I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - TINJAUAN HUKUM TENTANG EKSISTENSI PENYANDERAAN TERHADAP WAJIB PAJAK
TINJAUAN HUKUM TENTANG EKSISTENSI PENYANDERAAN
TERHADAP WAJIB PAJAK
Hermawan Jaya Saputra
Benny D. Yusman
Nurhayati Mardin
Abtrak
Terkait dengan Skripsi yang saya buat mengenai “tinjauan hukum tentang
eksistensi penyanderaan terhadap wajib pajak”pada dasarnya merupakan salah
satu bentuk upaya penagihan pajak yang diatur dalam Undang-Undang nomor 19
tahun 1997 tentang penagihan dengan surat sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 19 tahun 2000. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
ketentuan hukum yang berlaku dalam dalam pelaksanaan penyanderaan, serta
prosesdur penghentian penyanderaan. Penyanderaan dalam Undang-Undang
nomor 19 tahun 2000 terdapat pada pasal 1 ayat (21) yang mana penyanderaan
tersebut dimaksudkan sebagai pengekangan sementara waktu kebebasan
Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Penyanderaan
mengandung konsekuensi tidak bebasnya wajib pajak untuk berhubungan dengan
keluarganya, penyanderaan sebagai upaya paksa dalam hukum pajak tidak
termasuk pelanggaran hak asasi Wajib pajak untuk melunasi hutang pajaknya.
Wajib pajak yang dimaksudkan disini yaitu orang pribadi atau badan yang
mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya seratus juta rupiah (Rp.
100.000.000) serta diragukan itikad baiknya untuk melunasi tunggakan pajaknya.
Jangka waktu penyanderaan selama-lamanya 6 (enam) bulan terhitung sejak
Penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat
diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan berikutnya. Dalam penulisan ini,
metode yang digunakan yaitu metode penelitian hukum Empiris yaitu mengacu
pada karakter ilmu hukum yang ditujukan bukan hanya peraturan-peraturan
tertulis yang memiliki sangkut paut dengan penulisan ini, tetapi juga
membutuhkan proses pengumpulan data dari lembaga yang berkaitan demi
menunjang kelengkapan dalam penulisan ini. Adapun tempat penelitian yaitu di
kantor perpajakan pratama palu.Kata Kunci : Penyanderaan dan Wajib pajak.
I.
hukum. Hal ini sebagai
PENDAHULUAN A.
konsekuensi dari ajaran
Latar Belakang
Indonesia merupakan kedaulatan hukum bahwa Negara hukum (rechtstaat), yang kekuasaan tertinggi tidak terletak berarti Indonesia menjunjung pada kehendak pribadi penguasa tinggi hukum dan kedaulatan (penyelenggara negara/pemerintah), melainkan undang. Kesepakatan tersebut pada hukum. Jadi, kekuasaan terjalin antara DPR dengan hukum terletak di atas segala Presiden karena Negara kekuasaan yang ada dalam memerlukan pajak untuk Negara dan kekuasaan itu harus membiayai penyelenggaraan tunduk pada hukum yang pemerintah Negara. Rakyat harus berlaku. menyadari bahwa didalam
Sebagai Negara hukum, Negara mereka memiliki Indonesia merupakan Negara kedaulatan yang secara normatif- yang menganut paham filosofis menentukan arah kedaulatan Rakyat sehingga perjalanan Negara. konsekuensi atas paham Sehingga rancangan kedaulatan Rakyat adalah undang-undang pajak kekuasaan penguasa bersumber seyogyanya berasal dari DPR pada kehendak Rakyat. Hukum bukan dari Presiden atau yang berlaku berasal dari aspirasi pemerintah. Untuk atau kehendak Rakyat dan mengantisipasi hal ini, sumber mengikat penguasa karena daya manusia yang terdapat dikehendaki dan sesuai dalam DPR harus mendapat perikehidupan Rakyat, hal ini perhatian terutama yang terkait disebabkan karena Negara pada dengan keahlian di bidang hakekatnya merupakan produk perpajakan, akan tetapi bila hal perjanjian diantara Rakyat tersebut tidak diwujudkan sehingga setiap hukum akan Rancangan Undang-Undang mengikat sepanjang disetujui pajak boleh berasal dari secara bersama oleh Rakyat Presiden atau pemerintah.
1 dengan pemerintah.
Adapun mengenai Pajak adalah kesepakatan kewenangan pejabat pajak yang timbul berdasarkan undang- 1 dalam menjalankan tugasnya
Muhammad Djafar Saidi, perlindungan
baik dalam proses penagihan hukum Wajib pajak, rajagrafindo, Jakarta.
2007 hlm 48 sampe proses penyanderaan dan Menganngkat terhadap wajib pajak namun memberhentikan terlebih dahulu diketahui siapa jurusita pajak yang dimaksud pejabat pajak Menerbitkan :
2
terserbut. Dalam undang- 1.
Surat teguran, surat undang nomor 19 tahun 2000 peringatan atau surat tentang perubahan atas undang- lain yang sejenis undang nomor 19 tahun 1997
2. perintah Surat tentang penagihan pajak dengan penagihan seketika surat paksa yaitu menteri dan sekaligus berwenang menunjuk pejabat
3. Surat paksa untuk penagihan pajak pusat, 4. perintah
Surat kepala daerah berwenang melaksanakan meunjuk pejabat untuk penyitaan penagihan pajak daerah. 5. perintah
Surat Sehingga secara singkat dapat melakukan diuraikan bahwa pejabat pajak penyanderaan adalah direktur jenderal pajak,
6. pencabutan Surat direktur jenderal bea dan cukai, sita gubernur, bupati/walikota, atau
7. Pengumuman lelang pejabat yang ditunjuk untuk 8. penentuan
Surat melaksanakan peraturan harga limit perundang-undangan
9. Pembatalan lelang perpajakan.
10. Surat lain yang dibutuhkan untuk Dalam hal ini pejabat pelaksanaan pajak memiliki beberapa penagihan pajak. wewenang seperti :
Sugiharto menegaskan, 2 kewenangan penyanderaan itu
Pasal 2 ayat (1) dan (2), undang-undang
sendiri memang sudah
nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa seharusnya dimulai, mengingat pemerintah harus mengoptimalkan pendapatan dari segi fiskal. "Akan tetapi, infrastruktur dibuat tidak mandul sehingga kalau orang didenda atau ditahan puas," Dia juga menyoroti aparat pajak yang hanya mengejar-ngejar pengusaha menengah ke bawah, tetapi tidak berbuat banyak kepada pengusaha besar, apalagi konglomerat. "Kalau dilihat dari konglomerasi, kan luar biasa. Bisa dilihat tingkat kepatuhan pembayaran pajak mereka rendah sekali," ucapnya.
gijzeling
dipergunakan oleh pemerintah sebagai salah satu upaya setelah tahapan sebelumnya dijalankan sebagaimana termaksud dalam
pasal 1 angka 9 Undang- Undang Nomor 19 tahun 2000 tidak terpenuhi. Tahapan tersebut adalah; tindakan penagihan pajak yang 3 Sugiharto, keadilan dalam penyanderaan,
harian kompas, tgl 12 April 2012
mempunyai kekuatan hukum yang memaksa, berupa serangkaian tindakan agar wajib pajak / penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur dan memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan. Lembaga ini ditujukan terhadap wajib pajak yang memenuhi syarat-syarat kuantitatif dan kualitatif yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut Staf Ahli Tenaga Pengkajian Bidang Pengawasan dan Penegakkan Hukum Dirjen Pajak Djangkung Soerjawadi bahwa upaya yang telah dilakukan untuk memaksa wajib pajak membayar pajak dengan diterapkanya paksa badan (
3 Lembaga sandera badan atau
gijzeling ) terhadap wajib pajak
yang tidak kooperatif contoh seorang importir berinisial Jasman Liem dari PT. EI Jakarta yang mempunyai tunggakan di Kantor Pelayanan B.
Rumusan Masalah
Pajak Sawah Besar Jakarta Berdasarkan uraian latar sebesar 11 miliar dan M. belakang di atas, maka dapat
Greenswood seorang warga
4 dirumusakan masalah sebagai negara Inggris.
berikut : Terhadap wajib pajak yang 1.
Bagaimana status hukum melakukan penghindaran diri dari kewajiban dengan cara penyanderaan dalam sitem penyelundupan ( tax evasion ) penagihan pajak? terhadap perbuatan tidak
2. prosedur Bagaimana menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut atau penghentian penyanderaan? tidak membayar bea masuk II.
PEMBAHASAN
dengan cara suatu peryataan A.
Status Hukum Penyanderaan
yang tidak benar, atau
Dalam Sistem Penagihan Pajak
memberikan data-data tidak Penahanan diri terhadap benar ( vide keterangan palsu
Wajib pajak atau biasa disebut pada dokumen ) maka tindakan dengan penyanderaan yang ini merupakan pelanggaran disebut dalam pasal 1 ayat 21 undang
- – undang dalam bentuk
Undang-Undang nomor 28 tahun tindak pidana. 2007 adalah pengekangan
Inilah yang menjadi semangat sementara waktu kebebasan penulis dalam melakukan Wajib pajak, yang mana penelitian sehingga mengangkat penyanderaan ini tidak dapat
Hukum
judul “Tinjauan dilakukan sebelum dilaksanakan
tentang eksistensi pencegahan karena merupakan penyanderaan terhadap wajib tindakan lanjutan setelah pajak
”. dilakukan pencegahan. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa 4 penyanderaan hanya dapat
Media Indonesia , 14 Februari 2014 dilakukan terhadap Wajib pajak yang tidak melunasi hutang pajaknya setelah lewat waktu empat belas hari terhitung sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada Wajib pajak.
Penyanderaan mengandung konsekuensi tidak bebasnya wajib pajak untuk berhubungan dengan keluarganya, penyanderaan sebagai upaya paksa dalam hukum pajak tidak termasuk pelanggaran hak asasi Wajib pajak untuk melunasi hutang pajaknya.
Membahas mengenai ketentuan hukum timbul sebuah pertanyaan, yaitu ketentuan hukum apakah yang berlaku dalam penyanderaan terhadap Wajib pajak, ketentuan hukum administrasi atau ketentuan hukum pidana? Dalam menjawab pertanyaan tersebut penulis menguraikan jawaban sebagai berikut : Pada hakikatnya Undang- Undang Pajak merupakan ketentuan hukum administrasi, yakni mengatur kewenangan negara untuk memungut pajak.
Oleh karena itu, penggunaan sanksi pidana hanya bersifat pelengkap. Dalam undang- undang perpajakan telah ditetapkan mekanisme yang tegas tentang upaya yang dapat ditempuh terhadap mereka yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum. Ketentuan pidana perpajakan tunduk kepada tujuan ditetapkannya undang- undang perpajakan itu sendiri.
Kebijakan untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa denda atau kenaikan harus lebih dahulu dikedepankan. Oleh karena itu, wajib pajak yang karena kelalaian ataupun kesengajaan menyebabkan terjadinya pelanggaran pajak tidak mutlak harus diusut secara pidana. Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan penagihan pajak dengan surat paksa sampai kepada tindakan penyanderaan yang merupakan tindakan eksekutif, dapat ditempuh. Apa- bila mekanisme administratif ini telah dijalankan, prosedur pidana tidak diperlukan lagi atau dapat dikesampingkan.
Terhadap pelanggar pajak, apa pun motifnya harus diusut secara hukum. Meskipun demikian, perlu diberi catatan bahwa penggunaan sarana hukum bukan dengan hukum pidana semata, tetapi penggunaan hukum administratif ataupun keperda- taan, seperti penjatuhan sanksi denda ataupun kenaikan dan bunga. Cara demikian lebih aman karena penerimaan pajak akan tetap terjaga. Sementara, menggunakan jalur penal dapat menyebabkan penerimaan pajak akan tersendat, disebabkan prosedur yang cukup rumit.
Pada dasarnya, tim jurusita dari kantor perpajakan lebih memilih menggunakan sanksi administrasi dibandingkan sanksi pidana, karena sangsi administrasi dianggap lebih efektif dalam pemberian sanksi kepada Wajib pajak, sebab dampak dari pelanggaran pajak bukan langsung kepada masyarakat, melainkan kerugian keuangan negara. Sehingga sanksi administrasi dianggap lebih tepat dan jelas untuk dapat mengembalikan kerugian negara dan dalam hal ini Wajib pajak tetap harus membayar hutang pajaknya tersebut.
Menurut pandangan penulis, dalam hal paksa badan atau biasa disebut penyanderaan yang mana menurut hasil penelitian lebih mementingkan ketentuan administrasi dalam menangani pelanggaran Wajib pajak bandel itu lebih efektif dan lebih tepat. Pertama, pajak adalah sarana bagi negara untuk membiayai pembangunan guna kesejahteraan Masyarakat. Untuk mewujudkan itu tentuanya sumber penerimaan pajak harus tercapai dan berjalan lancar.
Kedua, pajak adalah satu-satunya
instrumen paling adil memberikan tingkat bagi kesejahteraan Masyarakat. Dalam hal ini, tidak berarti ketentuan pidana tidak dapat diterapkan, hanya saja kurang tepat karena penekanan dari sangksi pidana lebih kepada diri Wajib pajak, bukan pada pengembalian utang pajak.
B. Prosedur Penghentian Penyanderaan
Adapun penyanderaan terhadap Wajib pajak dapat pula dihentikan apabila memenuhi beberapa persyaratan, yakni sebagai berikut: 1.
Hutang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas. Dalam hal ini Wajib pajak tersebut harus memenuhi persyaratan berupa salinan atau fotokopi bukti pembayaran/pelunasan hutang pajak/ biaya penagihan pajak yang telah dilegalisasi oleh tempat pembayaran pajak yang bersangkutan.
2. Jangka waktu yang ditetapkan surat perintah penyanderaan telah habis.
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini Wajib pajak tersebut harus memenuhi persyaratan berupa salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dilegalisasi oleh pengadilan yang bersangkutan.
4. Berdasarjan pertimbangan tertentu dari Menteri keuangan dan Gubernur Kepala Daerah tingkat I.
Pengertian dari pertimbangan tertentu Menteri keuangan adalah berupa surat rekomendasi/ surat pemberitahuan Menteri keuangan kepada Direktur jenderal pajak dengan alasan sebagai berikut:
1. Wajib pajak sudah membayar hutang 90% atau lebih dari jumlah hutang pajak/ sisa hutang pajak dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran.
2. Wajib pajak sanggup melunasi hutang pajak dengan menyerahkan bank garansi.
3. Wajib pajak sanggup melunasi hutang pajak dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya dengan hutang pajak dan biaya penagihan pajak untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Untuk kepentingan ekonomi negara dan untuk kepentingan umum.
Menurut ketentuan yang berlaku, terkait dengan Wajib pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana telah diuraikan tersebut, kepala KPP/KPPBB menyampaikan usul atau permohonan rekomendasi ke Menteri keuangan melalui Direktur jenderal pajak untuk perhatian Direktur pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak, disertai dengan fotokopi surat setoran pajak, surat jaminan bank, surat pernyataan penyerahan harta kekayaan Wajib pajak atau dokumen/ keterangan lain yang berkaitan dengan usulan tersebut.
Perhitungan dan penentuan tanggal pelepasan terhadap Wajib pajak yang disandera ditetapkan oleh kepala Rumah Tahan Negara. Kepala Rumah Tahanan Negara memberitahukan secara tertulis kepada Kepala KPP/ KPPBB apabila Wajib pajak yang disandera telah dibebaskan dari penyanderaan.
4. Wajib pajak telah berumur 75 tahun atau lebih.
Setelah surat resmi penghentian melaksanakan penyanderaan dikeluarkan oleh Kepala Kantor, maka tindakan selanjutnya melakukan rehabilitasi nama baik penanggung pajak yang disandera tersebut. Rehabilitasi nama baik dilakukan oleh pejabat dalam bentuk satu kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala Nasional/regional/lokal dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat tiga puluh hari sejak diterimanya surat permohonan Wajib pajak.
Permohonan rehabilitasi nama baik tersebut diajukan oleh Wajib pajak kepada berwenang, yakni jajaran Kepala Kantor yang Pemerintah. mengajukan penyanderaaan,
Menurut keputusan dilakukan secara tertulis, dalam Direktur Jenderal Pajak nomor bahasa Indonesia, dan dengan Kep-218/pj./2003, tentang dilengkapi dengan persyaratan petunjuk pelaksanaan sebagai berikut: penyanderaan dan pemberian
1. rehabilitasi nama baik Putusan pengadilan,
2. perintah penanggung pajak yang disandera Surat penyanderaan, dan diatur pula mengenai gugatan
3. pemberitahuan yang dimenangkan oleh Wajib Surat pelepasan Wajib pajak pajak. Namun apabila ditinjau yang disandera. kembali keputusan tersebut
Hal tersebut sebagaimana kurang memiliki rasa keadilan, diatur dalam keputusan Direktur mengingat tidak adanya aturan Jenderal Pajak yang menyatakan mengenai ketentuan tuntutan bahwa dalam hal gugatan Wajib ganti rugi oleh Wajib pajak. Satu- pajak dikabulkan pengadilan dan satunya tuntutan yang dapat putusan pengadilan tersebut telah dilakukan oleh Wajib pajak yang mempunyai kekuatan hukum disandera, hal tersebut sesuai tetap, maka Wajib pajak yang dengan pasal 18 ayat (3) bunyi bersangkutan dapat mengajukan lengkap sebagai berikut: permohonan rehabilitas nama
“Dalam hal gugatan
baik. Permohonan tersebut tidak
penanggung pajak dikabulkan
dapat diajukan bersama-sama
oleh pengadilan dan putusan
dengan tuntutan yang ada dalam
pengadilan tersebut telah
gugatan pertama. Dengan
memperoleh kekuatan hukum
demikian, keputusan mengenai
tetap,penanggung pajak dapat
rehabilitas nama baik Wajib
mengajukan permohonan
pajak berada pada pejabat yang
rehabil itas nama baik” Mengingat gugatan materi dalam bentuk ganti rugi tidak diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor Kep-218/pj./2003 tentang petunjuk pelaksanaan penyanderaan dan pemberian rehabilitasi nama baik penanggung pajak yang disandera tersebut, maka Wajib pajak dapat mengajukan hal tersebut dipengadilan Negeri. Gugatan ini sangat logis dilakukan mengingat Wajib pajak yang telah ditetapkan sebagai sandera atau diputuskan bersalah oleh Direktur Jenderal Pajak, dan juga telah dirugikan dari segi materi, berupa hilangnya kemerdekaan sementara, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan selama Wajib pajak disandera ataupun kerugian lainnya.
Dari hasil penelitian dua Wajib pajak yang ditetapkan sebagai sandera oleh Direktur Jenderal Pajak Pratama Palu Sulawesi Tengah dalam kenyataannya tidak menempuh upaya hukum lebih lanjut, Wajib pajak yang dikenai sandera tersebut memilih penyelesaian sengketa dengan cara melunasi utang pajaknya.
Walaupun secara keseluruhan tunggakan belum dilunasi, namun pembayaran sebagian dari utang pajak tersebut dapat mengakibatkan sandera dilepas dengan ketentuan yang bersangkutan tetap harus membayar sisa kekurangannya.
Dari uraian di atas, dapat dipastikan bahwa Wajib pajak tidak menempuh upaya hukum selanjutnya karena kurangnya bukti-bukti kuat untuk dipertanggungjawabkan di Pengadilan Negeri. Sebaliknya, Direktur Jenderal Pajak mempunyai bukti kuat secara hukum dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai penetapan sandera terhadap Wajib pajak, sehingga pada akhirnya utang pajak tersebut diselesaikan melalui dengan cara melunasi utang pajak oleh Wajib pajak yang dikenai sandera.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis meyimpulkan bahwa tindakan penyanderaan merupakan ketentuan hukum administrasi yang mana penekanan sanksi lebih kepada pengembalian utang pajak, walaupun penyanderaan telah dilakukan itu tidak berarti menghapus utang pajak bagi Wajib pajak yang tidak ada itikad baik untuk melunasi utang pajaknya. Ketentuan administrasi inipun dianggap lebih efektif dan tegas dalam pemberian sanksi terhadap Wajib pajak mengingat bahwa dampak dari pelanggaran pajak bukan langsung kepada masyarakat, melainkan kerugian keuangan negara. Sehinggah penerapan sanksi lebih mementingkan pengembalian utang pajak dibandingkan memidanakan
Wajib pajak.
Dalam hal penghentian penyanderaan, sesuai dengan prosedur, penghentian penyanderaan dapat dilakukan jika Wajib pajak sudah membayar hutang 90% atau lebih dari jumlah hutang pajak/ sisa hutang pajak dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran. Adapun gugatan yang dapat diajukan oleh Wajib pajak setelah proses penyanderaan telah selah selesai yaitu rehabilitasi nama baik Wajib pajak, diajukan kepada Kepala kantor yang mengeluarkan izin penyanderaan.
III. PENUTUP A. Kesimpulan
B. Saran
Melalui tulisan ini, penulis mengharapkan perhatian pemerintah yang lebih dalam penaganan perpajakan, karena dari pajaklah anggaran Negara yang besar untuk menunjang pembangunan-pembangunan negara itu sendiri demi kesejahteraan masyarakat, serta perhatian pemerintah dalam hal penyanderaan yang sudah perpajakan dapat lebih tegas dapat dibuatkan Undang- dan berjalan lancar. Undang khusus agar sistem
DAFTAR PUSTAKA
Buku-bukuAbdul Asril Harahap, Paradigma baru perpajakan Indonesia persfektif Ekonomi
politik, Integrita Dinamika Prerss, Jakarta. 2004
Hadi Moeljo, Dasar-dasar penagihan pajak dengan surat paksa oleh juru sita pusat dan daerah , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998. Muhammad Jafar Saidi, Perlindungan hukum wajib pajak, Raja Grafindo, Jakarta, 2007. Sugiarto, Keadilan dalam penyanderaan, Harian Kompas Santoso, Sani Imam, Teori pemidanaan dan paksa badan (gijzeling), Jakarta.
2014
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan pajak dengan surat pajak. Undang-Undang Nomor Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Peraturan Pemerintah No. 137 tentang tempat dan tata cara penyanderaan,
Rehabilitas nama baik penanggung pajak, dan pemberian ganti rugi
dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa.Internet
skses pada tanggal 19 Agustus 2015