Analisis Semiotik Pesan Moral Terhadap Film Confucius (孔子)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA,KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat setelah menyelidiki,
mempelajari dan sebagainya(KBBI,2008). Sedangkan pustaka adalah buku; kitab;
kumpulan buku bacaan dan sebagainya.(KBBI,2008). Tinjauan pustaka berfungsi
untuk mengetahui keaslian karya ilmiah. Oleh karena itu, ada beberapa tinjauan
pustaka yang menginspirasi penulis dari beberapa skripsi-skripsi yang terdahulu
di antaranya :
Ikhwanuddin Nasution, tahun 2010, Universitas Sumatera Utara, yang
melakukan penelitian dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra “Logat”, Volume IV,
No.2 dengan judul “ Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra : Suatu Proses
Komunikasi” yang dipaparkan dalam penelitian ini bahwa kode semiotika dalam
sastra yang dapat di pahami dengan menggunakan model semiotik yang sama
yaitu model semiotik Roland Barthes. Akan tetapi penelitian ini lebih terfokus
pada proses komunikasi antar pengarang, teks, dan pembaca.
Hani Taqiyya, tahun 2011, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
pada skripsinya yang berjudul “Analisis Semiotik terhadap Film In The Name Of
God“ yang melakukan penelitian terhadap film menggunakan pisau analisis
semiotik yaitu analisis semiotik Roland Barthes. Akan tetapi, penelitian ini lebih

mengarah kepada konsep yang sangat terkhusus yaitu konsep jihad dalam islam.

Penelitian ini sama-sama menggunakan potongan gambar dalam film untuk
mengetahui kode semiotik yang ada di dalam film.
Yoyon Mudjiono, tahun 2011, Universitas Islam Negeri Surabaya, dalam
jurnal Ilmu Komunikasi Vol.1 No.1 yang berjudul “Kajian Semiotik dalam Film”
yang menggunakan semiotik yang sama. Akan tetapi, jurnal ini lebih memaparkan
defenisi dari film dan bagian-bagian film. Jurnal ini memaparkan bahwa film
sebaiknya dinilai dari segi artistic bukan secara rasional saja, sebab jika hanya
dinilai secara rasional, sebuah film artistik boleh jadi tidak berharga karena tidak
mempunyai maksud dan makna tertentu.
Taufan Saputra, tahun 2014, Universitas Mulawarman, dalam eJournal Ilmu
Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 273-286 yang berjudul “Representasi
Analisis Semiotik Pesan moral dalam Film 2012 Karya Roland Emmrich” yang
menggunakan semiotik yang sama. Akan tetapi, penelitian ini bertujuan untuk
merepresentasikan analisis Semiotik pesan moral dalam film 2012 karya Roland
Emmrich. Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian model
Roland Barthes yang di mana pada scene-scene dalam film 2012 yang terdapat
makna pesan moral positif diambil dengan mendenotasikan makna dari pesan
serta makna konotasi dari makna sesungguhnya.

Dianita Dyah Makrufi, tahun 2013, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
dalam skripsinya yang berjudul “Pesan Moral Islami dalam Film Sang Pencerah”
yang memaparkan penggunaan teori semiotik yang sama yaitu semiotik Roland
Barthes. Pada skripsi ini juga mengambil pesan moral dari sebuah film yang
menceritakan sosok seorang tokoh khususnya tokoh Islami.

Johanes Ginting, tahun 2011, Universitas Sumatera Utara, dalam skripsinya
yang berjudul “Analisis Semiotika Eksploitasi Anak dalam Sinetron Buku Harian
Baim” menjelaskan bahwa analisis semiotik yang mencari sebuah tanda dalam
suatu karya maupun budaya dapat dipahami dengan benar. Akan tetapi, skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui peran seorang anak yang seharusnya bermain
selayaknya anak di bawah umur pada umumnya dengan anak yang sudah bekerja
sebagai seorang profesional melalui sinetron tersebut yang saling berhubungan.

2.2 Konsep
Dalam konsep akan dipaparkan variabel-variabel yang terdapat dalam judul
penelitian.

2.2.1 Tinjauan Umum Film
Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya,

film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil
pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang
untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888
ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang
asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara
memberikan pertunjukkan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris
(Danesi, 2010: 132).

Film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi untuk
menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan,
kemudian tulisan, dan kini muncul satu medium lagi dengan gambar bergerak,
yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Dari sini lah kita dapat mengatakan
bahwa film sebagai representasi dunia nyata. Film dibuat representasinya oleh
pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap masyarakat,
melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan menyingkirkan
yang tidak perlu, serta merekonstruksi hal yang dimulai saat menulis skenario
hingga film selesai dibuat. Meski demikian, realitas yang tampil dalam film
bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata yang
merupakan hasil karya seni, dimana di dalamnya di warnai dengan nilai estetis
dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi.

Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang
menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah
dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu,
bagaimana makna itu digambarkan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana
ia ditampilkan.
Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra
fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan
nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas
bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam
genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan
melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat
interpretant (Danesi, 2010: 134).

2.2.1.1 Jenis-Jenis Film
Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau
kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi,
penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Film Fitur
Film fitur merupakan karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi,

yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap pra-produksi merupakan periode ketika
skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita
pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan
lainnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film
berdasarkan skenario itu. Tahap terakhir, post-produksi (editing) ketika semua
bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita,
disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.
2. Film Dokumenter
Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi
kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan
pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada
kamera atau pewawancara.

3. Film Animasi
Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari
serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari
animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan
storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari
cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar
belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya.


2.2.1.2 Unsur-Unsur Pembentuk Film
Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur
naratif dan unsur sinematik, yaitu:
1) Unsur Naratif
Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal
ini unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu adalah elemenelemennya.
2) Unsur Sinematik
Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film.
Terdiri dari : (a) Mise en scene yang memiliki empat elemen pokok: setting atau
latar, tata cahaya, kostum, dan make-up, (b) Sinematografi, (c) editing, yaitu

transisi sebuah gambar (shot) ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala hal
dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran 1.

2.2.1.3 Struktur Film
Adapun struktur yang terdapat dalam film adalah sebagai berikut :
1) Shot
Shot adalah satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang
hanya direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan

mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.
2) Scene
Scene adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang
memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi
(cerita), tema, karakter, atau motif. Satu scene umumnya terdiri dari beberapa shot
yang saling berhubungan.
3) Sequence
Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa
yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa scene yang saling
berhubungan.

1

Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009), h.1-2.

4. Sinematografi
Sinematografi adalah perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya.
Unsur sinematografi secara umum dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan
film, framing, serta durasi gambar. Untuk kebutuhan penulisan ini, framing yang
merupakan hubungan kamera dengan obyek yang akan dijadikan fokus dalam

penulisan ini.
5. Jarak
Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap obyek dalam
frame. Secara umum, dimensi jarak kamera terhadap obyek ini dikelompokkan
menjadi tujuh, seperti ilustrasi berikut :

Gambar 1
Ilustrasi Jarak Kamera
1) Extreme Long Shot
Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari
obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya
menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas.

2) Long Shot
Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar
belakang masih dominan. Long shot seringkali digunakan sebagai
establishing shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang
berjarak lebih dekat.
Secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika: mengikuti
area yang lebar atau ketika scene berjalan cepat, menunjukkan dimana scene

berada atau menunjukkan tempat, juga menunjukkan progress.

3) Medium Long Shot
Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas.

Tubuh fisik manusia dan lingkungan relatif seimbang. Sehingga semua
terlihat netral.

4) Medium Shot
Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas.
Gesture serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan
dalam frame.

5) Medium Close-up
Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok
tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan.

Seperti digunakan dalam scene percakapan normal.

6) Close-up

Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, dan kaki, atau obyek kecil
lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas
serta gesture yang mendetail. Efek close up biasanya akan terkesan gambar
lebih cepat, mendominasi menekan. Ada makna estetis, ada juga makna
psikologis.

7) Extreme Close-up
Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian
dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari
sebuah objek.
8) Sudut Kamera (Angle)
Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap obyek yang berada
dalam frame. Secara umum, sudut kamera dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

Gambar 2
Ilustrasi Sudut Kamera

1)

Low angle

Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah

dari objek akan mengakibatkan objek lebih superior, dominan, dan
terlihat menekan.

2)

High angle
Kebalikan dari low angle, high angle akan mengakibatkan dampak

sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan.

3)

Eye level
Sudut pengambilan gambar, subjek sejajar dengan lensa kamera.

Ini merupakan sudut pengambilan normal, sehingga subjek kelihatan netral,
tidak ada intervensi khusus pada subjek.

2.2.2 Tinjauan Umum Moral
Moral berasal dari kata Latin Mos jamaknya mores yang berarti cara hidup
atau kebiasaan 2. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari
ada sedikit perbedaan. Moral dan/atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan arti susila.
Adapun pengertian moral yang paling umum adalah tindakan manusia yang sesuai
2

Moekijat, Asas-Asas Etika, (Bandung: Mandar Maju,1995),h.44.

dengan ide-ide yang diterima umum, yaitu berkaitan dengan makna yang baik dan
wajar. Dengan kata lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan
ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau
lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya
perbuatan manusia sebagai manusia.
Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik disebut sebagai orang
yang tidak bermoral atau kurang bermoral (Purwa, 1992: 13-22). Moral dapat
disamakan dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi 3.

Surajiyo (2005: 89) mengatakan bahwa ajaran moral adalah
ajaran, wejangan, khotbah, atau peraturan, apakah lisan maupun
tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar menjadi manusia yang baik.

Dari pengertian moral di atas, dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu
keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang sesuai dengan kesepakatan
sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan
dengan benar salah, baik buruk, keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan sosial.
2.2.3 Tinjauan Umum Mitos
Mitos adalah suatu cerita tradisional mengenai peristiwa gaib dan kehidupan
dewa-dewa. Istilah mitos (mythos) berasal dari bahasa Latin yang artinya adalah
“perkataan” atau “cerita”. Orang pertama yang memperkenalkan istilah mitos
adalah Plato. Plato memakai istilah “muthologia”, yang artinya menceritakan

3

Moekijat, Asas-Asas Etika, (Bandung: Mandar Maju,1995),h.46.

cerita. Dalam KBBI, dijelaskan bahwa mitos adalah cerita suatu bangsa tentang
asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri.
Fiske (dalam Wibowo, 2011: 17) menyatakan bahwa mitos
adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas dan gejala alam. Mitos
merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu
dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati,
manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya
mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan
kesuksesan.

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi terwujud. Mitos dapat
berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuankesatuan budaya.

2.3 Landasan Teori
Dalam sebuah penelitian dibutuhkan teori yang menjadi landasan teori.
Dalam penelitian ini diterapkan pisau analisis semiotik yang dikembangkan oleh
Roland Barthes.

2.3.1 Pengertian Umum Semiotik
Istilah semeiotics (dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates
(Danesi,2010: 7), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala

menurut Hippocrates merupakan semeion bahasa Yunani untuk penunjuk (mark)
atau tanda (sign) fisik.
Semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda dan
simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa
diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut
membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau
pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.

Saussure (dalam Sobur 2004: 12) mendefinisikan semiologi
sebagai sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di
tengah masyarakat, dan, dengan demikian menjadi bagian dari
disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan
bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah yang
mengaturnya.

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik atau semiologi
adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Tanda pada dasarnya
akan mengisyaratkan suatu makna yang dapat dipahami oleh manusia yang
menggunakannya. Bagaimana manusia menangkap sebuah makna tergantung
pada bagaimana manusia mengasosiasikan objek atau ide dengan tanda. Hal ini
selaras dengan pendapat Charles Sander Pierce (dalam Sobur, 2003:15) bahwa
semiotik sebagai “a relationship a many sign, an object, and a meaning…” suatu
hubungan diantara tanda, objek, dan makna.

2.3.2 Tanda-Tanda Dalam Semiotik
Para ahli menempatkan sistem tanda dan makna sebagai gagasan pokok
dalam semiotik.
Semiotik, menurut John Fiske mempunyai tiga bidang studi utama :
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan
makna, dan cara

tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang

menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup
berbagai kode dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan suatu
masyarakat

atau

budaya

atau

untuk

mengeksploitasi

selama

komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaa kode-kode dan tanda itu untuk keberadaan
dan bentuknya sendiri.
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa dipersepsi indra kita.
Tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda tersebut dan bergantung pada
pengamatan oleh penggunanya sehingga dapat dikatakan sebagai tanda.
Pierce (dalam Fiske 1990: 62) melihat tanda, acuan, dan penggunaannya
sebagai tiga titik dalam segitiga. Sedangkan Saussure mengatakan bahwa tanda
terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang terkait. Konsep ini merupakan
pemahaman atas realitas eksternal. Pierce juga menyebut tanda sebagai
representamen; bentuk fisik, konsep benda, dan gagasan diacunya sebagai objek.

Makna yang diperoleh dari sebuah tanda diistilahkan sebagai interpretan. Hal
yang dirujuk oleh tanda, secara logis dikenal sebagai referen (objek atau petanda).
Ada dua jenis referen: (1) referen konkrit, adalah referen yang dapat ditunjukkan
hadir di dunia nyata, misalnya cat (kucing) dapat diindikasikan dengan menunjuk
seekor kucing, dan (2) referen abstrak, yaitu referen yang bersifat imajiner dan
tidak dapat diindikasikan hanya dengan menunjuk pada suatu benda, salah satu
caranya adalah dengan membongkar akar-akar budaya dari setiap komponen
tandanya.
Pierce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menujukkan
hubugan yang berbeda di antara tanda dan objeknya atau apa yang diacunya,
yaitu :
1) Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang
ditandainya, misalnya foto atau peta.
2) Indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Ia merupakan
tanda yang hubungan eksistensionalnya langsung dengan objeknya.
Misalnya, asap adalah indeks api dan bersin adalah indeks flu.
3) Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya
berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan kata-kata umumnya
adalah simbol. Palang merah adalah simbol dan angka adalah simbol.
Ikonitas melimpah ruah dalam semua wilayah representasi manusia. Foto,
potret, peta, angka Romawi seperti I, II, dan III adalah wujud ikonis yang
dirancang atau diciptakan agar mirip dengan sumber acuannya secara visual. Ikon
juga memiliki fungsi sosial dalam cakupan yang sangat luas. Misalnya ditemukan
pada poster, pintu kamar mandi sebagai indikasi “pria” dan “wanita, dan

sebagainya. Ikon membuktikan bahwa persepsi manusia sangatlah tinggi terhadap
pola-pola berulang dalam warna, bentuk, dimensi, gerakan, bunyi, rasa, dan
seterusnya. Sementara indeks membuktikan bahwa manusia juga memperhatikan
pola berulang dalam hubungan serta sebab-akibat yang tidak pasti dalam waktu
dan ruang.
Ada tiga jenis dasar indeks, yaitu:
1. Indeks ruang, yang mengacu pada lokasi spasial sebuah benda, makhluk,
dan peristiwa dalam hubungannya dengan pengguna tanda. Tanda yang
dibuat dengan tangan seperti jari yang menunjuk, figure seperti anak
panah.
2. Indeks Temporal, indeks ini menghubungkan benda-benda dari segi waktu,
kata keterangan seperti sebelum, sesudah, sekarang, tanggal di kalender.
3. Indeks Persona. Indeks ini saling menghubungkan pihak-pihak yang ambil
bagian dalam sebuah situasi, kata ganti seperti aku, kau, atau ia. Sementara
simbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional yang
dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran berupa tradisi
historis.

2.3.3 Representasi dalam Semiotik
Dalam kajian semiotik modern, istilah representasi menjadi suatu hal yang
penting. Karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi, dan
lain-lain) untuk menggabungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi
sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik

tertentu. Dengan kata lain, representasi juga merupakan sebuah proses bagaimana
sebuah referen mendapatkan bentuk tertentu dengan tanda-tanda.
Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep
abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi,
beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan
budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam
proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain,
ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media
berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari.

2.3.4 Model-Model dalam Semiotik
Analisis dalam semiotik bertujuan untuk menemukan makna tanda termasuk
hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Model-model
dalam semiotik mengacu pada proses komunikasi.
Fiske (dalam Suprapto,2011: 94) menyebutnya sebagai “modelmodel struktural”, di mana setiap anak panah menunjukkan
relasi di antara unsur-unsur penciptaan makna. Model sruktural
ini tidak mengasumsikan adanya serangkaian tahap atau langkah
yang dilalui pesan, melainkan lebih memusatkan perhatian pada
analisis serangkaian relasi terstruktur yang memungkinkan
sebuah pesan menandai sesuatu.

Dari terminologi di atas, penulis dapat mengasosiasikan bahwa untuk
menemukan makna tersebut, dibutuhkan sebuah model. Ada dua model makna
yang sangat berpengaruh. Pertama, model dari filsuf dan ahli logika yaitu CS

Pierce. Kedua, model dari ahli linguistik Ferdinand de Saussere. Namun, dalam
penulisan ini kedua model tersebut tidak akan dibahas begitu mendalam, karena
penulis akan menggunakan model semiotik Roland Barthes, yang merupakan
penerus pemikiran Saussure.
Seperti telah disebutkan sebelumnya Pierce telah mengungkapkan tiga
elemen semiotik yang utama, yaitu tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda
(interpretant). Tiga elemen ini disebut Pierce sebagai teori segitiga makna atau
triangle of meaning (Fiske, dalam Sobur, 2012: 115). Sehingga persoalannya
adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan
orang pada waktu berkomunikasi.

Hubungan ketiga elemen ini digambarkan Pierce sebagai berikut:

Interpretant

Representanment ................................................... Object
Gambar 3
Model Semiotik Pierce

Gambar di atas menunjukkan panah dua arah yang menekankan bahwa
masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain.

Sebuah tanda yang salah satu bentuknya adalah kata, mengacu kepada sesuatu di
luar dirinya sendiri objek dan ini dipahami oleh seseorang serta ini memiliki efek
dibenak penggunanya. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak
seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda
tersebut.

Sementara itu Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi
manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut dengan signifier
(penanda) dan signified (petanda). Jadi, ide sentral dalam semiotik adalah
konsepsi khusus (particular) dari struktur sebuah tanda (sign) yang didefinisikan
sebagai ikatan antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified).
Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek
material), yakni apa yang dikatakan, ditulis, dan dibaca. Sedangkan signified
adalah gambaran mental dari bahasa. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri
dari atas signifier dan signified sebagai berikut:

Gambar 4
Model Semiotik Saussure, Sumber: McQuail, 2000: 31228

Hubungan antara penanda dan petanda tersebut adalah produk kultural.
Hubungan diantara keduanya bersifat arbiter dan hanya berdasarkan konvensi,
kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut.
Berdasarkan model pemaknaan ini, petanda-petanda merupakan konsep
mental yang kita gunakan untuk membagi realitas dan mengkategorikannya
sehingga kita dapat memahami realitas tersebut. Petanda dibuat oleh manusia dan
ditentukan oleh kultur atau subkultur yang dimiliki manusia tersebut.

2.3.5 Model Semiotik Roland Barthes
Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar
kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit,
tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan
perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative)
(Sobur, 2004: 126-127).
Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan semiotik pada
dua makna tersebut adalah Roland Barthes. Ia adalah pakar semiotik Prancis yang
pada tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan
budaya pop menggunakan semiotik sebagai alat teoretisnya. Struktur makna yang
terbangun di dalam produk dan genre media diturunkan dari mitos-mitos kuno,
dan berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama
dengan signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual
keagamaan.
Dalam terminologi Barthes, jenis budaya populer apapun dapat diurai
kodenya dengan membaca tanda-tanda di dalam teks.Tanda-tanda tersebut adalah
hak otonom pembacanya atau penonton. Saat sebuah karya selesai dibuat, makna
yang dikandung karya itu bukan lagi miliknya, melainkan milik pembaca atau
penontonnya untuk menginterpretasikannya begitu rupa.
Representasi menurut Barthes (dalam Danesi, 2010: 28) menunjukkan
bahwa pembentukan makna tersebut mencakup sistem tanda menyeluruh yang
mendaur ulang berbagai makna yang tertanam dalam-dalam di budaya Barat

misalnya, dan menyelewengkannya ke tujuan-tujuan komersil. Hal ini kemudian
disebut sebagai struktur.
Dalam semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna
denotasi, konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan
sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan
jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak
/ lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi
juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes
menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan
tertentu sebagai penciptaan mitos.
Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two Order
of Signification” (Signifikansi Dua Tahap).

Gambar 5
Signifikansi Dua Tahap Barthes

Melalui gambar di atas, Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan
signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di
dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikansi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada
signifikansi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos
(Sobur, 2006: 127-128).


Makna Denotasi:
Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan
sebagainya. Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna
denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi
adalah sistem signifikansi tahap pertama.



Makna Konotasi:
Makna yang memiliki sejarah budaya di belakangnya yaitu bahwa ia hanya
bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi
adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif
seperti puisi, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni.



Mitos:
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang
disebut dengan mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam
suatu periode tertentu (Sobur, 2004: 71), jadi mitos memiliki tugasnya

untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan
membuat kemungkinan tampak abadi (Barthes, 2009: 208).
Mitos oleh Barthes (dalam disebut sebagai tipe wicara), ia juga menegaskan
bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal
ini memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tidak bisa menjadi
sebuah objek, konsep, atau ide. Mitos adalah cara penandaan (signification),
sebuah bentuk. Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah
wacana.
Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola tiga dimensi yang disebut
Barthes sebagai penanda, petanda, dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda
Barthes yang dikutip dari buku Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur:
Tabel 2.3.5
Peta Tanda Barthes
1) Signifier

2) Signified

(Penanda)

(Petanda)

1) Denotative sign (Tanda Denotasi)
2) Connotative

Signifier

(Penanda

3) Connotative
Signified

Konotatif)

(Petanda
Konotatif)
4)

Connotative Sign ( Tanda Konotatif)

Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2).Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika anda mengenal tanda “angsa” barulah konotasi seperti
kesetiaan, ketulusan, dan kesucian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes,
tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.