KEBUTUHAN VAKSINASI ULANG TETANUS PADA WANITA USIA SUBUR DI YOGYAKARTA

KElWl"UHAN VAKSINASI ULANG TETANUS PADA WANITA USIA
SUBUR DI YOGYAKARTA
Eko Suprijanto*, Muljati Prijanto*, Rini Pangastuti*, RM Triharyanto**

ABSTRACT
To enlarge the coverage of tetanus immunization program in preventing neonatal tetanus, there
has been a change of the target group from pregnant women to child-bearing age women disregarding
their pregnaucy status. This change calls for administration of a booster dose to enhance the long-lasting
immunity among the child-bearing age women in the community.
To determine the proper time to give the booster dose, tetanus antitoxin levels of 21 - 39 years
old women who had received primary immunization at 2 - 7 years before were measured by passive
haemagglutination assay. The women with antitoxin levels of less than 0.01 HAU/mlwere asslulled to
need a booster injection.
Regression analysis clearly showed the demand of booster dose was increasing linearly from 40% up
to 60% as measured at 2 - 7 years of post-vaccination period. Geometric mean titres were maintained
in between 0.02 - 0.03 HAU/ml up to 5 years of ppst-vaccination period, then decreased.to 0.015
HAU/ml and 0.0058 HAU/Ml in 1 and 2 years later, respectively.
Based on the results, and considering some other advantages, it was suggested to administer the
booster dose of tetanus toxoid at an earliest opportunity, say at 1 or 2 years after administration of primary immunization.

PENDAHULUAN

Tetanus neonatorum merupakan penyebab utama kematian neonatal di Indonesia. Dari angka kematian neonatal
sebesar 4,8 per 1000 kelahiran hidup1,
43,l % di antaranya disebabkan oleh tetanus neonatorum2.
Pemberantasan penyakit ini dilakukan dengan pemberian vaksinasi tetanus
pada ibu harnil agar bayi mereka terlindungi dari serangan tetanus neotanorum.
Sejak tahun 1976 Ditjen PPM-PLP telah melaksanakan program vaksinasi dasar
tetanus pada ibu hamil. Vaksinasi dasar
ini berupa suntikan 2 dosis vaksin tetanus
dengan selang waktu 2 bulan. Vaksinasi
ulang direncanakan dapat diberikan setelah 3 tahun kemudian.

*
**

Pusat Penelitian Penyakit Menular - Jakarta
Dinas Kesehatan Propinsi DIY - Yogyakarta.

Bul. Penelit.Kesehat. 15 (1) 1987

Sampai akhir Pelita 111, pelaksanaan

program tersebut baru dapat mencakup
19,6 % dari jumlah ibu hamil yang ditargetkan. Untuk meningkatkan cakupan
program ini, mulai awal 1984 sasaran vaksinasi diperluas menjadi seluruh wanita
usia subur (18 - 25th) tanpa memandang
status kehamilannya, terutama untuk daerah dengan angka kematian bayi yang
relatif tinggi3.
Berbeda dengan prosedur vaksinasi
terdahulu, perluasan sasaran vaksinasi tetanus ini membawa akibat terjadinya
selang waktu yang lama antara saat pemberian vaksinasi dengan saat terjadi kehamilan. Dalam situasi semacarn h i ,
vaksinasi ulang tetanus diperlukan untuk
mempertahankan status kekebalan tetanus
dari para ibu-ibu sehingga bayi mereka
tetap terlindungi dari serangan tetanus
neonatorum.
Dalam penelitian ini diukur derajat
kebutuhan vaksinasi ulang tetanus di ma37

syarakat dalam upaya untuk menentukan
saat optimum bagi pemberian vaksinasi
ulang tetanus bagi kalangan wanita usia

subur yang telah menerima vaksinasi dasar tetanus.

BAHAN DAN CARA KEFkJA
Saat optimum bagi pemberian vaksinasi ulang ditentukan dari perubahan
besarnya derajat kebutuhan vaksinasi
~xlangsejalan dengan semakin panjangnya
masa pasca-vaksinasi. Derajat kebutuhan
vaksinasi ulang dinyatakan berupa prosentase ibu-ibu yang telah kehilangan kekebalm secara serologis terhadap tetanus,
meakipun telah menerima vaksinasi dasar
tetanus pada beberapa waktu sebelumnya.
Penelitian retrospektip ini dilakukan
di Kab. Kulonprogo dan Kab. Bantul,
Yogyakarta, mengingat daerah ini telah
melakukan program vaksinasi tetanus
pada ibu hamil sejak 1976, cakupan prograrnnya relatip tinggi, buku catatan imunisasinya terpelihara baik, mobilitas penduduknya relatip rendah, dan masyarakatnya sangat kooperatip.
Berdasarkan hasil sensus dari rumah
ke rumah, yang kemudian dikonfirmasikan dengan buku catatan imunisasi dari
Puskesmas setempat, terpilih 331 orang
ibu berusia antara 21 - 39 tahun yang
telah menerima 2 dosis vaksin tetanus

dengan selang waktu 1 - 3 bulan pada
kurun waktu 1978 - 1983, dan belum
pernah menerima vaksinasi ulang sesudahnya. Kemudian dilakukan pengelompakan menurut lamanya masa pasca-vaksinasi, yakni selang waktu antara pember i m dosis vaksin terakhir dengan saat pengambilan darah pada bulan September
1985.
Dari ibu-ibu tersebut diambil 2 rnl
darah vena dan sera dipisahkan setelah
darah disimpan selama 1 malam pada
suhu 5 - 1 0 ' ~ . Setelah ditambahkan

0,1% merthiolate sebanyak 0 , l ml sera disimpan pada suhu -20°c sampai dikirim ke Jakarta untuk dilakukan pengukuran kadar antitoksin.
Pengukuran kadar antitoksin tetanus
dilakukan oleh Pusat Penelitian Penyakit
Menular dengan cara mikrohemaglutinasi
pasif menurut cara an do^. Berdasarkan
hasil penelitian terdahulu5 kadar antitoksin sebesar 0,01 HAU/ml dipergunakan
sebagai batas protektip.
Untuk mengetahui distribusi sampel
dilakukan penghitungan rata-rata geometrik dari kadar antitoksin dengan batas
konfidensi 0,95 menurut cara Kurokawa6. Perubahan derajat kebutuhan vaksinasi ulang tetanus sejalan dengan semakin
panjangnya masa pasca-vaksinasi dipelajari

dengan analisis korelasi-regresi menurut
cara Lutz7.

HASIL PENELITIAN
Hasil pengukuran kadar antitoksin
tetanus menunjukkan bahwa pada masa
pasca-vaksinasi antara 2 - 5 tahun jumlah
ibu-ibu yang kehilangan kekebalan terhadap tetanus kurang lebih sama, yaitu
antara 40 - 45%. Angka ini kemudian
meningkat menjadi 57,1% dan 63,0% diukur pada 6 dan 7 tahun masa pasca-vaksinasi (Tabel 1).Dengan kata lain, derajat
kebutuhan vaksinasi ulang tetanus di antara wanita usia subur berkisar antara
40 - 45% diukur pada 2-5 tahun setelah
menerima vaksinasi dasar. Derajat itu kemudian meningkat menjadi 57,176 dan
63,0% setelah 6 dan 7 tahun.
Hasil analisis korelasi antara derajat
kebutuhan vaksinasi ulang dengan panjangnya masa pasca-vaksinasi menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,7419
(Gambar 1). Hal ini mencerminkan adanya hubungan linier antar kedua variabel
tersebut. Dengan memanfaatkan persamaan regresi linier Y = 34,2 + 3,4 X dapat
Bul. Penelit. Kesehat. 15 (1) 1987


dinyatakan bahwa derajat kebutuhan vaksinasi ulang tetanus meningkat dari 40%
menjadi 60% sejalan dengan semakin

100

panjangnya masa pasea-vabinasi antara 2 .
sampai 7 tahun.

Gambar 1. Korelasi antara derajat kebutuhan vaksinasi ulang tetanus
dengan masa pasca-vaksinasi dasar, 1985

I

1

I

I

1


I

masa pasca-vaksinasi (tahun)
Pada rnasa pasca-vaksinasi antara 2-5
tahun, rata-rata geometrik kadar antitoksin tetanus dipertahankan antara 0,02
- 0 , 0 3 HAU/ml. Rata-rata itu kemudian
menurun menjadi 0,015 HAU/ml dan
0,0058 HAU/ml pada masa pasca-vaksinasi 6 dan 7 tahun (Gambar 2). Harga
batas konfidensi 0,95 dari rata-rata geometrik tersebut terlihat hampir sama
untuk kelompok dengan masa pasca-vaksinasi 2 - 5 tahun. Berarti belompok
Bul. Penelit. Kesehat. 15 (1) 1987

ibu-ibu yang divaksinasi antara tahun
1980 - 1983 mewakili populasi serologis
yang sama, Lebih lanjut 1agi;mengingat
rata-rata geometrik kadar antitoksin pada
umumn ya akan menurun secara linier
sejalan deqgan waktu5, dapat diartikan
bahwa hasil vaksinasi tetanus di Yogyakar,ta antara tahun 1982 - 1983 lebih rendah daripada pelaksanaan tahun 19801981.


39

Gambar 2. Penurunan rata-rata geometrik*) kadar antitoksin tetanus dari ibu-ibu
Yogyakarta diukur pada 2 - 7 tahun setelah pemberian vaksinasi dasar, 1985.
0,l

0,001
2

3

4

5

6

7


masa pasca-vaksinasi (tahun)
*) dengan batas konfidensi 0,95

PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini sangat dipengaruhi
oleh penggunaan kadar antitoksin tetanus sebesar 0,01 HAU/rnl sebagai indikator perlindungan klinis terhadap serangan tetanus. Secara luas, para ahli sepakat
bahwa ibu hamil yang memiliki kadar
antitoksin sebesar 0,01 IU/ml akan mam40

pu mewariskan perlindungan klinis terhadap serangan tetanus neonatorum kepada
bayi yang dikandungnya8~9.Kadar antitoksin ini hams diukur dengan cara netralisasi yang diketahui memiliki akurasi
dan presisi yang tinggil O . Mengingat tehnik netralisasi tidak dapat dilakukan untuk menangani spesimen dalam jumlah
besar, maka telah dikembangkan tehnik
Bul. Penelit. Kesehat. 15 (1) 1987

hemaglutinasi pasif yang lebih memadai
untuk survai sero-epidemiologis4. Namun
demikian akurasi hasil pengukuran kadar
antitoksin dengan cara hemaglutinasi
(HAU/ml) haruslah secara hati-hati ditera

dengan hasil pengukuran netralisasi (IU/
ml). Pada penelitian terdahulu5 telah
ditunjukkan bahwa hasil pengukuran
hemaglutinasi di Pusat Penelitian Penyakit Menular memiliki akurasi yang tinggi
dibandingkan dengan hasil pengukuran netralisasi. Ini tetbukti dengan koefisien
korelasi sebesar 0,9743. Oleh karenanya,
tehnik hemaglutinasi tetap dipergunakan
dalam penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa derajat kebutuhan vaksinasi ulang
meninglrat dari 40% menjadi 60% diukur
pada masa pasca-vaksinasi 2-7 tahun.
Hasil tersebut agak berbeda dengan hasil
penelitian terdahulu5 yang juga dilakukan
di Yogyakarta dengan melibatkan ibuibu yang telah menerima vaksinasi dasar
pada kurun waktu antara tahun 19781981. Penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa derajat lrebutuhan vaksinasi ulang
tetanus meningkat dari 19% menjadi 46%
diukur pada masa pasca-vaksinasi 1-4
tahun. Perbedaan hasil vaksinasi semacam
ini dapat ditimbulkan oleh perbedaan

pada beberapa fakior, seperti prosedur
vaksinasi (jumlah antigen per dosis, jumlah dosis, selang waktu antar dosis, dan
route antigen) karakter populasi sasaran
(jenis Itelamin, golongan umur, ras atau
suku bangsa, dan status kekebalan), dan
kualitas vaksin (macam adjuvant, kemurnian antigen, imunogenisitas, dan rantai
dingin penyimpangan vaksin)' . Mengingat kedua penelitian tersebut dilakukan
pada populasi yang sama, dan selama
penelitian dilangsungkan tidak terjadi perubahan prosedur vaksinasi, maka dapat
diperkirakan bahwa faktor kualitas vaksin
bertanggung-jawab atas perbedaan hasil
penelitian tersebut. Program vaksinasi tetanus di Indonesia menggunakan vaksin
Bul.Penelit. Kesehat. 15 (1) 1987

dengan nomor batch yang berbeda dari
tahun ke tahun, sehingga tentu terjadi perbedaan imu nogenisitas antar batch, dan
pada akhirnya menimbulkan perbedaan
hasil serologis pelaksanaan vaksinasi dari
tahun ke tahun. Gambar 2 menunjukkan
indikasi bahwa pelaksanaan vaksinasi tetanus di Yogyakarta pada tahun 19821983 memberikan hasil serologis yang
lebih rendah daripada pelaksanaan tahun
1980 - 1981.
Dibandingkan dengan penelitian di
luar negeri, derajat kebutuhan vaksinasi
ulang tetanus di antara wanita Indonesia
relatip tinggi. Diukur pada masa pascavaksinasi 3 tahun, ibu-ibu Papua Nugini
menunjukkan derajat kebutuhan vaksinasi
ulang tetanus sebesar 22%" ., sedangkan
di Indonesia mencapai 45% (Tabel 1 ) .
Meskipun di Papua Nugini dipergunakan
vaksin tetanus dengan potensi yang lebih
tinggi (193 IU/ml, dan di Indonesia sekitar 120 IU/ml), tetapi mengingat rata-rata
geometrik kadar antitoksin setelah 3 tahun masa pasca-vaksinasi sebesar 0,03
IU/ml hampir sama dengan di Indonesia
(0,0275 HAU/ml, Gambar 2), maka faktor kualitas vaksin bukan merupakan penentu dari perbedaan hasil penelitian di
atas. Mungkin secara genetis kadar antitoksin tetanus pada wanita Indonesia memang lebih cepat menurun sampai di
bawah batas protektip, seperti pernah dilaporkan terjadi di ~ m e r i k a '
Di kalangan para ahli, saat optimum
bagi pemberian valtsinasi ulang tetanus
masih belum dapat disepakati bersama.
Melihat kenyataan terdapat faktor genetis
yang mempercepat penurunan kadar antitoksin tetanus dalam darah, maka disarankan agar vaksinasi ulang diberikan pacla
6-12! bulan setelah pemberian vaksinasi
dasarl2. Di pihak lain, dengan semakin
banya!mya keluhan yang disampaikan
oleh masyarakat mengenai reaksi samping
karena pemberian vaksin secara berulangulang, disarankan agar vaksinasi ulang

tetanus diberikan setiap 5 tahunlO. Pendapat lain menyatakan bahwa sebaiknya
vaksinasi ulang tetanus diberikan sebanyak 2 dosis, yakni pads 1 dan 5 tahun
masa pasca-vaksinasi13. Untuk kondisi di
Indonesia, disarankan agar vaksinasi ulang

tetanus dapat diberikm sedini mungkin
yaitu pa& 1 atau 2 tahun setelah pemberian vaksinasi dasar, mengingat derajat
kebutuhm vaksinasi ulmg di antara wanita usia subur telah mencapai 46,8 % pada
2 tahun masa pasca-vaksinasi (Tabel 1).

Tabel 1. Derajat kebutuhan vaksinasi ulang tetanus pa& ibu-ibu Yogyakarta
diukur pada 2 .- 7 tahun setelah pemberian vaksinasi dasar, 1985
masa
pasca-vaksinasi
(tahun)

jumlah
sampel

Total

331

*) kadar antitoksin tetanus

154

prosen
tase

46,5

< 0,01 HAU/ml.

Penentuan 1 atau 2 tahun setelah
pemberian vaksinasi dasar sebagai saat
optimum pemberian vaksinasi ulang tetanus di Indonesia juga didukung oleh beberapa pertimbangan lain. Pertama, penelitian ini menunjukkan indikasi terjadinya
perubahan hasil vaksinasi di Yogyakarta
dari waktu ke waktu, sebagai akibat dari
adanya perbedaan kualitas vaksin yang
digunakan di lapangan. Perubahan semacam ini diperkirakan juga terjadi di daerah lain. Mengingat kondisi rantai dingin
penyimpanan vaksin berbeda dari daerah
ke daerah, diperkirakan kualitas vaksin
juga berbeda-beda antar daerah sehingga
tentu terjadi pula perbedaan hasil va.ksinasi antar daerah. Perbedaan hasil vabinasi dari waktu ke waktu dan dari daerah.
42

sampel kehilangan
keke balan terhadap
tetanus *)

ke daerah akan menurunkan manfaat
program vaksinasi ulang sedini mungkin
tentu akan dapat mengatasi masalah
semacam ini. Kedua, tetanus neonatorum
dikenal memiliki angka kematian kasus
yang tinggi (sekitar 80 %), sehingga peranan vaksinasi tetanus untuk menekan
angka kematian neonatal cukup menonjol.
Ketiga, angka kematian bayi di Indonesia
masih relatif tinggi, sehingga upaya profilaksis seharusnya mendapat prioritas
yang tinggi.
Pelaksanaan pemberian vaksinasi ulang
tetanus secara masal di masyarakat tentu
akan meningkatkan biaya operasional program vaksinasi tetanus. Dalam kondisi
perekonomian Indonesia seperti dewasa
ini, hal tersebut sebaiknya dihindarkan.
Bul. Penelit. Kesehat. 15 (1) 1987

Dengan demikian, dirasa perlu untuk dilakukan pengembangan lebih lanjut mengenai pelaksanaan program vaksinasi
tetanus agar dapat menekan biaya operasional. Salah satu pilihan adalah penggunaan vaksin dosis tunggal dalam pemb6rian
vaksinasi dasar tetanus pada wanita usia
subur. Telah dilaporkan di Bangladesh
bahwa vaksin tetanus dosis tunggal memililri kemampuan yang sama dengan vaksin
dosis ganda dalam menurunkan angka
kematian karena serangan tetanus neonatorum14.

KESIMPULAN DAN SARAN
Diukur pada 2-7 tahun setelah pemberian vaksinasi dasar tetanus, sebesar
40 % sampai 60 % wanita usia subur di
Yogyakarta memerlukan vaksinasi ulang
tetanus agar tetap mampu mewariskan
perlindungan klinis terhadap serangan tetanus neonatorum kepada bayi yang dilahirkannya.
Berdasarkan atas kenyataan tersebut,
dan memperhatikan beberapa pertimbangan lain, vaksinasi ulang tetanus sebaiknya
diberikan pada 1. atau 2 tahun setelah
pemberian vaksinasi dasar tetanus pada
wanita usia subur.

UCAPAN TERIMA KASIH
Atas kerja-samanya yang baik demi
kelancaran pelaksanaan penelitian ini, disampaikan terima kasih kepada Kanwil
Dep. Kes DIY dan Dinas Kesehatan Propinsi DIY. Terima kasih juga disampaikan
kepada masyarakat dan aparat pemerintahan di Kec. Nanggulan - Kab. Kulonprogo dan Kec. Pundhong - Kab. Bantul,
DIY, atas kesediaannya untuk dilibatkan
dalam penelitian ini. Terima kasih juga
disampaikan kepada pirnpinan dan staf
Bul. Penelit. Kesehat. 15 (1) 1987

Pusat Penelitian Penyakit Menular - Jakar-

ta yang secara langsung maupun tidak
langsung telah memperlancar pelaksanaan penelitian.

1. Seamic's Health Statistics, 1983, Seamic Singapura : 72.
2. Budisso LR (1983). Sebab kematian
anak balita dan bayi : survai kesehatan
rumah tangga 1980. Bul Penelit Kesehat 11(1) : 1-4.
3. EPI-D (1984). Edisi khusus: program
imunisasi dan pengembangannya dalam Pelita IV. Ditjen PPM-PLP - Jakarta. no. 47.
4. Kondo S, Kameyama S, Yashuda S,
Nagaoka F (1977). Clinical application of the passive haemagglutination
test for titration of tetanus antitoxin.
Jap J Med Sci Bio 30: 119-124.
5 . Muljati Prijanto, Eko Suprijanto,
Dyah Widianingrum et a1 (1985).
Efektivitas vaksinasi toksoid serap
tetanus pada ibu-ibu di Yogyakarta
dan bayi yang dilahirkannya. Bul
Penelit Kesehat 1 3 ( 2 ) : 13-20.
6. Kurokawa M, Tahakashi K, Ishida S
(1979). Statistical analysis in biological assay, 2nd ed. Kindai Shippan Tokyo : 38-50.
7. Lutz W (1978). Statistical methods
as applied to immunological data.
Dalam Weir DM (ed), Handbook o f
experimental immunology. 3rd ed.
Blackwell~xford : A2.1 - A2.29.
8. Newel1 KW, Lehmann AD, Leblanc
DR et a1 (1966). The use of toxoid
for the prevention of tetanus neonatorum: final report of a doubleblind controlled field trial. Bull WHO
35 : 863-871.
9. Newel1 KW, Leblanc DR, Edsall G
et a1 (1971). The serological assessment of a tetanus toxoid field trial.
Bull WHO 45: 773-785.

10. Galazka A (1982). Tetanus toxoid:
nature and action. Meeting on prevention of Neonatal Tetanus, Lahore.
11.MacLennan R, Schofield FD, Pittman
ML et all (1965). Immunization against neonatal tetanus in New Guinea:
antitoxin response of pregnant women
to adjuvant and plain toxoid. Bull
W H O 32: 683-697.
12. Edsall G (1963). Tetanus toxoid and
antitoxins. N Y State J Med 63:
2967-2973.

13. Jones TS (1983). The use of tetanus
toxoids for the prevention of neonatal tetanus in developing countries.
PAHO Sci Pub1 451 : 52-64.
14. Black RE, Huber DH, Curlin GT
(1980). Reduction of neonatal tetanus
by mass immunization of non-pregnant women: duration of prevention
provided by one or two doses of
aluminium-adsorbed tetanus toxoid.
Bull WHO 58: 927-930.

Bul. Penelit. Kesehat. 15 (1) 1987