T eknologi inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknologi di bidang reproduksi

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

  

PERBANDINGAN TINGKAT KESUBURAN SAPI BALI INDUK YANG

DIINSEMINSI DENGAN SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR SAPI

SIMMENTAL DI KECAMATAN AMARASI BARAT KABUPATEN KUPANG

Oleh:

  • ** * ***

  , Arnold.Ch Tabun , Petrus Kune M.L. Molle

  

ABSTRACT

A research on fertility of Bali cows inseminated by frozen semen and liquid semen of

  UPTD Pembibitan dan Hijauan Makanan Ternak

Simmental cattle was carried out at in Lili Village

and Merbaun village, West Amarasi District.

  

The research was aimed to determine the level of Bali cows’ fertility which was inseminated by

frozen semen and liquid semen of Simmental.

The research was arranged by a Completely Randomized Design with two treatments of 40 Bali

cows.

The result showed that Non Return Rate (NRR) obtained for treatment using frozen semen was

45% and treatment using liquid semen was 60%, while the Conception Rate (CR) on treatment

using frozen semen was 45% and liquid semen was 65%. T-student test showed that there was

no significant difference between the use of frozen semen and liquid semen in the

implementation of artificial insemination. This was caused by the liquid semen had 70%

motility and its spermatozoa concentration was above 10-12 million spermatozoa per ml.The

liquid semen can be used as an alternative way in genetic improvement of livestock, with the

NRR of 60% and 65% CR, in order to overcome the problems of distribution and availability of

frozen semen and liquid nitrogen.

  Key words: Simmental cattle, frozen semen, liquid semen

Penelitian tentang perbandingan tingkat kesuburan sapi bali induk yang diinseminsi dengan

semen beku dan semen cair sapi simmental telah dilakukan di UPTD Pembibitan dan Hijauan

Makanan Ternak Lili dan Desa Merbaun Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang.

Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat kesuburan sapi bali betina yang diinseminasi

dengan semen beku dan semen cair sapi simmental. Rancangan yang digunakan adalah

rancangan acak lengkap dengan dua perlakuan sebanyak 40 ekor sapi bali betina.

Hasil penelitian menunjukan bahwa angka Non Return Rate (NRR) yang diperoleh untuk

perlakuan dengan semen beku adalah 45% dan perlakuan dengan semen cair adalah 60%

sedangkan Conception Rate (CR) pada perlakuan dengan semen beku adalah 45% dan semen

cair adalah 65%. Hasil uji t-student menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara

penggunaan semen beku dan semen cair dalam pelaksanaan IB. Hal ini disebabkan oleh karena

semen cair mempunyai motilitas 70%P dan konsentrasi spermatozoa di atas 10-12 juta

spermatozoa per ml. Untuk mengatasi distibusi ketersediaan semen beku dan nitrogen cair

dalam menunjang penerapan teknologi inseminasi buatan maka semen cair dapat digunakan

sebagai salah satu alternatif dalam perbaikan mutu genetik ternak dengan nilai NRR sebesar

1 60% dan CR sebesar 65%. *. Staf Pengajar Prodi.Produksi Ternak, Politeknik Pertanian Negeri Kupang Kata Kunci : Sapi Simmental, semen cair, Semen Beku Staf Pengajar Fakultas Pertanian-UNDANA Staf Dinas Peternakan Kabupaten Kupang

  Media Exacta Volume 11 No.1 Januari 2011

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

  

T eknologi inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknologi di bidang reproduksi

  ternak yang telah lama dikembangkan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemanfaatan pejantan unggul dan terbaik dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Teknologi ini telah lama dilaksanakan secara intensif sebagai alat pengembangbiakan pada sapi perah dan sapi potong di sebagian besar daerah peternakan di Pulau Jawa. Nusa Tenggara Timur (NTT), IB diperkenalkan pertama kali sejak tahun 1976 dan secara besar-besar mulai dimasyarakatkan di seluruh pelosok NTT pada awal tahun 1990-an tetapi hingga saat ini belum berkembang secara intensif seperti pada sapi di Pulau Jawa (Toelihere, 1993).

  Salah satu faktor penyebabnya adalah karena ketersediaaan nitrogen cair dan semen beku yang tidak kontiniu dan sangat tergantung pada bantuan dari pemerintah. Masalah transportasi pengangkutan semen beku dan Nitrogen cair dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) di Pulau Jawa ke NTT cukup jauh dan mahal, ditambah sifat fisik nitrogen cair yang mudah menguap, menyebabkan IB yang hanya dapat mengandalkan semen beku terus menjadi kendala.

  Pemerintah dan beberapa kabupaten telah mendatangkan pejantan unggul ke daerah ini dengan harapan agar dapat terjadi kawin alam dengan sapi bali sehingga dapat memperbaiki mutu genetik sapi bali. Namun dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan dalam proses perkawinan terutama perkawinan secara alami. Jika pejantan unggul (Bull) dikawinkan dengan ternak sapi bali betina, hal tidak dapat terjadi karena perbedaan bangsa, ukuran dan berat badan. Dengan demikan harapan pemerintah daerah baik kabupaten maupun propinsi akan sulit terwujud.

  Pejantan unggul yang didatangkan tidak dapat dipakai dalam proses perkawinan alami, sehingga untuk memaksimalkan pemanfaatan pejantan unggul dapat dilakukan dengan menampung semennya untuk dapat digunakan dalam penerapan teknologi inseminasi buatan.

  Produksi dan pemanfaatan semen cair pejantan unggul terbaik adalah cara lain untuk memanfaatkan keberadaan sapi jantan yang telah ada. Hasil kegiatan penerapan teknik produksi dan pemanfaatan semen cair yang dilaksanakan Kune dkk, (2003) pada pejantan simmental di Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Pembibitan dan

  Media Exacta Volume 11 No.1 Januari 2011

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

  Hijauan Makanan Ternak Lili merupakan bukti bahwa kesulitan kawin alam antara ternak yang berbeda bangsa, ukuran tubuh dan berat badan dapat teratasi. Meskipun demikian keterbatasan pejantan unggul baik jumlah maupun jenisnya tetap merupakan permasalahan dalam mengintensifkan kegiatan IB di daerah yang jauh dari lokasi pemeliharaan pejantan hal ini disebabkan karena kemampuan bertahan semen cair pada kualitas semen layak IB (Motilitas ≥ 40%) berlangsung singkat yakni berkisar 3-4 hari (Toelihere, 1993 dan Nesimnasi, 1994).

  Untuk mengatasi kendala rutinitas pengadaan terutama distribusi semen beku dalam pengembangan teknologi IB di NTT, maka telah dilakukan uji coba penggunaan semen beku dan semen cair di Kecamatan Amarasi Barat.

MATERI DAN METODE

  Penelitian telah dilaksanakan di UPTD pembibitan dan Hijauan makanan ternak Lili dan Desa Merbaun Kecamatan Amarasi barat. Materi yang digunakan adalah sapi Jantan Simmental (Bull), sapi bali betina 40 ekor, semen cair, semen beku, mikroskop, kulkas, ependrope tube, cover glass, object glass, kuning telur, citrat natricus, termos, nitrogen cair, container.

  Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 2 perlakuan (semen beku dan semen cair) sebanyak 40 ekor sapi bali betina. Variabel yang diukur adalah Non Return Rate (NRR) dan Conception rate (CR). Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dengan menggunakan uji t-student untuk mengetahui pengaruh perlakuan ternahadap NRR dan CR.

HASIL DAN PEMBAHASAN KEADAAN KUALITAS SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR

  Motilitas adalah kemampuan dari spermatozoa untuk bergerak progresif (maju kedepan) yang merupakan suatu patokan yang dipakai untuk penilaian kualitas semen yang digunakan dalam melakukan inseminasi buatan. Motilitas spermatozoa dalam suatu sampel ditentukan secara keseluruhan atau sebagian dari rata-rata suatu populasi spermatozoa. Pengamatan terhadap kualitas semen beku yang digunakan dalam penelitian adalah dilakukan pengamatan pada satu strow semen beku yang ada dalam

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

  konteiner. Sedangkan pengamatan terhadap kualitas semen cair dilakukan setiap kali menggunakan semen cair. Semen cair yang digunakan semen cair yang telah diencerkan dan disimpan paling lama 3 hari setelah pengenceran dengan suhu penyimpanan 3-5 C seperti yang diamati Kune (2004), meskipun spermatozoa semen cair masih memperhatikan motilitas layak IB hingga hari ketujuh. Tabel 1. Motilitas Spermatozoa semen cair dan semen beku.

  Bentuk semen Motilitas semen (%) selama 7 hari beku

  1

  2

  3

  4

  5

  6

  7 Semen cair

  70

  70

  65

  60

  50

  50

  40 Semen beku BIB

  60 Dari data tabel 1 menunjukan bahwa motilitas spermatozoa pada semen cair terjadi penurunan motilitas dari hari pertama 70%P (progresif) sampai 40%P pada hari ke tujuh. Motilitas spermatozoa pada semen beku motilitasnya adalah 60%P. Selama penyimpanan terlihat adanya penurunan pergerakan progresif (motilitas) spermatozoa. Penurunan ini karena semakin bertambahnya jumlah spermatozoa yang rusak akibat umur yang semakin menua, berkurangnya sumber energi yang tersedia dalam medium dan adanya pengaruh suhu.

  

NON RETURN RATE (NRR) SAPI BALI YANG DIINSEMINASI DENGAN

SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR

  Non Return Rate (NRR) adalah jumlah ternak betina yang tidak kembali

  menunjukan birahinya setelah dikawinkan atau diinseminasi. Hal ini sering menjadi salah satu tolak ukur penentu keberhasil IB atau kawin alam karena sapi yang tidak birahi setelah diinseminasi selalu dianggap telah terjadi kebuntingan dan ternak tersebut mulai menjani massa kebuntingan. Untuk mengatasi NRR dilakukan pengamatan pada hari yang ke 19 sampai dengan 24. Hasil pengamatan NRR dapat dilihat pada tabel berikut.

  Media Exacta Volume 11 No.1 Januari 2011

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

  Tabel 2. NRR sapi Bali yang di Inseminasi dengan semen beku dan semen cair Perlakuan Jumlah Hasil pengamatan estrus pasca IB NRR ternak (18-24 hari) (%) akseptor

  Birahi kembali Tidak birahi kembali Semen Beku

  20

  11

  9

  45 Semen cair

  20

  8

  12

  60 Jumlah

  40

  19

  21 Dengan melihat tabel di atas dapat diuraikan sebagai berikut pada perlakuan semen beku terdapat 9 ekor dari 20 ekor atau (45%) dan perlakuan semen cair terdapat 12 ekor dari 20 ekor atau (60%) yang tidak kembali minta kawin. Sehingga total sapi yang tidak kembali minta kawin adalah 21 ekor dari 40 ekor atau (52,5%) jumlah sapi yang kembali birahipada perlakuan dengan semen beku terdapat 11 ekor dari 20 ekor atau (55%) dan pada perlakuan dengan semen cair terdapat 8 ekor dari 20 ekor atau (40%). Secara keseluruhan 40 ekor yang telah diinseminasi ternyata yang kembali birahi sebanyak 19 ekor.

  Dari 21 ekor sapi betina yang tidak kembali menunjukan birahinya, setelah diinseminasi positif bunting, ditambah satu ekor yang birahi kembali dan positif bunting. Secara teoritis (Toelihere, 1993) menyatakan bahwa tidak semua ternak yang bunting tidak menunjukkan birahi artinya terdapat 3-5 % ternak betina dapat memperlihatkan birahi sekalipun dalam keadaan bunting.

  Hasil Uji t-studen menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), atau perlakuan semen beku dan semen cair terhadap nilai NRR. Namun kalau dilihat dari tabel 4 di atas terdapat perbadaan perlakuan semen beku dan semen cair yaitu sebesar 3 ekor atau 15% yang kembali birahi (11 ekor : 8 ekor). NRR hasil pengamatan jika dibandingkan dengan penelitian lain masih sangat rendah penelitian terdahulu. Sitorus (1973) nilai NRR 63% pada sapi perah yang diinseminasi dengan semen beku inport; NRR 75% pada sapi potong (Sitorus dkk, 1975); Robert (1971) dalam Toelihere (1985), di Amerika Serikat Nilai NRR mencapai rata-rata 65-72%. Hal ini disebabkan oleh bangsa sapi yang digunakan, kondisi pada saat penelitian dan manajeman pemeliharaan ternak terutama pengamatan birahi yang mengandalkan peternak.

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

ANGKA KEBUNTINGAN TERNAK SAPI BALI YANG DIINSEMINASI DENGAN SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR

  Salah satu teknik penentuan fertilitas dalam mendapatkan informasi tentang keberhasilan dari kegiatan inseminasi adalah angka konsepsi (Conseption Rate) yaitu persentasi sapi betina yang bunting pada IB pertama melalui palpasi perektal dibagi dengan jumlah seluruh ternak yang diinseminasi dikali 100 persen.

  Untuk mengetahui seekor sapi betina bunting atau dapat dilakukan palpasi rektal. Setelah diinseminasi selama 60 hari selanjutnya baru dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan. Untuk mengetahui angka kebuntingan dari masing-masing sapi betina dapat dilihat pada tabel berikut.

  Tabel 3. Angka Kebuntingan (Conception Rate) Sapi Betina Akseptor.

  Perlakuan Jumlah Ternak Hasil PKB per Rektal CR Akseptor (%)

  Tidak Bunting Bunting Semen Beku

  20

  11

  9

  45 Semen Cair

  20

  7

  13

  65 Jumlah

  40

  18

  22 Mencermati hasil yang diperlihatkan pada tabel 3 tampak bahwa penggunaan semen cair dalam kegiatan inseminasi buatan memperlihatkan angka kebuntingan yang lebih tinggi sebesar 65% (13 ekor yang menjadi bunting). Sedangkan pada perlakuan dengan semen cair hanya 45% (9 ekor yang menjadi bunting) dan secara keseluruhan 22 ekor dari 40 ekor (55%) menjadi bunting dan ada 18 ekor dari 40 ekor (45%) yang tidak bunting.

  Hasil Uji t-student menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) antara perlakuan semen beku dan semen cair. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa selisih semen beku dan semen cair yaitu 4 ekor atau 20% dimana angka kebuntingan yang tinggi diperlihatkan ternak-ternak yang diinseminasi dengan semen cair dari pada ternak-ternak yang diinseminasi dengan semen beku. Hal ini disebabkan oleh dua hal mendasar yakni 1) dosis semen cair yang digunakan adalah 0,5 cc sedangkan dosis semen beku 0,25 cc. 2) konsentrasi spermatozoa per dosis IB untuk semen beku seperti

  Media Exacta Volume 11 No.1 Januari 2011

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

  yang dikemukakan dalam Toelihere (1993) adalah sebesar 12 juta spermatozoa sehingga jika motilitasnya sebesar ≥ 40%, maka masih ada sekitar 5 juta spermatozoa yang motil saat dinseminasi sedangkan semen cair yang digunakan adalah semen yang disimpan lebih dari satu hari setelah pengenceran dengan motilitas 70% dan masih terdapat 10-12 juta spermatozoa. Semen cair yang digunakan untuk inseminasi ternak sapi masih berada dalam kisaran waktu yang tidak lebih dari 3 hari setelah diencerkan dan disimpan pada suhu 3-5 C (Tabun, 2004), dan dosis semen cair sebanyak 0,50 cc serta konsentrasi spermatozoa di atas 6 juta spermatozoa merupakan faktor penyebab tingginya angka kebuntingan.

  Angka kebuntingan pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu masih sangat rendah. Beli (1991) yang menggunakan semen beku dengan angka CR sebesar 62,28% (Doke, 1996). Sedangkan angka kebuntingan ternak dengan menggunakan semen cair masih lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nesimnasi (1994), yang mengunakan semen cair dengan CR 47,64% dan Kune, dkk (2000) CR sebesar 41%. Hal ini mungkin disebabkan oleh bangsa ternak sapi yang digunakan, kondisi ternak dan dukungan lingkungan saat penelitian serta manajemen pemeliharaan ternak. Kesuburan atau kemampuan berproduksi pada sekelompok ternak ditentukan oleh banyaknya ternak betina yang menjadi bunting atau melahirkan anak, (Salisbury dan Van Demark, 1985), fertilitas atau efisiensi reproduksi ternak sangat tergantung pada kesuburan ternak betina dan kesuburan ternak jantan.

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

  SIMPULAN

  Untuk mengatasi distibusi ketersediaan semen beku dan nitrogen cair dalam menunjang penerapan teknologi inseminasi buatan maka semen cair dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam perbaikan mutu genetik ternak dengan angka NRR sebesar 60% dan CR sebesar 65%.

  Media Exacta Volume 11 No.1 Januari 2011

  dengan Semen Beku dan Semen Cair Sapi Simmental di Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kpang

DAFTAR RUJUKAN

  Belli, H. L.L., 1991. Pengaruh Berbagai Dosis dan Cara Pemberian ProstaglandinF terhadap performans reproduksi sapi bali. Tesis Program Pasca sarjana IPB.

  Bogor. Kune, P., T Matahine dan S Doke., 2000. Produksi dan pemanfaatan Semen Cair

  Pejantan Unggul dalam Meningkatkan Produktivitas sapi bali melalui teknologi Inseminasi Buatan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Laporan IPTEK Lembaga pengabdian Pada Masyarakat Undana Kupang.

  Nesimnasi, N. 1994. Pengaruh Lama penyimpanan Semen cair terhadap angka kebuntingan pada sapi bali di Besipae TTS Salisbury, G.W., N.L. Van Demark dan R. Januar. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sitorus, P dan S.B. Siregar, 1973. Tinjauan Perkembangan Pelaksanaan AI di Pulau

  Jawa. Lembaga Penelitian Peternakan No.2 1-12 Sitorus, P. A Muljadi, Subandrio, L.H. Prasetyo, S.N. Tambing, S. Semali, N. Jarmani dan S. B Siregar,. 1994. Studi tentang peranan inseminasi buatan dalam upaya peningkatan produktifitas dan pengembangan ternak sapi. Pusat Penelitian dan pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian Bogor. Tabun. A. 2004. Daya tahan hidup dan motilitas spermatozoa sapi simmental dalam pengencer sitrat kuning telur bergliserol pada suhu penyimpanan berbeda. Skripsi. Fapet Undana. Toelihere, M. R., 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa Bandung.