BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Konstruksi Media Terhadap Jilbab di Majalah Noor

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

  Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandang terhadap dunia. Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran yang dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model- model tertentu. Model itu yang disebut dengan paradigma (Moleong, 2001 : 49) Paradigma sangat penting dalam mempengaruhi teori, analisis maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas dikatakan bahwa tidak ada suatu pandangan atau teori yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satu di antaranya sangat bergantung pada paradigma yang digunakan. Karena menurut Kuhn (1970) paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak kita inginkan, tidak ingin kita lihat dan tidak ingin kita ketahui.

  Paradigma mempengaruhi pandangan seseorang yang apa yang baik dan buruk, suka atau tidak suka. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat sebuah realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan paradigma yang dimiliki, secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindak komunikasi seseorang.

  Ada bermacam-macam paradigma dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini yaitu : positivisme, postpositivisme, konstruktivisme dan teori kritik. Perbedaan paradigma ini dilihat dari cara mereka memandang realitas dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan ditinjau dari empat dimensi pertanyaan : epitimologis, ontologis, metodologis dan aksiologis.

2.1.1 Paradigma Konstruktivis

  Peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme dalam penelitian ini. Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial (Eriyanto, 2004 : 13) K. Bertens (1993) menyatakan bahwa di dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan itu lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilahinformasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme biasa. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata. Pengetahuan adalah refleksi suatu realitas objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan untuk konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.

  Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Konstruktivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).

  Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan dan berita dilihat, yaitu:

  1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)

  2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai, media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh.

  3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik

  4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

  5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.

  6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.

  7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95)

2.2 Kajian Pustaka

  Kajian pustaka dalam suatu penelitian ilmiah adalah salah satu bagian penting dari keseluruhan langkah-langkah metode penelitian. Cooper dalam Creswell mengemukakan bahwa kajian pustaka memiliki beberapa tujuan yakni; menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu, menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada dan mengisi celah-celah dalam penelitian sebelumnya.

  Penelitian sebelumnya mengenai konstruksi nilai jilbab diantaranya : 1.

  KONTRUKSI BERITA LARANGAN PEMAKAIAN JILBAB PADA SITU Penelitian yang dilakukan oleh Ita Septiyani dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mencoba menemukan konstruksi berita di media online dimana media ini memiliki basis keislaman yang kuat. Sehingga pemberitaan dan rubrikasi banyak mengacu pada bahasan keislaman. Penelitian ini berusaha mengetahui konstruksi berita kasus larangan pemakaian jilbab di SMA Negeri Bali ditinjau dari kacamata Islam. Analisis dilakukan dengan menggunakan konsep Critical Discourse Analysis (CDA) yang diterapkan oleh Teun Van Dijk. Peneliti menemukan bahwa secara garis besar kecenderungan berita yang dikonstruksi oleh Republika tentang pelarangan penggunaan jilbab di SMA Negeri Bali merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

2. KONSTRUKSI JILBAB DI KALANGAN MAHASISWI (Studi

  Fenomenologi Mahasiswi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dalam Memaknai Jilbab)

  Penelitian yang disusun oleh Marthalena ini membahas serta menganalisis hal-hal yang melatarbelakangi mahasiswi UII untuk mengenakan jilbab melalui tiga proses simultan yakni obyektivasi, internalisasi dan eksternalisasi. Peneliti mencoba menggali lebih dalam tentang proses konstruksi sosial seorang mahasiswi dalam menggunakan jilbab melalui dialektika dalam perspektif Berger. Peneliti menemukan bahwa makna jilbab bagi seorang muslimah adalah sebagai bentuk identitas dirinya untuk mencitrakan citra ideal positif yang mereka inginkan dan juga bermakna sebagai bentuk representatif atas keinginan subyektif yang ada pada diri pribadi mereka. Penelitian ini berfokus pada kajian sosiologis sehingga belum mencakup kajian media.

  3. KONSTRUKSI MAKNA JILBAB GAUL BAGI PENGGUNA JILBAB GAUL DI BANDUNG MENGENAI MAKNA JILBAB GAUL DI KALANGAN MAHASISWA BANDUNG.

  Penelitian yang disusun oleh Vivi Suhandayani dari Universitas Padjajaran ini bertujuan untuk mengetahui motif penggunaan jilbab gaul, pemaknaan pesan artifaktual mahasiswa Bandung terhadap penggunaan jilbab gaul, dan mengetahui konstruksi yang terdapat pada jilbab gaul di kalangan mahasiswi penggunanya. Peneliti menggunakan teori konstruksi realitas sosial dari Berger dan Luckmann dan teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jilbab gaul memiliki keunikan tersendiri yaitu motif psikologis, motif modis, motif dorongan dari mimpi, motif adaptif, dan motif kombinasi yaitu yang bukan merupakan satu motif melainkan multi-motif.

  4. KONSTRUKSI JILBAB SEBAGAI SIMBOL KEISLAMAN.

  Penelitian ini dilakukan oleh Dadi Ahmadi dan Nova Yohana yang dimuat di jurnal Mediator, Vol.8 no.2 Desember 2007. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi muslimah pengguna jilbab dari berbagai kalangan di Universitas Islam Bandung (Unisba). Peneliti melihat bahwa jilbab pada dasarnya adalah simbol keagamaan namun belakangan berubah menjadi fenomena fashion dan menjadi bagian dari tren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga motif penggunaan jilbab yaitu : motif teologis, motif psikologis dan motif fashion.

2.3 Kerangka Teoritis

  Dalam suatu penelitian, teori memiliki peran sebagai pendorong pemecah masalah. Setiap penelitian sosial memerlukan teori, karena salah satu unsur yang paling besar perannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun : 1995) Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995 : 39) Adapun teori yang relevan digunakan untuk penelitian ini adalah :

2.3.1 Komunikasi Massa

  Komunikasi massa adalah adalah proses dimana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik). Organisasi-organisasi media ini akan menyebarluaskan pesan-pesan yang mempengaruhi dan mencerminkan kebudayaan satu masyarakat, lalu informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas yang beragam. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu institusi yang kuat di masyarakat. Dalam komunikasi massa, media massa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan dan menyampaikannya pada khalayak.

  Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner, yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang (Mass communication is messages communicated

  through a mass medium to a large number of people). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus mengunakan media massa (Ardianto, 2004:3) Ahli komunikasi massa lainnya Joseph A Devito merumuskan definisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang massa serta tentang media yang digunakannya. Devito mengemukakan definisinya dalam dua item yakni yang pertama adalah komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual. (Ardianto, 2004:6) Sebuah definisi yang singkat dibuat oleh Harold D Laswell, cara tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab “Siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”. (Cangara, 2004:18) Jika kita berada dalam situasi komunikasi, maka kita memiliki beberapa kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari simbol-simbol yang digunkan dalam berkomunikasi, apa yang dinamakan Wilbur Schramm “Frame of Reference “ atau kerangka acuan, yakni panduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings). Schramm menyatakan bahwa field of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung dengan lancar. Sebaliknya jika pengalaman komunikan tidak sama dengan pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain, atau dengan kata lain situasi menjadi tidak komunikatif. (Effendy, 2003:30-31) Banyak definisi komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakan. Akan tetapi dari sekian banyak definisi yang ada terdapat benang merah dar kesamaan definisi satu sama lain, dan bahkan definisi-definisi itu sama lain saling melengkapi.

  Ciri-ciri komunikasi massa antara lain : 1. Komunikator bersifat melembaga.

  Komunikator dalam komunikasi massa itu bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang. Artinya gabungan antara berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Didalam komunikasi massa, komunikator adalah lembaga media massa itu sendiri. Itu artinya, komunikatornya bukan orang per orang. Menurut Alexis S Tan (1981) komunikator dalam komunikasi massa adalah organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara serempak ke sejumlah khalayak yang banyak dan terpisah. Komunikator dalam komunikasi massa biasanya adalah media massa (surat kabar, televisi, stasiun radio, majalah dan penerbit buku. Media massa disebut sebagai organisasi sosial karena merupakan kumpulan beberapa individu yang dalam proses komunikasi massa tersebut. (Nurudin, 2004:16-18) 2. Komunikan bersifat anonim dan heterogen.

  Komunikan dalam komunikasi massa sifatnya heterogen, artinya pengguna media itu beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial, tingkat ekonomi, latar belakang budaya, punya agama atau kepercayaan yang tidak sama pula. Selain itu dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim) karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. (Ardianto, 2004:9)

  3. Pesan bersifat umum Pesan-pesan dalam komunikasi massa itu tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan-pesan itu ditujukan kepada khalayak yang plural. Oleh karena itu pesan-pesan yang dikemukakan tidak boleh bersifat khusus. Khusus disini memilki arti pesan itu memang tidak disengaja untuk golongan tertentu. Kita bisa melihat televisi misalnya, karena televisi itu ditujukan dan untuk dinikmati orang banyak, maka pesannya harus bersifat umum. Misalnya dalam pemilihan kata-katanya sebisa mungkin memakai kata-kata populer, bukan kata-kata ilmiah sebab kata-kata ilmiah itu hanya ditujukan untuk kelompok tertentu.

  4. Komunikasinya berlangsung satu arah Proses komunikasi massa berlangsung melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan dan komunikan aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antarpribadi. Dengan demikian komunikasi massa itu bersifat satu arah.

  5. Menimbulkan keserempakan Ada keserempakan proses penyebaran pesan-pesan dalam proses komunikasi massa. Serempak disini berarti khalayak bisa menikmati media massa tersebut hampir bersamaan. Effendi (1999), mengartikan keserempakan media massa itu ialah kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator, dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.

  6. Mengandalkan peralatan teknis Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis adalah sebuah keniscayaan yang sangat dibutuhkan media massa tak lain agar proses pemancaran atau penyebaran pesannya bisa lebih cepat dan serentak kepada khalayak yang tersebar.

  7. Dikontrol oleh gatekeeper

  Gatekeepe r atau yang sering disebut dengan penjaga gawang adalah orang yang

  sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. Gatekeeper juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah atau mengurangi pesan-pesannya. Intinya adalah pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa. Keberadaan

  gatekeeper sama pentingnya dengan peralatan mekanis yang harus dipunyai

  media dalam komunikasi massa. Oleh karena itu, gatekeeper menjadi keniscayaan keberadaannya dalam media massa dan menjadi salah satu cirinya. (Nurudin, 2004:16-30) Komunikasi adalah bentuk komunikasi yang mengutamakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara misal, berjumlah banyak, sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Selain itu pesan yang disampaikan cenderung terbuka dan mencapai khalayak dengan serentak.

  Komunikasi massa dalam prosesnya melibatkan banyak orang yang bersifat kompleks dan rumit. Menurut McQuail (1999) proses komunikasi massa terlihat berproses dalam bentuk : 1.

  Melakukan distribusi dan penerimaan informasi dalam skala besar. Jadi proses komunikasi massa melakukan distribusi informasi kemasyarakatan dalam skala yang besar, sekali siaran atau pemberitaan jumlah dan lingkupnya sangat luas dan besar.

  2. Proses komunikasi massa cenderung dilakukan oleh model satu arah yaitu dari komunikator kepada komunikan atau media kepada khalayak.

  Interaksi yang terjadi sifatnya terbatas.

  3. Proses komunikasi massa berlangsung secara asimetris antara komunikator dengan komunikan. Ini menyebabkan komunikasi diantara mereka berlangsung datar dan bersifat sementara. Kalau terjadi sensasi emosional sifatnya sementara dan tidak permanen.

  4. Proses komunikasi massa juga berlangsung impersonal atau non pribadi dan anonim.

  5. Proses komunikasi massa juga berlangsung didasarkan pada hubungan kebutuhan-kebutuhan di masyarakat. Misalnya program akan ditentukan oleh apa yang dibutuhkan pemirsa. Dengan demikian media massa juga ditentukan oleh rating yaitu ukuran dimana suatu program di jam yang sama ditonton oleh sejumlah khalayak massa.

2.3.2 Konstruksi Realitas Sosial Realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu.

  Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak terlepas dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Menurut kedua ahli sosiologi tersebut, teori ini dimaksudkan sebagai satu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), dan bukan sebagai suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh keduanya melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociological of Knowledge pada tahun 1966. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. (Bungin, 2008 : 192) Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui tiga tahapan yaitu proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.

  Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Sudah menjadi sifat dasar manusia akan selalu mencurahkan diri dimana ia berada. Manusia tidak dapat dimengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menemukan diri sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisasi yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.

  Ketiga, internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.

  Realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah sosok korban sosial, namun merupakan sebagai mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001:4)

  Teori konstruksi sosial yang dicetuskan oleh Berger & Luckmann ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi yang lain. Terutama terpengaruh oleh ajaran dan pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna subjektif (melalui Carl Meyer), Durkhemian – Parsonian tentang “struktur” (melalui Albert Solomon), dan Marxian tentang “dialektika”, serta Herbert Mead tentang “interaksi simbolik”.

2.3.2.1 Pijakan Teori Konstruksi Realitas Sosial

  Berger & Luckmann berusaha mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka mengembangkan teori sosiologi. Beberapa usaha tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, mendefinisikan kembali pengertian “kenyataan” dan “pengetahuan” dalam konteks sosial. Dalam hal ini teori sosiologi harus mampu memberikan pemahaman bahwa kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus. Oleh karena itu pusat perhatian seharusnya tercurah pada bentuk-bentuk penghayatan (Erlebniss) kehidupan masyarakat secara menyeluruh dengan segala aspeknya (kognitif, afektif dan konatif). Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pergaulan sosial yang termanifestasikan dalam tindakan. Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman intersubjektif dan melalui pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus menerus (unlimited).

  Kedua, menemukan metodologi atau cara meneliti pengalaman intersubjektif dalam kerangka mengkonstruksi realitas. Yakni menemukan “esensi masyarakat” yang implisit dalam gejala-gejala sosial itu. Dalam hal ini memang perlu ada kesadaran bahwa apa yang dinamakan masyarakat pasti terbangun dari “dimensi objektif” dan sekaligus “dimensi subjektif” sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari masyarakat (yang didalamnya terdapat hubungan intersubjektifitas) dan manusia adalah sekaligus pencipta dunianya sendiri (Poloma, 1994).

  Ketiga, memilih logika yang tepat dan cocok karena realitas sosial memiliki ciri khas seperti pluralis, dinamis dan memiliki proses perubahan terus menerus. Sehingga diperlukan pendekatan akal sehat “common sense “ untuk mengamati.

  Maka perlu memakai prinsip logis dan non logis. Dalam pengertian berpikir secara dialektis. Kemampuan berpikir secara dialektis tampak dalam pemikiran Berger, sebagaimana dimiliki Karl Marx dan beberapa filosof eksistensial yang menyadari manusia sebagai makhluk paradoksial. Oleh karena itu kenyataan hidup sehari-hari memiliki dimensi objektif dan subjektif (Berger & Luckmann, 1990).

2.3.2.2 Arah Pemikiran Teori Konstruksi Realitas Sosial

  Berger & Luckmann dalam bukunya The Social Construction of Reality : A

  

Treatise in the Sociological of Knowledge berpandangan bahwa kenyataan itu

  dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product).

  Objektifikasi adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjketif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif

  

(Society is an objective reality), atau proses interaksi sosial dalam dunia

intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.

  Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (Man is a social product). Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah tiga dialektis yang simultan dalam proses produksi. Secara berkesinambungan adalah agen sosial yang mengeksternalisasi realitas sosial. Pada saat yang bersamaan, pemahaman akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk. Pada akhirnya, melalui proses eksternalisasi dan objektivasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat dikatakan, tiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya. Adanya aturan-aturan dan hukum yang menjadi pedoman bagi institusi sosial dalam kehidupan bermasyarakat adalah produk manusia untuk melestarikan keteraturan sosial. Sehingga meskipun peraturan dan hukum itu terkesan mengikat dan mengekang, tidak menutup adanya kemungkinan terjadi pelanggaran sosial. Hal itu dikarenakan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan dengan aturan yang digunakan untuk memelihara ketertiban sosial. Dalam proses eksternalisasi bagi masyarakat yang mengedepankan ketertiban sosial individu berusaha sekeras mungkin untuk menyesuaikan diri dengan peranan-peranan sosial yang sudah dilembagakan. Masyarakat adalah sebuah kenyataan objektif yang didalamnya terdapat proses pelembagaan yang dibangun diatas pembiasaan (habitualisation), dimana terdapat tindakan yang selalu diulang-ulang sehingga kelihatan polanya dan terus direproduksi sebagai tindakan yang dipahaminya. Jika habitualisasi ini telah berlangsung maka terjadilah pengendapan dan tradisi. Keseluruhan pengalaman manusia tersimpan dalam kesadaran, mengendap dan akhirnya dapat memahami dirinya dan tindakannyadidalam konteks sosial kehidupannya dan melalui proses pentradisian. Akhirnya pengalaman yang terendap dalam tradisi diwariskan kepada generasi penerusnya. Proses transformasi pengalaman ini salah satu medianya adalah menggunakan bahasa. Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial tidak berdiri sendiri melainkan dengan kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi

dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.

  Berger dan Luckmann lebih lanjut mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, pada kenyataannyasemua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

  Institusionalisasi muncul bersamaan dengan munculnya tipifikasi oleh orang- orang tertentu yang disebut sebagai aktor. Tipifikasi inilah yang disebut institusi. Tipifikasi ini selalu dibagi oleh sesama anggota kelompok sosial. Tiap institusi ini memilih mekanisme kontrolnya masing-masing. Mekanisme kontrol ini sering dilengkapi dengan sanksi. Tiap anggota wajib untuk meraih penghargaan sosial bila menaati realitas dalam institusinya atau menanggung resiko mendapat konsekuensi hukuman bila menyimpang dari kontrol yang ada. Institusionalisasi mengikutsertakan sejumlah orang, dimana setiap orang bertanggung jawab atas “pengkonstruksian dunia”-nya karena merekalah yang membentuk dunia tersebut. Dapat diketahui bahwa pemahaman individu terhadap dunia sekitarnya dan bagaimana perilaku individu yang dianggap sesuai dengan harapan masyarakatnya merupakan sebuah proses dialektis yang terjadi terus menerus diantara mereka. Selain itu, mereka tidak hanya hidup dalam dunia yang sama, masing-masing dari mereka juga berpartisipasi dalam keberadaan pihak lain (Bungin, 2001 : 19-20). Baru setelah mencapai taraf internalisasi semacam ini, individu menjadi anggota masyarakat.

  Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger & Luckmann terdiri atas tiga bagian dasar yaitu :

  1. Realitas Sosial Objektif Realitas sosial objektif adalah gejala-gejala sosial yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

  2. Realitas Sosial Subjektif Realitas sosial subjektif adalah realitas sosial yang terbentuk pada diri khalayak yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik.

  3. Realitas Sosial Simbolik Realitas sosial simbolik adalah bentuk – bentuk simbolik dari realitas sosial objektif, yang biasanya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta isi media (Bungin,2011 : 24)

  Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan realitas sebagaimana adanya.

  Konsep ketiga ini memperjelas konsep yang dikemukakan oleh Berger & Luckmann, yang hanya menyebutkan adanya penggambaran realitas melalui proses sedimentasi dan penjelasan sebuah realitas melalui proses legitimasi.

  Sedimentasi adalah proses dimana beberapa pengalaman mengendap dan masuk ke dalam ingatan, memori ini selanjutnya menjadi proses yang intersubjektif bila individu-individu yang berbeda berbagi pengalaman dan gambaran yang sama.

2.3.2.3 Tahapan Konstruksi Realitas

  Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008 : 203) Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui empat tahapan, yaitu :

  1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni ; keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan pada kepentingan umum.

  2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media massa, menjadi penting bagi pemirsa.

  3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui (1) konstruksi realitas pembenaran ; (2) kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.

  4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.

2.3.3 Majalah

  Majalah merupakan salah satu jenis media massa yang berbentuk cetak. Majalah sebagai salah satu media cetak yang dijadikan sumber informasi oleh masyarakat kini semakin populer. Majalah merupakan bagian dari pers yang membawa misi penerangan, pendidikan dan hiburan. Salah satu jenis alat komunikasi dalam bentuk publikasi yang terbit secara berkala seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau pada waktu-waktu yang teratur. Majalah ini di terbitkan dengan isi yang antara lain artikel-artikel, berita-berita, cerita-cerita yang mengandung nilai sastra, fiksi dan non-fiksi, puisi, resensi, kritik-kritik, karikatur, lelucon-lelucon, pengisi (filler), tajuk rencana, kadang-kadang iklan. (Komarudin, 1984:149).

  Penerbitan majalah sendiri dimulai pertama kali di Amerika oleh Benjamin Franklin bernama General Magazine pada tahun 1741, tetapi perkembangannya sendiri tampak sekitar abad XIX.

  Karena termasuk sebagai media cetak maka pesan-pesan dalam majalah bersifat permanen dan publik dapat mengatur tempo dalam membacanya. Selain itu pula kekuatan utamanya adalah dapat dijadikan bukti (Assegaf, 1980 : 27) Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Peterson mengenai keunggulan- keunggulan yang dimiliki oleh sebuah majalah, yaitu: Majalah mirip dengan media cetak lainnya, hanya saja majalah tampil lebih berisikan pengetahuan dari pada hal-hal yang menyangkut selera dan perasaan dari komunikannya. Media ini bukan sarana yang dibaca selintas saja seperti media aktual (Broadcast Media), tidak juga membutuhkan perhatian pada waktu tertentu, media ini tidak dengan segera dapat di kesampingkan seperti Koran, majalah dapat disimpan oleh pembaca selama berminggu-minggu, berbulan- bulan, kadang-kadang bertahun-tahun. (Defleur Dennis:137). Tetapi dari keunggulan yang dimilikinya itu, kita dapat mengambil kelemahan yang utama dari majalah tersebut, yaitu bahwa majalah tidak terbit setiap hari seperti halnya surat kabar yang merupakan sumber berita (menyampaikan informasi) setiap harinya pada setiap orang.

  Majalah dalam istilah asing disebut The Printed Page, yang artinya segala barang yang dicetak, yang ditujukan untuk menyalurkan komunikasi massa. Arti majalah yang dikutip dari The Random House Dictionary of English Language, adalah “Majalah yang diterbitkan secara berkala senantiasa memiliki sampul muka, dan secara khas majalah memuat cerita-cerita, karangan-karangan, puisi-puisi dan sebagainya. Serta kadangkala berisikan foto-foto dan gambar-gambar yang secara khusus memfokuskan pada fakta (subject of area) seperti; hobi, berita, atau olahraga”. Jadi dalam suatu majalah, pesan yang disampaikan bukan saja berupa berita-berita, akan tetapi bisa pula dalam bentuk hiburan, seperti cerita-cerita, puisi atau sajak, foto atau gambar sesuatu yang hendak diperlihatkan pada pembacanya, dan sebagainya.

  Majalah dapat menelaah persoalan-persoalan dan keadaan-keadaan yang terjadi dalam masyarakat secara teliti dan mendalam. Sebab majalah diterbitkan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan surat kabar. Pada umumnya tulisan- tulisan yang dimuat di majalah tidak terlalu mementingkan aktualitas dikarenakan dalam memuat berita majalah tersebut menyesuaikan dengan waktu terbitnya. Oleh karena itu pula maka berita yang disampaikan bukan lagi berita hangat satu hari tertentu, karena berita-berita tersebut disesuaikan dengan waktu terbitnya majalah, maka penulisan-penulisan berita yang ada bisa ditelaah secara lebih luas dan lebih mendalam lagi. Hal ini sesuai dengan karakteristik majalah yang membedakannya dengan surat kabar seperti yang dinyatakan oleh Defleur dan Dennis, yaitu “Disebabkan majalah diterbitkan sedikit lebih jarang dari pada surat kabar, maka majalah dapat menelaah persoalan-persoalan dan keadaan yang lebih hati-hati dan mendalam. Majalah kurang memberikan perhatian terhadap berita yang sifatnya aktual serta lebih menekankan pada penelaahan hal-hal yang berhubungan secara luas”. (Defleur Dennis :137). Untuk menarik perhatian pembaca, maka suatu penerbitan majalah senantiasa berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan yang diminati oleh masyarakat tersebut. Pada saat sekarang ini sudah banyak beredar beraneka ragam jenis majalah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan pembaca yang beragam pula.“Kepentingan pembaca, pendengar, dan pemirsa, harus selalu diperhatikan dan diutamakan, karena laku atau tidaknya isi pesan yang dijual sangat tergantung dari konsumen atau dengan kata lain surat kabar atau majalah, radio, televisi, dan film akan laku bila isi pesan sesuai dengan selera konsumen (audience)”. (Wahyudi, 1991:99). Perbedaan minat yang terdapat pada pembaca itu dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor-faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, status sosial, kebiasaan, dan lain-lain. Pilihan majalah yang sangat banyak menunjukkan bahwa masyarakat modern sudah lebih selektif terhadap media-media yang beredar. Majalah merupakan bagian media massa yang melakukan komunikasi massa, karena dengan melihat karakteristiknya seperti bersifat tidak langsung (melalui media teknis) bersifat satu arah artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi (komunikan), terbuka, dan mempunyai publik yang secara geografis tersebar, maka majalah termasuk sebagai salah satu media komunikasi massa. (Rakhmat, 1994). Dan sebagai media komunikasi, majalah mempunyai sifat-sifat khusus yang tidak dimiliki oleh media komunikasi yang lain, antara lain:

  1. Khalayak yang diterpa bersifat aktif, tidak pasif seperti bila mereka diterpa media radio, televisi, atau film. Pesan melalui pers majalah diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan makna bila khalayak menggunakan tatanan mentalnya secara aktif.

  2. Terekam, artinya artikel-artikel dalam majalah tersusun dalam alinea, kalimat, dan kata-kata yang terdiri dari huruf-huruf yang tercetak pada kertas. Dengan demikian setiap peristiwa atau hal-hal yang diberitakan terekam sehingga dapat dibaca setiap saat dan didokumentasikan, diulang kali, disimpan untuk kepentingan tertentu dan dapat dijadikan sebagai bukti. (Effendy, 1986:111).

2.3.3.1 Teknik Penyajian Majalah

  Suatu pengorganisasian pesan ditetapkan sebelum kata-kata dituliskan dan sebelum gambar-gambar dibuat, atau keduanya digabungkan ke dalam suatu tata letak (layout). Kegiatan tata letak meliputi penetapan keputusan-keputusan mengenai berbagai komponen judul, ilustrasi, naskah, dan tanda-tanda identifikasi yang akan disusun dan ditempatkan pada halaman. Lima pertimbangan bagi perkembangan tata letak adalah:

  1. Keseimbangan (balance), penataan unsur-unsur untuk mencapai suatu kesan kasat mata atau penyebaran yang menyenangkan.

  2. Lawanan (kontras), penggunaan ukuran, kepekatan, dan warna yang sangat berbeda-beda dalam rangka menarik perhatian dan keterbacaan.

  3. Perbandingan (proportion), pertalian di antara objek dan latar belakang, yang keduanya tampak dan saling berinteraksi.

  4. Alunan pirsa (gaze motion), penataan judul, ilustrasi, naskah, dan tanda- tanda identifikasi yang demikian rupa dalam rangka pengurutan paling logis.

  5. Kesatuan (unity), berbagai mutu keseimbangan, lawanan, perbandingan, dan alunan pirsa, digabungkan untuk pengembangan kesatuan pikir, penampilan, dan reka bentuk tata letak (design in the lay out). (Sudiana, 1986:29). Suatu tata letak akan berhasil bila di dalamnya mengandung mutu kesatuan dan sederhana, artinya yang berhasil dengan mengusahakan tata letak sederhana, tidak kacau, dan bersifat membantu dalam meringankan pembaca selama mencerna pesan yang dibacanya.

  1. Huruf, ada bermacam-macam jenis dan ukuran huruf yang dapat dipilih untuk menandaskan pokok-pokok tertentu atau untuk menarik perhatian pembaca terhadap beberapa aspek dalam naskah.

  2. Foto atau gambar, alternatif yang dapat diperkenalkan dalam hal ini sangat banyak dan bervariasi. Kita dapat memilih dan menyunting foto, gambar, sketsa, lukisan, kartun, dan dapat menyisipkan berbagai macam bentuk lainnya.

  3. Judul, dengan pembubuhan judul pembaca dituntun dalam penyeberangan dari ilustrasi ke pesan. Dalam pengertian umum, judul memiliki fungsi: secara ringkas dan langsung menyarankan isi pesan, dan menampilkan daya tarik terhadap suatu kepentingan dasar pembaca setelah menyajikan pesan sumber. Secara umum penempatan judul harus tampak pada bagian atas suatu halaman atau iklan. Dan, bagaimanapun judul harus memiliki ukuran huruf yang memadai untuk dapat menawan mata pembaca, dan secara tepat guna berpasangan dengan daya tarik ilustrasi.

  4. Warna, pada dasarnya warna adalah suatu mutu cahaya yang dipantulkan dari suatu objek ke mata manusia. Pembubuhan warna mungkin dapat merebut perhatian awal komunikan. Tetapi pemilihan dan penerapan warna secara serampangan akan mengusir pemirsa segera setelah perhatiannya tergugah. Para peneliti menemukan bahwa warna- warna yang sering dianggap favorit ternyata tidak selalu menarik dalam penggunaan-penggunaan tertentu. Bagaimanapun, warna-warna- termasuk hitam, abu-abu, dan putih pada lembar tercetak perlu ditata sedemikian rupa sesuai dengan asas dasar yang sama dari tata letak, yakni mengandung kesan-kesan keseimbangan, kontras, proporsi, irama, keselarasan, gerakan, dan kesatuan. (Sudiana, 1986:34-41).

2.3.3.2 Fungsi dan Peranan Majalah

  Media massa seperti halnya majalah adalah merupakan suatu sumber yang dapat menyalurkan informasi serta menambah wawasan pengetahuan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Salah satu fungsi majalah ialah sebagai sarana

  

pendidikan (mass education). Majalah memuat tulisan yang mengandung

pengetahuan sehingga khalayak pembaca akan bertambah pengetahuannya.

  (Effendy, 1993:93). Di samping itu pula, sebagai bagian dari pers, maka majalah akan memiliki fungsi yang sama dengan yang dimiliki oleh pers. Menurut Onong Uchjana Effendy, fungsi-fungsi tersebut antara lain:

  1. Fungsi menyiarkan (to inform)

  2. Fungsi mendidik (to educate)

  3. Fungsi menghibur (to entertain)

  4. Dan fungsi mempengaruhi (to influence) Berdasarkan pemuatan tulisan-tulisan dalam majalah yang ditulis secara lebih luas, terperinci dan mendalam, maka pembaca akan mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan lebih banyak lagi mengenai sesuatu hal, dan pemahaman pembaca terhadap sesuatu masalahpun tentunya bisa lebih mendalam lagi. Membaca majalah membuat pembaca tidak dikejar oleh waktu seperti halnya menggunakan media radio atau televisi sehingga dalam menyerap tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah bisa secara perlahan dan teliti. Dalam situasi dan kondisi kehidupan masyarakat modern, peranan majalah sebagai media komunikasi yang banyak dipergunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya semakin terasa penting. Dalam hal ini ada beberapa peranan utama majalah seperti yang disebutkan oleh Peterson, yaitu:

  1. Membantu perkembangan perubahan-perubahan sosial dan politik.

  2. Menafsirkan persoalan-persoalan dari kejadian-kejadian dan menjadikannya sebagai pandangan nasional.

  3. Membantu perkembangan suatu pengertian nasional dalam masyarakat.

  4. Memberikan hiburan yang murah kepada jutaan orang.

  5. Menjadi penyuluh dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

  6. Menjadi pendidik pada warisan-warisan kebudayaan manusia, melalui tulisan serta perhatian terhadap seni, juga mengenai tokoh-tokoh masyarakat. Agar suatu majalah dapat dirasakan manfaatnya dan bernilai bagi para pembacanya, maka dalam pelaksanaannya diperlukan keahlian dari pengelola penerbitan majalah tersebut terutama para penulisnya, sebab isi dari majalah itu dapat menentukan karakter dan dampaknya.

2.3.3.3 Jenis Majalah

  Untuk kepentingan pembaca, maka majalah-majalah yang beredar di masyarakat dapat di kelompokkan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat sebagai pembaca dapat memilih jenis majalah yang bagaimana yang mampu memenuhi keinginan dan kebutuhannya.

  Secara universal, M.O Palapah dan Atang Syamsuddin membagi jenis majalah menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Mass magazine, adalah majalah umum yang ditujukan untuk semua golongan, jadi merupakan majalah umum.

  2. Class magazine, adalah majalah yang ditujukan untuk golongan tertentu (high or middle class) isinya mengenai bidang-bidang tertentu.

  3. Spesialized magazine, adalah majalah khusus dan ditujukan kepada para pembaca khusus.(Palapah dan Syamsuddin, 1983:105-106). Pembagian jenis majalah secara garis besar seperti disebutkan di atas, dapat dirinci lagi kedalam jenis-jenis majalah yang lebih spesifik. Djafar Assegaff, mengemukakan sebagai berikut:

  1. Majalah bergambar (picture magazine), bentuk majalah yang memuat reportase berdasarkan pada gambar. Gambar suatu peristiwa, atau suatu karangan khusus yang berisikan foto-foto.

  2. Majalah anak-anak (childrens weekly), bentuk majalah yang isinya khusus mengenai dunia anak-anak.

  3. Majalah berita (news magazine), mingguan berkala yang menyajikan berita-berita dengan suatu gaya tulisan yang khas dilengkapi dengan foto- foto dan gambar-gambar.

  4. Majalah budaya (culture magazine), penerbitan pers yang mengkhususkan isinya dengan masalah-masalah kebudayaan dan diterbitkan setiap minggu, bulan ataupun secara berkala.

  5. Majalah ilmiah (scientific magazine), majalah berkala khusus berisi mengenai ilmu pengetahuan dan mengkhususkan isinya mengenai suatu bidang ilmu, misalnya teknik radio, elektronik, ekonomi, hukum, dan sebagainya.

  6. Majalah hiburan (popular magazine), majalah yang memuat karangan- karangan ringan, cerita pendek, cerita bergambar, dan sebagainya.

  7. Majalah keagamaan (religious magazine), bentuk majalah yang isinya khusus mengenai masalah-masalah agama.

  8. Majalah keluarga (home magazine), majalah yang memuat karangan- karangan untuk seluruh keluarga, dari bacaan anak-anak sampai masalah rumah tangga (resep, mode, dan lain-lain).

  9. Majalah khas (specialized magazine), bentuk majalah yang isinya khusus mengenai berbagai macam bidang profesi.

  10. Majalah mode (fashion magazine), majalah yang berisi mode dan dilampiri lembaran yang berisikan pola pakaian.

  11. Majalah perusahaan (company magazine), majalah yang diterbitkan secara teratur oleh perusahaan berisi berita-berita atau informasi mengenai kepegawaian, karyawan, kebijaksanaan perusahaan dan produksi perusahaan.

  12. Majalah remaja (juvenile weekly), bentuk majalah yang isinya khusus membahas masalah remaja.