Gerakan Dakwah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Grobogan

Gerakan Dakwah Tarekat Qodiriyah wa

  Naqsyabandiyah di Grobogan

  

  

Abstract: This study aims to examine the proselytizing move-

Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah (TQ N ) in ment of

N groto V illage during 1984-2015. U sing qualitative method

and phenomenological approach, the findings have revealed

that the proselytizing ( da’wah) of TQ N was conducted

through internal and external organizations. Meanwhile,

TQ N ’s strategy of da’wah ulitised individual and collective

approach though establishing Islamic boarding school (pe-

santren), social activities, center of economic activity, and or-

ganization called al-Khidmah. In regard with personal ap-

talqin or caliph representative acts more as a religio- proach, a

us counselor. Further, the message of proselytizing of TQ N

attempts to comprehend tauhid, fiqh and tasawwuf (mysticism).

  

Abstrak: Studi ini membahas strategi gerakan dakwah TQ N di

D esa N groto Kecamatan G ubug Kabupaten G robogan tahun

1984-2015. D engan menggunakan metode kualitatif dan

pendekatan fenomenologis, temuan studi ini menyatakan

  Tarekat Q odiriyah wa bahwa ruang lingkup gerakan dakwah

N aqsyabandiyah di desa N groto kecamatan G ubug kabupaten

G robogan adalah internal organisasi dan eksternal organisasi.

  

Sedangkan strategi dakwah yang diterapkan oleh TQ N dalam

berdakwah adalah dengan pendekatan individu dan

pendekatan kolektif melalui dalam bidang pendidikan, sosial

kemasyarakatan, dan organisasi. D alam pendekatan personal,

seorang wakil talqin atau khalifah lebih banyak berperan

sebagai konselor kegamaan. Adapun materi dakwah yang

menjadi target TQ N diantaranya adalah tauhid, fiqh dan

tasawuf.

Kata Kunci: gerakan dakwah, tarekat, strategi, materi dakwah

  1 2 Dosen Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Dian Nuswantoro Semarang

Jurnal Komunikasi Islam | ISBN 2088-6314 | Terakreditasi Menristekdikti SK. N O . 2/E/KPT/2015 | Volume 08, Nomor 01, Juni 2018

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam N egeri

  Anas – Adinugraha

  Pendahuluan Dakwah Islam merupakan ajakan kepada orang-orang, baik individu, kelompok, masyarakat, bangsa, ke jalan Allah (QS. al-Nahl

  (16); 125) untuk berbuat kebaikan dan menghindari keburukan (QS. Ali Imran (3); 104). Dengan kata lain, dakwah Islam berarti menyam- paikan pesan atau ajaran Islam kepada masyarakat, sebagaimana dila- kukan Nabi Muhammad Saw., pada zamannya. Dakwah Islam bertu- juan menegakkan amar ma’rûf nahî munkar. Karena pada dasarnya agama adalah moral, baik moral antara hamba dengan Tuhannya atau dengan anggota masyarakat (Syam, 2008, hlm. 29). Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu adanya gerakan dakwah.

  Dakwah yang efektif memungkinkan untuk menggunakan pen- dekatan yang berubah-ubah sesuai dengan konteks sosial dan budaya masyarakat. Memahami arus mendasar dalam masyarakat tertentu merupakan modal dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah. Misal- nya, kesuksesan Walisongo dalam menyebarkan Islam di nusantara, khususnya di Jawa tidak terlepas dari kebijakan mereka dalam meng- apresiasi tradisi atau budaya asli yang sudah mengakar, tidak menghan- curkan dan menggantikannya dengan budaya Arab (Shihab, 1997, hlm. 256).

  Penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari pe- ran dan kontribusi da’i-da’i tasawuf, sebagaimana yang diakui sebagian besar sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Islam yang dibawa para wali itu ialah Islam sufi, Islam tasawuf, dan mistik (Ro- syidi, 2004, hlm. 7). Tasawuf memang memiliki kecendrungan mem- bentuk manusia yang terbuka dan berorientasi kosmopolitan (Shihab, 2001, hlm. 13).

  Tarekat merupakan salah satu metode yang banyak dikembang- kan para da’i sufi permulaan, seperti Walisongo, maupun da’i-da’i yang lain hingga sekarang. Syekh berperan sebagai da’i sufi, kemudian salik berfungsi sebagai mad’u, seperangkat aturan yang harus diikuti dan di- lalui adalah metodenya, sedangkan wirid, dzikir, shalat malam, puasa, dan lain-lain adalah materi dakwahnya. Metode tarekat cukup efektif untuk mengajak salik (mad’u/murid) untuk hidup dalam jalan Tuhan,

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  selalu berusaha mencari ridho-Nya, dan menjauhi segala perilaku yang menjadi murka-Nya.

  Gerakan dakwah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di desa Ngroto Kabupaten Grobogam dimulai kurang lebih setengah abad yang lalu. Ngroto merupakan salah satu dari 13 desa yang ada di kecamatan Gubug. Ngroto dikenal sebagai desa santri. Terdapat bebe- rapa pesantren seperti pondok pesantren Miftāh al-Hudā dan pondok pesantren Usmāniyah. Kedua pondok pesantren tersebut selain sebagai pusat pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) juga digunakan sebagai pusat kegiatan TQN.

  Ada yang berbeda antara TQN yang ada di desa Ngroto dengan tarekat-tarekat lainnya. Selain beranggotakan laki-laki, tarekat ini juga beranggotakan perempuan. Bahkan, menurut ketua jama’ah TQN ka- bupaten Grobogan A. Fakhruddin, bahwa dari 1798 60% jama’ahnya adalah perempuan. Jama’ah laki-laki mengadakan khususi pada hari Kamis, sedangkan jama’ah perempuan khususi-nya pada hari Senin.

  Tarekat yang ada di desa ini bermuara pada TQN Sawah Pulo, Kedinding Lor Surabaya atau Tarekatnya kyai Ustman al-Ishaqi. Kyai Ustman al-Ishaqi adalah Kholifah kyai Romly Tamim Rejoso (w.

  1957). Dari kyai Kholil kemudian dari kyai Hasbullah Al-Maduri di Makkah, kyai Hasbullah dari syekh Ahmad Khotib.

  Dalam konteks kehidupan sosial-religius masyarakat Ngroto, TQN adalah salah satu institusi tarekat yang mendapatkan apresiasi besar dari masyarakat. Indikasi yang memperkuat pandangan ini ada- lah bahwa, pertama, praktek ajaran yang mencirikan tarekat ini meluas ke hampir seluruh penjuru desa Ngroto dan sekitarnya, mulai dari praktek latihan spiritual ( riyādlah) dan amalan-amalan kontemplatif ( dzikir jahr dan sirr) di setiap masjid setelah melaksanakan shalat lima waktu. Kedua, sikap dan tindakan ta’zim kepada para mursyid tarekat ini. Ketiga, penghormatan makam-makam para mursyid.

  Kajian tentang tarekat di Indonesia telah banyak dilakukan pene- 3 liti. Martin Van Bruinessen (1992). Antropolog asal Belanda ini mene-

  

Kholifah dalam terminologi tarekat adalah seorang murid yang telah mencapai tahap

tertentu menurut ukuran normatif seorang syekh (guru spiritual tarekat) dan menjadi wakil dari syekh. Anas – Adinugraha

  liti tentang Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia survei historis, geogra-

  

fis, dan sosiologis. Ia menjelaskan tentang Tarekat Naqsayabandiyah di

  Indonesia dari metodologinya. Karya ini merupakan studi literatur yang menggunakan sumber-sumber Barat dan juga dari bahan-bahan dari warga pribumi. Selanjutnya adalah penelitian M. Muhsin Jamil (2005). Ia memaparkan adanya dialektika hubungan yang beraneka macam. Tarekat bisa menjadi mediasi logis pendukung partai sampai basis pertahanan terhadap proses reorganisasi dan menjadi pendukung serta pembela bagi kemuliaan seorang presiden. Zaenal Adzfar (2002) menyimpulkan bahwa aktualisasi Tarekat Qodiriyah wa Naqsyaban- diyah di Suralaya membawa dampak positif yaitu adanya dinamisasi, terutama dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial. Ahmad Syafi’i Mufid (2006) menyimpulkan bahwa akulturasi antara kebudayaan Jawa dengan Islam melalui sufisme atau tarekat merupakan bentuk Islam yang tidak murni dan sinkretis.

  Berdasarkan beberapa literature research tersebut, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitan sebelumnya karena fokus peneli- tian ini hanya berkaitan dengan aktivitas gerakan dakwah Tarekat

  

Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Desa Ngroto Kecamatan Gubug

  Kabupaten Grobogan dari tahun 1984 sampai 2015. Pemilihan fokus penelitian tersebut karena beberapa alas an, Pertama, TQN adalah satu-satunya tarekat di desa Ngroto yang mempunyai pengaruh kuat dan tersebar di hampir seluruh wilayah Kabupaten Grobogan. Kedua, meskipun jama’ah TQN yang ada di Desa Ngroto banyak, namun kebanyakan jama’ah tidak mengetahui asal usul atau sejarah TQN yang ada di desa tersebut. Ketiga, kyai Musta’in Romly menerima ke-

kholifah-an dari kyai Romly Tamim pada saat masih berusia muda.

yang harus ditem- 4 puh anggota tarekat (Dahlan, 1981, hlm. 64-69).

  

Pertama, dzikir qolbi, zikir ini bertempat di dada sebelah kiri dan diucapkan dengan

cinta dan kerinduan. Kedua, zikir ruhi, dilakukan di dada sebelah kanan dengan

sunyi dan tenang. Ketiga, zikir sirri, dilafalkan dengan keakraban yang berada di

dekat dada sebelah kiri. Keempat, zikir khafawi, dilakukan di dekat sedut dada

sebelah kiri yang bertujuan mengesampingkan dan mematikan diri. Kelima, zikir

akhwafi, berada di tengah-tengah dada, tanda peleburan dan penyatuan. Kemudian

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan mengungkap strategi gerakan dakwah TQN di desa Ngroto Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan tahun 1984-2015.

  Metodologi

  Jenis penelitan ini merupakan penelitian kualitatif (Moeleong, 2004, hlm. 3), yaitu untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan serta prilaku dari masyarakat desa Ngroto. Penelitian ini berusaha men- deskripsikan gerakan dakwah yang dilakukan oleh Tarekat

  Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di desa Ngroto.

  Sumber data primer dalam penelitian ini adalah sum- ber data yang didapatkan dari hasil observasi dan wawanca- ra dengan masyarakat Desa Ngroto (khususnya para sese- puh dan jama’ah TQN). Sedangkan data sekunder diper- oleh melalui arsip dan dokumen yang dimiliki oleh pejabat atau pengelola tarekat di mana TQN berada. Teknik pe- ngumpulan datanya lebih mengutamakan observasi, wa- wancara dan dokumentasi dengan kesimpulan bersifat deskriptif. Biasa disebut juga dengan istilah tri angulasi (Muhadjir, 1988, hlm. 39). Oleh karena itu, aplikasi tri- angulasi dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

  Proses pengolahan dan analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yakni deskripsi, formulasi, dan interpretasi. Des- kripsi diawali dengan menggambarkan realitas TQN dalam realitas sosial masyarakat. Kemudian data dan informasi yang diperoleh diproses dalam sistem kategorisasi untuk memilah-milah data yang sesuai dengan substansi temuan dan pada saat yang sama juga dilakukan proses reduksi data melalui pembuangan data dan informasi yang tidak layak

  zikir diteruskan ke otak dalam kepasrahan yang sempurna. Keenam, zikir nafsi,dengan nafs qaddisa (jiwa yang telah disucikan) dan akhirnya meresapi segenap wujud, badan dan jiwa. Pada saat itu manusia telah mencapai zikir dan perasaan damai yang sempurna. Ketujuh, zikir sultani, ingatan kerajaan (Aqiel, 2002, hlm.168). Anas – Adinugraha dan tidak sesuai untuk dimasukkan dalam sistem penelitian.

  Proses selanjutnya berupa formulasi, yakni dengan cara mengamati kecenderungan, mencari hubungan asosional untuk selanjutnya data tersebut diinterpretasikan secara rasional dan sistematis.

  Kajian

  Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Perkembangan

Pustaka

  Pulau Jawa Pada akhir abad ke-2 Hijriyah mulai terdengar kata ta- sawuf. Ahli kebatinan yang mula-mula digelari sufi ialah

  Abu Hasyim al-Kaudi. Kehidupanya sederhana dan tidak memperdulikan kehidupan duniawi. Meskipun pada saat itu sudah terdengar kata sufi, tetapi belum berarti telah lahir sistem tasawuf sebagai ilmu. Ia masih dalam perkembangan dari zuhud ke arah tasawuf. Perkembangan zuhud ke arah tasawuf sebagai ilmu yang sistematis dimulai pada per- mulaan abad ke-3 Hijriyah (Asmaran, 1994, hlm. 245). Be- berapa ulama sufi yang kemudian memberikan pengayoman kepada masyarakat umum untuk mengamalkan tasawuf secara praktis adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), kemudian diikuti ulama-ulama beri- kutnya seperti ‘Abd al-Qodir al-Jaelani dan lain sebagainya.

  Tarekat berasal dari kata tariqat berarti jalan atau cara (Munawir, 1984, hlm. 9-10). Kata tariqat dibakukan men- jadi “tarekat”. Secara terminologi terdapat beberapa penda- pat para pakar ilmu tasawuf tentang pengertian atau definisi tarekat antara lain: Menurut Abu Bakar Atceh (1996, hlm.

  67), tarekat artinya jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai ajaran sahabat dan tabi’in turun temurun sam- pai pada guru-guru, sambung menyambung dan rantai berantai. Menurut pendapat ini, dalam tarekat terdapat un- sur-unsur antara lain: Ada jalan/cara yang ditempuh (dzi- kir), guru, murid serta adanya kesinambungan antara guru yang pertama sampai dengan guru yang terakhir.

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  Sementara menurut Harun Nasution (1985, hlm. 89), tarekat berasal dari kata tariqat (jalan), yaitu jalan yang ditempuh oleh seorang calon sufi untuk bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Tiap-tiap tarekat mempunyai syekh, murid, upacara ritual dan bentuk- bentuk dzikir sendiri. Pendapat yang kedua ini juga mengatakan bahwa dalam tarekat terdapat unsur antara lain: jalan atau cara untuk mende- katkan diri kepada Allah, syekh (guru), murid, dan ada upacara ritual. Pendapat ini diperkuat oleh Mustafa Zahri dan Annamarie Schimmel. Mustafa Zahri (tt: 52) mengatakan bahwa antara makhluk dan kholiq ada perjalanan hidup yang ditempuh. Jalan yang ditempuh itulah yang dinamakan tarekat. Annamarie Schimmel (1986, hlm. 101) menge- mukakan bahwa tarekat adalah jalan yang ditempuh oleh sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syari’at, sebab jalan utama disebut syar’i, sedangkan anak jalan disebut tariq. Maka dalam suatu tarekat terdapat ajaran, syekh (mursyid), murid dan ritual tarekat.

  Di Indonesia muncul aliran-aliran tarekat seperti Tarekat Syat- tariyah, Khalwatilah, Rifa’iyah, Qodiriyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Qodiriyah Naqsyabandiyah. Tarekat yang terakhir ini adalah gabungan Tarekat Qodiriyah dan Naqsyabandiyah. Ia bukan hanya penggabu- ngan dua tarekat yang diamalkan bersama-sama, tetapi merupakan tarekat baru dan berdiri sendiri yang memadukan unsur-unsur pilihan Qodiriyah dan Naqsyabandiyah (Bruinessen, 1992, hlm. 89).

  Pada dasarnya Tarekat Qodiriyah dan Naqsyabandiyah adalah berbeda. Salah satu perbedaan yang sangat mencolok adalah cara mengucapkan dzikir. Pada Tarekat Qodiriyah dzikir dibaca dengan suara keras ( jahr) sedangkan pada Tarekat Naqsyabandiyah dibaca dengan suara lemah atau dalam hati ( sirri). Perbedaan itu karena silsi- lah Tarekat Qodiriyah berasal dari Nabi kepada Ali. Sedangkan Ta- rekat Naqsyabandiyah dari nabi kepada Abu Bakar. Ali adalah seorang periang, terbuka dan suka menantang orang kafir dengan mengucap- kan kalimat syahadat dengan suara keras. Sedangkan Abu Bakar mene- rima pelajaran spiritualnya pada malam hijrah ketika ia bersama Ra- sulullah di gua Tsur yang tidak jauh dari Mekkah. Agar tidak didengar musuh, Nabi mengajarkan dzikir kepadanya dengan suara lemah/da- lam hati (Bruinessen, 1992, hlm. 48). Anas – Adinugraha

  Tarekat Naqsyabandiyah menekankan dzikir pada enam titik ha- lus ( lathaif) dalam badan yaitu lathifah al-qolb (letaknya di jantung),

  

lathifah ar-ruh (pada dada kanan, setinggi qolb), lathifah as-sirri (dua

  jari di atas puting kiri), lathifah al-khafi (dua jari di atas puting kanan),

  

lathifah al-akhfa’ (ditengah dada), dan lathifah an-nafs an-nathiqoh

  (dalam otak). Tarekat Naqsyabandiyah juga mengajarkan rābithah

  

syekh di hadapan murid. Sebelum dan ketika berdzikir, murid memba-

  yangkan wajah guru di depannya dan membayangkan bagaimana karu- nia Allah dilimpahkan melalui Nabi SAW dan syekh kepadanya. Inilah yang dinamakan washilah (perantara hubungan murid dengan Allah).

  

Syekh Ahmad Khatib juga menerapkan konsepsi lathaif ini dalam dzikir

  Tarekat Qodiriyah. Praktiknya, guru-guru Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia yang semuanya mengambil tarekat dari Ahmad Khatib yang lebih menekankan unsur-unsur Qodiriyah dari pada unsur-unsur Naqsyabandiyah (Bruinessen, 1995, hlm. 216-217).

  Terdapat beberapa Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang Pertama, Tare- berkembang pesat di pulau Jawa, di antaranya adalah: kat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa Tengah. TQN di Jawa Te- ngah berpusat di Pondok Pesantren Futūhiyyah, Mranggen. Pesantren ini didirikan kyai ‘Abd al-Rahman pada tahun 1905. Lalu dilanjutkan oleh putranya, kyai Muslih. Dia adalah mursyid dari dua silsilah yaitu kyai Asnawi Banten dan kyai ‘Abd al-Latif Banten -keduanya di bai’at oleh kyai ‘Abd al-Karim Banten- dan Mbah ‘Abd Rahman Menur Uta- ra Mranggen -di bai’at oleh Ibrahim al-Brumbuni atau Brumbung-. Kyai Muslih menulis beberapa buku yang digunakan di banyak pesan- tren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kyai Muslih meninggal pada tahun 1981. Kemudian diteruskan oleh putranya, kyai Muhammad Sadiq Lutfi Hakim dan saudaranya, kyai Muhammad Hanif, serta para menantunya dalam aktivitas pesantren Futūhiyyah dan kegiatan keta- rekatan. Murid kyai Muslih, kyai Abu Nur Djazuli menyebarkan tarekat ini di Brebes. Sementara KH. Durri Nawawi, mengajarkannya di Kajen (Mulyati, 2006, hlm. 260).

  Kedua, Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Jawa Timur. Seorang kholifah dari syekh Ahmad Khatib Sambas yaitu Ahmad Has- bullah berhasil mengembangkan TQN di pulau Madura dan di Rejo-

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  so. TQN di Rejoso dimulai sejak KH. Khalil bersama KH. Tamin Irsyad memimpin Pondok Pesantren Rejoso. Pada waktu kyai Khalil pergi ke Mekkah sebagai badal syekh (wakil syekh) yang tugasnya mengurusi perjalanan haji, dia bertemu dengan guru TQN yang ber- asal dari Madura, yaitu Ahmad Hasbullah. Kemudian kyai Khalil ber- guru tarekat kepadanya dan dikenalkan pada gurunya, syekh Ahmad Khatib. Akhirnya kyai Khalil melakukan bai’at kepada Ahmad Hasbul- lah dan mendapat kepercayaan sebagai guru tarekat atau mursyid. Sete- lah kembali ke kampung halaman (Rejoso), kyai Khalil mengajarkan tarekat itu kepada santri dan masyarakat di sekitar pondok Rejoso.

  Termasuk yang di bai’at adalah adik iparnya sendiri, kyai Ramli Ta- mim. Sebelum wafat, pada tahun 1937, kyai Khalil berpesan agar yang meneruskan sebagai mursyid adalah adik iparnya itu, karena dianggap sudah mampu dan menguasai dasar-dasar ketarekatan. (Sukamto, 1992, hlm. 139-140).

  Pada masa kepemimpinan kyai Ramli Tamim, TQN Rejoso mengalami perkembangan yang pesat. Pengamal tarekat ini tidak ha- nya di Jombang, tetapi tersebar di daerah-daerah pesisir Jawa Timur, termasuk Madura. Kyai Ramli Tamim menjadi mursyid selama 21 ta- hun, sejak tahun 1937 dan berakhir 1958 dengan berpulangnya ke

  

Rahmatullah. Sepeninggal kyai Ramli Tamim, terjadi krisis kepemim-

  pinan di kalangan TQN. Persoalan pokoknya adalah siapa yang berhak sebagai mursyid pengganti kyai Ramli Tamim. Karena tidak ada wasiat yang jelas. Salah satu tradisi tarekat adalah cara pemberian ijazah irsyad (penunjukan sebagai mursyid) oleh mursyid sebelumnya atau melalui wasiat kepada ahli waris.

  Pada waktu kyai Ramli Tamim wafat, usia kyai Mustain Ramli baru 27 tahun, sehingga ada yang meragukan bahwa dia menerima ija- zah mursyid dari ayahnya. Selain itu ia masih pada tingkatan dzikir ke- lima dari tujuh dzikir yang harus ditempuh oleh anggota tarekat (Dah- lan, 1981: 64-69). Artinya, waktu itu ia belum tamat berolah tarekat. Kyai Musta’in Romli diangkat sebagai mursyid setelah menempuh tingkatan dzikir berikutnya dari kyai Ustman Al-Ishaqi Surabaya yang lebih dahulu mendapatkan ijazah mursyid langsung dari kyai Ramli Tamim. Apakah kyai Mustain Ramli menerima ijazah itu langsung Anas – Adinugraha

  dari kyai Ramli Tamim ataukah melalui kyai Ustman al-Ishaqi sampai sekarang masih belum jelas kebenarannya. Akhirnya terdapat semacam kesepakatan, kyai Musta’in Romli dan kyai Ustman al-Ishaqi masing- masing mempunyai hak ke mursyidan yang sama untuk mengembang- kan tarekat di daerah masing-masing. Sejak saat itu ada dua pusat kegiatan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, di pondok pesantren Darul Ulum Rejoso dan di pondok pesantren Sawah Pulo/Kedinding Lor Surabaya.

  Pada tahun 1984 M., KH. Usman wafat dan kepemimpinan tarekat dilanjutkan oleh puteranya KH. Ahmad Asrori. TQN Surabaya menyelenggarakan pengajian tasawuf (membaca kitab ihyā ‘ulūmud- dīn) dan pengamalan dzikir bersama yang diberi nama khusūsiyah. Pengajian ini diselenggarakan Ahad pertama menurut kalender hijriyah di Jati Purwo dan Ahad kedua di Kedinding Lor Surabaya. Pengajian ini bayak diikuti oleh karyawan Petrokimia Gersik, Bogasari, PAL, Pertamina, dan lain-lain (Suyuti, 2001: hal. 88-95).

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  21. Ubaid-Allah Ahrari

  7. Imam Ja’far al-Sadiq

  8. Abu Yazid al-Bustami

  9. Abu Hasan Khargani

  10. Abu Ali al-Farmadi

  11. Syekh` Yusuf al-Hamdani

  12. Abd. Al-Khaliq al-Ghadjawi

  13. Arif Riya Qari

  14. Muhammad Anjari

  15. Ali Romli Tamini

  16. M. Baba Sanmasi

  17. Amir Kulaili

  18. Bahaudddin al-Naqsyabandi

  19. M. Alau al-Din al-Tari

  20. Ya’qub Jereki

  22. M. Zahidi

  5. Salman a-Farisi

  23. Darwis M. Baqi Billah

  24. Al-Faruqi al-Sirkhindi 25. al-Ma’sumi al-Sirkhindi

  26. Saif Alidin Afif Muhammad

  27. Nur Muhammad Badawi

  28. Syams al-Din Habib Allah

  29. Abd Allah al-Dahlawi

  30. Abu Said al-Ahmadi

  31. Ahmad Said

  32. M. Jan al-Maliki

  33. Khalid Hilmi

  34. A. Khatib Syambasi

  35. Kyai Ahmad Hasbullah

  36. Kyai Kholil

  37. Romli Tamin

  6. Qasim bin Muhammad

  4. Abu Bakar Siddiq

  1. Allah, Swt

  16. Abu Al-Farraj Al-Turtusi

  2. Jibril, alaihi al-salam

  3. Muhammad Saw

  4. Ali bin Abi Thalib

  5. Husain ibn Ali

  6. Zain al-Abidin

  7. Muhammad Baqir

  8. Ja’far al-Shadiq

  9. Musa al-Kazim

  10. Ali ibnu Musa al-Rida

  11. Ma’ruf al-Kurkhi

  12. Sirri al-Saqoti

  13. Abu Qosim Junaid al-Baghdadi

  14. Abu Bakar Al-Sibli

  15. Abd. Al-Wahid Al-Famimi

  17. Abd Al-Hasan Ali Al-Karakhi

  33. Syams al-Din

  18. Abu Sa’id Mubarok Al-Majzumi

  19. Syekh Abd Al-Qodir Al-Jaelani 20. ‘Abdl Al-Aziz

  21. M. Mattaq

  22. Syamas Al-Din

  23. Syarif al-Din

  24. Nur al-Din

  25. Wali al-Din

  26. Hisyam al-Din

  27. Yahya

  28. Abu Bakar

  29. Abd. Al-Rakhim

  30. Usroan

  31. Abd. Al-Farrah

  32. Muhammad Murad

  38. Usman al-Ishaq 39. Ahmad Asrori Usman. Gambar 1 ‘Silsilah tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah al-usmaniyah’ Anas – Adinugraha

  Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ini juga berkembang di Jombang dan kota-kota lainnya. Tetapi yang paling besar anggotanya adalah yang diselenggarakan di Surabaya. TQN di Surabaya kemudian memberikan tambahan nama al-Usmaniyah di belakangnya. Nama Usmaniyah dinisbatkan kepada KH. Usman al-Ishaqi. Dengan demi- kian nama lengkap tarekat ini adalah Tarekat Qodiriyah wa Naqsya- bandiyah al-Usmaniyah yang dipimpin oleh KH. Asrori bin KH. Usman al-Ishaqi.

  TQN Surabaya juga berkembang di Jakarta sejak akhir tahun 1990-an. Semula hanya diikuti oleh orang-orang Madura yang tinggal di daerah Jakarta Utara (Priok), tetapi kemudian menyebar ke Bekasi dan juga di Jakarta. Kegiatan pengajian khusūsiyah untuk jama’ah TQN al-Usmaniyah di Jakarta diorganisasikan dalam sebuah yayasan yang diberi nama al-Khidmah. Organisasi ini dipimpin oleh Prof. DR.

  Sofyan Tsauri, seorang ilmuan dan juga pejabat di lingkungan Depar- temen Pertanahan dan Letnan Jenderal Arifin Tarigan yang juga pe- jabat tinggi di lingkungan tersebut. Anggota jama’ah al-Khidmah di Ja- karta sebagian besar adalah orang Jawa dan Madura, meskipun anggota dari suku bangsa lain juga ada.

  Ketiga, Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Suralaya, Jawa Barat. Ajaran TQN di Suralaya dikembangkan oleh dua tokoh utama yaitu Abah Sepuh dan putranya, KH A. Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom). Abah Sepuh adalah pendiri pondok pesantren Suralaya yang dibangunnya pada tahun 1905 M. Nama lengkapnya adalah ‘Ab- dullah Mubarak, lahir di kampung Cicalung, Bojong Bentang, Pager Ageung Tasikmalaya pada tahun 1836. Dia ditunjuk sebagai kholifah TQN oleh syekh Tolhah Cirebon (1825-1935) yang telah berbai’at kepada syekh ‘Abdul Karim Banten ketika belajar di Mekkah. Abah Se- puh menjelaskan ajaran tarekat melalui ceramah di masjid-masjid dan di rumah murid-muridnya.

  Pada zaman Abah Anom ajaran tarekat mulai ditulis dan dikem- bangkan. Kemudian dicetak dalam kitab yang berjudul Miftāh as-

  

Shudūr. Menurut Abah Anom tujuan dari kitab ini adalah untuk men-

  capai ketenangan dalam kehidupan di dunia dan kebahagiaan nanti di akhirat (Nasution, 1991, hlm. 275).

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  Gelar Abah Anom berasal dari bahasa Sunda yang ber- arti bapak/kyai muda karena dianugrahkan kepadanya ketika masih usia muda. Abah Anom masuk sekolah dasar Belanda di Ciamis antara tahun 1923-1929. Kemudian meneruskan ke sekolah menengah Ciawi, Tasikmalaya (1929-1931). Pada usia 18 tahun, dia sudah menjadi wakil

  talqin, mewakili ayahnya untuk membai’at mereka yang

  masuk tarekat. Kemudian Abah Anom belajar ilmu agama Islam di beberapa pesantren di Jawa Barat, seperti Cicariang (kabupaten Cianjur), pesantren Gentur, Jambudipa dan pesantren Cireungas, Cimalati (kabupaten Sukabumi), tempat mempelajari ilmu hikmah dan tarekat (Mulyati, 2006, hlm. 275-276).

  Saat ini, TQN di Suralaya dikenal sebagai tarekat yang aktif dan dinamis mursyid-nya. Abah Anom berhasil mengembangkan cabangnya sampai ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Dia juga mendesain kurikulum khusus praktik dzikir dan sholat untuk merehabilitasi remaja yang kecanduan obat terlarang dan narkotika dengan membangun pondok Inabah di Suralaya. Sampai saat ini, ada 23 pondok Inabah di dalam dan luar negeri. Untuk memenuhi minat masyarakat yang ingin masuk dan belajar dzikir di Suralaya, Abah Anom mengangkat wakil talqin, yaitu mereka yang diamanatkan untuk men talqin (membai’at) atas namanya di daerah- daerah yang telah ditunjuk.

  Hasil dan

  Demografi Warga Desa Ngroto Desa Ngroto Kecamatan Gubug Kabupaten Grobo-

Pembahasan

  gan memiliki luas ± 309.910 Ha, yang terdiri tanah sawah, lapangan, pemukiman, makam, dan pekarangan. Desa Ngroto berbatasan dengan (1) Sebelah Utara berbatasan dengan desa Papan Rejo, (2) Sebelah Selatan dan Barat berbatasan dengan desa Trisari dan (3) Sebelah Timur berbatasan dengan desa Jeketro dan Ginggang. Jarak desa

  Anas – Adinugraha

  Ngroto dari pusat pemerintahan kecamatan adalah 5 km, sedangkan dengan pusat pemerintahan kabupaten adalah 32 km. Letak desa yang jauh dari pusat pemerintahan ini menjadikan desa Ngroto tampak berada di pelosok.

  Jumlah penduduk desa Ngroto sebanyak 4.900 jiwa. Keseluruhan warga menganut agama Islam tradisional dengan beberapa akses pon- dok pesantren sebagai pusat kegiatan keagamaannya. 80 persen warga Ngroto bermata pencaharian sebagai petani, baik buruh maupun pemi- lik tanah serta 20 persen lainnya sebagai guru, pamong desa, PNS, dan buruh kasar.

  Secara garis besar struktur kehidupan keagamaan warga Desa Ngroto tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Pesantren memiliki unsur- unsur yang sama satu dengan yang lain, seperti adanya kyai, santri, pondok (asrama), masjid atau langgar dan kitab agama Islam klasik yang diajarkan serta metode pengajarannya. Meskipun demikian, dalam kenyataanya masing-masing pesantren mengembangkan corak khasnya sendiri sehinggga terlihat perbedaannya antara yang satu dengan yang lainnya (Geertz, 1983, hlm. 241-245). Pesantren di desa Ngroto termasuk tradisional yang telah mengembangkan sistem klasikal (madrasah). Pesantren yang memiliki madrasah lebih bersifat sebagai tempat pemondokan (asrama), meskipun kegiatan mengaji, shalat berjama’ah dan ketaatan kepada pribadi kyai masih menonjol.

  Berdasarkan hasil observasi, ada beberapa pondok pesantren yang ada di desa Ngroto, baik kecil maupun besar. Masing-masing pesan- tren memiliki corak yang berbeda. Ada yang lebih kepada pengemba- ngan tahfīz al-Qur’ān (menghafal al-Qur’an) dan ada yang fokus pengajaran kitab-kitab klasik serta ketarekatan. Selain mondok di pe- santren sebagian santri juga bersekolah di Madrsah Tsanawiyah atau pun Aliyah. Karena sebagian santri adalah siswa madrasah, maka seba- gian besar waktunya digunakan belajar di madrasah dan belajar (me- ngaji) kitab-kitab yang menunjang kegiatan di madrasah. Adapun waktu-waktu di luar itu digunakan untuk berbagai kegiatan yang sifatnya merupakan bekal bagi mereka yang akan terjun ke masyarakat.

  Selain kegiatan di madrasah dan pesantren para santri juga mem- punyai kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat.

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  Kegiatan ini dilakukan untuk menjalin ukhuwah Islāmiyah dengan ma- syarakat. Selain itu juga untuk melatih para santri bersosialisasi dengan masyarakat. Kegiatan tersebut meliputi:

  1. Ziarah kubur. Ziarah kubur dilakukan setiap Jum’at pagi oleh para santri yang diikuti oleh masyarakat sekitar. Ziarah ini dilakukan di dua tempat yaitu makam syekh ‘Abdrrahman Ganjur dan syekh Sirajuddin. Mereka adalah waliyullah yang babat desa Ngroto. Ke- giatan ini dilaksanakan dalam rangka ta’zim kepada guru dan ten- tunya untuk ngalap barokah (dalam bahasa setempat) atau mencari berkah.

  2. Tartilan bersama. Tartilan bersama atau sima’an al-Qu’ran biasa- nya dilakukan setiap tanggal 17 bulan qomariyah, Ahad Pahing, Jum’at Wage, 1 Muharram dan lain sebagainya. Kegiatan ini dila- kukan oleh para huffadz al-Qur’an untuk mengasah hafalan al- Qur’an mereka.

  3. Manaqiban. Manaqiban biasa dilaksanakan setiap seminggu sekali di rumah-rumah penduduk. Setiap kampung mengadakan kegia- tan manaqib dengan waktu yang berbeda, ada yang malam Ming- gu, malam Rabu, malam Kamis, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi tabrakan sehingga masyarakat dapat mengikuti- nya tanpa kendala. Manaqiban juga dilakukan setiap tanggal 17 bulan qomariyah. Acara ini biasa diikuti oleh santri, masyarakat sekitar juga masyarakat luar daerah. Acara ini dimulai dengan sha- lat maghrib berjama’ah, shalat sunah, dilanjutkan istighōsah, pem- bacaan manaqib, maulid nabi serta mauidzoh hasanah.

  4. Ritual-ritual keagamaan lain seperti: tahlilan dalam rangka kirim do’a untuk arwah, haul ba’da mulud (Rabi’u as-Tsani) dan lain sebagainya. Tarekat Sebagai Pendekatan Dakwah di Desa Ngroto

  Pada dasarnya tarekat yang ada di desa Ngroto tidak hanya Tare- kat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, tarekat Sattariyah, Syadhiliyah, dan lainnya juga diikuti warga. Akan tetapi perkembangan tarekat-tarekat tersebut tidak signifikan seperti TQN. Faktor utama yang membuat tarekat ini berkembang pesat adalah kharisma kyai yang diakui sebagai Anas – Adinugraha

  kyai desa. Karena itu ketika kyai desa mengikuti Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, maka sebagian besar warga yang telah mengakuinya sebagai kyai kharismatik juga mengikutinya.

  Kyai H. Masduri Damanhuri (w. 2008) adalah seorang kyai yang dinobatkan secara keturunan oleh warga. Dia adalah keturunan ke tu- juh dari Kyai Sirojuddin yang babat (membuka pertama kali) pondok pesantren yang ada di Desa Ngroto. Kyai H. Masduri Damanhuri menceritakan masuknya tarekat ini ke desa Ngroto. Sejak tahun 1936/1937 M. banyak guru tarekat yang berusaha memasukkan tare- kat ke desa Ngroto, tetapi tidak berhasil. Bahkan ada kyai yang meni- kah dengan warga Ngroto memutuskan cerai karena tidak berhasil me- masukkan tarekatnya.

  Pada Bulan Muharram tahun 1386 H/1964 M., syekh Muham- mad Usman al-Ishaqi pertama kali mengunjugi desa Ngroto bersama kyai Muslih untuk menghadiri haul Kyai Sirojuddin. Kemudian pada tahun 1966 M. untuk kedua kalinya syekh Usman datang ke desa Ngroto. Kyai Masduri dipanggil ke rumah pamannya dan syekh Us- man menangis serta merangkul kyai Masduri seraya mengatakan “Sabarlah engkau wahai Masduri! Sekarang engkau telah menjadi kyai di desa Ngroto maka akan aku doakan semoga engkau panjang umur”. Setelah 15 hari dari kepulangan syekh Usman dari Ngroto, paman kyai Masduri meninggal dunia. Kyai Masduri lalu berkirim surat kepada syekh Usman tentang kematian pamannya. Syekh Usman membalas surat dan memerintahnya untuk segera datang ke Surabaya.

  Kyai Masduri mengatakan bahwa saat berkunjung ke Surabaya, dia di Bai’at dan diberi ijazah Manaqib syekh ‘Abd al-Qodir al-Jaelani secara mutlak (Umar, 1989. hal. 12-160). Setelah itu banyak jama’ah yang menjadi murid syekh Usman dan tersebarlah TQN di desa Ngro- to. Sejak saat itulah TQN berkembang di desa Ngroto sebagai instru- men pendekatan dakwah.

  Di antara yang menjadikan tarekat ini berkembang pesat adalah pondok pesantren yang diasuh langsung oleh kyai Masduri. Para pe- muda dan orang tua mengikuti kegiatan pondok yang dekat dengan masyarakat sekitar. Selain menjadi santri di pondok tersebut, mereka juga ikut menyebarkan tarekat ini dengan kegiatan rutinannya sewe-

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

lasan (sebelasan), yaitu kegiatan pembacaan manaqib yang diadakan

  secara rutin dan berkeliling di seluruh RT. Acara yang dilaksanakan di langgar (mushola) setiap RT ini melibatkan warga yang berminat mengikutinya. Masyarakat antusias dalam mengikuti setiap acara ma- naqib yang dipimpin langsung oleh kyai Masduri.

  Faktor yang menjadikan masyarakat antusias mengikuti acara

  

manaqib ini antara lain karena pembacaan manaqib dipercaya mempu-

  nyai barokah untuk setiap orang yang mendengarkannya. Di samping itu, pembacaan manaqib dilantunkan dengan suara yang enak dide- ngarkan. Pembacaan manaqib dan maulid di desa Ngroto dibaca de- ngan suara yang lantang dan dengan irama atau lagu yang menyejuk- kan kalbu bagi pendengarnya. Pembacaan seperti ini mencontoh pem- bacaan manaqib dan maulid yang dilakukan di Jati Purwo dan Kedin- ding Lor Surabaya.

  Sebelasan sebagai kegiatan rutinan di desa Ngroto berjalan dengan

  baik, sejak masuknya Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah sampai kini. Hingga masyarakat menganggapnya sebagai acara wajib yang ha- rus didatangi. Bahkan setiap RT membuat kegiatan manaqib mandiri di setiap rumah warga yang dilaksanakan seminggu sekali dengan tuan rumah sebagai penanggung jawabnya. Acara ini terkontrol dengan baik, karena setiap RT melakukannya pada hari yang berbeda. Dengan demikian, warga RT lain yang bermaksud mengikuti bisa datang, tidak bertabrakan dengan agenda manaqib di RT masing-masing.

  Gerakan Dakwah TQN di Desa Ngroto Ruang lingkup gerakan dakwah Tarekat Qodiriyah wa Naqsya- bandiyah di desa Ngroto meliputi kalangan internal dan eksternal or- ganisasi. Secara internal, sasaran tersebut terdiri dari para jama’ah (pe- ngikut TQN). Sedangkan secara ekstrenal adalah masyarakat Ngroto secara umum, baik anggota maupun non-anggota. Tujuan dakwahnya secara umum adalah meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah Swt.

  Tujuan intinya adalah pengamalan ajaran Islam secara menyeluruh

  

(kaffah). Tujuan lainnya adalah terciptanya tali silaturrahmi (ukhuwah

islāmiyah) di kalangan jama’ah TQN. Sehingga menimbulkan emosi

  keagamaan dan keorganisasian (loyalitas terhadap TQN).Gerakan

  Anas – Adinugraha

  dakwah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah diaplikasikan/diimple- mentasikan dalam berbagai bidang. Bidang tersebut di antaranya: Dakwah melalui Bidang Pendidikan

  Kontribusi tarekat terhadap perkembangan dunia pendidikan secara historis mengacu pada keberadaan pusat-pusat kegiataan ( zawi-

  

yah) dan keteladanan sosial para mursyid (public figure) tarekat. Zawi-

yah merupakan pusat pendidikan dan pembinaan spiritual. Zawiyah

  terdiri dari sejumlah bangunan yang mencakup tempat tinggal syekh dan keluarga, ruang pembinaan zikir, kamar murid, masjid, dapur, penginapan para pengunjung dan madrasah. Syekh bertindak sebagai imam shalat, mengajar dan mendidik serta mengawasi perkembangan murid-muridnya.

  Perkembangan tarekat di Nusantara termasuk di desa Ngroto ber- mula dari zawiyah dengan sistem halaqah. Sistem halaqah ini kemu- dian mengilhami berdirinya lembaga pendidikan pesantren. Lembaga pesantren ini kemudian memainkan peran yang berkesinambungan dalam mengemban tanggungjawab pendidikan dan melestarikan ajaran Islam (Shihab, 2001, hlm. 215).

  Gerakan dakwah TQN dalam bidang pendidikan dilakukan me- lalui pondok pesantren salaf “Miftāh al-Hudā”. Pondok ini sudah ada sebelum masuknya TQN. Dalam perkembangannya, pondok pesan- tren ini berganti nama menjadi pondok pesantren “Usmāniyah. Nama

  

Usmāniyah dinisbatkan kepada kyai Usman al-Ishaqi. Kyai Usman

  adalah mursyid TQN dari Jati Purwo Jawa Timur yang telah menge- nalkan dan menyebarkan tarekat ini di desa Ngroto. Semula pondok ini hanya dijadikan tempat ngaji orang sekitar. Namun dalam perkem- bangnnya, setelah TQN masuk, pondok juga dijadikan tempat untuk acara-acara manaqiban seperti sewelasan (sebelasan), pitulasan (tujuh belasan) dan juga acara-acara khususi atau tawajjuhan. Selain al-Qur’an dan kitab-kitab klasik, Ilmu tarekat pun mulai diajarkan. Para santri dikenalkan dengan istighosah dan manaqib.

  Kegiatan pondok pesantren Usmāniyah dilaksanakan di dua tem- pat yakni pondok pesantren 1 yang letaknya di sekitar masjid jami’ desa dan pondok pesantren 2 di mushola yang terletak 200 meter dari

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  masjid. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 2009 pondok

  

Usmāniyah terbagi menjadi dua. Pondok pesantren Usmāniyah yang

  berada di sekitar masjid dan pondok pesantren Miftāh al-Hudā yang berada di lingkungan mushola. Para santri dua pondok pesantren ini hampir setiap hari melantunkan manaqib dan maulid. Dakwah melalui Bidang Sosial kemasyarakatan

  Sistem sosio-organik dalam TQN dipahami sebagai wadah dan sarana pembinaan yang terbuka umum, namun selalu diikat oleh tata nilai dan aturan yang mengikat setiap individu yang ada di dalamnya. Tujuan utama dari tata nilai dan aturan dalam sistem sosio-organik TQN tersebut tidak sebatas mengantarkan seseorang untuk merasakan kedekatan dengan Tuhannya. Karena hakekat Tuhan Yang Maha Agung tak terbatasi oleh ruang dan waktu, maka segala metode dan aturan yang terdapat di dalamnya dipahami sebagai sesuatu yang harus diamalkan dengan sepenuhnya. Termasuk interaksi antar guru (mur-

  

syid), guru dengan murid dan sesama komunitas (murid dengan mu-

  rid) serta dengan alam sekitarnya. Sehingga sub sistem sosio-organik secara tidak langsung menentukan dan mengatur suatu sistem sosial yang terorganisir.

  Relasi guru- murid dan murid-murid dalam sistem pembinaan TQN pada komunitasnya membangun tiga sub sistem jaringan yaitu;

  

Pertama, TQN sebagai sistem sosio-organik memiliki garis hirarkis (sil-

  silah tarekat) yang kuat dengan pusat syari’at, yakni Rasulullah dalam merumuskan ajaran dan aturan mainnya. Kedua, TQN sebagai sistem sosio-organik memiliki pimpinan karismatik, seperti syekh atau wakil sebagai mursyid yang menggerakkan tarekat serta mengarahkan dan mengontrol sistem yang berlaku. Ketiga, TQN sebagai sistem sosio- organik memiliki wilayah spiritual ( al-wilāyah as-shūfiyah) yang khas sebagai lingkungan fisik dan psikis bagi pembinaan anggota.

  Instrumen-instrumen pembinaan yang merupakan media pengua- tan sistem sosio-organik seperti; bai’at dan talqin, riyādlah, khataman,

  

manaqiban serta haul adalah simbol-simbol Tarekat Qodiriyah wa

  Naqsabandiyah yang berfungsi sebagai instrumen untuk mendekatkan diri dengan Allah ( habl min Allah) dan membangun komunikasi in-

  Anas – Adinugraha

  teraktif dengan sesama ( habl min an-Nas). Simbol-simbol TQN fungsinya lebih besar untuk mempersatukan komunitas ketimbang definisi-definisi intelektual yang sering memiliki keterbatasan arti (Nothinghem, 1990, hlm. 16-17).

  Pondok-pondok pesantren yang didirikan para tokoh tarekat ( masyāyikh) berfungsi sebagai kawasan spiritual yang merupakan wadah strategis dalam melestarikan gerakan sosial dan dakwah. Pada tempat- tempat tersebut tercipta suasana peribadatan yang khusyu’, ikhlas dan

  

istiqōmah serta sabar serta berbagai kontrak sosial. Mereka satu dengan

  lainnya bercampur baur, hati dan pikiran mereka terfokus pada Allah sebagai Khaliqnya sementara jasad dan badan mereka menyatu mera- sakan dan mendengarkan apa yang dialami teman sejawatnya.

  Berdasarkan hasil depth interview dengan beberapa pengikut tare- kat di Pondok Pesantren Miftāh al-Hudā ditemukan bahwa mereka yang memilih jalan tarekat ( masyāyikh, murid atau ikhwan) ikut mera- sakan denyut jatung sesama, tidak mengisolasi diri dari problem sosial dan aktif mencari solusi pemecahan masalah (problem solving). Mereka mampu memandang orang lain, apapun agama dan etnisnya sebagai bagian dari makhluk Tuhan. Karena ajaran tarekat menekankan mem- bangun komunikasi secara baik dan arif dengan setiap orang.

  Observasi langsung yang dilakukan pada pesantren dan informasi dari para kholifah dan imam khususi dapat dilihat beberapa aspek dak- wah dan aktivitas sosial yaitu;

  a. Menumbuhkan semangat solidaritas dan gotong royong (al-ukhuw- wah wa at-ta’awwunah).

  Jama’ah tarekat yang intensitas pertemuannya terjadwal seperti mu-

  raqab, khataman, manaqiban, haul dan lainnya) bisa membangun solidaritas kebersamaan dan berkomunikasi aktif dengan orang lain.

  Rasa solidaritas yang tinggi sesama jama’ah termanifestasikan dalam pembangunan sarana dan prasarana umum. Mereka siap menafkah- kan sebagian hartanya dan bergotong royong membangun pusat- pusat peribadatan (masjid dan mushalla), sarana pendidikan, ter- utama gedung pesantren yang didirikan oleh guru mereka.

  G erakan D akwah Tarekat Q odiriyah wa N aqsyabandiyah

  b. Melakukan ikhtiar pemberdayaan ekonomi jama’ah Berangkat dari semangat kebersamaan dan merasakan penderitaan orang lain (terutama sesama jama’ah), jama’ah tarekat menerima dan memberikan sumbangan kepada orang lain. Sumbangan ters- ebut biasanya didapatkan dari infaq, sadaqah dan zakat serta iuran anggota (pada sebagian jama’ah iuran ini dikumpulkan oleh seorang koordinator pada satu kesatuan kelompok).