Makalah Hukum Kejahatan Laut Tentang Ill

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Salah satu Reformasi dibidang Hukum dan perundangan yang dilakukan Negara

Republik Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 yang
kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan. Untuk
Indonesia undang-undang ini amatlah penting mengingat luas perairan kita yang hampir
mendekati 6 juta kilometer persegi yang mencakup perairan kedaulatan dan yuridiksi nasional
memerlukan perhatian dan kepedulian kita semua, utamanya yang menyangkut upaya penegakan
hukum dan pengamanan laut dari gangguan dan upaya pihak asing. Keberadaan Undang-undang
Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan langkah positif dan merupakan landasan/aturan bagi
Penegak Hukum dan Hakim Perikanan dalam memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan
Illegal Fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat merusak
perekonomian bangsa.
Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia menyebabkan kerugian
negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar (USD/tahun). Setiap tahunnya sekitar 3.180
kapal nelayan asing beroperasi secara illegal di perairan Indonesia.Dalam beberapa tahun

terakhir, muncul kejahatan-kejahatan yang beraspek internasional yang disebut sebagai kejahatan
transnasional. Istilah transnasional sendiri dalam kepustakaan hukum internasional pertama
sekali diperkenalkan oleh Philip C. Jessup. Jessup menjelaskan bahwa selain istilah hukum
internasional atau international law, digunakan pula istilah hukum transnasional atau
transnational law yang dirumuskan, semua hukum yang mengatur semua tindakan atau kejadian
yang melampaui batas teritorial suatu Negara.
Kejahatan transnasional merupakan bagian dari kejahatan internasional yang mempunyai
dampak melewati batas territorial suatu negara, kejahatan transnasional dapat dilakukan secara
1

individual dan/atau kelompok atau terorganisir. Kejahatan transnasional yang terorganisir diatur
dalam Convention of Transnational Organized Crime 2000 atau yang biasa disebut dengan
Konvensi Palermo 2000.
Illegal fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak hanya terjadi
di Indonesia saja, beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi
musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan. Data-data kapal yang
ditangkap oleh kapal perang, kesalahan mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin,
dokumen palsu, menangkap ikan dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK
tidak disijil dan pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak
memiliki ijin kerja. Selain itu, beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain

ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut. Ketidakpastian
hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada,
inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing
yang melanggar, persengkokolan antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan.
Peradilan terhadap pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korup.
Dalam UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat jelas bahwa illegal
fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran yang dilakukan.
Sanksi pidana penjara dan denda tidak diterapkan semestinya. Ketidakjelasan lainnya
adalah ganjaran/sanksi terhadap birokrasi perijinan dan pengawas serta aparat penegak hukum di
laut yang dengan sengaja melakukan pungutan di luar ketentuan atau meloloskan pelanggar
dengan kongkalikong. Oleh karena itu para Penegak Hukum seperti Pegawai KKP, Polisi
Perairan dan TNI.AL diharapkan secara maksimal dapat menjaga laut kita dari pencurian Ikan
dan kejahatan lainnya. Dibentuknya Pengadilan ad.hoc Perikanan diharapkan juga mampu untuk
menjawab persoalan kejahatan pencurian ikan yang tercermin dalam putusan-putusan yang
dihasilkan, baik kejahatan yang dilakukan oleh warga negara maupun yang dilakukan oleh
warga/negara asing. Dan dari putusan-putusan ini diharapkan ada efek jera bagi para pelaku
kejahatan IUU Fishing. Berdasarkan dari latar belakang tersebut sehingga penulis memilih judul

2


“Penegakkan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing” dalam tugas penulisan makalah
yang bertemakan “Penyelesaian Illegal Fishing”

1.1. Rumusan Masalah

A. Apa saja Regulasi yang Mengatur tentang Kejahatan Illegal Fishing di Indonesia?
B. Apa saja Upaya Pemerintahan terhadap Pencegahan maupun Penanggulangan agar
Kejahatan Illegal Fishing tidak terjadi lagi di Indonesia?

C. Apa saja Faktor Penghambat Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Illegal Fishing di
Indonesia?

1.2. Tujuan Penulisan
A. Memahami Peraturan atau Regulasi tentang Kejahatan Illegal Fishing.
B. Memahami Peran Pemerintah dalam Pencegahan ( Preventif ) ataupun Penanggulangan
( Represif ) terhadap Kejahatan Illegal Fishing.
C. Memahami Faktor Utama Penghambat Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Illegal
Fishing di Indonesia


3

BAB II
PEMBAHASAN

.1.

Definisi Illegal Fishing

Pengertian ”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara
eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal fishing dapat dilihat dari
pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The Contemporary English
Indonesian Dictionary, ”illegal” artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum.
“Fish” artinya ikan atau daging ikan dan ”fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata
pencaharian atau tempat menangkap ikan.
Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa ”illegal fishing”
menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah.
Menurut Divera Wicaksono sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah
memakai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen
izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis dan

ukuran yang dilarang.1
Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan
negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional
itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau
badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak
sampai mengganggu kepentingan pihak lain. Penegakan hukum dalam pengertian yustisial
diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini
bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial
1

Arif Johan Tunggal, Pengantar Hukum Laut , Jakarta : Harvarindo. 2013, hal. 25.

4

maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam
penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas
ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional.
Delik/ tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana, dank arena
itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan
yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah dan/atau mengawetkannya. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut
SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan
penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. Surat Izin Usaha
Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan
perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang
tercantum dalam izin tersebut.

5

2.2.

Penegakan hukum IUU Fishing dalam Unclos 1982

Dalam hal penegakan hukum, termasuk penegakan hukum bagi pelaku IUU Fishing,
UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah laut di
bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang
tunduk dibawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut

teritorial atau perairan kepulauan dan laut territorial.
Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat
dan yurisdiksi adalah ZEE dan Landas Kontinen. Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang
sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara
pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai
mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat
tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati
maupun non-hayati. Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di
ZEE meliputi:
a. Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati);
b. Membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan;
c. Pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya;
d. Mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan
e. Perlindungan lingkungan laut.
Sedangkan kewajiban Negara Pantai ZEE meliputi:
a. Menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE;
b. Menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini
perikanan dan dalam hal negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable
catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui

perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama
sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.

6

UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang illegal fishing
muncul bersama-sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing
practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of
Artarctic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. IUU Fishing dapat
dikategorikan dalam tiga kelompok
a. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau
ZEE suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut
b. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu
negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut
c. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu
negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil
tangkapannya. Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah
kedaulatan maupun di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang
bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing.
Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut

teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan
kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982.
Negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum
pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara
pantai atau menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1)
UNCLOS 1982.2

2.3. Penegakan Hukum IUU Fishing di Indonesia
2

p://stresspraktikum.blogspot.com/2013/06/proses-penegakan-hukum-terhadap-tindak.html
di akses hari Jumat, Tanggal 21 April 2017, Jam 10.00 WIB.

7

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan melalui proses
peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP ( Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ) dimana setiap bentuk tindak pidana yang
terjadi ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi. Pre Ajudikasi :
Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum yang telibat secara langsung yaitu

penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik PNS) serta Jaksa (Kejaksaan).
Penegak hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan informasi maupun laporan
mengenai adanya suatu tindak pidana Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya tindakan
langsung oleh Kepolisian maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri,
seperti sering dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun
demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan diproses pada
tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara optimal tanpa adanya koordinasi
yang utuh dan menyeluruh dari berbagai lembaga penegak hukum atau yang sering kita kenal
dengan istilah Integreted Criminal Justice System(ICSJ).
Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut,
tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan laut yang ada.
Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upaya-upaya koordinasi berbagai
pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bawah
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan revitalisasi
Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui
instrument Peraturan Presiden.3
Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini
perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi
pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor
Kep.05/Menko/Polkam/2/2003,


dibentuk

Kelompok

Kerja

Perencanaan

Pembangunan

Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut
(Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut. Untuk menciptakan kondisi
3

Alma Manuputty, Hukum Laut, Unhas, Makassar, hal 15.

8

keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I melaksanakan operasi kamla terbatas dengan
Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum
serta melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun daerah.
Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI
Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu :
1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan.
2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai
dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan
politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah.
4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut; 5. Melaksanakan
pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI
Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu :
1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan
2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai
dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikas
3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan
politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah
4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut; 5. Melaksanakan
pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek
jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undangundang telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan
9

agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan
ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur
perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada
penyelesaian kasus yang belum tuntas.
Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum
di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa perbedaan
dengan pemeriksaan tindak pidana di darat.
Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung penegakkan hukum terhadap tindak
pidana illegal fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut.
1. Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang – Undang Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
2. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil
serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2005 tentang Usaha Perikanan,
3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan
Pengembangan Perikanan,
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha
Perikanan

Tangkap,

Peraturan

Menteri

Kelautan

dan

Perikanan

Nomor

PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur
Bagian Utara.

2.4.

Penghambat Penegakkan Hukum Terhadap IUU Illegal Fishing

1. Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum
10

Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal Fishing
yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum
Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri
Sipil yang tidak diatur secara khusus dalam Undang–Undang tentang Perikanan tersebut.
Penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang
yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana
dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishingyang melibatkan banyak pihak. Namun
demikian beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam terjadinya tindak pidana
Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan
akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan maksimum
sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata
peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
2. Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih
kewenangan dan kebijakan masing – masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik
kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam
penanggulangan kejahatan Illegal Fishing. Proses peradilan mulai dari penyidikan hingga ke
persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang sangat panjang dan
sarana / prasarana yang sangat memadai membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus
tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak memiliki semua komponen, data/informasi ataupun
sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum.Oleh karena itu
diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya
penegakan hukum terhadap Illegal Fishing tersebut.
Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui
bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan
oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang
mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006
tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh)
11

Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai pemberantasanIllegal Fishing yang
sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu : Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, TNI - Angkatan Laut, Kejaksaan Agung,
Kementerian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen
Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan
Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.4
Koordinasi antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam
penegakan hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan kejahatan
terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penangkapan ikan secara ilegal,
tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport ikan secara ilegal.
3. Rumusan Sanksi Pidana
Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan
perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki sanksi
pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum
memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman hukuman penjara yang
paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau
membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang
melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang
paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).5

BAB III
PENUTUP
4

Refika Aditam, Joko Subagyo, Penerapan Hukum Laut di Indonesia , Jakarta. : Rineka Cipta,
2013. Hal. 45.
5
http://amrmulsin.blogspot.co.id/2014/05/makalah-illegal-fishing.html di akses hari Jumat,
Tanggal 21 April 2017, Jam 10.00 WIB.

12

.1.

Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang sudah di paparkan kita dapat mengambil poin dan kesimpulan

penting yaitu sebagai berikut :
1. Illegal Fishing menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang
dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana dikutip Lambok
Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu,
tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat
tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang dilarang.
2. Penegakan Hukum bagi Pelaku IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar
membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan
wilayah laut, Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan melalui
proses peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang - Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP ( Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ).
3. Ada 3 Hal Pokok yang menghambat Penegakan Hukum terhadap Illegal Fishing yaitu
Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum, Lemahnya Koordinasi Antar Penegak
Hukum, dan Rumusan Sanksi bagi Pelaku.

.2.

Saran
Penulis menyadari bahwa, dalam tulisan ini terdapat banyak kekurangan. Dengan

demikian, kiranya ke depan ada studi lanjut yang dapat memaparkan kembali pengetahuan
mengenai Illegal Fishing.

DAFTAR PUSTAKA

13

Buku
Alma Manuputty, Hukum Laut, Unhas, Makassar. 2013
Arif Johan Tunggal, Pengantar Hukum Laut , Jakarta : Harvarindo. 2013.
Refika Aditam, Joko Subagyo, Penerapan Hukum Laut di Indonesia , Jakarta. : Rineka Cipta,
2013.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1983 tentang Hukum Laut (United Nations Convention On
The Law Of The Sea) 1982.
United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Commision for Conservation of
Artarctic Marine Living Resources 1997 Peraturan Nasional.

Internet
http://rezaaidilf.wordpress.com/2012/11/18/penegakan-hukum-iuu-fishing-menurut-unclos-1982studi-kasus-volga-case.html
http://stresspraktikum.blogspot.com/2013/06/proses-penegakan-hukum-terhadap-tindak.html
http://amrmulsin.blogspot.co.id/2014/05/makalah-illegal-fishing.html

14