SELF ADJUSTMENT OF MALAY COUPLES MARRIED WITHOUT DATING

  SELF ADJUSTMENT OF MALAY COUPLES MARRIED WITHOUT DATING

Irfani Rizal

T. Nila Fadhlia

  Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau Jl. Kaharudin Nasution No, 113 Perhentian Marpoyan Pekanbaru

ABSTRACT

  Basically, self adjustment in marriage happen all the time because the situation of life always change. Self adjustment in marriage is a problem that must be faced and solved by married couples. The purpose this research was to description of how the self adjustment of malay couples married without dating processing and the factors that influenced it. The informants in this research were two married couples without dating process before (ta’aruf) with more than a year ta’aruf process. The approach used in this research was descriptive qualitative with type research of case study. The result of this research showed that the informant and her partner were able to adjust themselves by talking about what they like and dislike and always open up to each other. Knowledge of religion, informant managed the difference with her partner, so the problem didn't bring the conflict, both informants could also adjust themselves to their role as a partner and informants were able to have positive responses in the right situation.

  Keywords: Self adjusment, Ta’aruf, Marriage, Malay Latar Belakang Masalah

  Salah satu kebudayaan suku bangsa yang sangat kental dipengaruhi Islam adalah Melayu. Menurut T.Luckman Sinar (dalam Suwardi & Isjoni, 2006) ciri-ciri orang Melayu adalah Islam, cerdik, sangat pintar, sangat sopan, menggunakan bahasa Melayu. Orang Melayu menggunakan bahasa Melayu dan adat Melayu. Ciri-ciri Melayu setelah Islam dianut oleh orang Melayu yaitu: Agama Islam, adat-resam Melayu, bahasa Melayu. Dengan adanya pengelompokan yang menjadi kekhasan suku Melayu adalah identik dengan agama Islam. Dengan demikian nilai-nilai sosial masyarakat Melayu tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan yaitu mengikuti Al-Qur’an dan Hadits.

  Dalam konteks menuju proses pernikahan atau mencari pasangan hidup, banyak cara yang bisa dilalui oleh seorang individu, misalnya melalui proses berpacaran terlebih dahulu kemudian menikah atau melalui proses perkenalan (ta’aruf) secara Islami kemudian menikah. Setiap individu harus melalui dua proses ini terlebih dahulu sebelum melangsungkan pernikahan.

  Sebagian remaja melakukan pacaran karena menganggap pacaran merupakan suatu

trend yang apabila seseorang belum pernah berpacaran dapat dikatakan ketinggalan zaman.

Berpacaran merupakan suatu hal yang lumrah dikalangan masyarakat saat ini. Menurut Duval dan Miller (Nisa dan Sedjo, 2010), fungsi dari berpacaran adalah untuk mencari pasangan hidup. Melalui tahapan berpacaran, individu berusaha mencari seseorang yang disukai dan menimbulkan perasaan nyaman dalam diri mereka untuk kemudian dikenal lebih dalam lagi dan kemudian menikah. Melalui pengungkapan diri, pasangan mampu menjelaskan maksud dari tingkah laku mereka, sehingga tidak terjadi salah pengertian serta meningkatkan perasaan suka dan cinta diantara keduanya. satu jalan mendekati zina. Allah SWT melarang hamba-hambaNya untuk mendekati zina sesuai dengan firmanNya yang artinya “Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina

  

itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra ayat 32). Salah satu

  dampak negatif berpacaran adalah kehamilan diluar pernikahan, karena pacaran adalah sarana menuju seks bebas. Menurut data Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) mencatat tahun 2007 terdapat 9,1 persen kehamilan yang tidak diinginkan atau terjadi pada hampir sekitar 9 juta perempuan (Pramudiarja, 2010).

  Berpacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia, yang pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama Islam, dalam mengenal dan memilih calon pasangan. Ada juga pernikahan yang dilakukan tanpa melalui berpacaran dan biasanya kesepakatan untuk menikah diatur oleh orangtua atau orang lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa didahului dengan pacaran ini biasanya dilakukan karena alasan latar belakang budaya ataupun latar belakang agama. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang memutuskan sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa ada paksaan atau campur tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan cara ta’aruf.

  Ta’aruf (perkenalan) diartikan sebagai suatu fase yang dilalui oleh laki-laki dan perempuan yang sudah mempersiapkan diri untuk melangkah menuju jenjang pernikahan.

  Ini adalah sebuah ikhtiar untuk mengetahui calon pasangan, dalam perkembangannya,

  

ta’aruf saat ini juga dikenal sebagai salah satu sarana dalam pencarian pasangan hidup. Suatu

  pernikahan, khususnya pernikahan tanpa berpacaran (ta’aruf) banyak sekali penyesuaian- penyesuaian yang terjadi. Ta’aruf mengandung makna umum perkenalan, saling kenal

  

mengenal, baik itu dua insan manusia, atau lebih. Baik itu antara dua kumpulan manusia

atau lebih dan lain-lainnya yang semakna. Sesuai dengan ayat suci berikut ini yang

  menganjurkan manusia untuk saling kenal mengenal (ta’aruf) (@tausiyahku, 2013).

  Berdasarkan data yang didapatkan dari Pengadilan Agama Kelas 1A Pekanbaru, jumlah perceraian pada tahun 2012 berjumlah 1421 kasus (Tifani, 2013). Gagalnya penyesuaian diri pada pasangan berujung pada perceraian. Tahun 2005-2010 angka perceraian di Indonesia meningkat hingga 70% (Siaw, 2013). Menurut Bird & Melville (dalam Febriani, Basri & Bintari, 2010) perceraian cenderung mudah terjadi pada tahun-tahun awal pernikahan bila pasangan cepat sekali menemukan ketidakmampuan menyesuaikan peran pernikahan berdasarkan nilai, kebutuhan, dan tujuan pribadi dengan pasangan. Kegagalan pernikahan datang ketika satu atau lebih anggota keluarga merasa tidak puas. Hambatan pemenuhan kebutuhan satu atau lebih anggota keluarga baik dalam pernikahannya setelah 3‐4 tahun pernikahan. Penyesuaian yang baik akan mendukung meningkatnya kepuasan pernikahan (Ardhianita, I & Andayani, B, 2009).

  Tahun-tahun pertama perkawinan merupakan masa rawan, bahkan dapat disebut sebagai era kritis karena pengalaman bersama belum banyak. Menurut Clinebell dan Clinebell (Anjani, C & Suryanto, 2006), periode awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri, dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang pernikahan. Pasangan suami istri harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing dan diri sendiri

  Berpacaran yang selama ini banyak dianggap sebagai proses yang harus dijalani sebelum pernikahan tidak menjamin kebahagiaan dalam pernikahan. Lamanya masa

  

berpacaran sebelum menikah, tidak menentukan sukses tidaknya hubungan antar personal

antara pasangan suami istri. Ada pasangan yang hanya tiga bulan berpacaran tetapi

perkawinan mereka langgeng. Ada pula pasangan yang bertahun-tahun pacaran tetapi

perkawinannya hanya bertahan beberapa bulan saja (Anjani dan Suryanto, 2006). Fakta

  menunjukan bahwasanya negara Rusia, Belarussia dan USA memiliki persentase terbesar nomor tiga di dunia untuk perceraian padahal didahului dengan proses pacaran (Siaw, 2013).

  Fokus Penelitian

  Berdasarkan uraian latar latar belakang diatas, dapat diketahui permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana penyesuaian diri pada pasangan melayu yang menikah tanpa berpacaran?

  2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan pada pasangan melayu yang menikah tanpa berpacaran?

  Tujuan Penelitian

  Tujuan ini secara umum untuk memberikan informasi dan untuk memperoleh gambaran/deskripsi mengenai bagaimana penyesuaian diri pada pasangan melayu yang menikah tanpa berpacaran, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

  Manfaat Penelitian

  Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan atau referensi penelitian bagi ilmu psikologi, khususnya bagi yang membahas tentang ta’aruf dan juga untuk menambah kajian psikologi budaya melayu.

  Manfaat Praktis

  a. Memberi informasi pada masyarakat, khususnya bagi individu yang belum menikah mengenai gambaran penyesuaian diri pada pasangan melayu yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf), sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi mereka dalam menentukan proses ta’aruf dalam memilih pasangan hidupnya.

  b. Diharapkan agar penelitian ini dapat memberikan pengetahuan pada pasangan yang menikah melalui proses ta’aruf yang sedang melakukan penyesuaian diri ketika setelah menikah.

  c. Diharapkan bagi masyarakat yang belum menikah untuk menjadikan ta’aruf sebagai

  tolak ukur dan pertimbangan dalam memilih pasangan untuk menuju ke jenjang pernikahan.

  

KAJIAN PUSTAKA

Penyesuaian Diri

  Scheinders (dalam Desmita, 2011) juga menyebut penyesuaian diri (adjusment) pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.

  Menurut Schneider (Desmita, 2011), penyesuaian diri itu dikatakan relatif karena: a. Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemauan seseorang untuk mengubah atau untuk mengatasi tuntutan yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.

  b.

  Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal yang berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan.

  c.

  Adanya variasi tertentu pada individu.

  Aspek-aspek Penyesuaian Diri

  Menurut Sunarto dan hartono, 2006 ada empat aspek dalam penyesuaian diri, yaitu:

  a. Adaptasi yaitu dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa “survive”dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial.

  b. Konformitas yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip

  c. Penguasaan yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon-respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik-konflik, kesulitan, dan frustasi-frustasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat/memenuhi syarat.

  d. Penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap situasi.

  Pandangan Berpacaran dalam Islam

  Menurut kamus besar bahasa Indonesia pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin berdasarkan cinta kasih, berpacaran adalah bercinta-cintaan, berkasih-kasihan. Berpacaran menurut Agama Islam tidak diperbolehkan karena berpacaran adalah salah satu jalan mendekati zina. Diantaranya adalah: saling memandang, bersentuhan (berpegangan tangan, berpelukan) dan berdua-duaan, aktivitas- aktivitas tersebut biasa dilakukan ketika berpacaran.

  Perbuatan zina ini terjadi karena dorongan nafsu birahi yang kuat. Sikap hati-hati untuk mendekati perbuatan ini lebih bisa menjamin agar tidak terjatuh kedalamnya. Mendekati faktor-faktor yang menyebabkan perzinaan, tidak ada jaminan bagi seseorang pada faktor-faktor penyebab perbutan zina untuk menjaga manusia agar tidak terjerumus ke dalamnya. Islam melarang campur aduk (ikhtilaath) antara laki-laki dan wanita, di luar kondisi darurat, mengharamkan berdua-duaan antara laki-laki dan wanita, melarang mempertontonkan perhiasan tubuh bagi wanita, memotivasi pernikahan bagi yang mampu, dan berpesan kepada yang belum mampu menikah agar melakukan puasa (Quthb, 2001).

  Al-Qur’an melarang walau hanya mendekati perbuatan zina, dalam rangka untuk menunjukkan sikap kehati-hatian dan tindakan antisipatif yang lebih besar. Dalam pengamatan sejumlah ulama Al-Qur’an ayat-ayat yang menggunakan kata “jangan mendekati” seperti ayat di atas, biasanya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa-jiwa untuk melakukannya. Dengan demikian larangan mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan yang berpotensi kepada langkah untuk melakukannya.

  Aktivitas berdua-duaan antara lawan jenis, Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

   َﻻ َأ َﻻ ﱠن َوُﻠْﺧَﯾ ٌل ُﺟ َر ٍةَأ َر ْﻣ ﺎ ِﺑ َﻻ ﱡل ِﺣ َﺗ ُﮫَﻟ ، ﱠن ِﺈ َﻓ ﺎَﻣُﮭَﺛِﻟﺎَﺛ ُنﺎَطْﯾﱠﺷﻟا ، ﱠﻻ ِإ ٍم َر ْﺣ َﻣ

  “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal

  

baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali

apabila bersama mahromnya”.

  Menikah Tanpa Proses Pacaran (Ta’aruf)

  Menurut Zahrina (2009) proses ta’aruf secara Islami, yaitu :

  

1. Menentukan jadwal pertemuan (ta’aruf Islami) setelah Ikhwan (sebutan untuk laki-laki)

melakukan istikharoh dan adanya kemantapan hati, maka ia melapor pada ustadz, lalu ustadz (guru laki-laki) memberikan data dan foto kepada ustadzah (guru akhwat), dan memberikan data dan foto ikhwan tersebut kepada akhwat (sebutan untuk perempuan). Biasanya akhwat yang memang sudah siap, setelah istikharoh segera melapor kepada ustadzahnya. Atur jadwal pertemuan ta’aruf tersebut, ta’aruf dapat dilakukan di rumah ustadzah akhwat(sebutan untuk perempuan). Idealnya kedua pembimbing juga hadir, sebagai tanda kasih sayang dan perhatian terhadap mutarabbi (murid-murid).

  

2. Menggali pertanyaan sedalam-dalamnya, yang didampingi ustadz dan ustadzah,

pertanyaan dimulai dari data pribadi, keluarga, hobi, penyakit yang diderita, visi dan misi tentang rumah tangga. Biasanya pada tahap ini, baik ikhwan maupun akhwat agak malu- malu dan grogi, maklum tidak mengenal sebelumnya. Seiring berjalannya waktu, semua akan menjadi cair. Peran pembimbing juga sangat dibutuhkan untuk mencairkan suasana.

  

3. Menentukan waktu ta’aruf dengan keluarga akhwat. Setelah melakukan ta’aruf dan

menggali pertanyaan, dan pihak ikhwan (sebutan untuk laki-laki) merasakan adanya kecocokan visi dan misi dengan akhwat (sebutan untuk perempuan), maka ikhwan pun segera memutuskan untuk melakukan ta’aruf ke rumah akhwat, untuk berkenalan kedua belah pihak. Ketika datang bersilaturahim ke rumah akhwat, ustadz pun mendampingi ikhwan sebagai rasa sayang seorang guru terhadap muridnya. Ikhwan tidak boleh datang sendiri, untuk menghindarkan fitnah dan untuk membedakan dengan orang lain yang terkenal di masyarakat dengan istilah pacaran.

  

4. Keluarga Ikhwan mengundang silaturahim akhwat ke rumahnya dalam hal menikah

tanpa pacaran, wajar jika orangtua ikhwan ingin mengenal calon menantunya (akhwat).

  Sebaiknya ketika datang ke rumah ikhwan, akhwat pun tidak sendirian, untuk menghindari terjadinya fitnah. Dalam hal ini akhwat ditemani ustadzahnya ataupun teman pengajiannya sebagai tanda perhatian dan kasih sayang pada mutarabbi (murid- murid).

  

5. Menentukan waktu khitbah (melamar) setelah terjadinya silaturahim kedua belah pihak,

dan sudah ada kecocokan visi dan misi dari ikhwan (sebutan untuk laki-laki) dan akhwat (sebutan untuk perempuan) juga dengan keluarga besarnya. Jarak waktu antara ta’aruf dengan khitbah (melamar) sebaiknya tidak terlalu lama, karena takut menimbulkan fitnah.

  

6. Menentukan waktu dan tempat pernikahan, pada prinsipnya semua hari dan bulan

dalam Islam adalah baik.

  Penyesuaian Perkawinan

  Haber dan Runyon (dalam Elfida, 2011) menjelaskan bahwa Penyesuaian merupakan proses yang berlangsung sepanjang waktu karena situasi di dalam kehidupan senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu setiap individu perlu menyusun dan mengubah tujuan- tujuan hidupnya seiring dengan perubahan di lingkungannya. Sehubungan dengan proses tersebut, maka penyesuaian yang efektif dapat diukur dari seberapa baik individu dalam menghadapi kondisi yang selalu berubah.

  Atwater dan Duffy (dalam Elfida, 2011) menyimpulkan bahwa terdapat empat area penting dalam penyesuaian perkawinan. Pertama, pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing marital responsibility). Kedua, komunikasi dan konflik (communication and conflict). Komunikasi dan manajemen konflik menjadi hal yang penting dalam sebuah perkawinan. Kegagalan dalam komunikasi cenderung sering terjadi karena rendahnya upaya yang dilakukan suami ataupun isteri untuk berbagi perasaan, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi. Konflik muncul manakala komukasi tidak berjalan lancar. Ketiga, seks dalam perkawinan (sex in marriage). Pasangan perkawinan saat ini lebih sering terikat dalam hubungan seksual daripada pasangan pada masa yang lalu. Keempat, perubahan yang terjadi sepanjang waktu di dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time). Pasangan yang bahagia cenderung menciptakan atribusi yang memperkuat perasaan bahagia, dan sebaliknya pasangan yang tidak bahagia cenderung membuat atribusi yang menekan kebahagiaan

  Masyarakat Melayu dan Karakterisiknya

  memang sangat erat hubungannya dengan Islam, sehingga ada sebuah ungakapan ataupun gagasan adat yang besendikan syarak syarak bersendikan kitabullah, yang artinya asas kebudayaan Melayu adalah hukum Islam (syarak). Sehingga untuk menjadi orang Melayu harus mengikuti adat istiadat Melayu dan beragama Islam. Islam adalah kepercayaan setiap warga masyarakat Melayu, karena Melayu sendiri pun berlandaskan Islam, disamping itu identitas Melayu juga dapat dilihat melalui unsur-unsur kebudayaan Melayu. Pemahaman tentang orang Melayu khususnya di riau tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang antrapologi fisik saja atau Melayu sebagai konsep etnik. Namun, pemahaman yang berkembang dan dipandang mampu menjelaskan identitas orang Melayu adalah dari sudut kebudayaan (cultural). Dari sudut ini, Melayu Riau mendefinisikan kemelayuannya dengan beragama Islam, berbudaya Melayu, dan berbahasa Melayu. Ketiga ciri inilah yang memisahkan apakah seseorang dikatakan Melayu atau non-Melayu (Hasbullah & Jamaluddin, 2013)

  Kajian Pustaka

  Ada beberapa penelitian yang terkait dengan pernikahan tanpa proses pacaran diantaranya adalah: Penelitian yang dilakukan oleh Donna (2009) dengan judul “penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran” yang menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri yang menikah tanpa proses pacaran yang mana masa perkawinan dalam rentang waktu 1 sampai 5 tahun pernikahan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasangan yang menikah tanpa proses pacaran memiliki penyesuaian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan keluarganya yang harmonis dan cukup bahagia serta tidak ada masalah yang terlalu rumit. Hal ini dikarenakan pasangan yang menikah melalui proses taaruf lebih mengedepankan ajaran agama dalam individu suami istri maupun dalam kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa yang mereka dapat.

  Penelitian yang dilakukan oleh Ardhianita, I & Andayani, B (2005) dengan judul “kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan tidak berpacaran”, metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif yaitu dengan mengisi skala kepuasan pernikahan, dan data tambahan yang berupa pertanyaan yang harus dijawab dalam bentuk isian ataupun sesuai perintah pengisian, subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan yang telah menikah paling sedikit selama 1 tahun dan maksimal 5 tahun, beragama islam, berdomisili di Yogyakarta, dan berpendidikan minimal SMA. Hasil dari penelitiannya adalah bahwa kepuasan pernikahan kelompok yang menikah tanpa berpacaran lebih tinggi daripada kelompok yang menikah dengan berpacaran sebelumnya. Penelitian Hurlock (dalam Ardiyanita, I & Andayani, B, 2005) menunjukkan bahwa secara umum kepuasan pernikahan akan lebih tinggi diantara orang orang religius daripada orang-orang dengan religius rendah.

  Penelitian lain dilakukan oleh Febriani, Basri dan Bintari (2010) dengan judul “efektivitas strategic hope-focused marital enrichment untuk peningkatan penyesuaian tiga pasang, Subjek berusia rata-rata 25 tahun dan rata-rata usia pernikahan lima bulan.

  Disain penelitian ini adalah quasi-experimental dengan model one group pretest-posttest

  

design (tidak ada kelompok kontrol). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada awal

  program Strategic Hope-focused Marital Enrichmenttiga pasangan menunjukkan kualitas penyesuaian pernikahan yang baik yang dihasilkan oleh skor Dyadic Adjustment Scale (DAS) diatas 100, setelah pelaksanaan program setiap pasangan menunjukkan peningkatan skor DAS antara 3% - 11%, kecuali pada satu pasangan.

  

METODE PENELITIAN

Tipe Analisis

  Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian kualitatif. Menurut Burhan Bungin (2010) penelitian kualitatif adalah penelitian yang memiliki tingkat kritisme yang lebih dalam semua proses penelitian. Kekuatan kritisme penelitian menjadi senjata utama menjalankan semua penelitian. Pandangan-pandangan Kant bahwa kritisme adalah buah kerja rasio dan empiris seseorang, akan sangat membantu peneliti kualitatif membuka seluas-luasnya medan misteri, dengan demikian filsafat kritisme menjadi dasar yang kuat dalam seluruh proses penelitian kualitatif.

  Pada penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dimana sesungguhnya tipe penelitian kualitatif karena penulis dapat menggambarkan secara rinci mengenai perilaku penyesuaian diri pasangan melayu yang menikah tanpa proses berpacaran.

  Unit Analisis

  Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri individu itu sendiri. Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interaksinya dengan lingkungan dalam dan luar dirinya (Desmita, 2011).

  Informan Penelitian

  Dalam penelitian ini digunakan purposive sampling. Dengan menggunakan purposive sampling kita dapat mengambil sampel berdasarkan kriteria tertentu. Adapun kriteria dalam penelitian ini adalah pasangan melayu yang melakukan pernikahan tanpa proses pacaran (ta’aruf) dengan usia pernikahan diatas satu tahun.

  Menurut Lincoln & Guba (dalam Sugiyono, 2011) ciri-ciri khusus sampel purposive, yaitu:

  1. Emergent sampling design / sementara Penentuan sampel dilakukan saat penulis mulai memasukilapangan dan selama penelitian berlangsung Penulis memilih orang tertentu yang dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan; selanjutnya berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari sampel sebelumnya itu, penulis dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data lebih lengkap.

  3. Continuous adjustment or ‘focusing of the sample / disesuaikan dengan kebutuhan Unit sampel yang dipilih makin lama makin terarah sejalan dengan makin terarahnya fokus penelitian.

  4. Selection the point of redundancy / dipilih sampai jenuh Penentuan unit sampel dianggap telah memadai apabila telah sampai kepada taraf “redundancy” (datanya telah jenuh, ditambah sampel lagi tidak memberikan informasi yang baru).

  Teknik Pengumpulan Data

  Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara wawancara, observasi dan tes kepribadian.

  1. Wawancara Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi terstruktur.

  Wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Dalam melakukan wawancara, penulis perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh subjek (Sugiyono, 2011).

  2. Obserservasi Partisipatif Metode observasi yang digunakan yaitu, Anecdotal record merupakan salah satu metode dalam observasi yang membawa kertas kosong untuk memcatat perilaku yang khas unik dan penting yang dilakukan subjek penelitian. Biasanya, perilaku yang dicatat dengan metode Anecdotal record merupakan perilaku yang memiliki keunikan tersendiri serta hanya muncuk sekali saja (Herdiansyah, 2010).

  3. Tes Kepribadian Tes kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes proyektif (Wartegg).

  Penemu tes ini ialah Kruger dan Sander dikembangkan oleh Ehrig Warteg dan kemudian oleh Marian Kinget tahun 1930.

  Teknik Analisis Data

  Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, penulis sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka penulis akan melanjutkan pertanyaan kredibel. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.

  a.

  Data Reduction (Reduksi data)

  Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.

  b. Data Display (Penyajian data) Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

  Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman (Sugiyono, 2011) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Data

  1. Informan 1 (Istri) Hasil wawancara dengan informan tentang penyesuaian diri pasangan melayu yang menikah tanpa proses pacaran, informan merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara, orangtua informan tinggal di Jambi. informan dapat menyesuaikan diri dengan pasangannya terlihat informan selalu membicarakan apa yang akan dilakukannya pada hari itu, mau masak apa dan informan juga membicarakan hal yang disukai atau yang tidak disukai. Salah satu hal yang tidak disukai oleh suaminya misalnya suaminya tidak suka makanan ikan asin. Cara menyampaikan pendapat yaitu dengan mencari waktu yang tepat misalnya sedang santai atau sebelum tidur dibicarakan apa-apa saja kekurangannya.

  Sebelum menikah informan mempersiapkan diri dari segi agama dan pemahaman tentang ta’aruf. Informan mengenal pasangannya lewat teman satu kosnya, informan juga melakukan pendekatan dalam waktu lebih kurang enam bulan dengan pasangannya. Perkenalan mereka hanya sebatas pendekatan dengan cara bertanya tentang diri pasangan lewat teman. Bagi kedua pasangan mereka tidak memilih untuk pacaran karena tidak ada diajarkan dalam islam.

  Informan dan suami sama-sama mengetahui tugas dan perannya masing-masing. Suami informan mau membantu apabila sedang libur bekerja misalnya membantu mengasuh anak dan membantu memasak. Tanggung jawab istri adalah menjaga kehormatan suami, menjaga kepercayaan dari suami dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga misalnya

  Adaptasi informan dengan pasangannya cukup lama karena dua minggu setelah menikah informan berpisah dengan suami dikarenakan suami informan harus bekerja di luar kota. Awal menikah informan masih tetap bekerja sebagai guru MDA dan menyelesaikan skripsi sedangkan suami harus bekerja di luar kota. Dari awal menikah sampai informan memiliki anak pertama berusia 5 bulan, hanya bertemu dua kali dalam sebulan dengan pasangan. Walau sudah menikah lebih kurang enam tahun informan masih saling menyesuaikan diri dengan pasangan, hingga sekarang informan pelan-pelan memahami suaminya baik itu dari segi makanan atau kemauan suaminya, biasanya informan menanyakan kesukaan dan kebiasaan suaminya ke ibu mertua.

  Informan dan suami pernah berbeda pendapat atau berselisih paham, namun informan belajar untuk memahami dan mengerti suaminya. Salah satu salah pahamnya misalnya karena transparansi uang, prinsip dari suami informan adalah uang itu tidak boleh dipegang banyak-banyak dan harus dimasukkan ke dalam tabungan, jika perlu uang baru diambil di ATM, sedangkan informan sendiri biasanya memegang uang dan jika butuh uang tersebut sudah ada sehingga tidak repot lagi mengambil uang di ATM. Menurut informan prinsip dari suaminya itu bagus dan informan memahami maksud dari suaminya tersebut. Konflik atau masalah dalam rumah tangga itu biasa tapi setelah dibicarakan dan saling terbuka,masalah tersebut dapat diselesaikan dan lama-kelamaan akan terbiasa, intinya dalam pernikahan harus saling mengerti satu sama lain karena pada prinsipnya menikah harus bisa menerima kekurangan dan kelebihan dari pasangan

  Hubungan informan dengan keluarga pasangannya sangat baik, terlihat informan sangat akrab dengan mertuanya. Informan mengenal seluruh keluarga kandung dari pasangannya terutama dengan kakak ipar. Saat waktu luang mereka selalu berkunjung ke rumah saudara mereka.

  2. Informan 2 (Suami) Hasil wawancara dengan informan, bahwa informan merupakan anak keempat dari enam bersaudara, informan memiliki empat saudara laki-laki dan dua saudara perempuan.

  Orangtua merupakan seorang pensiunan dan ibunya merupakan ibu rumah tangga. Ketika sekolah di SMP 17 Pekanbaru informan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka dan ketika bersekolah di SMK informan mengikuti Passus, ketika kuliah informan mengikuti organisasi kampus seperti himpunan mahasiswa yaitu himpunan jurusan. Ketika sudah bekerja informan sudah tidak ikut kegiatan atau pengajian apa-apa karena bekerja dan waktunya untuk keluarga. Penyesuaian diri informan baik, informan sangat terbuka terhadap pasangannya dan demokrasi, apabila ada sesuatu yang disukai atau yang tidak disukai informan akan menyampaikan kepada pasangannya.

  Informan menikah pada usia 24 tahun hampir memasuki umur 25 tahun, informan pernah bertemu dengan istrinya tahun 2003 kebetulan bertemu di suatu acara, informan bersama temannya yang kebetulan abang sepupu dari calon istrinya, namun setelah itu tidak ada komunikasi. Tahun 2007 informan bertanya kepada temannya, yang merupakan sepupu dari calon istrinya untuk menanyakan status dari calon istrinya tersebut, kemudian temannya diberitahu akhirnya informan berani melamar calon istrinya tersebut.

  Adaptasi informan dengan pasangannya cukup lama karena informan harus bekerja di luar kota sedangkan istrinya menetap di Pekanbaru. Ketika jauh dari pasangannya ada hambatan-hambatan misalnya informan menjadi anak kos kembali dan melakukan kegiatannya sendiri, namun komunikasi tetap lancar biasanya informan selalu menelepon dan mengirim pesan singkat kepada pasangannya. Setelah menikah informan dan pasangannya tidak langsung pulang ke Pekanbaru, mereka masih menetap di Jambi selama 2 minggu, informan dapat mengenal keluarga pasangannya terutama mertua, dengan cara berinteraksi misalnya dengan makan bersama seperti sarapan, makan siang atau makan malam bersama atau membantu mereka ketika bekerja dengan membantu tersebut menurut informan secara tidak langsung dapat mengenal karakter dari keluarga pasangannya.

  Menurut informan setiap manusia memiliki kekurangan, didalam pernikahan informan menerima kekuarangan dari pasangannya, informan juga tidak mempermasalahkan kekurangan dari pasangannya, menurutnya setelah menikah kekurangan-kekurangan tersebut tidak terlihat informan lebih melihat kelebihan dari pasangannya, kelebihan dari pasangannya seperti pandai memasak, pandai menjaga diri, cerdas, pandai menjaga anak dan jelas pendidikannya. Masalah dalam pernikahan itu merupakan hal yang biasa, biasanya informan sering terjadi salah paham terhadap pasangannya tetapi ketika terjadi salah paham biasanya ditelepon lagi, dibicarakan kembali dan ditanya apa permasalahan yang sebenarnya hingga masalah tersebut benar-benar jelas dan bisa diselesaikan.

  Pembahasan

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penyesuaian diri pasangan yang menikah tanpa proses berpacaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri pasangan melayu yang menikah tanpa proses berpacaran. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Manusia juga diciptakan berpasang-pasangan. Hubungan yang terjalin yaitu dapat berupa hubungan pertemanan, persahabatan dan pernikahan. Pada umumnya, pasangan yang menikah akan menyesuaikan diri dengan baik dalam penikahannya 3-4 tahun pernikahan (dalam Ardianita & Andayani, 2009.)

  Dalam konteks menuju proses pernikahan, banyak cara yang bisa dilalui oleh seorang individu, misalnya melalui proses berpacaran terlebih dahulu kemudian menikah atau melalui proses perkenalan (ta’aruf) secara islami kemudian menikah. Setiap individu harus melalui dua proses ini terlebih dahulu sebelum melangsungkan pernikahan.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

  Haber dan Runyon (dalam Elfida, 2011) menjelaskan bahwa penyesuaian merupakan mengalami perubahan. Untuk itu setiap individu perlu menyusun dan mengubah tujuan- tujuan hidupnya seiring dengan perubahan di lingkungannya. Sehubungan dengan proses tersebut, maka penyesuaian yang efektif dapat diukur dari seberapa baik individu dalam menghadapi kondisi yang selalu berubah. Salah satu perubahan dalam kehidupan individu adalah perubahan status dari lajang menjadi seorang suami atau istri (dalam Elfinda, 2011).

  Menurut Ali dan Asrori (2012) penyesuaian diri pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencakup respons-respons mental dan behavioral yang diperjuangkan individu agar dapar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada. Pasangan yang menyesuaikan dalam perkawinan adalah pasangan saling berkomunikasi satu sama lain, saling sepakat terhadap persoalan keluarga dan pernikahan serta dapat menyelesaikan masalah. Hasil penelitian yang diperoleh penulis dilapangan ; informan melibatkan pasangannya dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah. Kedua informan selalu membicarakan dan saling terbuka apabila terjadi konflik atau masalah diantara mereka. Hal tersebut terlihat dari pernyataan informan bahwa jika terjadi masalah maka harus disampaikan dan akan diselesaikan secara bersama, walaupun salah satu pasangan akan saling mengalah. Informan tidak mengalami kesulitan-kesulitan ketika di awal-awal pernikahan, ketika sudah dijalani semuanya akan terlewati.

  Schneiders (dalam Indrawati & Fauziah, N, 2012) menyebutkan ciri-ciri penyesuaian diri adalah pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya, objektivitas diri dan penerimaan diri, kontrol dan perkembangan diri, integrasi pribadi yang baik, adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya, adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang adekuat, mempunyai rasa humor, mempunyai rasa tanggung jawab, menunjukkan kematangan respon, adanya perkembangan kebiasaan yang baik, adanya kemampuan beradaptasi, bebas dari respon-respon yang simptomatis atau cacat, memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain, memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain, adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain, memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas. Konsep mengenai diri, mengetahui kekurangan dan kelebihan dirinya, penerimaan diri, kontrol diri dan integrasi pribadi yang baik dapat terbentuk melalui konsep diri yang baik. Dengan mengetahui kelemahan diri seperti gampang marah, suka memukul, maka individu dapat mengurangi pengaruhnya pada saat menghadapi masalah sehingga dapat menyesuaikan diri dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

  Hasil penelitian yang diperoleh penulis yaitu kedua informan sama-sama mengetahui kekurangan atau kelebihan dari dirinya dan kelebihan atau kekurangan dari pasangannya, walaupun begitu kedua informan tetap dapat menerima kekurangan dari pasangannya, terlihat dari pernyataan informan bahwa setiap manusia pasti ada kelebihan dan kekurangan tetapi didalam pernikahan informan dapat menerima kekurangan dan mensyukuri atas apa yang mereka dapat, informan tidak mempermasalahkan kekurangan dari pasangannya, menurut informan setelah menikah mereka lebih banyak melihat kelebihan-kelebihan dari bersama yang membuat pasangan dapat memutuskan untuk bersama dalam kehidupan pernikahan, sehingga permasalahan yang terjadi dapat diselesaikan karena adanya kesamaan nilai dan pandangan hidup yang berlandaskan agama dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan pernikahan informan.

  Melayu Riau mendefinisikan kemelayuannya dengan beragama Islam, berbudaya

Melayu dan berbahasaMelayu . Ketiga ciri inilah yang memisahkan apakah seseorang

dikatakan atau non-Melayu. Dari definisi ini, jelas sekali bahwa Islam merupakan prasyarat

utama untuk menjadi seorang Melayu (Hasbullah & Jamaluddin, 2013).

  Di kebudayaan Melayu, hampir serupa dengan ta’aruf ada tradisi yang disebut dengan nama merisik. Merisik di kebudayaan Melayu hampir serupa dengan ta’aruf, hal ini dikarenakan di dalam merisik ada proses untuk saling mengenal calon suami/istri. Di dalam merisik ini sang calon menyiasati sesuatu dengan secara hati-hati, misalnya berusaha untuk mengenal calon suami atau istri dengan cara bertanya dengan keluarga atau teman dekat. Cara ini dilakukan dikarenakan antar calon belum begitu saling kenal sehingga ada rasa malu antar calon. Di kebudayaan melayu, merisik dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki, baik perempuan maupun lelaki. Merisik ini dilakukan terhadap pihak perempuan, untuk mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya dari perempuan, agar dapat menilai dengan wajar. Misalnya melakukan penelisikan tentang gadis itu, keturunannya, sifatnya dalam pergaulan dan kaum kerabatnya, siapa sebenarnya ibu-bapaknya dan bagaimana sifat- sifat keturunannya dan hal yang sama juga dilakukan oleh pihak perempuan terhadap laki- laki. Setelah melakukan merisik maka proses perkenalan selanjutnya antara bujang dan dara dilanjutkan dengan mendatangi rumah perempuan tersebut, proses ini disebut dengan nama bertandang. Dalam proses ini pihak laki-laki mendatangi rumah perempuan yang di dampingi oleh ibunya atau kaum kerabatnya. Di dalam proses ini, juga tersisip bahasa sindiran antara satu dengan yang lain. Jika akhirnya suka sama suka, maka dapat dilakukan dengan peminangan.

  

KESIMPULAN DAN SARAN

kesimpulan

  Informan mampu melakukan penyesuaian diri dengan pasangannya, walaupun informan awalnya belum mengenal satu sama lain dan proses untuk menuju pernikahan berbeda dengan orang pada umumnya. Informan juga dapat menjalin hubungan yang baik dengar keluarga pasangan. Informan mengalami kesulitan dengan pasangan, tetapi informan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan serta perbedaan dengan pasangannya. Serta adanya minat dan kepentingan bersama yang membuat yang membuat informan dan pasangannya memutuskan untuk hidup bersama dalam suatu pernikahan, sehingga masalah yang terjadi dalam pernikahan dapat diselesaikan karena adanya pandangan mengenai kehidupan pernikahan yang berlandaskan agama serta konsep peran yang jelas yang telah dijalankan oleh kedua informan yang mebuat informan. Informan menyadari tanggung jawabnya sebagai pasangan suami istri, informan saling menghormati satu sama lain, keduanya saling menikmati perannya masing-masing. Informan dapat menyamakan perbedaan dengan pasangan, walau terkadang informan merasa itu hal yang berbeda dengan dirinya, informan berusaha untuk memahami pasangannya. Informan mampu membina hubungan yang harmonis dengan pasangannya.

  Saran

  1. Saran untuk informan Penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi informan, sehingga informan dapat lebih baik dalam menjalin hubungan dengan pasangan. Informan dan pasangan sebaiknya terus mencoba untuk memahami kebiasaan-kebiasaan dan hal yang disukai dan tidak disukai, agar kehidupan rumah tangga informan semakin baik.

  2. Saran untuk penulis selanjutnya Diharapkan kepada penulis selanjutnya agar bisa mengambil kriteria yang lebih beragam, seperti informan yang berbeda suku.

  3. Saran untuk pembaca

  Ta’aruf merupakan cara terbaik dalam memilih pasangan hidup untuk dan sebagai pertimbangan bagi para pembaca dalam memilih pasangan hidup sebelum menikah. Ali, M. & Asrori, M. (2012). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara. Anjani, C., & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Jurnal Insan, 8, 198-210. Ardhianita, I., & Andayani. B. (2009). Kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi, 32, 101-111. Bungin, B. (2010). Penelitian kualitatif. Jakarta: Kencana. Desmita. (2011). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

  pacaran (ta’aruf). Skripsi tidak diterbitkan. Depok, Universitas Gunadarma.

  Elfida, D. (2011). Penyesuaian perkawinan ditinjau dari beberapa faktor demografi. Jurnal Psikologi, 7, 190-213. Febriani, Z, Basri A.R & Bintari D.R. (2010). Efektivitas Strategic Hope-focused Marital

  Enrichment untuk peningkatan penyesuaian pernikahan pasangan yang menikah melalui ta’aruf. Jurnal Intervensi Psikologi, 2, 173-189.

  Hasbullah & Jamaluddin. (2013). Enterpreneuship kaum perempuan melayu (studi terhadap perempuan pengrajin songket di bukit batu kabupaten bengkalis). Jurnal Sosial

  Budaya, 10, 1-13.