Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa

Pembebanan Nonlinier

(Dampak pada Piranti)

Sudaryatno Sudirham

Komponen Harmonisa Dalam Sistem Tiga Fasa

Frekuensi Fundamental. Pada pembebanan seimbang, komponen fundamental berbeda fasa

120 o antara masing-masing fasa. Perbedaan fasa 120 antar fasa ini timbul karena perbedaan posisi kumparan jangkar terhadap siklus medan magnet, yaitu sebesar 120 o sudut magnetik. Hal ini dijelaskan pada Gb.1.

180 o mekanis = 360 o magnetik

Gb.1. Skema generator empat kutub

Gb.1. memperlihatkan skema generator empat kutub; 180 o sudut mekanis ekivalen dengan 360 sudut magnetik. Dalam siklus magnetik yang pertama sebesar 360 o magnetik, yaitu dari kutub

magnetik U ke U berikutnya, terdapat tiga kumparan yaitu kumparan fasa-a (a 1 -a 11 ), kumparan fasa-

1 -b 11 ), kumparan fasa-c (c 1 -c 11 ) Antara posisi kumparan fasa-a dan fasa-b terdapat pergeseran sudut magnetik 120 o ; antara posisi kumparan fasa-b dan fasa-c terdapat pergeseran sudut magnetik

b (b .

120 o ; demikian pula halnya dengan kumparan fasa-c dan fasa-a. Perbedaan posisi inilah yang menimbulkan perbedaan sudut fasa antara tegangan di fasa-a, fasa-b, fasa-c.

Harmonisa Ke-3. Hal yang sangat berbeda terjadi pada komponen harmonisa ke-3. Pada harmonisa ke-3 satu siklus komponen fundamental, atau 360 o , berisi 3 siklus harmonisa ke-3. Hal ini

berarti bahwa satu siklus harmonisa ke-3 memiliki lebar 120 o dalam skala komponen fundamental; nilai ini tepat sama dengan beda fasa antara komponen fundamental fasa-a dan fasa-b. Oleh karena

itu tidak ada perbedaan fasa antara harmonisa ke-3 di fasa-a dan fasa-b. Hal yang sama terjadi antara fasa-b dan fasa-c seperti terlihat pada Gb.2.

Gb.2. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-3 pada fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.

Pada gambar ini tegangan v 1a ,v 1b ,v 1c , adalah tegangan fundamental dari fasa-a, -b, dan -c, yang saling berbeda fasa 120 o . Tegangan v 3a ,v 3b ,v 3c , adalah tegangan harmonisa ke-3 di fasa-a, -b, dan -c;

Darpublic

masing-masing digambarkan terpotong untuk memperlihatkan bahwa mereka sefasa. Diagram fasor harmonisa ke-3 digambarkan pada Gb.3. Jika V 3a , V 3b , V 3c merupakan fasor tegangan fasa-netral maka tegangan fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-3 adalah nol.

V 3a 3b V V 3c

Gb.3. Diagram fasor harmonisa ke-3.

Hal serupa terjadi pada harmonisa kelipatan tiga yang lain seperti harmonisa ke-9. Satu siklus fundamental berisi 9 siklus harmonisa yang berarti lebar satu siklus adalah 40 o dalam skala

fundamental. Jadi lebar 3 siklus harmonisa ke-9 tepat sama dengan beda fasa antar fundamental, sehingga tidak ada perbedaan sudut fasa antara harmonisa ke-9 di fasa-a, fasa-b, dan fasa-c.

Harmonisa ke-5. Gb.4. memperlihatkan kurva tegangan fundamental dan harmonisa ke-5. Tegangan v 1a , v 1b , v 1c , adalah tegangan fundamental dari fasa-a, -b, dan -c. Tegangan v 5a , v 5b , v 5c , adalah tegangan harmonisa ke-5 di fasa-a, -b, dan -c; masing-masing digambarkan terpotong untuk menunjukkan bahwa mereka berbeda fasa.

-100 -200 -300

Gb.4. Tegangan fundamental dan harmonisa ke-5

Satu siklus fundamental berisi 5 siklus harmonisa atau satu siklus harmonisa mempunyai lebar 72 o

dalam skala fundamental. Perbedaan fasa antara v o 5a dan v 5b adalah (2 × 72 − 120 ) = 24 dalam skala

fundamental atau 120 o dalam skala harmonisa ke-5; beda fasa antara v 5b dan v 5c juga 120 . Diagram fasor dari harmonisa ke-5 terlihat pada Gb.5. Jika V 5a ,V 5b ,V 5c merupakan fasor tegangan fasa-netral

maka tegangan fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-5 adalah 3 kali lebih besar dari tegangan fasa- netral-nya.

Gb.5. Diagram fasor harmonisa ke-5.

Harmonisa Ke-7. Satu siklus harmonisa ke-7 memiliki lebar 51,43 o dalam skala fundamental.

Perbedaan fasa antara v o 7a dan v 7b adalah (3 × 51,43 − 120 ) = 34,3 dalam skala fundamental atau

240 o dalam skala harmonisa ke-7; beda fasa antara v 7b dan v 7c juga 240 . Diagram fasor dari harmonisa ke-7 terlihat pada Gb.6. Jika V 7a , V 7b , V 7c merupakan fasor tegangan fasa-netral maka

tegangan fasa-fasa (line to line) harmonisa ke-7 adalah 3 kali lebih besar dari tegangan fasa-netral- nya.

Darpublic

Gb.6. Diagram fasor harmonisa ke-7.

Relasi Tegangan Fasa-Fasa dan Fasa-Netral

Pada tegangan sinus murni, relasi antara tegangan fasa-fasa dan fasa-netral dalam pembebanan seimbang adalah

V ff = V fn 3 = 1 , 732 V fn

di mana V ff tegangan fasa-fasa dan V f-n tegangan fasa-netral. Apakah relasi ini masih berlaku jika tegangan berbentuk gelombang nonsinus. Kita akan melihat melalui contoh berikut.

CONTOH-1: Tegangan fasa-netral suatu generator 3 fasa terhubung bintang mengandung komponen fundamental dengan nilai puncak 200 V, serta harmonisa ke-3, 5, 7, dan 9 dengan nilai puncak berturut-turut 40, 25, 20, 10 V. Hitung rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral.

Penyelesaian:

Dalam soal ini harmonisa tertinggi yang diperhitungkan adalah harmonisa ke-9, walaupun nilai puncak harmonisa tertinggi ini masih 5% dari nilai puncak komponen fundamental.

Nilai efektif tegangan fasa-netral fundamental sampai harmonisa ke-9 berturut-turut adalah

nilai puncak dibagi 2 :

V 1 f − n = 141 , 42 V ; V 3 f − n = 28 , 28 V ; V 5 f − n = 17 , 68 V

V 7 f − n = 14 , 14 V ; V 9 f − n = 7 , 07 V

Nilai efektif tegangan fasa-netral total

f − n = 141 , 42 + 28,28 + 17,68 + 14,14 + 7,07 = 146 , 16 V Nilai efektif tegangan fasa-fasa setiap komponen adalah

V 1 f − f = 244 , 95 V ; V 3 f − f = 0 V ; V 5 f − f = 26,27 V

V 7 f − f = 22 , 11 V ; V 9 f − f = 0 V

Nilai efektif tegangan fasa-fasa total

f − f = 244 , 95 + 0 + 2 6 , 27 + 2 2 , 11 + 0 = 247 , 35 V Rasio tegangan fasa-fasa terhadap tegangan fasa-netral

Perbedaan nilai perhitungan tegangan efektif fasa-netral dan tegangan efektif fasa-fasa terlatak pada adanya harmonisa kelipatan tiga; tegangan fasa-fasa harmonisa ini bernilai nol.

Darpublic

Hubungan Sumber Dan Beban

Generator Terhubung Bintang. Jika belitan jangkar generator terhubung bintang, harmonisa kelipatan tiga yang terkandung pada tegangan fasa-netral tidak muncul pada tegangan fasa-fasa-nya. Kita akan melihatnya pada contoh berikut.

CONTOH-2: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung bintang membangkitkan tegangan fasa-netral yang berbentuk gelombang nonsinus yang dinyatakan dengan persamaan

v = 800 sin ω 0 t + 200 sin 3 ω 0 t + 100 sin 5 ω 0 t V

Generator ini mencatu tiga induktor terhubung segi-tiga yang masing-masing mempunyai resistansi 20 Ω dan induktansi 0,1 H. Hitung daya nyata yang diserap beban dan faktor daya beban.

Penyelesaian:

Nilai efektif komponen tegangan fasa-netral adalah

V fn 1 rms = 800 / 2 V ; V fn 3 rms = 200 / 2 V ; V fn 5 rms = 100 / 2 V . Tegangan fasa-fasa sinyal nonsinus tidak sama dengan 3 kali tegangan fasa-netralnya. Akan

tetapi masing-masing komponen merupakan sinyal sinus; oleh karena itu tegangan fasa-fasa

masing-masing komponen adalah 3 kali tegangan fasa-netral-nya.

V ff 1 rms = ( 800 / 2 ) 3 = 800 3/2 V ; V ff 3 rms = 0 V ;

V ff 5 rms = 100 3 / 2 V

ffrms = 800 ( 3 / 2 ) + 100 ( 3 / 2 ) = 987 , 4 V

Reaktansi beban per fasa untuk tiap komponen

X 1 = 2 π × 50 × 0 , 1 = 31 , 42 Ω ; X 3 = 3 X 1 = 94 , 25 Ω ; X 5 = 5 X 1 = 157 , 08 Ω Impedansi beban per fasa untuk tiap komponen

Arus fasa:

frms = 26 , 3 + 0 , 77 = 26 , 32 A

Daya nyata diserap beban

b = 3 × I frms × 20 = 41566 W ≈ 41,6 kW

Darpublic

Daya kompleks beban S b = 3 × V ff × I f = 3 × 987 , 4 × 26 , 32 = 77967 W ≈ 78 kW Faktor daya beban

Generator Terhubung Segitiga. Jika belitan jangkar generator terhubung segitiga, maka tegangan harmonisa kelipatan tiga akan menyebabkan terjadinya arus sirkulasi pada belitan jangkar generator tersebut.

CONTOH-3: Sebuah generator 3 fasa, 50 Hz, terhubung segitiga. Resistansi dan induktansi per fasa adalah 0,06 Ω dan 0,9 mH. Dalam keadaan tak berbeban tegangan fasa-fasa mengandung harmonisa ke-3, -7, dan -9, dan -15 dengan amplitudo berturut-turut 4%, 3%, 2% dan 1% dari amplitudo tegangan fundamental. Hitunglah arus sirkulasi dalam keadaan tak berbeban, jika eksitasi diberikan sedemikian rupa sehingga amplitudo tegangan fundamental 1500 V.

Penyelesaian:

Arus sirkulasi di belitan jangkar yang terhubung segitiga timbul oleh adanya tegangan harmonisa kelipatan tiga, yang dalam hal ini adalah harmonisa ke-3, -9, dan -15. Tegangan puncak dan tegangan efektif masing-masing komponen harmonisa ini di setiap fasa adalah

V 3 m = 4 % × 1500 = 60 V ; V 3 rms = 60 / 2 V

V 9 m = 2 % × 1500 = 30 V ; V 9 rms = 30 / 2 V

V 15 m = 1 % × 1500 = 15 V ; V 15 rms = 15 / 2 V

Reaktansi untuk masing-masing komponen adalah − X 3

Impedansi di setiap fasa untuk komponen harmonisa 2 Z 2

Arus sirkulasi adalah 60 / 2

sirkulasi ( rms ) = 48 , 89 + 8 , 33 + 2 , 5 = 50 , 6 A

Darpublic

Sistem Empat Kawat. Pada sistem empat kawat, di mana titik netral sumber terhubung ke titik netral beban, harmonisa kelipatan tiga akan mengalir melalui penghantar netral. Arus di penghantar netral ini merupakan jumlah dari ketiga arus di setiap fasa; jadi besarnya tiga kali lipat dari arus di setiap fasa.

CONTOH-4: Tiga kumparan dihubungkan bintang; masing-masing kumparan mempunyai resistansi 25 Ω dan induktansi 0,05 H. Beban ini dihubungkan ke generator 3 fasa, 50Hz, dengan kumparan jangkar terhubung bintang. Tegangan fasa-netral mempunyai komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan ke-5 dengan nilai puncak berturut-turut 360 V, 60 V, dan 50

V. Penghantar netral menghubungkan titik netral generator dan beban. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.

Penyelesaian:

(a) Tegangan fasa-netral efektif setiap komponen

V fn 1 rms = 254 , 6 V;

V fn 3 rms = 42 , 4 V; V fn 5 rms = 35 , 4 V

Reaktansi per fasa

Impedansi per fasa

Arus saluran

saluran rms = 8 . 62 + 0 , 795 + 0 , 43 = 8 , 67 A (b) Tegangan fasa-fasa setiap komponen

V 1 f − f = 440 , 9 V; V 3 f − f = 0 V; V 5 f − f = 61 , 24 V Tegangan fasa-fasa

f − f = 440 , 9 + 0 + 61 , 2 = 445 V

Arus di penghantar netral ditimbulkan oleh harmonisa ke-3, yang merupakan arus urutan nol.

Darpublic

I netral = 3 × I 3 rms = 3 × 0 , 795 = 2 , 39 A

(c) Daya yang diserap beban adalah daya yang diserap elemen resistif 25 Ω , yaitu P 2 = 3 × I

f − n × R . Arus beban terhubung bintang sama dengan arus saluran. Jadi daya yang diserap beban adalah

b = 3 × I × R = 3 × 8 , 67 × 25 = 5636 W = 5,64 kW Sistem Tiga Kawat. Pada sistem ini tidak ada hubungan antara titik netral sumber dan titik

netral beban. Arus harmonisa kelipatan tiga tidak mengalir. Kita akan melihat kondisi ini dengan menggunakan contoh berikut.

CONTOH-5: Persoalan seperti pada contoh sebelumnya akan tetapi penghantar netral yang menghubungkan titik netral generator dan beban diputus. Hitung nilai efektif (a) arus saluran (fasa); (b) tegangan fasa-fasa; (c) arus di penghantar netral; (d) daya diserap beban.

Penyelesaian:

(a) Karena penghantar netral diputus, arus harmonisa ke-3 tidak mengalir. Arus fundamental dan harmonisa ke-5 telah dihitung pada contoh-7.4. yaitu

Arus saluran menjadi

I saluran 2 rms = 8 , 62 + 0 , 43 2 = 8 , 63 A

(b) Walaupun arus harmonisa ke-3 tidak mengalir, tegangan fasa-netral harmonisa ke-3 tetap hadir namun tegangan ini tidak muncul pada tegangan fasa-fasa. Keadaan ini seperti keadaan sebelum penghantar netral diputus

f − f = 440 , 9 + 0 + 61 , 2 = 445 V

(c) Arus di penghantar netral = 0 A (d) Daya yang diserap beban

b = 3 × I × R = 3 × 8 , 63 × 25 = 5589 W = 5,59 kW Sumber Bekerja Paralel

Untuk mencatu beban yang besar sumber-sumber pada sistem tenaga harus bekerja paralel. Jika sumber terhubung bintang dan titik netral masing-masing sumber ditanahkan, maka akan mengalir arus sirkulasi melalui pentanahan apabila terdapat tegangan harmonisa kelipatan tiga.

CONTOH-6: Dua generator tiga fasa, 20 000 kVA, 10 000 V, terhubung bintang, masing-masing mempunyai reaktansi jangkar 20% tiap fasa. Tegangan terbangkit mengandung harmonisa ke-

3 dengan amplitudo 10% dari amplitudo fundamental. Kedua generator bekerja paralel, dan titik netral masing-masing ditanahkan melalui reaktansi 10%. Hitunglah arus sirkulasi di pentanahan karena adanya harmonisa ke-3.

Penyelesaian:

Tegangan kedua generator adalah

V ffrms = 10000 V

Darpublic

V fnrms =

Reaktansi jangkar 20% :

Reaktansi pentanahan 10% : X g = 10 % ×

20 000 × 1000 Reaktansi pentanahan untuk urutan nol : X 0 = 3 × 0 , 5 = 1 , 5 Ω

Tegangan harmonisa ke-3 adalah 10% dari tegangan fundamental :

V fn 3 rms = 577 , 4 V

Kedua generator memiliki X a dan X g yang sama besar dengan tegangan harmonisa ke-3 yang sama besar pula. Arus sirkulasi akibat tegangan harmonisa ke-3 adalah

V fn 3 rms

I sirkulasi =

= 231 A (

Penyaluran Energi ke Beban

Dalam jaringan distribusi, untuk menyalurkan energi ke beban digunakan penyulang tegangan menengah yang terhubung ke transformator dan dari transformator ke beban. Suatu kapasitor dihubungkan paralel dengan beban guna memperbaiki faktor daya. Dalam analisis harmonisa kita menggunakan model satu fasa dari jaringan tiga fasa.

Penyulang. Dalam model satu fasa, penyulang diperhitungkan sebagai memiliki resistansi, induktansi, kapasitansi. Dalam hal tertentu elemen ini bisa diabaikan.

Transformator. Perilaku transformator dinyatakan dengan persamaan

I 1 = I f + I 2 ′ dengan I 2 ′ =

V 1 , I 1 , E 1 R , 1 X , 1 berturut turut adalah tegangan terminal, arus, tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian primer. V 2 , I 2 E , 2 , R 2 X , 2 berturut-turut adalah

tegangan terminal, arus, tegangan induksi kumparan, resistansi, dan reaktansi bocor rangkaian sekunder; 2 V sama dengan tegangan pada beban. E 1 sefasa dengan E 2 karena dibangkitkan (diinduksikan) oleh fluksi yang sama, sehingga nilai masing-masing sebanding dengan jumlah lilitan,

N 1 dan N 2 . Jika a = N 1 /N 2 maka dilihat dari sisi sekunder nilai E 1 menjadi E 1 ' = E 1 / a , I 1 menjadi 2 I 2

1 ' = aI 1 , R 1 menjadi R 1 /a , X 1 menjadi X 1 /a . Rangkaian ekivalen transformator berbeban menjadi seperti pada Gb.7.a. Dengan mengabaikan arus eksitasi I f dan menggabungkan resistansi dan reaktansi menjadi R T = R 1 ′ + R 2 dan X T = X 1 ′ + X 2 maka rangkaian ekivalen menjadi seperti pada

Gb.7.b.

Darpublic

(a)

(b)

Gb.7. Rangkaian ekivalen transformator berbeban.

Rangkaian Ekivalen Untuk Analisis Karena resistansi dan reaktansi transformator diposisikan di sisi sekunder, maka untuk

menambahkan penyulang dan sumber harus pula diposisikan di sisi sekunder. Tegangan sumber V s

2 menjadi V 2 s /a, resistansi penyulang menjadi R p /a , reaktansi penyulang menjadi X p /a . Jika resistansi penyulang R 2 p /a maupun resistansi transformator R T diabaikan, maka rangkaian sumber–penyulang–

transformator–beban menjadi seperti pada Gb.8. Bentuk rangkaian yang terakhir ini cukup sederhana untuk melakukan analisis lebih lanjut. V s /a adalah tegangan sumber.

X p 2 /a

V s /a

Gb.8. Rangkaian ekivalen penyaluran energi dari sumber ke beban dengan mengabaikan semua resistansi dalam rangkaian

serta arus eksitasi transformator.

Apabila kita menggunakan rangkaian ekivalen dengan hanya memandang arus nonlinier, maka sumber tegangan menjadi bertegangan nol atau merupakan hubung singkat seperti terlihat pada

Gb.9.

X p 2 /a

X T i beban

Gb.9. Rangkaian ekivalen pada pembebanan nonlinier. Apabila kita hanya meninjau komponen harmonisa, dan tetap memandang bahwa arus

harmonisa mengalir ke beban, arah arus harmonisa digambarkan menuju sisi beban. Namun komponen harmonisa tidak memberikan transfer energi neto dari sumber ke beban; justru sebaliknya komponen harmonisa memberikan dampak yang tidak menguntungkan pada sistem pencatu daya. Oleh karena itu sistem pencatu daya “bisa melihat” bahwa di arah beban ada sumber arus harmonisa yang mencatu sistem pencatu daya dan sistem pencatu daya harus memberi tanggapan terhadap fungsi pemaksa (driving function) ini. Dalam hal terakhir ini sumber arus harmonisa digambarkan sebagai sumber arus yang mencatu sistem seperti terlihat pada Gb.10.

p /a

X T sumber arus

X C harmonisa

Gb.10. Rangkaian ekivalen untuk analisis arus harmonisa.

Darpublic

Dampak Harmonisa Pada Piranti

Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Di sini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa, baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata. Pengaruh ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:

a). Dampak langsung yang merupakan peningkatan susut energi yaitu energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan, yang secara alamiah berubah menjadi panas. [5,6].

b). Dampak taklangsung yang merupakan akibat lanjutan dari terjadinya dampak langsung. Peningkatan temperatur pada konduktor kabel misalnya, menuntut penurunan pengaliran arus melalui kabel agar temperatur kerja tak terlampaui. Demikian pula peningkatan temperatur pada kapasitor, induktor, dan transformator, akan berakibat pada derating dari alat-alat ini dan justru derating ini membawa kerugian (finansial) yang lebih besar dibandingkan dengan dampak langsung yang berupa susut energi.

Dampak taklangsung bukan hanya derating piranti tetapi juga umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat tertentu tersebut. Kenaikan tegangan akibat adanya harmonisa dapat menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges dalam piranti yang memperpendek umur piranti, bahkan mal-function bisa terjadi pada piranti.

Konduktor. Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan kuadrat THD

arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur. Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang memiliki resistansi R s , maka susut daya di konduktor ini adalah

s = I rms R s = ( I 1 rms + I hrms ) R s = I 1 rms R s ( 1 + THD I ) (1) Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor 1 ( 2 + THD I ) pada (1) menunjukkan seberapa besar

peningkatan susut daya di konduktor. Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THD I tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. THD I besar terjadi misalnya pada arus penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus melalui saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap setengah perioda yang mencapai 61%.

CONTOH-7: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 m Ω , menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini beroperasi normal pada temperatur 70 o

C sedangkan temperatur sekitarnya adalah 25 o

C. Perubahan pembebanan di ujung kabel menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b) perubahan temperatur kerja pada konduktor.

(a) Susut daya semula pada konduktor adalah

1 = 100 × 0 , 08 = 800 W

Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah

7 = 40 × 0 , 08 = 128 W

Susut daya berubah menjadi

P kabel = 800 + 128 = 928 W

Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut daya sebesar 16%.

Darpublic

(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula adalah (70 o − 25 ) = 45 C. Perubahan kenaikan temperatur adalah

oo

∆ o T = 0 , 16 × 45 = 7 , 2 C

Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah

= o 45 C + 7 , 2 o C ≈ 52 o C

dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah

T o ′ = 25 + 52 = 77 C

10% di atas temperatur kerja semula. CONTOH-8: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω digunakan untuk mencatu beban

resistif R b yang tersambung di ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah gelombang (ideal) di depan R b . (a) Hitunglah perubahan susut daya pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.

Penyelesaian:

(a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah

k = 20 × 0 , 2 = 80 W

Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20 A. THD I pada penyearah setengah gelombang adalah 100%. Susut daya pada kabel menjadi

k = 20 × 0 , 2 () 1 + 1 = 160 W

Susut daya menjadi dua kali lipat. (b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di kabel sama seperti sebelum

pemasangan penyearah yaitu

k = 20 × 0 , 2 = 80 W

Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total, yaitu

rms = I 1 ms + I hms = I 1 ms ( 1 + THD ) = 20

Dengan THD 100%, maka 2 I 2 1 rms = 20 /2 jadi I 1 rms = 20 / 2 = 14 , 14 A

Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi

0 2 , 7 ≈ 0 , 5 dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya. (c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada saluran menjadi dua kali lipat,

yang berarti kenaikan temperatur dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65 o

C pada

temperatur sekitar 25 o , maka temperatur kerja yang baru bisa mencapai lebih dari 100 C.

Darpublic

Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat diartikan sebagai derating kabel.

Kapasitor. Kita mulai pembahasan ini dengan melihat ulang tentang kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki permitivitas relatif ε r disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang semula (tanpa bahan dielektrik)

berubah menjadi

Jadi kapasitansi meningkat sebesar ε r kali. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.11. Arus kapasitor terdiri

dari dua komponen yaitu arus kapasitif I o

C ideal yang 90 mendahului tegangan kapasitor V C , dan arus

ekivalen losses pada dielektrik I Rp yang sefasa dengan tegangan.

im I C I tot

δ I Rp r V C

e Gb.11. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor.

Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah P = V C I Rp = V C I C tan δ (2)

atau

P = ε r V 0 ω C V 0 tan δ = 2 π f V 0 C ε r tan δ (3) tan δδδδ disebut faktor desipasi (loss tangent)

εεεε r tan δδδδ disebut faktor kerugian (loss factor) Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik. Nilai ε r tergantung dari frekuensi, yang secara umum

digambarkan seperti pada Gb.12.

loss factor

ε r tan δ

power audio radio

frekuensi

frekuensi listrik

frekuensi optik

Gb.12. ε r dan loss factor sebagai fungsi frekuensi.

Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai

2 π fC

Darpublic

Gb.12. memperlihatkan bahwa ε r menurun dengan naiknya frekuensi yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi dibanding dengan penurunan ε r ; oleh karena itu dalam analisis kita menganggap kapasitansi konstan.

Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, ε r juga tergantung dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan kuadrat tegangan.

Kapasitor dengan Tegangan Nonsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan antara tanggapan kapasitor terhadap komponen fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa. Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:

v C ( t ) = v C 1 ( t ) + v C 3 ( t ) + v C 5 ( t ) + ......... (4) Arus kapasitor akan berbentuk i C ( t ) = ω 0 Cv C 1 ( t ) + 3 ω 0 Cv C 3 ( t ) + 5 ω 0 Cv C 5 ( t ) + .........

(5) Dengan memperbandingkan (4) dan (5) dapat dimengerti bahwa bentuk gelombang tegangan

kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang arusnya. CONTOH-9: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak

150 V dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30

F dihubungkan pada sumber tegangan ini. Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.

V. Sebuah kapasitor 500 µ

Penyelesaian:

Jika persamaan tegangan

v C = 150 sin 100 π t + 30 sin 300 π t V

maka persamaan arus adalah

C = 150 × 500 × 10 − × 100 π cos 100 π t

+ 30 − × 6 500 × 10 × 500 π cos 500 π t

Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada Gb.13.

200 Gb.13. Gelombang tegangan dan arus pada Contoh-9.

Darpublic

CONTOH-10: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µ

F (110 V rms, 50 Hz) dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus efektif komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik 0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik dalam situasi ini.

Penyelesaian:

(a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah

Arus efektif untuk komponen fundamental

(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah

X C C 1 3 = = 2 , 12 Ω ;

X C 5 = C 1 = 1 , 27 Ω

Arus efektif harmonisa

I 10 hrms 2 + 2 , 8 2

V hrms

(d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V, losses adalah 0,6 watt.

P 50 Hz , 110 V = 0 , 6 W 150 2  30 

Losses dielektrik total:

P total = 0 , 6 + 0 , 134 + 0 , 006 = 0 , 74 W

Darpublic

Induktor. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik. Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila resistansi belitan dapat diabaikan, relasi tegangan-arus induktor untuk gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi

di f

dt dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan i f adalah arus eksitasi-nya.

Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding dengan i f dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.

dt

Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v, sehingga nilai e i sama dengan v.

Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa. Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk fasor

dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan

V rms =

fN φ maks = 4 , 44 fN φ maks

V rms =

fLi fmaks = 4 , 44 fL i fmaks

Relasi ideal memberikan diagram fasor dimana arus yang membangkitkan fluksi yaitu I φ sama

dengan I f .

CONTOH-11: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50,

10, dan 5 A. Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.

Penyelesaian:

Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah

V L 1 rms = 4 , 44 × 50 × L × 50 = 11100 × L V

V L 3 rms = 4 , 44 × 150 × L × 10 = 6660 × L V

V L 5 rms = 4 , 44 × 250 × L × 5 = 5550 × L V

Darpublic

2 2 sedangkan 2 V

Lrms = V 1 rms + V 3 rms + V 5 rms . Jadi

2 2 75 2 = L × 11100 + 6660 + 5550 = 14084 , 3 × L

Induktansi kumparan adalah

Fluksi Dalam Inti Induktor. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif V rms dan frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam inti dihitung dengan formula

V φ rms

4 , 44 × f × N

φ m adalah nilai puncak fluksi, dan N adalah jumlah lilitan. Melalui contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus.

CONTOH-12: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat tegangan nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan nilai efektif V 1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai

efektif V o

= 50 V yang tertinggal 135 dari komponen fundamental. Gambarkan kurva tegangan dan fluksi.

3rms

Penyelesaian:

Persamaan tegangan adalah

L = 150 2 sin ω 0 t + 50 2 sin( 5 ω 0 t − 135 )

Nilai puncak fluksi fundamental

Fluksi o φ 1m tertinggal 90 dari tegangan (lihat Gb.4.4). Persamaan gelombang fluksi fundamental menjadi

1 = 563 sin( ω 0 t − 90 ) µ Wb

Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3

Fluksi o φ

juga tertinggal 90 dari tegangan harmonisa ke-3; sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135 o dari tegangan fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah

3m

3 = 62 , 6 sin( 3 ω 0 t − 135 − 90 ) = 62 , 6 sin( 3 ω 0 t − 225 ) µ Wb Persamaan fluksi total menjadi

0 t − 90 ) + 62 , 6 sin( 3 ω 0 t − 225 ) µ Wb Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.14.

φ o = 563 sin( ω

Darpublic

t [detik]

Gb.14. Kurva tegangan dan fluksi.

Rugi-Rugi Inti Induktor. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi magnetik yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini

diperlihatkan pada Gb.15. dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ . Diagram fasor ini dengan memperhitungkan rugi hiterisis adalah sebagai berikut.

Gb.15. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)

Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti transformator, I f dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ yang diperlukan untuk membangkitkan φ , dan c I yang diperlukan untuk mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c . Komponen

I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan memberikan rugi-rugi inti

c = I c V = VI f cos( 90 − γ ) watt (6) Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus pusar. Rugi histerisis

dinyatakan dengan

(7) dengan P 3

P h = w h vf

h rugi histerisis [watt], w h luas loop kurva histerisis dalam [joule/m .siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah, dapat digunakan formulasi empiris Steinmetz

h = vf ( K h B m )

(8) di mana B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari jenis bahan dengan nilai yang

terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan K h yang juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, K h = 0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi harmonisa yang tinggi.

Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar dalam inti transformator

(9) di mana K e konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan fluksi [Hz], B m adalah nilai

kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan laminasi inti, dan v adalah volume material inti.

Darpublic

Rugi Tembaga Pada Induktor. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E 1 . Misalkan

resistansi belitan adalah R 1 , maka

V = E 1 + I f R 1 (10) Diagram fasor dari keadaan terakhir ini, yaitu dengan memperhitungkan resistansi belitan,

diperlihatkan pada Gb.16.

Gb.16. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga).

Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu . Jadi

(11) dengan V dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cos θ adalah faktor daya.

in = P c + P cu = P c + I f R 1 = VI f cos θ

Transformator. Kita awali pembahasan dengan melihat ulang transformator berbeban. Rangkaian transformator berbeban dengan arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.17. Tegangan

induksi E 2 (yang telah timbul dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan fluksi magnetik yang melawan fluksi bersama φ (sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian akan bocor, φ l2 ; φ l2 yang

sefasa dengan o I

2 menginduksikan tegangan E l 2 di belitan sekunder yang 90 mendahului φ l2 .

Gb.17. Transformator berbeban.

Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak

berbeban hanya berupa arus magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap

terpenuhi. Karena pertambahan arus primer sebesar I 1 − I f adalah untuk mengimbangi fluksi lawan

yang dibangkitkan oleh I 2 agar φ dipertahankan, maka haruslah

N 1 ( I 1 − I f ) − N 2 I 2 = 0 (12)

Darpublic

Pertambahan arus primer I 1 − I f disebut arus penyeimbang yang akan mempertahankan φ . Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus penyeimbang yang diperlukan yang berarti makin

besar pula arus primer. Dengan cara inilah terjadinya transfer daya dari primer ke sekunder. Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer, φ l1 , yang menginduksikan tegangan l 1 E . Tegangan induksi yang dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu

dan l 2 E , dinyatakan dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 , masing-masing di rangkaian primer dan sekunder. Jika resistansi belitan

primer adalah R 1 dan belitan sekunder adalah R 2 , maka kita peroleh hubungan

untuk rangkaian di sisi primer

V 1 = E 1 + I 1 R 1 + E l 1 = E 1 + I 1 R 1 + j I 1 X 1 (13) untuk rangkaian di sisi sekunder

E 2 = V 2 + I 2 R 2 + E l 2 = V 2 + I 2 R 2 + j I 2 X 2 (14) Rangkaian Ekivalen Transformator. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah penafsiran secara

rangkaian elektrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator, rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.

Dengan relasi E 2 = E 1 / a = E 1 ′ dan I 2 = a I 1 = I 1 ′ di mana a = N 1 /N 2 , tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali sebagai satu set persamaan sebagai berikut.

Untuk rangkaian di sisi sekunder, (14) kita tuliskan

Untuk rangkaian sisi primer (13), kita peroleh

sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan

Karena I 1 2 = maka persamaan ini dapat kita tuliskan a

dengan

Persamaan (15) ini, bersama dengan persamaan (12) yang dapat kita tuliskan

I 2 = a I 1 − a I f = I 1 ′ − a I f , memberikan rangkaian ekivalen untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar

2 sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu, jika I f diabaikan terhadap

I 1 maka kesalahan dalam menghitung I 2 bisa dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat

Darpublic

I 2 = a I 1 = I 1 ′ . Dengan pendekatan ini, dan persamaan (15), kita memperoleh rangkaian ekivalen yang disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.18. memperlihatkan rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram fasornya.

I 2 =I ′ 1

V 1 /a

jI 2 X ∼ e

R e =R 2 +R ′ 1 jX e = j(X 2 +X ′ 1 )

V 1 /a

2 Gb.18. Rangkaian ekivalen transformator dan diagram fasor.

Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi pada Transformator. Seperti halnya pada induktor, transformator memiliki rugi-rugi inti, yang terdiri dari rugi hiterisis dan rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik, rugi-rugi histerisis, dan rugi-rugi arus pusar pada inti dihitung seperti halnya pada induktor.

Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar 2 P cu = I R pada belitan ini juga terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, P l , yang ditimbulkan oleh fluksi bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi

bocor ini menimbulkan tegangan induksi l 1 E dan l 2 E , karena fluksi ini melingkupi sebagian belitan; l 1 E dan E l 2 dinyatakan dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada

reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 . Selain melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini juga menembus konduktor belitan dan menimbulkan juga arus pusar dalam konduktor belitan; arus pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi tambahan arus pusar, P l .

Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan-lapisan lembar tipis material magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang kecil. Oleh karena itu rugi- rugi arus pusar ini perlu diperhatikan.

Rugi arus pusar P l diperhitungkan sebagai proporsi tertentu dari rugi tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut, dengan tetap mengingat bahwa rugi arus pusar sebanding dengan

kuadrat ferkuensi. Proporsi ini berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari ukuran transformator. Kita lihat dua contoh berikut.

Contoh-13: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi 0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar

yang diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga P 2

cu =I R.

Penyelesaian:

Rugi tembaga

cu = 40 × 0 , 05 = 80 W

Rugi arus pusar 5 % × P cu = 0 . 05 × 80 = 4 W

Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.

Darpublic

Contoh-14: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi 0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar diperhitungkan

10% dari rugi tembaga P 2

cu =I R.

Penyelesaian:

Rugi tembaga total adalah

cu = I rms R = ( 40 + 6 ) × 0 , 05 = 81 , 8 W

Rugi arus pusar komponen fundamental

l 1 = 0 , 1 × I 1 rms R = 0 , 1 × 40 × 0 , 05 = 8 W

Rugi arus pusar harmonisa ke-7

l 7 = 0 , 1 × 7 × I 7 rms R = 0 , 1 × 7 × 6 × 0 , 05 = 8 , 8 W Rugi daya total adalah

P total = P cu + P l 1 + P l 7 = 81 , 8 + 8 + 8 , 8 = 98 , 6 W

Contoh-14 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.

Faktor K untuk Transformator. Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar pada belitan transformator. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul secara keseluruhan. Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar adalah

I Trms 2 = ∑ I nrms A (16)

dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan. Dalam relasi (16) kita tidak memasukkan komponen searah karena komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.

Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang ditimbulkan oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus menimbulkan rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi dan kuadrat arus masing-masing. Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang

memiliki resistansi R 0 , dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total adalah

K = gR 0 ∑ n I nrms W (17)

Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah

cu = R 0 ∑ I nrms = R 0 I Trms W (18)

Dengan (18) maka (17) dapat ditulis sebagai

K = gKR I 0 Trms W (19) dengan

n I nrms

I Trms K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor).

Darpublic

Faktor K dapat dituliskan sebagai

2 I nrms

2 = ∑ n I n ( pu )

n = 1 I Trms n = 1

dengan

I nrms

n ( pu ) =

I Trms

Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.

CONTOH-15: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi 0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11 bernilai efektif berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai efektif arus total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.

Penyelesaian:

(a) Nilai efektif arus total adalah

Trms = 40 + 15 + 5 = 43 A

(b) Faktor K adalah

(c) Rugi daya total P tot , terdiri dari rugi tembaga P cu dan rugi arus pusar P l . P 2

cu = 43 × 0 , 08 = 148 W

P l = gP cu K = 0 , 05 × 148 × 3 , 59 = 26 , 6 W P tot = 148 + 26 , 6 = 174 , 6 W

Tegangan Maksimum Pada Piranti

Kehadiran komponen harmonisa dapat menyebabkan piranti mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah contoh.

CONTOH-16: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω . Sumber ini mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total 2,9 µ

F. Tegangan terbangkit di sumber adalah e = 17000 sin ω 0 t + 170 sin 13 ω 0 t . Dalam

keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada kabel.

Penyelesaian:

Tegangan mengandung harmonisa ke-13. Pada frekuensi fundamental terdapat impedansi internal

Z 1 int = 1 + 6 , 5 = 6 , 58 Ω Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi

1 int ernal = 1 + j 6 , 5 Ω ;

Z 13 int = 1 + j 13 × 6 , 5 ;

13 int = 1 + ( 13 × 6 , 5 ) = 84 , 5 Ω

Darpublic

Impedansi kapasitif kabel

Impedansi total rangkaian seri R-L-C

Z 1 tot = 1 + j 6 , 5 − j 1097 , 6 Ω ; Z 1tot = 1091 , 1 Ω Z 13 tot = 1 + j 13 × 6 , 5 − j 84 , 4 Ω ; Z 13tot = 1 , 0 Ω

Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental

Z C 1 1097 , 6

Nilai puncak V 1m dan V 13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental dantegangan maksimum harmonisa ke-13.

V m = V 1 m + V 13 m = 17101 + 14315 = 31416 V ≈ 31,4 kV Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum fundamental yang hanya 17

kV. Gambar berikut ini memperlihatkan bentuk gelombang tegangan.

v 1 [detik]

-20 -30

Gb.19. Bentuk gelombang tegangan.

Partial Discharge. Contoh-16 memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada gangguan. Jika hal ini terjadi, umur piranti akan sangat diperpendek yang akan menimbulkan kerugian finansial besar.

Alat Ukur Elektromekanik. Daya sumber dihitung dengan mengalikan tegangan sumber dan arus sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika masing-masing arus di kedua kumparan adalah

i v = k 1 I v sin ω t dan i i = k 2 I i sin( ω t + ϕ ) , maka kedua arus menimbulkan medan magnit yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan sebanding dengan perkalian kedua arus

m e = k 3 I v sin ω t × I i sin( ω t + ϕ )

Darpublic

Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.

ζ = kI vrms I irms cos ϕ Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang masih banyak digunakan,

kumparan tegangan dihubungkan pada tegangan sumber sementara kumparan arus dialiri arus beban. Bagan alat ukur ini terlihat pada Gb.20.

piringan

Gb.20. Bagan KWh-meter tipe induksi.

Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar

M e = kf Φ v Φ i sin β

di mana f adalah frekuensi, Φ v dan Φ i fluksi magnetik efektif yang ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah selisih sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan k adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme penghitung.

Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φ i . Jika Φ v berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka M e akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental. Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi. Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya 50 Hz. Dengan demikian penunjukkan alat ukur tidak mencakup kehadiran arus harmonisa, walaupun kehadiran harmonisa bisa menambah rugi-rugi pada inti kumparan arus.

Darpublic

Daftar Pustaka

1. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB, Bandung, 2002.

2. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid-1”, Darpublic, Bandung, 2010.

3. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik Jilid-2”, Darpublic, Bandung, 2010.

4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Harmonisa Dalam Permasalahan Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, ITB, Bandung, 2008.

5. Vincent Del Toro : “Electric Power System”, Prentice-Hall International, Inc., 1992.

6. Charles A. Gross : “Power System Analysis”, John Willey & Son, 1986.

7. Turan Gönen: ”Electric Power Transmission System Engineering”, John Willey & Son, 1988.