MAKALAH MUAMALAH FIQIH Jual beli Qirad (1)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai bagian dari hukum Islam yang mana merupakan suatu prinsip yang sangat besar
dan terdapat pijakan berupa keadilan dalam memperhatikan kemaslahatan manusia
seluruhnya. Berdasarkan prinsip-prinsip agung yang diuraikan dalam buku ini, dapat
diketahui bahwa muamalah dalam jual beli tidak dapat dikeluarkan dari mubah kepada haram
kecuali jika ada sesuatu yang diperingatkan, misalnya karena menjurus kepadaakedzaliman
terhadap salah satu pihak, berupa riba, kedustaan, penipuan, dengan berbagai ragamnya,
ketidak tahuan dan pengecohan dengan segala jenisnya. Semua itu adalah contoh kedzaliman
terhadap salah satu pihak.
Uraian dalam makalah ini hanyalah sekedar mengantarkan pada pemahaman pembaca
dan sebagai alat bantu dalam memudahkan pembaca dalam mendapatkan suatu informasi dan
referensi baru terkait permasalahan tentang mualah baik itu yang nantinya dapat
berhubungan dengan jual beli, qiradh ataupun riba.
B. Rumusan Masalah
1. Apa ruang lingkup dari muamalah yang berhubungan dengan jual beli?
2. Bagaimana gambaran tentang qiradh dalam kehidupan sehari-hari?
3. Apa saja bentuk perbuatan riba terkait dalam transaksi jual beli?
C. Tujuan

1. Dapat mengetahui ruang lingkup tentang muamalah yang berhubungan dengan jual
beli.
2. Dapat memahami gambaran nyata tentang qiradh dalam kehidupan sehari-hari.
3. Dapat memahami tentang bentuk perbuatan riba yang terkait dalam transaksi jual beli.

BAB II
1

PEMBAHASAN

A. Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli berasal dari lafadz

‫ع‬
‫بيي يوو ع‬

jama’ dari lafadz

‫ببي وعع‬


yang menurut bahasa yaitu

suatu bentuk akad penyerahanatau menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain
Adapun Jual beli menurut syara’ yaitu memiliki suatu harta dengan mengganti sesuatu
atas dasar izin syara’ atau sekedar memiliki manfaatnya saja dengan diperbolehkannya syara’
dengan melelui pembayaran yang berupa uang atau yang sejenisnya.1

‫يمبقا ببل بية ال شبشويءء ءبال شبشويءء‬
Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)”.
Oleh sebab itu, sebagian ulama mendefinisikan jual beli secara syar’i sebagai akad yang
mengandung sifat menukar satu harta dengan harta yang lain dengan cara khusus. Bantahan
ini kemudian dijawab, sebenarnya definisi jual beli adalah akad yang mempunyai saling
menukar yaitu dengan cara menghilangkan mudhaf (kata sandaran). 2
Karena jual beli merupakan kebutuhan doruri dalam kehidupan manusia, artinya
manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli, maka Islam menetapkan kebolehannya
sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadist.

2. Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Jual Beli


1 Terjemah Fathul Qorib,hlm. 334.
2 Fiqih Muamalat sistem transaksi dalam fiqh Islam, hlm. 25.

2

Jual beli telah disahkan dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ umat. Yang dalam hal ini
sebagaimana yang terdapat dalam dalil Al-Qur’an yang berbunyi:

     
Artinya:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al-Baqarah:
2:275).
Dalam dalil diatas mengindikasikan bahwasannya allah telalh menghalalkan segala
bentuk transaksi jual beli apapun dengan syarat jual beli tersebut haruslah sesuai dengan
ketentuan syara’ yang dalam hal ini juga terdapat dalam firman allah yang berbunyi:

…….   
Artinya:
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”. (Q.S Al-Baqarah:282).
Adapun Dalil Sunnah diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah

s.a.w. beliau bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridla”. Ketika ditanya
tentang usaha apa yang paling utama, Nabi menjawab: “usaha seseorang dengan tangannya
sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur”. 3

3. Rukun Jual Beli
Rukun jual beli terbagi menjadi tiga yaitu: adanya kedua belah pihak yang berakad
(aqidan), yang diakadkan (ma’qud ‘alaih) dan shighat (lafal). Oleh sebab itu, ada yang
mengatakan penamaan pihak yang berakad sebagai rukun bukan secara hakiki tetapi secara
3 Fiqih Muamalat sistem transaksi dalam fiqh Islam, hlm.27.

3

istilah saja, karena ia bukan bagian dari barang yang dijual-belikan yang didapati diluar,
sebab akan terjadi dari luar jika terpenuhi dua hal yaitu shighat yang berarti ijab dan qabul.4
Rukun jual beli menurut Fuqaha Hanafiyah adalah ijab dan qabul yang menunjuk
kepada saling menukarkan atau dalam bentuk lain yang dapat menggantikannya, seperti pada
kasus ta’athi.
Sedangkan menurut Jumhur Fuqaha rukun jual beli ada empat: pihak penjual, pihak
pembeli, sighat jual beli dan obyek jual beli.5
4. Syarat Jual Beli

a. Menurut ulama Hanafiyah
 Syarat terjadinya akad (in’iqad)
 Syarat aqid (orang yang akad)
- Berakal dan mumayyiz
- Aqid harus berbilang atau minimal dapat dilakukan dua orang.
 Syarat dalam akad
- Ahli akad
- Qabul harus sesuai dengan ijab
- Ijab dan qabul harus bersatu
 Tempat akad
Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.
 Ma’qud alaih (obyek akad)
- Ma’qud alaih harus ada
- Harta harus ada, tetap dan bernilai, yakni benda yang dimanfaatkan dan
disimpan
- Benda tersebut milik sendiri
- Dapat diserahkan
 Syarat pelaksanaan akad (nafadz)
 Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad
 Pada benda tidak terdapat milik orang lain

 Syarat sah akad
 Syarat umum
Segala bentuk jual beli yang didalamnya terhindar dari kecacatan jual beli,
yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu (tauqit), penipuan
(gharar), kemadaratan, dan persyaratan yang merusak lainnya.


Syarat Khusus

4 Fiqih muamalat sistem transaksi dalam fiqh Islam, hlm. 28.
5 Fiqih muamalah kontekstual, hlm120-121.

4

- Barang yang diperjual belikan harus dapat dipegang
- Harga awal harus diketahui
- Serah terima benda harus dilakukan sebelum berpisah
- Terpenuhi syarat penerimaan
- Harus seimbang dalam urusan timbangan
- Barang yang diperjual belikan sudah menjadi tanggung jawabnya.

 Syarat lujum (kemestian)
Menurut Fuqaha Malikiyah terdapat tiga macam syarat jual beli: berkaitan dengan ‘aqid,
berkaitan dengan shighat dan syarat yang berkaitan dengan akad jual beli.
a. Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid: (a) mumayyiz, (b) cakap hukum, (3) berakal
sehat, (d) pemilik barang.
b. Syarat yang berkaitan dengan shighat: (a) dilaksaanakaan dalama satu majelis, (b)
antara ijab dan qabul tidak terputus.
c. Syarat yang berkaitan dengan obyeknya: (a) tidak dilarang oleh syara’, (b) suci, (c)
bermanfaat, (d) diketahui oleh ‘aqid, (e) dapat diserahterimakan.

Sedangkan syarat jual beli menurut Madzhab Syafi’iyah antara lain:
a. Syarat aqid
- Dewasa atau sadar
- Tidak dipaksa atau tanpa hak
- Islam
- Pembeli bukan musuh
b. Syarat Shighat
- Berhadap-hadapan
- Ditujukan apada seluruh badan yang akad
- Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab

- Harus menyebutkan barang atau harga
- Ketika mengucapkan sighat harus disertai niat
- Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
- Ijab qabul tidak terpisah
- Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
- Tidak berubah lafadz
- Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
- Tidak dikaitkan dengan sesuatu
- Tidak dikaitkan dengan waktu
c. Syarat Ma’qud ‘Alaih/ yang berkaitan dengan obyek jual beli.
5

-

Harus suci.
Dapat diserah-terimakan
Dapat dimanfaatkan secara syara’
Hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya.
Berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.


Sedangkan Syarat jual beli menurut Madzhab Hanbali yaitu:
a. Syarat Aqid
- Dewasa
- Ada keridaan
b. Syarat Shighat
- Berada ditempat yang sama
- Tidak terpisah
- Tidak dikaitkan dengan sesuatu
c. Syarat Ma’qud Alaih
- Harus berupa harta
- Milik penjual secara sempurna
- Barang dapat diserahkan ketika akad
- Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
- Harga diketahui oleh kedua belah pihak yang akad
- Terhindar dari unsure-unsur yang menjadikan akad tidak sah.6
5. Hukum dan Sifat Jual Beli
Terdapat lima hukum yang terdapat dalam akad jual beli yaitu:
Jual beli bisa menjadi wajib ketika dalam keadaan mendesak, bisa menjadi mandub
pada waktu harga mahal, bisa menjadi makruh seperti menjual mushaf. Berbeda dengan
Imam Al-Ghazali, bisa juga menjadi haram jika menjual anggur kepada orang yang biasa

membuat arak, atau kurma basah kepada orang yang biasa membuat minuman arak walaupun
si pembeli dalah orang kafir dan selain yang diatas hukumnya boleh.
Jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu jual beli yang dikategorikan
sah (shahih) dan jual beli yang dikategorikan tidak sah.
Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’ baik rukun maupun
syaratnya, sedangkan jual beli tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu
syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Adapun ulama hanafiah
membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal dan rusak.
6 Fiqih muamalah, hlm. 76-84.

6

Jual beli Sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat hukumnya, sesuatu
yang diperjual-belikan menjadi milik yang melakukan akad.
Jual beli batal adalah jual beli y ang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang tidak
sesuai dengan syariat yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan
orang gila dan anak kecil.
Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi
tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang
mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.

6. Macam-macam Jual Beli
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam yaitu:
a.
b.
c.
d.

Jual beli saham (pesanan)
Jual beli muqayyadah (barter)
Jual beli muthlaq yang telah disepakati, misanya berupa uang dan lain-lain.
Jual beli alat penukar dengan alat penukar, misalnya uang perak dengan uang emas.

Jual beli berdasarkan segi harga terbagi menjadi empat yaitu:
a.
b.
c.
d.

Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah)
Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah)
Jual beli rugi (al-khasarah)
Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua

orang yang akad saling meridlai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.7
7. Larangan Jual Beli Dalam Islam
a. Terlarang sebab ahliah (ahli akad)
 Jual beli orang gila
 Jual beli anak kecil
 Jual beli orang buta
 Jual beli terpaksa
 Jual beli fudhul (jual beli milik orang tanpa seizinnya)
 Jual beli orang yang terhalang
 Jual beli malja’ (jual beli orang yang sedang dalam bahaya untuk menghindar
dari perbuatan dzalim).
b. Terlarang sebab sighat

7 Fiqih Muamalah, hlm 101-102.

7



Jual beli mu’athah (jual beli yang disepakati oleh pihak akad tapi tidak







memakai I jab qabul)
Jual beli memlalui surat atau utusan
Jual beli memlalui isyarat atau tulisan
Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad
Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Jual beli munjiz (dikaitkan dengan suatu syarat/ ditangguhkan pada waktu

yang akan datang).
c. Terlarang sebaba mauqud ‘alaih (barang jualan)
 Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
 Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
 Jual beli gharar (jual beli barang yang mengandung kesamaran)
 Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
 Jual beli air
 Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
 Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad (gaib)
 Jual beli sesuatu sebelum dipegang
 Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
d. Terlarang sebab syara’
 Jual beli riba
 Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
 Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
 Jual beli waktu adzan jum’at
 Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
 Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
 Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
 Jual beli memakai syarat.
B. QIRADH
1. Pengertian Qiradh
Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian), istilah
mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah
Qiradh.
Qiradh menurut bahasa diambil dari kata

‫الققرر ضض‬

yang berarti

‫ا قل رققط رضع‬

(potongan),

sebab pemolik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar
mengusahakan harta tersebut
Qiradh yaitu mengutangkan barang yang dibayar dengan barang juga.

8

2. Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Qiradh
Qarad dibolehkannya dalam Islamm yang didasarkan pada As-Sunnah dan Ijma’
a. Al-Qur’an
Dalam hal Qiradh Imam Al-Mawardi berdalil tentang keabsahan qiradh dengan firman
Allah yang berbunyi:

     
 
198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu.

b.

As-Sunnah

‫ بما ءمون يموسلءمم ي يوقءريض يموسلءضما بقورضضا بم ش برتبي وءن‬: ‫ قا ل‬.‫م‬.‫عون ا بءبوي بموسيعوومد ا ب ش بن الن شبءب ش بي ص‬
‫ب‬
‫ءإل ش ب بكا بن ك ببصبد بقمة بم ش برضة‬
Artinya:
“ Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “Tidak ada seorang muslim
yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah
sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)
c.

Ijma’

Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam Islam. Hukum qarad adalah
dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas juga
ada hadits lainnya yaitu:
Artinya:
“ Abu Hurairah berkata, “ Rasulullah SAW, telah bersabda, barang siapa melepaskan
dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah
melepaskaan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi
kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi
kelonggaran baginya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang
muslim, niscaya allah menutupi (aib) nya di dunia dan akhirat. Dan Allah selamanya
menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)8
3. Rukun Qiradh
8 Fiqih muamalah, hlm. 152-153.

9

Para ulama berbeda pendapat tentang rukun qiradh. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa
rukun qiradh adalah ijab dan qabu, yakni lafadz yang menunjukkan ijab dan qabul, denan
menggunakan qiradh.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun qirah ada tiga, yaitu dua orang yang
melakukan akad, modal, dan shighat. Ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi lima
rukun yaitu: modal, pekerjaan, laba, sighat, dan dua orang akad.
a. Shighat
Yaitu ijab dan qabul dengan ucapan apa saja yang membawa makna qiradh atau bagi
hasil karena yang menjadi maksud adalah makana sehingga boleh dengan ucapan apa saja
yang menunjukkan hal itu seperti jual beli dengan ucapan kepemilikan.

b. Dua pihak yang berakad
Dalam rukun qiradh terdapat dua pihak ynag berakad yaitu pemilik modal dan
pekerja. 9
4. Jenis Qiradh
Qiradh atau mudharabah terbagi menjadi dua macam yaitu qiradh atau mudharabah
mutlak dan qirad atau mudharabah terikat.
Qirad mutlak yaitu penyerahan modal seseorang kepada pengusaha tanpa memberikan
batasan.
Qiradh muqaayyad yaitu penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan
memberikan batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha harus berdagang di Daerah
Bandung atau harus berdagang sepatu atau membeli barang dari orang tertentu.
9 Fiqih Muamalat sistem transaksi dalam fiqh Islam, hlm. 249-250.

10

Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad membolehkan member batasan dengan waktu dan
orang akan tetapi ulam Syafi’iyah dan Malikiyah melarangnya.
5. Syarat Sah Qiradh atau mudharabah
a. Syarat Aqidani
Disyaratkan bagi orang yang melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha
adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta
pemilik modal, yakni menjadi wakil. Naming demikian, tidak disyaratkan harus muslim.
Mudharabah diperbolehkan orang kafir yang dilindungi di Negara Islam.
Adapun Ulama Malikiyah memakruhkan Qiradh dengan kafir dzimmi jika mereka tidak
melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.
b. Syarat Modal
- Modal harus berupa uang
- Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran
- Modal harus ada, bukan berupa utang.
- Modal harus diberikan kepada pengusaha.
c. Syarat-syarat laba
- Laba harus memiliki ukuran
- Laba harus berupa bagian yang umum (masyhur).
6. Hukum Qiradh
a. Hukum Qiradh atau Mudharabah Fasid
Hal-hal yang terdapat dalam Qiradh Fasid yang mengharuskan pemilik modal
memberikan upah kepada pengusaha, yaitu:
- Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual,
memberi atau mengambil barang.
- Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga
pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
- Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta
modal tersebut dengan hara orang lain atau barang lain miliknya.
b. Hukum Qiradh atau Mudharabah Sahih
1. Tanggung jawab penguasa
2. Tasharruf pengusaha
 Pada Mudharabah Mutlak

11

Menurut Ulama Hanafiyah, jika Mudharabah Mutlak, maka pengusaha berhak untuk
beraktivitas dengan modal tersebut menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual beli.
Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan
dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut.
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha
lain, baik dalam usaha maupun laba, meskipun atas seizin pemilik modal.
 Pada Mudharabah Terikat
- Penentuan tempat
- Penentuan orang
- Penentuan waktu
 Hak-hak pengusaha (al-Mudharib)
 Hak nafkah
Imam Syafi’i, berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk
dirinya, kecuali atas seizin pemilk modal sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari
laba.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat
bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah dalam perjalanan untuk
keperluannya, seperti pakaian, makanan dll.
Ulama Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menafkahkan harta untuk
keperluannya, baik pada waktu menetap maupun dalam perjalanan jika disyaratkan pada
waktu akad. Dengan demikian jika tidak disyaratkan pada waktu akad, tidak bolaeh
menafkahkan modal.



Hak mendapatkan laba
Hak pemilik modal

Qiradh sangat disukai dalam Islam. Demikian menurut kesepakatan para Imam
Madzhab. Qiradh dapat dilakukan kapan saja ketika dikehendaki. Apabila tidak ditentukan
waktunya, tidak harus ditunda pembayarannya. Adapun menurut pendapat Maliki, harus

12

ditangguhkan pembayarannya. Boleh melakukan qiradh terhadap roti. Demikian pendapat
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Namun, Hanafi berpendapat: Tidak boleh sama sekali.10
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, qiradh menjadi tetap setelah pemegangan
atau penyerahan. Dengan demikian, jika seseorang menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram
gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus memberikan benda sejenis
(gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya. Jiak muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap
menjaga benda sejenisnya, walaupun qarad (barang yang ditukarkan) masih ada.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan qarad, sebagaimana tejadi pada akadakad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belu ada penyerahan dan pemegangan.
Muqtaraid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan qiradh. Jika qiradh muqrid
meminta zatnya, baik yang serupa maupun yang asli. Akan tetapi, jika qiradh telah berubah,
muqtarid wajib memberikan benda-benda sejenis.
Pendapat ulama hanabilah dan syafi’iyah senada dengan pendapat Abu Hanifah dengan
ketetapan qiradh dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus
menyerahkan benda sejenis (mitsil) jika pertukaran terjadi pada harta mitsil sebab lebih
mendekati hak muqrid adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai) didasarkan pada
gambarnya.
Ulama hanabilah berpendapat bahwa pengembalian qiradh pada harta yang ditakar atau
ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak
dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat. Pertama, sebagaimana pendapat
jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari akad qiradh. Kedua, mengembalikan
benda sejenis yang mendekati qiradh pada sifatnya.11
C. RIBA
1. Pengertian Riba
Diantara akad jual beli yang dilarang dengan pelarangan yang kerasa antara lain adalah
Riba. Yang dalam hal ini Riba secara bahasa bermakna tambahan, tumbuh dan menjadi
tinggi.12
10 Fiqih empat madzhab, hlm.247.
11 Fiqih Muamalah, hlm. 155-156.
12 Al-Misbah, oleh Al-Fayyumi, 217 dan Al-Qamus al-Muhith, oleh Al-Fairus Abadi, 2/1687.

13

Sedangkan menurut terminologi syara’, Riba berarti: “Akad untuk satu ganti khusus tanpa
diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan
mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.”13
Dengan demikian, Riba menurut istilah ahli fiqih adalah penambahan pada salah satu dari
dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap
riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba
didalamnya hanya saja tambahan yang di istilahkan dengan nama Riba dan Al-Qur’an datang
menerangkan pengharamannya adalah tambahan yang diambil sebagai ganti dari tempo.
Yang dalam hal ini ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:

‫خيصوو بصمة‬
‫الءشز بيا بدية ءفوي أ ب وشبيامء بم و‬
“ Penambahan pada komoditi/barang dagangan tertentu”14
2. Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Riba
a. Al-Qur’an









      

  

  

     








 



   
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.

    


 

  
13 Fiqih muamalat sistem transaksi dalam fiqh Islam, hlm.216.
14 Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 51.

14

       

     

     
     
      





















      
  

  

   










      
















    












 













      

275. Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175].
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.
276. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak
menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].
15

277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih
yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu
barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang
menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan
padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang
kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak
dikembalikan.
[177] Yang dimaksud dengan memusnahkan Riba ialah memusnahkan harta itu atau
meniadakan berkahnya. dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah
memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan
berkahnya.
[178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan Riba dan tetap melakukannya.
b. As-Sunnah
Dalam hal ini dasar hukum Riba juga dijelaskan dalam sunnah yaitu:
Artinya:
“ Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi SAW bersabda, Tinggalkanlah tuju dosa yang
dapat membinasakan. Sahabat bertanya, Apakah itu, ya Rasulullah? ‘Jawab Nabi, (1)
Syirik (mempersekutukan Allah); (2) berbuat sihir; membunuh jiwa yang diharamkan
Allah, kecuali yang hak; (4) makan harta Riba; (5) makan harta anak yatim; (6)
melarikan diri dari perang jihad pada saat berjuang; dan (7) menuduh wanita mukminat
yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina. 15
15 Fiqih Muamalah, 260-261.

16

3.

Macam-macam Riba
Menurut Jumhur Ulama Riba bisa diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
a. Riba Al-Fadhl
 Definisi Riba Al-Fadhl
Adalah tambahan dari salah satu dua ganti kepada yang lain ketiak terjadi tukar
menukar sesuatu yang sama secara tunai. Islam telah mengharamkan jenis riba ini
dalam transaksi karena khawatir pada akhirnya orang akan jatuh kepada riba yang
hakiki yaitu riba an-Nasi’ah yang sudah menyebar dalam tradisi masyarakat Arab.
Dalam konteks ini Rasulullah brsabda:

‫عل قيرك ضرم ال رررقما قمعرقناضه ال رررقبا‬
‫ل تربيرضعروا الرردرر قهقم ربردرر قهقميررن قفإر رن رري أ ق ق‬
‫خا ضف ق‬

Janganlah kalian menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya takut

terhadap kalian dengan rima, dan rima artinya riba.
 Hukum Riba Al-Fadhl
tidak ada perbedaan antara empat Imam Madzhab tentang haramnya Riba Al-Fadhl,
ada yang mengatakan bahwa sebagian sahabat ada yang memperbolehkannya
diantaranya Abdullah bin Mas’ud namun ada nukilan riwayat bahwa beliau sudah
menarik pendapatnya dan mengatakan haram.
Dalil pengharamannya adalah sabda Rasulullah SAW. “ Janganlah kalian menjual
emas dengan emas, perak dengan perak, tepung dengan tepung, dan gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali yang satu ukuran dan
sama beratnya dan jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hati kalian dengan
syarat tunai,siapa yang menambah atau meminta tambahan sungguh dia telah
melakukan riba yang mengambil dan memberi keduanya sama.
Arti hadits ini adalah bahwa jika manusia memerlukan pertukaran barang dari satu
jenis yang sama mereka boleh melakukannya dengan salah satu dari dua cara.

b. Riba Al-Yadd (tangan)
Adalah jual beli dengan mengakhirkan penyerahan kedua barang ganti atau salah satu
nya tanpa menyebutkan waktunya.
c. Riba An-Nasi’ah
 Definisi Riba An-Nasi’ah
17

Adalah jual beli dengan mengakhirkan tempo pembayaran . riba jenis inilah yang
terkenal di zaman jahiliyah
 Hukum Riba An-Nasi’ah
keharaman Riba an-Nasi’ah telah ditetapkan berdasarkan Nash yang pasti denga kitab
Allah dan sunnah Rasulnya serta ijma’ kaum muslimin.
Adapun dalil Al-Qur’annya yang berbunyi:



























 

161. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka
itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisa’: 161)
Menurut Ulama Syafi’iyah membagi Riba menjadi tiga jenis yaitu:
a. Riba Fadhl
Adalah jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar)
dari yang lainnya. Dengan kata lain tambah berasal dari penukar paling akhir.
Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang
dengan satu kilogram kentang.

b. Riba Yadd
Jual beli dengan mengakhirkan penyerahan yakni bercerai berai antar dua orang
yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara
gandum dengan syair tanpa harus menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk Riba Nasi’ah, yakni menambah yang
tampak dari utang.
c. Riba Nasi’ah
Menurut ulama Syafi’iyah riba yadd dan Riba Nasi’ah sama-sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya Riba yadd mengakhirkan

18

pemegangan barang, sedangkan Riba Nasi’ah mengakhirkan pemegangan hak dan
ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.16

16 Fiqih Muamalah, hlm.262-264.

19

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ruang lingkup dari muamalah yang berhubungan dengan jual beli
Bahwa pada hakikatnya jual beli adalah dengan memiliki suatu harta dan mengganti
sesuatu atas dasar izin syara’ atau sekedar memiliki manfaatnya saja dengan
diperbolehkannya syara’ dengan melelui pembayaran yang berupa uang atau yang sejenisnya.
Sehingga suatu transaksi jual beli tidak akan sah apabila tidak terdapat rukun-rukun yang
harus dijalankan seperti halnya dengan adanya: (1) Bai’ (Penjual); (2) Mustari (pembeli); (3)
Shighat (ijab dan qabul); (4) Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).
2. Bagaimana gambaran tentang qiradh dalam kehidupan sehari-hari?
Qiradh sangat disukai dalam Islam. Demikian menurut kesepakatan para Imam Madzhab.
Qiradh dapat dilakukan kapan saja ketika dikehendaki. Apabila tidak ditentukan waktunya,
tidak harus ditunda pembayarannya.
3. Apa saja bentuk perbuatan riba terkait dalam transaksi jual beli?
Bentuk riba yang tergolong pada bentuk transaksi jual beli adalah Riba Al-Fadhl , Riba
Al-Yadd, Riba An-Nasi’ah

20

DAFTAR PUSTAKA

Rifin, Muhammad. Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah. Pustaka Darul Ilmi. Jakarta:
2009
As’ad, Ali. Terjemah Fathul Mu’in. Menara Kudus. Yogyakarta: 1979
Azam, Muhammad. Fiqih Muamalat Sistem Transaksi dalam Fiqih Islam. Sinar Grafika Offset.
Jakarta: 2010.
Mas’adi, A. Fiqh Muamalah Kontekstual. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta: 2002
Muhammad. Al-‘Allamah. Fiqih Emapat Madzhab. Hasyimi Press.2001
Syafi’I, Rahmat. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum. Pustaka Setia.
Bandung: 2001.
Sunarto, Ahmad. Terjemah Fathul Qarib. Al-Hidayah. Surabaya: 1991.

21