelengkapan yang ditempatinya.

  19 Sistem pendukung DPR belum mampu memberikan informasi bagi anggota DPR atas urgensi suatu kegiatan

yang diusulkan pemerintah. Lihat, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2013, Kajian pelaksanaan fungsi dpr,

20 Komisi Pemberantasan Korupsi, hlm. 43.

  

UU No. 17 tahun 2014 mencantumkan bahwa alat kelengkapan DPR diluar pimpinan, panitia khusus dan alat

kelengkapan lainnya yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna terdiri atas badan musyawarah, komisi, Di masa akhir jabatan anggota DPR periode 2009-2014, telah dilakukan upaya reorganisasi terhadap alat kelengkapan DPR. Hal ini dituangkan dalam UU No. 17 tahun 2014 sebagai perubahan dari UU No. 27 tahun 2009 tentang MD3. Reorganisasi dilakukan dengan merampingkan jumlah serta memformulasi ulang tugas di beberapa alat kelengkapan. Namun demikian, reorganisasi yang dilakukan masih belum mampu menjawab beberapa permasalahan lalu yang muncul.

  Pertama, masih munculnya potensi tumpang tindih fungsi antar alat kelengkapan. Belum spesifiknya batasan tugas yang diampu pada suatu alat kelengkapan menjadi penyebabnya. Konsekuensinya, ruang interpretasi yang berbeda masih rentan muncul dalam sebagian pelaksanaan rumusan tugas. Mengambil contoh Badan Kerjasama Antar Parlemen, tugas “membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain” secara implisit tertuang dan memiliki relevansi yang erat dengan tugas pimpinan dikala “mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya”. Belum tegasnya batasan tugas dan kewenangan pada gilirannya memunculkan potensi soal akuntabilitas dalam suatu rangkaian penyusunan kebijakan. Akuntabilitas disini berkenaan atas pertanggungjawaban publik dari pembentukan suatu kebijakan. Situasi sebagaimana yang muncul dalam proses alokasi dana hasil optimalisasi 2014. Ketiadaan rumusan spesifik alat kelengkapan yang diberikan kewenangan mengalokasikan dana optimalisasi menjadikan Badan Anggaran dan Komisi dapat bersepakat secara internal dan memainkan perannya masing-masing tanpa melalui prosedur normal sebagaimana diatur dalam pembentukan APBN.

  Revitalisasi Kode Etik Anggota DPR dan Penegakannya

  Kode etik merupakan seperangkat aturan yang memuat nilai dan perilaku yang mesti dipatuhi individu. Kode etik disusun sebagai upaya memastikan individu di sebuah institusi berlaku benar sesuai dengan nilai institusi, fungsi institusi dan dalam bertindak memberikan nilai

   21 manfaat yang besar ketimbang dampak negatif yang dihasilka

  

Konsep dasar etika mengacu kepada virtue, fungsi dan kemanfaatan. Lihat, Childress, J & Beauchamp, T, Selaku pelaksana fungsi representasi, anggota DPR telah memiliki kode etik. Aturan kode etik dituangkan dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 01 tahun 2011. Rumusan perihal kode etik diatur di bab II, memuat sembilan bagian, dengan rincian aspek meliputi mementingkan kepentingan umum, integritas, objektivitas, akuntabilitas, keterbukaan, rahasia, kejujuran dan kedisiplinan, kepemimpinan dan perjalanan dinas. Secara umum, kode etik DPR perlu untuk disempurnakan. Pertimbangan muncul utamanya dari belum didefinisikannya nilai yang ada dalam rumusan kode etik. Ketiadaan penjelasan yang tegas atas makna dari suatu nilai mengakibatkan derivatif perilaku yang dirumuskan tidak spesifik merujuk pada prinsip nilai yang akan dibangun. Sebagai contoh, dalam halnya objektivitas, klausul ‘anggota DPR RI dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan yang ditujukan untuk kepentingan diri pribadi dan/atau pihak

  

  lain’ menjadi tidak relevan dengan esensi nilai yang akan ditegakka Lebih jauh, ketiadaan definisi juga menyebabkan perilaku-perilaku yang semestinya menjadi terjemahan utama dari nilai-nilai lembaga tidak terangkum dalam rumusan kode etik yang ada. Sebagai contoh, pengaturan atas pertanggungjawaban lobi belum disinggung di dalam aturan etik anggota DPR. Walaupun lobi menjadi keseharian anggota DPR, namun pertanggungjawaban lobi belum mendapatkan porsi pengaturan yang memadai. Suatu hal yang kontradiktif, mengingat kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum anggota DPR sedikit banyak bermula dari lobi-

  

  Sementara itu, dari sisi penegakan kode etik, imparsialitas penangan-aduan di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) layak untuk dicermati. Imparsialitas secara definisi merupakan