The Analysis Correlation Physical between House Condition with Pulmunory TB BTA Positive in The Working Area Kotabumi II, Bukit Kemuning and Ulak Rengas Health Center North Lampung District 2012
Hubungan Kondisi Fisik rumah dengan kejadian TB Paru
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kondisi fisik rumah kelompok kasus sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan 85,5% dan menunjuk- kan ada hubungan yang signifikan antara kondisi fisik rumah dengan kejadian TB Paru BTA positif (OR = 3,72). Hasil ini diperkuat oleh teori WHO bahwa rumah adalah struktur fisik yang dipakai orang atau manusia untuk tempat berlindung, di mana lingkungan dari struktur tersebut termasuk juga fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan individu.
Hasil ini juga didukung pene- litian sebelumnya yaitu penelitian penelitian Rusnoto (2008) yang me- nyatakan bahwa rumah yang memiliki ventilasi yang
tidak memenuhi standart beresiko terjadinya TB Paru BTA positif 16,9 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Siti Fatimah (2008) juga mem- buktikan bahwa ventilasi (OR=4,93), jenis dinding (OR=2,69) berhubungan dengan kejadian TB Paru. Namun ada beberapa penelitian yang tidak sejalan dengan hasil penelitian ini. Penelitian Kastono (2006) di Kabupaten Kapuas dan Sri Rejeki (2012) di Kabupaten Bolaang Mangondow Selatan menyata- kan tidak ada hubungan yang ber- makna antara ventilasi dengan kejadian TB Paru BTA positif.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti perilaku atau kebiasaan masyarakat yaitu tidak membuang dahak sembarang ataupun perilaku batuk dan bersin dengan
menutup mulut sehingga meminima- lisir penyebaran kuman yang ditular- kan melalui droplet ketika batuk dan bersin sehingga peran ventilasi menjadi berkurang ketika perilaku masyarakat sudah baik meskipun demikian ventilasi tetap berperan sebagai salah satu faktor risiko dilihat dari fungsinya sebagai tempat pertukaran aliran udara secara terus menerus untuk membebas- kan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis. Upaya yang dapat dilaku- kan dengan membuka pintu dan jendela setiap pagi hari, mengupayakan sinar matahari masuk ke dalam rumah dengan memasang genteng kaca plastik agar tidak gelap dan mengurangi kelembaban serta dapat membunuh kuman dan bibit penyakit.
Penderita TB Paru BTA positif dari hasil uji analisis banyak diderita oleh kelompok umur produktif yaitu sebesar 75,8% dan dari uji bivariat diketahui ada hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru BTA positif dengan OR 2,32 yaitu kelompok umur produktif berisiko 2,32 kali dibanding- kan kelompok umur yang tidak produktif. Hasil ini sejalan dengan teori Kemenkes 2010 dalam buku Pedoman Penangggulangan TBC dimana pen- derita TB Paru di Indonesia sebagian besar menyerang kelompok usia produktif (15-55 tahun). Penelitian sebelumnya yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian Demsa Simbolon (2006) yang menyatakan risiko kejadian TB Paru BTA positif lebih tinggi pada usia produktif yaitu sebesar 4,9 kali dibandingkan pada kelompok usia tidak produktif dan penelitian Chesy Prita Hariputria (2005) dimana hasil penelitian. Hubu-
SUMARMI, ARTHA BUDI SUSILA DUARSA
ngan Pendidikan dengan Kejadian TB Paru BTA positif.
Hubungan Umur dengan kejadian TB Paru
Hasil uji statistik menyimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB Paru BTA positif antara kelompok umur produktif dengan kelompok umur tidak produktif (ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian TB Paru BTA positif dengan nilai OR > 1 (OR= 2,32) artinya kelompok umur produktif berisiko 2,32 kali dibandingkan kelompok umur yang tidak produktif).
Hasil ini dikuatkan dengan teori yang ada di Kemenkes (2010) dimana penderita TB Paru sebagian besar menyerang kelompok usia produktif (15-55 tahun). Dijelaskan bahwa sebagi- an besar yaitu 80 – 90% orang telah terinfeksi kuman TB namun belum tentu menjadi sakit, sebenarnya papar- an kuman TB sudah sejak lama terjadi atau kuman dorman di dalam tubuh dan ketika daya tahan tubuh menurun yang biasanya terjadi pada usia produktif dikarenakan aktifitas dan mobilitas yang tinggi serta gaya hidup diantaranya kebiasaan merokok tanpa memperhatikan pola makan, maka terjadi aktivasi bakteri dorman tersebut yang pada akhirnya timbulah sakit.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Demsa Simbolon (2006) yang menyatakan risiko kejadian TB Paru BTA positif lebih tinggi pada usia produktif yaitu sebesar 4,9 kali di- bandingkan pada kelompok usia tidak produktif. Begitu juga hasil penelitian Chesy Prita Hariputria (2005) dimana hasil penelitian diperoleh
umur
penderita TB Paru BTA positif rata-rata pada usia produktif (15-50 tahun) sebesar 165 responden (82,5%).
Tingginya aktifitas dan mobilitas pada usia produktif dikarenakan tuntu- tan pemenuhan kebutuhan hidup dan aktifitas bermasyarakat lainnya mem- berikan peluang terhadap kemungkin- an kontak dengan orang lain yang mempunyai berbagai paparan atau risiko semakin besar salah satunya penyakit TB Paru ini. Terlebih tidak didukung dengan asupan makanan atau gizi yang baik karena terbatasnya penghasilan yang diperoleh akan tambah mempercepat risiko menjadi sakit TB Paru.
Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru BTA Positif
Hasil uji statistik membuktikan bahwa ada
perbedaan
proporsi kejadian TB Paru BTA positif antara penderita TB Paru yang berjenis kelamin laki-laki dengan penderita TB Paru jenis kelamin perempuan (tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian TB paru BTA positif nilai OR > 1).Meskipun proporsi penderita TB Paru BTA positif lebih banyak pada laki-laki (61,3%) sedangkan perempuan (38,7%) namun tidak ada hubungan yang bermakna ini berarti risiko kejadian TB Paru tidak melihat atau tidak memilih jenis kelamin. Masing masing mempunyai risiko yang sama untuk terjadinya TB Paru. asil ini tidak sesuai dengan penelitian Diah Arini (2010) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian sakit TB Paru BTA positif dengan p value 0,049 dan OR 3,76. Adanya perbedaan hasil temuan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Selain harus adanya necessary yaitu keberadaan kuman TB itu sendiri saat ini dengan adanya gender laki-laki dan perempuan mengalami pergeseran status atau fungsi,membuat peluang
ANALIS HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TB PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS KOTABUMI II, BUKIT KEMUNING DAN ULAK RENGAS KAB. LAMPUNG UTARA TAHUN
antara perempuan dan laki-laki untuk terpapar penyakit khususnya penyakit TB Paru positif sama, laki-laki dengan risiko kebiasaan merokoknya dan perempuan sebagai perokok pasif menerima risiko yang sama karena terpapar asap rokok di sekitar lingkungannya.
Hubungan Faktor Pendidikan dengan Kejadian TB Paru BTA Positif
Hasil uji menyimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB Paru BTA positif antara penderita yang ber- pendidikan rendah dengan penderita yang berpendidikan tinggi (ada hu- bungan yang bermakna antara pen- didikan dangan kejadian TB Paru BTA positif dengan nilai OR > 1 (OR = 2,55). Hasil ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Notoadmojo (2003) yang berpendapat tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan sese- orang karena orang yang berpendidi- kan tinggi biasanya akan lebih mudah menerima informasi atau pengetahuan . Responden yang berpendidikan tinggi lebih perhatian kepada kesehatannya dibandingkan dengan yang berpendidi- kan rendah. Responden yang ber- pendidikan tinggi setidaknya mem- punyai tingkat pengetahuan yang lebih luas sehingga lebih peduli dengan masalah kesehatannya terutama ketika merasakan ada tanda atau gejala sakit akan segera memeriksakan kesehatan- nya sehingga tidak menjadi sakit (kronis). Pendidikan responden berkait- an dengan pekerjaan, pendapatan, juga status kesehatan dan lain-lain. Pada orang dengan pendidikan lebih tinggi memiliki kemampuan mencari, me- nerima dan menerapkan kesehatan (Sukarni, 1994).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Chessy Prita Hari putria di Kabupaten Sukabumi tahun 2005 yang menyata- kan ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian TB Paru BTA (+) dengan hasil penelitian 177 responden (88,5%) penderita TB Paru BTA (+) berpendidikan rendah.
Hubungan Faktor Pekerjaan dengan Kejadian TB Paru BTA Positif
Hasil uji statistik menyimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB Paru BTA positif antara penderita yang bekerja dengan penderita yang tidak bekerja. ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian TB Paru BTA positif dengan nilai OR > 1 yaitu 2,75. Artinya risiko kejadian TB Paru BTA positif pada kelompok yang tidak bekerja sebesar 2,75 kali di- bandingkan dengan kelompok yang bekerja. Namun jika dibaca pada tabel persentase kelompok yang bekerja lebih besar (53,2%) dibandingkan kelompok yang tidak bekerja yaitu sebesar 46,8%. Namun demikian jika ditelusuri lagi pada analisis univariat kelompok yang bekerja terdiri dari dua katagori dimana lebih didominasi oleh katagori wira usaha dimana dari hasil observasi dan wawancara yang ter- masuk didalam kelompok ini terdiri dari petani, pedagang dan buruh yaitu sebesar 38,7%.
Pekerjaan erat kaitannya dengan penghasilan atau pendapatan keluarga yang secara langsung akan ber- pengaruh pada tingkat ekonomi keluarga. Semakin rendah tingkat ekonomi keluarga semakin rendah pula kemampuan untuk pemenuhan baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier termasuk didalamnya penyedia-
SUMARMI, ARTHA BUDI SUSILA DUARSA
an makanan yang bergizi, lingkungan rumah yang sehat dan pemeliharaan status
kesehatan. Sehingga
bila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan dapat
menurunkan
status
kesehatan dimana daya tahan tubuh akan menjadi turun sehingga mudah terserang penyakit. Jika kondisi ini dibiarkan tanpa adanya intervensi atau usaha untuk mengatasinya akan sangat mengkhawatirkan karena penyakit TB Paru ini dikenal sangat menular apalagi ditambah dengan kondisi daya tahan tubuh yang rendah akibat kurangnya pemenuhan gizi yang baik sebagai dampak penghasilan yang kurang layak dari pekerjaan yang tidak tetap tersebut. Perlu difikirkan upaya-upaya yang tidak memberatkan masyarakat itu sendiri seperti misalnya peman- faatan lahan pekarangan yang masih kosong untuk ditanami dengan sayuran dan buah-buahan selain untuk dikonsumsi sendiri juga dapat me- nambah penghasilan atau bekerja paruh waktu misalnya pagi hari di sawah, sore harinya bekerja di industri rumah tangga yang ada.
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru BTA positif
Hasil uji statistik menyimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB Paru BTA positif antara penderita dengan rumah yang padat huni dengan penderita yang rumahnya tidak padathuni (ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru BTA positif dengan nilai OR > 1 yaitu OR 3,13 yang artinya bahwa risiko kejadian TB Paru BTA positif lebih tinggi pada kelompok yang mempunyai kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 3,13 kali dibandingkan dengan kelompok yang mempunyai kepadatan
hunian yang memenuhi syarat kesehatan). Adanya hubungan yang ber- makna antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru BTA positif dikuatkan oleh teori yang dikemuka- kan oleh Soemirat (1994) bahwa Kepa- datan sangat bermakna pengaruhnya terhadap kesehatan, karena kepadatan sangat menentukan insidensi penyakit menular seperti penyakit pernafasan dalam hal ini termasuk penyakit TB Paru. Jumlah kamar dan penga- turannya disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin. Kamar yang dihuni banyak orang akan menimbulkan dampak buruk untuk kesehatan dan akan menjadi sumber potensial pada penyakit infeksi, disamping itu juga dapat menuntut fasilitas sanitasi dan penyediaan udara yang lebih banyak (Suyono, 1985 : 4).
Berbagai penelitian yang men- dukung adanya hubungan yang sangat bermakna antara kepadatan hunian dengan terjadinya penyakit kejadian TB Paru diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Adnani dan Mahastuti (2007) tentang kondisi rumah dan penyakit Tb paru menunjukkan bahwa kepadatan
hubian
berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan nilai OR sebesar 1,55 dengan 95% CI : 0,61- 16,50. Selanjutnya Ratnasari (2005) yang melaksanakan penelitian di Kota Semarang menemukan bahwa kepada- tan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan nilai OR = 2,4 dan 95% CI: 1,09-5,47. Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit Tb paru di dalam rumah tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang penderita Tb paru aktif dan tidak diobati secara benar maka akan menginfeksi anggota keluarga terutama kelompok yang rentan seperti bayi dan balita, semakin
ANALIS HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TB PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS KOTABUMI II, BUKIT KEMUNING DAN ULAK RENGAS KAB. LAMPUNG UTARA TAHUN
padat hunian suatu rumah tangga menutup mulut waktu bersin/batuk, maka semakin besar risiko penularan
tidak meludah disembarang tempat, (Karyadi et al., 2006).
menjemur tempat tidur penderita dan Dari hasil observasi yang dilaku-
sebagainya yang diharapkan dapat kan banyak sekali ditemukan kondisi
mencegah penularan sehingga dapat rumah dan ruangan yang padat huni
menekan angka kesakitan dan kemati- yaitu sebanyak 44,35% dimana dari
an akibat penyakit TB Paru. hasil pengukuran dan perhitungan
Sedangkan untuk kepadatan diperoleh bahwa rata-rata setiap orang
hunian dengan hasil analisis multi- menempati ruangan sebesar 6,8
variat diperoleh nilai OR 2,93 yang m²/orang yang seharusnya berdasar-
berarti hubungan kepadatan hunian kan persyaratan rumah sehat untuk
yang sesungguhnya di populasi pada orang dewasa minimal 9 m²/orang.
kelompok hunian padat berisiko se- Sedangkan sebanyak 19,56% rumah
besar 2,93 kali terhadap kejadian TB responden ditemukan tidak layak
positif dibandingkan huni, penempatan ruang-ruang tidak
Paru BTA
kelompok yang tidak padat huni. ada, hanya ada satu ruangan yang
Peluang risiko ini menjadi lebih kecil dijadikan sebagai ruang tamu sekaligus
dibandingkan pada hasil analisis ruang keluarga/ruang makan bahkan
bivariat (OR 3,13) ini menunjukkan ada kamar tidur dengan cara menyekat
interaksi antara variabel kepadatan begitu saja. Untuk mengurangi faktor
hunian dengan variabel lainnya yaitu risiko ini tidak mungkin dengan me-
kondisi fisik rumah, pekerjaan, umur nyarankan perbaikan atau penambahan
dan jenis kelamin yang sifatnya luas rumah dalam waktu singkat
memperkecil peluang sebagai faktor namun demikian perlu pemberian
risiko atau sebagai konfounding. motivasi kepada masyarakat melalui
Hasil ini sejalan dengan teori penyuluhan tentang pentingnya rumah
yang menyatakan kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan tidak
ditentukan oleh luas lantai rumah yang perlu mewah, sederhana namun
dibandingkan dengan jumlah peng- memenuhi kaidah kaidah kriteria
huninya (Depkes, 2002). Luas lantai rumah sehat untuk rencana jangka
rumah sebagai bagian dari bangunan panjang atau bagi yang belum atau
fisik rumah yang diharapkan sesuai akan membuat rumah. Sementara
dengan syarat kesehatan tidak begitu untuk jangka pendeknya diharapkan
saja mudah diperoleh karena erat masyarakat meskipun hidup
kaitannya dengan tingkat ekonomi lingkungan rumah yang kurang sehat
di
seseorang, tingkat ekonomi ini sendiri dan dan kondisi sosial ekonomi yang
akan baik jika memiliki pekerjaan yang kurang mendukung diharapkan pen-
baik pula (mapan/tetap). Tanpa itu derita dan orang-orang yang ada
semua tidak mungkin dapat mencipta- disekitarnya/keluarga melaksanakan
kan bangunan rumah yang memenuhi perilaku hidup sehat atau tindakan-
syarat kesehatan. Hasil ini didukung tindakan pencegahan dengan benar
oleh penelitian yang dilakukan oleh misalnya dengan cara penemuan kasus
Adnani dan Mahastuti (2007) tentang secara dini dengan mengenal tanda dan
kondisi rumah dan penyakit TB paru gejala TBC, minum obat secara teratur,
menunjukkan bahwa kepadatan hubian
SUMARMI, ARTHA BUDI SUSILA DUARSA
berhubungan dengan kejadian Tb paru confounding bagi kejadia TB Paru BTA dengan nilai OR sebesar 1,55 dengan
positif.
95% CI : 0,61-16,50.
analisis multivariat, Kondisi fisik rumah yang me-
Hasil
variabel kondisi fisik rumah mem- menuhi syarat kesehatan berarti juga
punyai hubungan yang bermakna secara
terhadap kejadian TB Paru BTA positif komposisi luas tempat tinggal dengan
langsung
memperhatikan
dengan OR 2,69 pada rentang CI 1,023 - jumlah penghuninya begitu juga
7,096 dimana hubungan ini adalah dengan jumlah kamar yang disesuaikan
hubungan yang benar-benar bersih dengan jumlah penghuni rumah
atau sesungguhnya setelah mengenda- sehingga hunian rumah sesuai dengan
likan variabel confounder umur dengan standar kesehatan, tidak terdapat
OR 2,84 pada rentang CI 1,16 – 6,91 hunian yang padat. Dengan demikian
jenis kelamin dengan OR 2,39 pada akan memperkecil risiko penularan
rentang CI 1,05 – 5,43 pekerjaan dengan penyakit yang ditularkan melalui udara
OR 2,48 pada rentang CI 1,05 – 5,86 dan seperti penyakit TB Paru ini karena
kepadatan hunian dengan OR 2,93 tidak terjadi peningkatan kadar uap air,
pada rentang CI 1,30 – 6,58. Sehingga suhu mapun CO2 di dalam rumah
kelima variabel tersebut merupakan yang merupakan media yang baik bagi
faktor risiko yang berdiri sendiri (OR pertumbuhan bakteri tuberkulosis.
masing-masing faktor risiko >1), Analisis multivariat dilakukan
maupun sebagai faktor risiko secara dengan tujuan melihat hubungan yang
bersama-sama terhadap kejadian TB sesungguhnya antara variabel faktor
Paru BTA positif di wilayah kerja risiko dengan kejadian TB Paru BTA
Puskesmas Kotabumi II, Puskesmas positif, sehingga dapat diperkirakan
Bukit Kemuning dan Puskesmas Ulak besarnya hubungan yang benar-benar
Rengas.
bersih antara variabel independen Hasil penelitian ini diperkuat dengan variabel dependen setelah
dengan angka statistik yang menyata- dikontrol dengan variabel lainnya.
kan kematian dan kesakitan paling Dari satu variabel independen
tinggi terjadi pada orang-orang yang yaitu satu variabel independen dan 5
menempati rumah yang tidak me- variabel confounder serta enam
menuhi syarat dan terletak pada variabel interaksi yang dilakukan
tempat yang tidak sanitair. Bila kondisi analisis multivariat diperoleh 6 variabel
lingkungan buruk, derajat kesehatan yang terdiri dari satu variabel inde-
akan rendah demikian sebaliknya. Oleh penden, empat variabel confounder
karena itu kondisi lingkungan pemu- yang secara bersama-sama berhubung-
kiman harus mampu mendukung an secara bermakna terhadap kejadian
kesehatan penghuninya. TB Paru BTA positif di wilayah
tingkat
Lingkungan rumah tepatnya kondisi puskesmas Kotabumi II, Puskesmas
fisik rumah merupakan salah satu Bukit Kemuning dan Puskesmas Ulak
faktor yang memberikan pengaruh Rengas. Keberadaan semua variabel
besar terhadap status kesehatan peng- baik variabel independen maupun
huninya.
konfounding saling mempengaruhi dan Kondisi fisik rumah yang meli- mengendalikan satu dengan yang
puti ventilasi, jenis lantai dan dinding lainnya baik menjadi risiko maupun
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu seperti luas ventilasi <
ANALIS HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TB PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS KOTABUMI II, BUKIT KEMUNING DAN ULAK RENGAS KAB. LAMPUNG UTARA TAHUN
10% luas lantai, lantai rumah tidak kedap air dan dinding rumah yang tidak permanen akan berpengaruh pada suhu menjadi rendah dan tingkat kelembaban tinggi sehingga menjadi risiko dan tempat yang baik bagi kuman TB Paru. Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan dibuat dengan serasi
Beberapa penelitian yang men- dukung yaitu penelitian yang dilaku- kan oleh Adnani dan Mahastuti (2007) yang meneliti tentang Tb paru di Kecamatan Paseh menunjukkan bahwa individu yang memiliki ventilasi yang tidak baik memilihi risiko terkena Tb paru sebesar 3,69 dari pada mereka yang memiliki ventilasi yang meme- nuhi syarat. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang ber- hubungan dengan kejadian Tb paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39-265,50. Selanjutnya, Sugiarto (2003) menyatakan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb paru (p value = 0,004 dan OR = 2,5) dan Sumini (2005) yang menyatakan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb paru (p value = 0,046 dan OR = 2,1).
Hal ini dapat dipahami karena ventilasi memiliki berbagai fungsi seperti membebaskan ruangan rumah dari bakteri pathogen terutama kuman tuberculosis. Kuman Tb yang ditular- kan melalui droplet nuclei dapat me- layang di udara karena memiliki ukuran yang sangat kecil (50 mikron). Ventilasi yang tidak baik karena dapat menghalangi sinar matahari masuk ke dalam ruangan, padahal kuman Tb
hanya dapat dibunuh dengan sinar matahari secara langsung (Notoadmojo, 2003).
Selain itu hubungan yang se- sungguhnya ini tidak terlepas dari variabel variabel lain yang berfungsi sebagai confounding yang sama sama saling mengendalikan dan berinteraksi. Variabel umur sebagai salah satu variabel confounding terhadap kejadi- an TB Paru BTA positif dapat dijelas- kan dari hasil penelitian ini bahwa diketahui umur produktif lebih berisiko dibandingkan dengan umur yang
tidak produktif. Namun kelompok umur produktif yang tinggal di rumah yang memenuhi syarat kesehatan mungkin akan terhindar atau berkurang risikonya untuk terjadi sakit TB Paru begitu sebaliknya kelompok umur produktif dan tinggal pada kondisi fisik rumah yang tidak me- menuhi syarat kesehatan malah akan memperbesar risiko untuk menjadi sakit TB Paru. Sehingga dapat dikata- kan kedua variabel tersebut saling mempengaruhi. Dengan nilai OR 2, 69 untuk kondisi fisik rumah pada analisis multivariat lebih kecil dibandingkan pada saat analisis bivariat yang mem- punyai nilai OR 3,72 ini menunjukkan adanya peranan atau pengaruh variabel lain yang sifatnya memperkecil pera- nannya sebagai faktor risiko kejadian TB Paru BTA positif.
Untuk variabel umur itu sendiri sebagai
faktor risiko maupun konfounding diperkuat oleh teori yang dinyatakan oleh Depkes bahwa 80-90% penduduk telah terinfeksi kuman tuberkulosis ini dimana paparan ini bisa diperoleh sejak kecil atau pada usia remaja maupun dewasa dengan posisi kuman dorman di dalam tubuh dan ketika daya tahan tubuh menurun
SUMARMI, ARTHA BUDI SUSILA DUARSA
akibat banyaknya
aktifitas
dan
mobilitas yang tinggi tanpa memper- hatikan kondisi tubuh yang kurang asupan gizi yang baik, kuman tersebut akan aktif kembali sehingga menjadi sakit. Hal ini yang membuat prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada umur produktif yaitu 77,4%.
Sejalan dengan hasil ini juga penelitian Chesy Prita Hariputria (2003) yang berjudul hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadi- an TB Paru BTA positif di Kabupaten Sukabumi tahun 2005 yang mengata- kan umur ada hubungannya dengan kejadian TB Paru BTA positif dimana hasil penelitian diperoleh umur pen- derita TB Paru BTA positif rata-rata pada usia produktif (15-50 tahun) sebesar 165 responden (82,5%). Dan penelitian Demsa Simbolon (2006) menyatakan bahwa risiko kejadian TB Paru BTA positif lebih tinggi pada usia produktif dengan risiko sebesar 4,9 kali dibandingkan pada kelompok usia tidak produktif.
Variabel jenis kelamin sebagai variabel confounding juga berkontri- busi terhadap kejadian TB Paru BTA positif meskipun pada saat analisis bivariat tidak berhubungan yaitu baik laki-laki maupun perempuan mem- punyai risiko yang sama untuk terjadi sakit TB Paru BTA positif ini namun ketika bersama-sama variabel lainnya saling mempengaruhi dan berinteraksi yang sifatnya dapat memperbesar atau memperkecil peluang sebagai faktor risiko kejadian TB Paru BTA positif. Pada analisis multivariat ini jenis kelamin menjadi diperkuat atau mem- punyai peluang berisiko sebanyak 2,39 kali untuk terjadi sakit TB Paru BTA positif Hasil ini diperkuat dengan hasil analisis univariat dengan proporsi laki- laki lebih tinggi yaitu 61,3% dibanding- kan dengan perempuan (38,7%). Hal ini
menunjukkan sesungguhnya pada populasi ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru BTA positif ketika jenis kelamin berinteraksi dengan variabel lain seperti pekerjaan. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai beban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehingga akan lebih banyak waktu yang diper- gunakan untuk bekerja mencari nafkah, otomatis akan lebih sering kontak dengan orang lain sehingga peluang untuk tertular penyakit juga semakin besar. Seperti yang telah dijelaskan pada hasil analisis univariat juga diketahui jenis pekerjaan yang dilaku- kan oleh kelompok kasus sebagian besar wira usaha (38,7%) yang terdiri dari petani, pedagang kecil/pedagang kalangan dan buruh dengan penghasil- an yang kurang memadai untuk me- menuhi kebutuhan hidup baik kebutu- han primer, sekunder maupun tersier .
Hal ini juga menjelaskan bahwa kondisi fisik rumah juga tidak terlepas dari faktor pekerjaan, seperti yang telah dijelaskan dalam kepustakaan bahwa pekerjaan selain secara individu men- jadi faktor risiko juga bersama-sama variabel lain yaitu kondisi fisik rumah juga tidak bisa begitu saja menjadi faktor risiko karena pekerjaan yang dimiliki seseorang mempengaruhi penghasilan seseorang yang menentu- kan tingkat ekonomi dan juga secara langsung akan berpengaruh kepada pembuatan bangunan fisik rumah.
Hasil analisis multivariat me- nunjukkan bahwa pekerjaan tidak tetap atau tidak mapan berisiko sebanyak 2,48 kali dibandingkan dengan yang memiliki pekerjaan mapan atau tetap. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Fatimah (2008) yang membuktikan bahwa pekerjaan mem- pengaruhi penghasilan erat kaitannya dengan status sosial ekonomi yang
ANALIS HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TB PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS KOTABUMI II, BUKIT KEMUNING DAN ULAK RENGAS KAB. LAMPUNG UTARA TAHUN
secara bermakna mempengaruhi ke-
memperhatikan jadian TB Paru BTA positif.
secara
langsung
komposisi luas tempat tinggal dengan Sedangkan untuk kepadatan
jumlah penghuninya begitu juga hunian dengan hasil analisis multi-
dengan jumlah kamar yang disesuaikan variat diperoleh nilai OR 2,93 yang
dengan jumlah penghuni rumah berarti hubungan kepadatan hunian
sehingga hunian rumah sesuai dengan yang sesungguhnya di populasi pada
standar kesehatan, tidak terdapat kelompok hunian padat berisiko se-
hunian yang padat. Dengan demikian besar 2,93 kali terhadap kejadian TB
akan memperkecil risiko penularan Paru BTA
positif dibandingkan penyakit yang ditularkan melalui udara kelompok yang tidak padat huni.
seperti penyakit TB Paru ini karena Peluang risiko ini menjadi lebih kecil
tidak terjadi peningkatan kadar uap air, dibandingkan pada hasil analisis
suhu mapun CO2 di dalam rumah bivariat (OR 3,13) ini menunjukkan ada
yang merupakan media yang baik bagi interaksi antara variabel kepadatan
pertumbuhan bakteri tuberkulosis. hunian dengan variabel lainnya yaitu
Dari hasil pembahasan analisis kondisi fisik rumah, pekerjaan, umur
multivariat dapat disimpulkan bahwa dan jenis kelamin yang sifatnya
di populasi peranan dari semua memperkecil peluang sebagai faktor
variabel tidak terlepas dari interaksi risiko atau sebagai konfounding.
masing masing variabel itu sendiri Hasil ini sejalan dengan teori
dimana interaksi tersebut bisa bersifat yang menyatakan kepadatan hunian
memperbesar ataupun memperkecil ditentukan oleh luas lantai rumah yang
peluang sebagai faktor risiko maupun dibandingkan dengan jumlah peng-
sebagai konfounding sehingga hubung- huninya (Depkes, 2002). Luas lantai
an yang diperoleh menunjukkan hu- rumah sebagai bagian dari bangunan
bungan yang sesungguhnya di popu- fisik rumah yang diharapkan sesuai
lasi.
dengan syarat kesehatan tidak begitu Bahwa dari hasil analisis multi- saja mudah diperoleh karena erat
variat diketahui kejadian TB Paru kaitannya dengan tingkat ekonomi
dipengaruhi oleh lima variabel yaitu seseorang, tingkat ekonomi ini sendiri
kondisi fisik rumah, umur, jenis akan baik jika memiliki pekerjaan yang
kelamin, pekerjaan, dan kepadatan baik pula (mapan/tetap). Tanpa itu
hunian yang berarti memerlukan semua tidak mungkin dapat mencipta-
penanganan yang tidak hanya pada kan bangunan rumah yang memenuhi
pengobatan penderita TB Paru saja syarat kesehatan. Hasil ini didukung
namun perlu penanggulangan yang oleh penelitian yang dilakukan oleh
lebih komprehensif dengan mulai Adnani dan Mahastuti (2007) tentang
memperhatikan faktor risiko yang kondisi rumah dan penyakit TB paru
memerlukan penanganan yang tidak menunjukkan bahwa kepadatan hubian
kalah penting, untuk itu bukan hanya berhubungan dengan kejadian Tb paru
menjadi tugas bidang kesehatan saja dengan nilai OR sebesar 1,55 dengan
yang selama ini telah melaksanakan 95% CI : 0,61-16,50.
strategi DOTS (Directly Observed Kondisi fisik rumah yang me-
Treatment Short ) yaitu pengobatan menuhi syarat kesehatan berarti juga
jangka pendek dan pengawasan lang-
SUMARMI, ARTHA BUDI SUSILA DUARSA
sung yang cukup berhasil dalam hal penelitian dapat disimpulkan Proporsi pengobatan penderita namun sejalan
kejadian TB Paru BTA positif di dengan itu peningkatan insidensi dan
II 33,8%, prevalensi kasus TB paru juga masih
puskesmas
Kotabumi
Puskesmas Bukit Kemuning 44,3% dan cukup tinggi.
Puskesmas Ulak Rengas sebesar 60,0% Hal ini mungkin disebabkan
a. Distribusi kejadian TB Paru BTA pemerintah belum fokus pada pena-
positif dengan kondisi fisik nganan faktor risiko TB Paru itu
rumah yang tidak memenuhi sendiri. Diperlukan dukungan dari
syarat kesehatan sebesar 85,5% pemerintah daerah dan DPR juga peran
sedangkan yang memenuhi syarat sektor terkait lainnya seperti bagian
kesehatan 14,5%. sosial, pemberdayaan masyarakat desa
b. Distribusi umur penderita TB (PMD), TP-PKK, dinas pendidikan,
Paru BTA posiitif sebagian besar dinas sosial dan departemen agama
terjadi pada pada kelompok usia bersama-sama dalam satu wadah yaitu
produktif yaitu sebesar 75,84% dengan membentuk tim Gerakan
dan usia tidak produktif 24,2% Terpadu Nasional (Gerdunas) TB
c. Distribusi penderita TB Paru BTA tingkat kabupaten untuk membangun
positif menurut jenis kelamin komitmen bersama dalam penanggu-
banyak terjadi pada laki-laki yaitu langan TB Paru sesuai dengan peran
61,3% sedangkan wanita 38,7%. dan fungsi masing-masing sektor/
d. Distribusi tingkat pendidikan instansi terkait. Dinas kesehatan se-
penderita TB Paru BTA positif bagai leading sektor dapat meng-
sebagian besar berpendidikan advokasi pemerintah daerah dan
rendah sebanyak 67,7% yaitu dewan dengan mengupayakan pen-
SLTP
danaan kegiatan penanggulangan TB
e. Distribusi pekerjaan penderita TB Paru ke dalam Dokumen Pelaksanaan
Paru BTA positif didominasi oleh Anggaran Satuan Kerja Perangkat
wira usaha yang terdiri dari Daerah pada semua satuan kerja sesuai
petani, pedagang, buruh 38,7% dengan peran dan fungsi masing-
dan sebagian kecil PNS /TNI/ masing sektor terkait. Dengan tujuan
Polri 14,5%
pemberdayaan masyarakat mengenai
f. Distribusi penderita TB Paru BTA penyakit TB Paru bagaimana cara
Positif sebagian besar tinggal di menghindarinya dengan mengenali
rumah yang padat huni sebesar faktor risiko, masyarakat lebih mandiri
58,1% dan yang tidak padat huni dan menyadari tentang pentingnya
kesehatan (penyakit TB Paru) sehingga
g. Ada hubungan bermakna antara dengan sukarela akan mendatangi
kondisi fisik rumah dengan tempat pelayanan kesehatan ketika
kejadian TB Paru BTA positif sakit. Dengan demikian harapannya
1. Ada hubungan bermakna antara dapat menekan angka kesakitan dan
umur dengan kejadian TB Paru kematian akibat penyakit TB Paru
BTA positif
h. Tidak ada hubugan bermakna
SIMPULAN
antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru BTA positif
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan maka dari hasil
ANALIS HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TB PARU BTA POSITIF DI PUSKESMAS KOTABUMI II, BUKIT KEMUNING DAN ULAK RENGAS KAB. LAMPUNG UTARA TAHUN
i. Ada hubungan bermakna antara Kabupaten Lampung Utara dan pendidikan dengan kejadian TB
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Paru BTA positif
dan instansi terkait lainnya pada j. Ada hubungan bermakna antara
setiap kesempatan rapat kerja pekerjaan dengan kejadian TB
untuk membangun komitmen Paru BTA positif
dengan mengupayakan pendana- k. Ada hubungan bermakna antara
an program kegiatan penanggu- kepadatan hunian dengan kejadi-
langan TB Paru ke dalam an TB Paru BTA positif
Dokumen Pelaksanaan Anggaran l. Ada hubungan yang benar-benar
Satuan Perangkat Daerah. bersih antara kondisi fisik rumah
3. Memotivasi masyarakat melalui dengan kejadian TB Paru BTA
dan konseling positif setelah mengendalikan
penyuluhan
langsung ke penderita yang variabel umur, jenis kelamin,
datang berobat untuk membiasa- pekerjaan dan kepadatan hunian.
kan perilaku hidup bersih dan Kondisi fisik rumah yang tidak
sehat dengan membiasakan me- memenuhi syarat kesehatan beri-
nutup mulut pada saat bersin atau siko 2,69 kali untuk menjadi sakit
batuk dan tidak membuang dahak TB Paru BTA positif dibanding-
sembarang.
kan dengan rumah dengan
4. Menemukan secara dini penderita kondisi fisik yang memenuhi
TB Paru dengan secara aktif me- syarat kesehatan dengan interval
lakukan penyuluhan serta meng- 1,023 sampai dengan 7,096 kali.
upayakan semaksimal mungkin pengobatan secara tuntas kepada penderita TB Paru BTA positif
Saran
dengan
melalui petugas
1. Mengaktifkan
Pengawas Minum Obat (PMO) Gerdunas
kembali
tim
dengan menganggarkan pendana- Lampung Utara yang terdiri dari
TB
Kabupaten
annya di dalam Biaya Operasional lintas program dan lintas sektor
Kesehatan (BOK). terkait dengan mengagendakan
5. Dalam rangka meningkatkan pertemuan rutin minimal 2 kali
pengetahuan dan pemberdayaan dalam setahun.
masyarakat Dinas Kesehatan
2. Mengadvokasi Pemerintah daerah bekerja sama dengan Departemen Kabupaten Lampung Utara dan
Agama, TP PKK Kabupaten dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dinas Pendidikan melalui dana dan instansi terkait lainnya pada
dapat memfasilitasi setiap kesempatan rapat kerja
APBD
puskesmas dengan membentuk untuk membangun komitmen
dan mengadakan pelatihan kader dengan mengupayakan pendana-
peduli TBC yang terdiri dari an program kegiatan penanggu-
tokoh masyarakat dan tokoh langan TB Paru ke dalam
agama tentang penanggulangan Dokumen Pelaksanaan Anggaran
penyakit TB Paru dan faktor Satuan
Perangkat Daerah.
risikonya.
Mengadvokasi Pemerintah daerah
SUMARMI, ARTHA BUDI SUSILA DUARSA
KEPUSTAKAAN
Rumah dengan Penyakit TB Paru di Wilayah kerja Puskesmas Karang Mojo
Hariputria, Chessy,
Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2003- Hubungan antara faktor lingkungan
fisik dengan kejadaian TB Paru BTA Murti, Bhisma, 1997. Prinsip dan Metode (+) di Kabupaten Sukabumi, Tahun
Riset Epidemiologi, Cetakan pertama, 2005.
Gajah Mada University Yogyakarta. Hermain, 2001. Tesis: Faktor-Faktor risiko
Notoatmodjo S 2003. Ilmu Kesehatan Lingkungan
Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar, dengan Kejadian TB Paru BTA Positif
yang
Berhubungan
Jakarta: Rineka Cipta. di Kota Pangkal Pinang Propinsi
Notoatmodjo, Soekidjo 2005. Pengantar Kepulauan Bangka Belitung Tahun
Pendidikan Kesehatan dan Ilmu 2001.
Perilaku Kesehatan. Andi Offset, http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkm
Yogyakarta.
i.article/view/142, diakses 23 Agustus Priyo Hastono, Sutanto 2001. Modul 2012
Analisis Data Kesehatan, Fakultas http://www.ajcn.org,
Kesehatan Masyarakat, Universitas tanggal 27 September 2012
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes Ratnasari N 2005. Faktor-Faktor Risiko Tb /libri2/detail.jsp?id=107049
Paru Di Beberapa Unit Pelayanan Karyadi E, West EC, Schultink W, Nelwan
Kesehatan Kota Semarang. (online) HR, Gross R dan Amin Z 2003. A
(http://www.fkm.undip.ac.id) diakses double-blind, placebo-controlled study
pada 07 Agustus 2011. of
Rusnoto P, Rahmatullah dan Udiono A Supplementation in persons with
2004. Jurnal : Faktor-faktor yang tuberculosis in Indonesia: Effects on
berhubungan dengan kejadian Tb paru clinical response and nutritional status
di Balai Pencegahan dan Pengobatan (online).
Paru. Universitas Kastono
Penyakit
Diponegoro. Volume 2(1) hal 1-10. Memepengaruhi Kejadian TB Parudi
Simbolon, Demsa 2006. Jurnal : Faktor Rumah Betang Desa Sei Uluk Palin
Tuberkulosis Paru di Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten
Risiko
Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2006. Kapuas Hulu, Universitas Gajah Mada,
Soemirat 1994. Epidemiologi Lingkungan, Yogyakarta
Yogyakarta : Gajah Mada Uniersity Kementerian Kesehatan RI, 2010. Pedoman
Press, Juli.
Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2 Subagyo, Agus 2007. Hubungan Ling- Cetakan ketiga, Kemenkes RI, Jakarta.
kungan Fisik Rumah dengan Kejadian Kementerian Kesehatan RI, 2011. Riset
Tuberkulosis Paru di Kesehatan Dasar 2010. Jakarta.
Penyakit
Banyumas, Program Mahastuti & Adnani, 2006. Jurnal :
Kabupaten
Kesehatan Lingkungan, Mengetahui
UNDIP, Semarang.