Seksualitas Remaja di Kota Sibolga

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah
Masalah seksual mungkin sama panjangnya dengan perjalanan kehidupan manusia,

dimana sejak adanya kehidupan manusia kehidupan seks juga telah ada. Namun hingga saat ini,
masalah seksual seakan-akan tidak pernah habis dan tuntas untuk di bahas. Masalah seks atau
topik mengenai seksualitas sering dijadikan sebagai topik pembicaraan yang tabu untuk
diperbincangkan, terutama antara orang yang tidak seumuran, seperti antara orangtua dan anak.
Banyak orang tua yang jarang bahkan tidak pernah membicarakan kepada anaknya mengenai
seks dan dampak nya bagi kesehatan. Dalam rencana kerja International Conference on
Population and Development (ICPD) di kairo tahun 1994 (dalam Yuli dkk, 2010)
merekomendasikan bahwa pelayanan kesehatan dasar salah satunya meliputi komunikasi
informasi edukasi mengenai perkembangan seksualitas, kesehatan reproduksi dan kewajiban
orang tua untuk bertanggung jawab. Berbagai berita mengenai terjadi nya kekerasan seksual
dialami remaja yang tak jarang mengakibatkan kematian. Kejahatan dan kekerasan seksual yang
semakin marak di masa ini melibatkan pelaku dan korban yang merupakan kaum remaja. Media
sosial menampilkan remaja sebagai objek dalam berbagai foto dan video pornografi. Selain itu,

remaja sendiri juga sering berusaha mencari tahu hal-hal baru di internet, didukung oleh pesat
nya perkembangan media elektronik saat ini, seakan apa yang diperlukan mengenai seks telah
disediakan oleh internet secara fiktif. Kebutuhan secara fiktif ini terkadang memicu gejolak

Universitas Sumatera Utara

dalam diri seakan ingin memenuhi hasrat seksual remaja, yang sudah mengalami masa pubertas,
yakni masa dimana terjadinya perkembangan fisik yang dialami dengan keluarnya air mani pada
saat mimpi basah pada seorang remaja laki-laki dan remaja perempuan mengalami menstruasi
atau menarche.
Banyak pengertian dan pendapat mengenai remaja dan rentang usia untuk menyebutkan
seseorang sebagai remaja atau tidak. Orang awam menyebutkan bahwa remaja merupakan masa
transisi dari anak-anak hingga dewasa. “Masa muda adalah masa paling indah”, kalimat tersebut
sering terdengar di lingkungan masyarakat dan media, banyak hal-hal baru yang ingin dicoba dan
ingin dilakukan secara pribadi ataupun bersama teman-teman. Lingkungan sangat mempengaruhi
perkembangan remaja. Namun media elektronik dan internet juga sangat mempengaruhi, cukup
dengan satu jari remaja dapat mengakses segala hal yang ingin diketahui nya melalui internet dan
tak jarang mereka sering mencari tahu hal yang di anggap tabu melalui media internet yakni
mengenai “seks”.
Tidak bisa dipungkiri remaja dan seks menjadi topik yang paling sering dibicarakan

dimasyarakat bahkan dunia juga menjadikan ini masalah yang sangat perlu diperhatikan. Namun
seks sering menjadi masalah bagi seseorang dan lingkungan nya. Seperti masalah kehamilan
remaja, infeksi yang menular secara seksual, kekerasan seksual, dan pelecehan seksual. Tak
heran masalah sosial ini sering kita liat di berbagai berita yang semakin hari semakin banyak saja
di beritakan masalah yang disebabkan oleh gairah seksual,seperti beberapa individu memaksakan
orang lain untuk berhubungan seks dengannya yakni pemerkosaan.pemerkosaan merupakan
hubungan seksual yang dipaksakan terhadap seseorang yang tidak memberikan ijin dan
menyebabkan tekanan batin bahkan kematian.

Universitas Sumatera Utara

Sebuah penelitian dilakukan oleh Synovate Research pada September 2004 (dalam Yuli
dkk, 2010) tentang perilaku seksual remaja di empat kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya
dan Medan pada remaja usia 15-24 tahun menunjukkan bahwa 44 % responden mengaku pernah
mempunyai pengalaman seks di usia 16-18 tahum dan 16 % mengaku pengalaman seks sudah
dilakukan pada usia 13-15 tahun. Selain itu, rumah menjadi tempat favorit (40%) untuk
melakukan hubungan seks, sisanya 26 % ditempat kos, di hotel dan 8% lain-lain. Hasil penelitian
tersebut dapat memberikan gambaran perilaku seks dikalangan remaja.
Survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah di tahun 2004 di Semarang
mengungkapkan bahwa dengan pertanyaan-pertanyaan tentang proses terjadinya bayi, Keluarga

Berencana, cara-cara pencegahan HIV/AIDS, anemia, cara-cara merawat organ reproduksi dan
pengetahuan fungsi organ reproduksi, diperoleh informasi bahwa 43,22 pengetahuan remaja
rendah, 37,28% pengetahuan cukup sedangkan 19,50% pengetahuan baik. Disisi lain, perilaku
remaja yang berpacaran juga tergambar dari survey yang dilakukan oleh Youth Center Pilar
PKBI Jawa Tengah, saling mengobrol 100%, berpegangan tangan 93,3%, mencium pipi/kening
84,6%, berciuman bibir 0,9%, mencium leher 36,1% saling meraba (payudara dan kelamin) 25%,
dan melakukan hubungan seks 7,6%. Khusus untuk yang melakukan hubungan seks,
pasangannya adalah pacar 78,4%, teman 10,3% dan pekerja seks 9,3%. Alasan mereka
melakukan hubungan seks adalah coba-coba 15,5% sebagai ungkapan rasa cinta 43,3%,
kebutuhan biologis 29,9% (Yuli dkk,2010).
Seksualitas remaja berkaitan dengan berbagai aspek lain dari perkembangan remaja,
termasuk perkembangan fisik dan pubertas, diri dan identitas, gender, sekolah, teman sebaya dan
keluarga. Variasi remaja dilihat dari pengalaman seksual nya di pengaruhi oleh budaya di

Universitas Sumatera Utara

lingkungan sekitar, hal ini juga berlaku dalam hal seksualitas remaja. Misalnya variasi remaja di
beberapa daerah yakni di Timur Tengah remaja tidak diizinkan untuk berinteraksi dengan lawan
jenis bahkan di sekolah, di Rusia remaja menikah lebih awal agar dapat melakukan aktivitas
seksual secara sah. Dengan demikian, lingkungan sangat mempengaruhi para remaja sehingga

terlibat dalam berbagai jenis pengalaman seks yang berbeda.
Remaja memiliki segudang pertanyaanpada masa nya, terutama mengenai seks. Namun,
kebanyakan remaja memiliki pengetahuan dari internet dan teman sebaya yang cenderung
diyakini namun belum tentu kebenaran nya. Topik mengenai seks memang tidak akan pernah ada
habis nya, ada saja berbagai perilaku seks terbaru yang cenderung menyimpang yang tak jarang
kasus menghilangkan nyawa manusia, seperti yang akhir-akhir ini hangat diperbincangan di
Indonesia perilaku buruk para pedofil. Seiring perkembangan fisik manusia, saat seseorang
berada di tahap remaja tepat saat ia telah melewati masa pubertas seharusnya remaja telah
memiliki bekal pengetahuan mengenai seks. Indonesia sebagai negara berkembang tentu nya
memiliki berbagai macam masalah yang ingin segera di benahi baik karena bencana alam dan
masalah sosial yang disebabkan oleh buruk nya mental anak bangsa. Sangat banyak kejahatan
dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja baik yang dipublikasikan di media cetak
maupun media elektronik dan tindakan yang tidak dipublikasikan. Indonesia memiliki jutaan
calon pemimpin bangsa yakni remaja. Terlepas dari menarik nya topik mengenai remaja,
kurangnya pendidikan seks yang diberikan orang tua, kejahatan dan kekerasan seksual yang
semakin marak di Indonesia. Hal menarik lain nya dan menjadi sorotan di beberapa daerah
sehubungan dengan remaja dan seks yakni hubungan seks sebelum pernikahan, semakin banyak
saja kasus-kasus hubungan seks sebelum pernikahan yakni dikalangan remaja yang masih duduk

Universitas Sumatera Utara


dibangku sekolah.Seks pranikah adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa menikah dan
sering berganti pasangan.
Hasil penelitian Ramli Bandi dkk pada tahun 1990 (Susanti,2001), sumber memperoleh
pengetahuan tentang masalah seks dari orangtua hanya 1,6 %. Jadi, peran orangtua pada remaja
masih kecil sekali. Selain tabu, membicarakan masalah seks dengan keluarga, terutama orangtua
masih perlu dikaji lagi, seberapa jauh pengetahuan orangtua mengenai masalah seks yang sehat
dan reproduksi. Selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1991 (dalam
Susanti,2001), menjelaskan bahwa dalam mengahadapi remaja perlu adanya peningkatan
pengawasan dan bimbingan orang tua terhadap anaknya dengan cara yang bijaksana. Fungsi
pengayoman dari orangtua perlu ditegakkan lebih dulu dalam kehidupan keluarga sehari-hari dan
pendidikan agama sedini mungkin. Karena masa remaja itu dalam pembentukan diri, kepribadian
yang belum stabil, kuatnya pengaruh teman dan sikapnya yang mulai kritis.
Masa remaja menempatkan pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah reproduksi
dan masalah psikologi. Setiap tahun diseluruh dunia kira-kira 15 juta remaja berusia 15-19 tahun
melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi penyakit menular seksual
yang dapat disembuhkan. Secara global 40% dari kasus infeksi HIV terjadi pada kaum muda
yang berusia 15-24 tahun. Resiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, salah satu diantaranya karena kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
(Yuli dkk, 2010).

Dari hasil observasi peneliti di kota Sibolga, tak sedikit terjadi kehamilan remaja yang
membuat kebanyakan remaja tidak merantau untuk mendapatkan pendidikan atau bekerja di
daerah lain. Pengalaman peneliti selama tinggal dan menetap di kota Sibolga, informasi yang

Universitas Sumatera Utara

ditemukan bahwa di lapangantelah banyak remaja yang melakukan aktivitas seks kepada diri nya
sendiri dan terutama bersama dengan pasangannya dan tak sedikit „tempat‟ untuk berhubungan
seks telah disediakan oleh orang-orang tertentu untuk mereka yang ingin melakukan tindakan
seks pranikah. Selain penelitian mengenai seksualitas yang masih sedikit jumlahnya, penelitian
mengenai remaja di kota Sibolga juga hampir tidak ada yang dituliskan dalam ranah ilmiah.
Peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perilaku seks remaja dan
menuliskan hasil penelitian tersebut kedalam bentuk tulisan yang berjudul “Seksualitas Remaja
di Kota Sibolga”.

1.2.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini akan diuraikan pada pertanyaan penelitian, yakni :
(1) Bagaimana perilaku seksual remaja di kota Sibolga?


1.3.

Tinjauan Pustaka
Para ahli memiliki berbagai pendapat mengenai satu topik menarik ini yakni

mendefinisikan makna remaja, siapa itu remaja. Ada yang mendefinisikan melalui kategori umur,
pendidikan, dan perubahan fisik nya. Menurut E.H.Erikson remaja sebagai suatu masa dimana
ketakutan dan emosionalitas yang tidak stabil merupakan hal normal (dalam Gunarsa,2003).
Selanjutnya menurut E.Spranger remaja merupakan masa dimana seseorang individu sangat
membutuhkan pengertian (dalam Gunarsa,2003).
Pada masa remaja seseorang individu cenderung mencoba perilaku yang menurut dirinya
modern. Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum

Universitas Sumatera Utara

dan sesudahnya. Masa yang paling indah adalah masa remaja untuk sebagian orang. Masa remaja
seakan memiliki ruang tersendiri didalam diri mengenai kebaikan dan keburukan dimasa itu.
Serba ingintahu dan memulai banyak hal baru menjadi tantangan dimasa itu, seakan diri status
remaja tidak bisa terkontrol mengenai masa peralihan anak-anak menuju tahap dewasa ucap

beberapa orang ahli yang memiliki segudang pengertian mengenai siapa itu remaja. Tahap remaja
tidak mungkin dapat dihilangkan karena semua orang pasti akan melewatinya. Remaja
merupakan jembatan yang menghubungkan anak-anak yang aseksual dengan orang dewasa yang
seksual.
Dalam buku nya Psikologi Remaja (Gunarsa,2003). Remaja mengalami perubahan dan
perkembangan fisik, namun selain itu remaja juga mengalami hal-hal seperti dibawah ini, yakni :
1. Kegelisahan
Remaja memiliki banyak macam keinginan yang tidak selalu dipenuhi. Disatu pihak ingin
mencari pengalaman, karena diperlukan untuk menambah pengetahuan dan keluwesan
alam tingkah laku. Remaja ingin tahu segala peristiwa yang terjadi di seperti dilingkungan
luas, tetapi tidak berani mengambil tindakan untuk mencari pengalaman dan pengetahuan
yang langsung dari sumber-sumbernya.
2. Pertentangan, pada umunya timbul pertentangan antara remaja dan orangtua karena
perbedaan pandangan yang menyebabkan timbulnya keinginan hebat untuk bebas, namun
keinginan untuk melepaskan diri ditentang oleh perasaan lebih nyaman berada dirumah.
Selain itu juga didukung karena merasa belum siap untuk hidup mandiri tanpa
memperoleh bantuan dari orang tua.

Universitas Sumatera Utara


3. Berkeinginan besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahuinya, remaja ingin
mencoba apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Seperti remaja pria mulai merokok dan
remaja putri mulai bersolek mengikuti mode dan kosmetik. Namun dilakukan secara
tersembunyi.
4. Keinginan mencoba seringpula diarahkan pada diri sendiri maupun terhadap oranglain.
Keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru tidak hanya merugikan diri sendiri namun
juga orang lain seperti kehamilan.
5. Keinginan menjelajah kealam sekitar pada remaja lebih luas.
6. Mengkhayal dan berfantasi, khayalan dan fantasi pada remaja putera banyak berkisar
mengenai prestasi dan karier. Sedangkan pada remaja puteri terlihat lebih banyak sifat
perasa sehingga lebih banyak berintika romantika hidup.
7. Aktifitas berkelompok, dari beberapa ciri-ciri remaja sebelumnya memperlihatkan bahwa
remaja berusaha mencari jalan keluar dengan cara berkumpul dengan teman sebaya dan
melakukan kegiatan bersama seperti menjelajah alam secara berkelompok.

Salah satu ciri-ciri seseorang telah menjadi remaja yakni terjadi perubahan seperti salah
satu yang telah di jelaskan sebelumnya mengenai definisi remaja yakni mengalami pubertas.
Namun tak hanya itu, yang dimaksud dengan perubahan fisik remaja yaitu terjadinya perubahan
secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer dan organ seks sekunder,
yang dipengaruhi oleh kematangan hormon seksual. Hormon seks pada remaja laki-laki dikenal

dengan hormon androgen (testosterone), sedangkan pada remaja wanita disebut hormon estrogen.

Universitas Sumatera Utara

Seks primer adalah organ yang dibutuhkan untuk reproduksi. Pada wanita , organ
reproduksi adalah indung telur (ovaries), tuba falopi, uterus dan vagina;pada pria, testis, penis,
skrotum (kantong kemaluan) , gelembung sperma (seminal vesicle) dan kelenjar prostat. Selama
masa pubertas organ ini membesar dan mecapai kematangan. Sedangkan seks sekunder adalah
sinyal fisiologis kematangan seksual yang tidak berkaitang langsung dengan organ seks yakni
membesarnya payudara dan melebarnya bahu pada pria. Karakteristik lain nya adalah perubahan
suara dan tekstur kulit, perkembangan muscular, dan pertumbuhan rambut tubuh, wajah, dan
ketiak.
Beberapa orang menyatakan bahwa seseorang yang telah mengalami pubertas telah
menjadi seorang remaja dan biasanya sudah memiliki status yang berbeda di masyarakat. Namun,
pubertas tidak sama dengan remaja karena bagi sebagian kita masa pubertas berakhir jauh
sebelum masa remaja selesai (Santrock,2007). Meskipun demikian, masa Pubertas merupakan
awal penting yang menandai masa remaja.
Istilah asing untuk menunjukkan masa remaja antara lain : (a) puberteit, puberty, dan (b)
adolescentia. Istilah puberty (bahasa inggris) berasal dari istilah latin, pubertas yang berarti


kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda kelaki-lakian. Pubescence dari
kata, pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) daerah kemaluan (genital), maka pubescence
berarati perubahan yang dibarengi dengan tumbuh nya rambut pada daerah kemaluan (Gunarsa,
2003).
Pubertas (puberty) adalah sebuah periode dimana kematangan fisik berlangsung pesat,
yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh, yang terutama berlangsung dimasa remaja awal
(Lola, 1997). Pada

saat remaja mengalami pubertas, kemudian remaja mulai mengalami

Universitas Sumatera Utara

kematangan seksual yang ditandai dengan perubahan fisik, pubertas pada laki-laki berkembang
di tandai dengan kamatangan seksual yang paling menyolok adalah pada perpanjangan penis,
perkembangan testis, dan tumbuhnya rambut di wajah. Adapun kematangan seksual pada
perempuan terlihat dari tumbuhnya rambut kemaluan dan berkembanganya payudara.
Pubertas adalah salah satu topik menarik yang perlu di bahas ketika kita berbicara
mengenai seksualitas, pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja dimulai dimasa ini namun
pubertas tidak sama dengan remaja. Bagi sebagian diantara kita pubertas berakhir jauh sebelum
masa remaja selesai, namun pubertas merupakan awal penting dalam menandai masa remaja.
Pubertas adalah sebuah periode di mana kematangan fisik berlangsung pesat, yang melibatkan
perubahan hormonal dan tubuh, yang terutama berlangsung di masa remaja awal
(Santrock,2007).
Sesuai dengan hasil penelitian Hartuti A. Andrys D. dan Syaiful Fahmi Daili yang
dilakukan pada tahun 1989 (dalam Sunanti, 2001) bahwa masalah yang dihadapi pada remaja saat
ini terutama pada gadis-gadis ialah “usia datang lebih cepat”, yang dihubungkan dengan usia
datangnya haid pertama yang makin muda. Di lain pihak terdapat kecenderungan untuk menikah
pada usia relatif lebih lambat. Kedua faktor ini menyebabkan makin panjangnya masa
“berbahaya”, sehingga kemungkinan terjadinya hubungan kelamin dengan berganti-ganti
pasangan sebelum menikah lebih besar, kemungkinan terjadinya kehamilan sebelum menikah
serta risiko untuk menderita Penyakit Menular Seksual (PMS) bertambah besar pula.
Namun tak hanya itu, pubertas juga diiringi dengan berbagai perubahan penting yang
berlangsung dalam tubuh kita seperti didalam sistem endokrin, lemak tubuh dan berat tubuh.
Pertama sistem endokrin beperan di masa pubertas dengan melibatkan interaksi dari hipotalamus,

Universitas Sumatera Utara

kelenjar pituitari, dan gonad (kelenjar seks). Hipotalamus ( hypothalamus) adalah sebuah struktur
yang yang terletak di dalam otak yang berinteraksi dengan kelenjar pituitari untuk memonitor
regulasi hormon di dalam tubuh. Kelenjar pituitari (pituitary gland) adalah kelenjar yang
menghasilkan hormon-hormon yang dapat merangsang kelenjar-kelenjar lain. Pituitari juga
mempengaruhi pertumbuhan dengan cara menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, pituitari
mengirimkan gonadotropin (hormon yang merangsang kelenjar seks) ke testis dan indung telur
serta hormon yang menstimulasi tiroid ke kelenjar tiroid. Disamping itu pituitari juga
mengirimkan hormon ke kelenjar adrenal. Selanjutnya kelenjar tiroid berinteraksi dengan
kelenjar pituitari untuk mempengaruhi pertumbuhan. Gonad merupakan kelenjar seks yang terdiri
dari testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan. Kelenjar ini sangat terlibat dalam
penampilan karakteristik seks sekunder, seperti perkembangan kumis pada laki-laki dan
perkembangan payudara pada perempuan. Selanjutnya terdapat hormon yang dominan pada
perempuan yakni estrogen dan hormon testosterone pada laki-laki yang berperan penting bagi
perkembangan pubertas. Kedua hormon ini meningkat pada laki-laki dan perempuan selama
masa pubertas. Kadar testosteron berkaitan dengansejumlah perubahan fisik pada laki-laki,
termasuk perkembangan genital eksternal, bertambahnya tinggi badan dan perubahan suara.
Kadar testosterone pada laki-laki juga berkaitan dengan hasrat dan aktivitas seksual. Estradisol
adalah estrogen yang berperan penting dalam perkembangan pubertas perempuan. Ketika kadar
estradisol meningkat terjadilah perkembangan payudara, perkembangan rahim dan perubahan
kerangka. Identitas hormon yang berkontribusi terhadap hasrat seksual dan aktivitas pada remaja
perempuan kurang terlihat jelas pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Kadar hormon seks
itu rendah di masa kanak-kanak namun meningkat di masa pubertas (Santrock,2007).

Universitas Sumatera Utara

Berbagai ilmuwan berpendapat bahwa munculnya menstruasi (menarche) dipengaruhi
oleh persentase lemak tubuh dikaitan dengan berat tubuh total. Sejak menarche berlangsung
minimal 17 persen berat tubuh perempuan terdiri dari lemak tubuh (Santrock,2007). Laju
pertumbuhan berat tubuh remaja kurang lebih menyerupai laju pertambahan berat tubuhnya.
Pertambahan berat tumbuh berlangsung bersamaan dengan dimulainya masa pubertas. Lima
puluh persen berat tubuh orang dewasa diperoleh di masa remaja. Disamping meningkatnya
tinggi dan berat tubuh, masa pubertas juga menimbulkan perubahan pada lebar pinggul dan bahu.
Lebar pinggul perempuan bertambah secara pesat, demikian pula lebar bahu laki-laki. Hal
tersebut merupakan salah satu hasil dari peningkatan hormon estrogen pada perempuan dan
testosteron pada laki-laki.
Pada masa pubertas terjadi kematangan seksual yang terlihat dari tiga tanda yang paling
menyolok pada laki-laki adalah perpanjangan penis, perkembangan testis, dan tumbuhnya rambut
di wajah. Sedangkan perubahan fisik yang terjadi pada perempuan terlihat dari membesarnya
payudara atau tumbuhnya rambut kemaluan. Selanjutnya tumbuhnya rambut di ketiak. Pada lakilaki rangkaian pubertas dapat di mulai di usia 10 tahun atau usia 13 1/2tahun tahun. Rangkaian
pubertas dapat berakhir di usia 13 tahun atau 17 tahun. Rentang normal tersebut cukup luas,
sehingga dari anak laki-laki yang memiliki usia kronologis yang sama, anak yang satu mungkin
saja dapat menyelesaikan rangkaian pubertas sebelum anak yang lain memulainya. Pada
perempuan, rentang usia normal untuk menarche dapat lebih luas, antara usia 9 hingga 15 tahun.
Selain perubahan dan perkembang fisik, terdapat perubahan psikologis dalam perkembangan
pubertas remaja (Santrock,2007).

Universitas Sumatera Utara

Perempuan memiliki indung telur pada rahim, karna memiliki rahim sehingga perempuan
harus menghadapi menstruasi, kehamilan, melahirkan, bahkan menopause. Fakta biologi bahwa
menstruasi dan menopause merupakan dua perubahan yang pasti akan dirasakan perempuan.
Sedangkan hamil dan melahirkan belum tentu akan dirasakan semua perempuan. Menstruasi
merupakan proses biologis yang terkait dengan pencapaian kematangan seks, kesuburan,
ketidakhamilan, normalitas, kesehatan tubuh, dan bahkan pembaharuan tubuh itu sendiri. Budaya
berbeda, blue print setiap orang pun berbeda, dan respon setiap orang pun berbeda dalam
merespon sesuatu termasuk dalam hal ini menarche. Berbagai mitos tentang menstruasi yang
terkait dengan kultur suatu masyarakat memiliki implikasi yang luas dalam penataan sosial,
khususnya dalam pembentukan dan pelestarian hubungan gender dalam masyarakat
(Abdullah,2006).
Menurut Ruth Herschberger, menstruasi merupakan tanda dari kesehatan telur dan uterus
yang berlanjut dan tanda dari lancarnya fungsi hormon seks (Abdullah,2006). Ketika masa
menstruasi perempuan dalam berbagai kultur masyarakat memiliki berbagai hal tabu untuk
dilakukan ketika sedang haid (menarche). Tabu menstruasi menurut Freud merupakan cerminan
dari sikap masyarakat yang ambivalen terhadap perempuan yang mengalami menstruasi dianggap
kotor dan terkena kekuatan jahat sehingga perlu dijauhi dan karenanya dapat dimanfaatkan untuk
kekuasaan politik (Abdullah,2006). Tabu Menstruasi sesungguhnya telah menempatkan
perempuan sebagai “orang lain”.
Dalam masyarakat Beng di pantai gading secara tegas ditekankan bahwa menstruasi
dikaitan dengan polusi dan fertilitas. Hal ini mengakibatkan larangan bagi perempuan untuk
masuk hutan, tidak boleh memasak karena dianggap kotor, dan tidak boleh melakukan aktivitas

Universitas Sumatera Utara

pertanian. Di Bali kaum perempuan tidak boleh memasuki hutan karena hutan dianggap suci
sementara perempuan telah ternodai oleh ada nya darah. Selain berbagai respon dalam berbagai
kultur masyarakat terdapat berbagai mitos-mitos terkait dengan menstruasi, yakni: menstruasi
adalah kotor, membahayakan hubungan seks, kutukan tuhan, menggangu keteraturan sosial,
menggangu kesehatan, tanda dari inferioritas perempuan, pengecualian dari suatu kebiasaan dan
lain-lain (Abdullah,2006). Di Papua New Guinea seorang perempuan ditempatkan di luar dusun
pada saat menstruasi di dalam suatu rumah yang di bagun oleh perempuan dan tidak boleh
didekati oleh laki-laki. Kepercayaan tentang roh jahat yang dibawa oleh perempuan menjadi
suatu keyakinan tentang sifat buruk dari menstruasi dan perempuan yang mengalaminya. Namun
secara medis seorang yang mengalami menstruasi adalah seseorang yang membutuhkan makanan
bernutrisi karena ia harus menggantikan sel darah yang hilang pada saat menstruasi berlangsung.
Berbagai persoalan yang muncul menentang proses biologis ini tentunya menunjukkan proses
sosial yang terkena atau dialami perempuan akibat kesalahan konsepsional yang akut dalam
masyarakat. Berbagai bentuk pengucilan terjadi pada saat perempuan mengalami menstruasi.
Dari sudut pandang lain, menstruasi merupakan penanda kedewasaan bagi perempuan, saat
dimana seorang perempuan mulai memilih hak untuk terlibat dalam pembicaraan, lebih bebas
berbicara, boleh memiliki sesuatu, dan juga memiliki sumber otoritas yang secara inheren
merupakan ancaman bagi kekuasaan laki-laki.
Video etnografi yang di unggah ke internet dalam situs youtube oleh akun „pusat
humaniora‟ menambah referensi mengenai budaya masyarakat dalam menolak keberadaan
perempuan saat sedang menstruasi dan melahirkan. Video etnografi tersebut merekam mengenai
masyarakat Muyu yang menolak tradisi melahirkan (persalinan) dan menstruasi dilakukan

Universitas Sumatera Utara

dirumah, perempuan Muyu di asingkan ke pondok kecil seperti kamar kecil yang terbuat dari
kayu dan rumbia sebagai atap nya, pondok ini harus jauh dari rumah tempat tinggal si
perempuan. Beberapa hari sebelum dan atau saat persalinan berlangsung, suami perempuan muyu
tidak boleh berada di pondok untuk menyaksikan persalinan istri nya, suami harus berada diluar
pondok yakni beberapa meter dari pondok untuk menyaksikan persalinan isteri nya dari kejauhan.
Masyarakat Muyu meyakini apabila perempuan Muyu melahirkan dan menstruasi didalam rumah
akan membawa bencana bagi anggota rumah tersebut seperti datangnya penyakit dan bahkan
kematian, apabila perempuan Muyu melakukan persalinan dirumah seorang pemburu maka
diyakini bahwa kesaktian berburu pemilik rumah tersebut akan hilang, apabila perempuan yang
sedang menstruasi datang ketempat jualan (pasar) diyakini bahwa barang dagangan mereka tidak
akan laku. Perempuan menstruasi dan baru melahirkan membawa hawa kotor (supranatural) yang
kurang baik.
Tiap-tiap remaja memiliki budaya seksual yang berbeda-beda. Dibandingkan di budayabudaya lain, di Amerika Serikat seksualitas sering kali melibatkan ketegangan antara orangtua
dan remaja. Ketegangan antara orang tua dan remaja mengenai seks, lebih besar di Amerika
Serikat di bandingkan di Jepang karena para remaja AS memiliki kecenderungan lebih besar
untuk melakukan aktivitas seksual dan arena aktivitas seksual juga mangandung makna sosial
tertentu seperti meningkatkan status bagi laki-laki (Lola,1997).
Dalam sebuah studi yang melibatkan 470 anak muda Australia yang duduk di kelas
sepuluh dan dua belas, menemukan adanya variasi dalam sikap dan praktik seksual diantara
mereka.Beberapa diantara mereka masih perawan dan secara seksual naif. Beberapa diantara

Universitas Sumatera Utara

mereka memiliki kecemasan yang tinggi terhadap seksdan menganggap tubuh mereka kurang
berkembang dan kurang menarik (Lola, 1997).
Permasalahan bagaimana pubertas terjadi pada tubuh (fisik) individu remaja juga menarik
perhatian ilmu Antropologi. Mengutip dari jurnal Biokultural yang membahas mengenai
kesehatan reproduksi oleh Pinky Saptandari yang berkaitan dengan makna tubuh yakni
mengatakan bahwa “Antropologi memiliki minat yang kuat dalam kajian tentang tubuh dalam
konteks fisikdan budaya, khususnya simbolisme tubuh. Tubuh menyediakan tema mendasar bagi
semua simbolisme, bahwa tubuh adalah suatu simbol alamiah. Simbol alamiah yang berasal dari
tubuh membuat pemaknaan sosial, dan setiap budaya membuat seleksinya sendiri dari wilayah
simbolisme tubuh.
Terkait pada pembahasan mengenai „tubuh‟ sebagai simbolis, sebuah tulisan turut
memberikan pemikiran mengenai tubuh yakni yang berjudul “Antropologi Feminisme dan
Polemik Seputar Tubuh Penari Perempuan Jaipongan Menurut Perspektif Foucault” oleh Imam
Setyobudi dan Muhklas Alkaf “ menyatakan bahwa:
tubuh perempuan pada polemik goyang heboh tari Jaipongan menduduki
posisi ranah publik, dalam hal ini tubuh perempuan bukan semata gejala
privat. Sementara itu, tubuh laki-laki justru „anonim‟ atau „absen‟ meski
konteks budaya yang ada-budaya patriarki. Keabsenan tubuh laki-laki
menempatkan posisi aman agar tidak penting dibicarakan. Laki-laki
konsumer melahirkan budaya konsumen yang kental ideologi patriarki.
Tubuh laki-laki bukan sesuatu hal yang perlu dikontrol, melainkan
menyetir sehingga mengendalikan tubuh perempuan.

Seks adalah kata yang sangat tidak asing di telinga kita, tetapi anehnya seringkali kita
merasa tabu dan agak malu-malu jika menyinggungnya. Agar kita dapat membicarakan dan

Universitas Sumatera Utara

mendiskusikannya dengan bebas terbuka, maka para ahli bahasa dan ilmuwan pun membuat seks
ini menjadi ilmiah dengan menambahkan akhiran “-tas” dan “-logi” menjadi “seksualitas” dan
“seksologi”, sehingga jadilah seksualitas adalah untuk dibahas dan didiskusikan.
Para remaja memiliki rasa ingin tahu yang tidak habis-habisnya mengenai misteri seks.
Defenisi kerja dari WHO 2002 (dalam Argyo,2013) bahwa seks mengacu pada sifat-sifat biologis
yang mendefenisikan manusia sebagai perempuan ataupun laki-laki. Kata seks sering
dipergunakan dalam 2 (dua) hal, yaitu :
1. Aktifitas seksual genital, yaitu hubungan fisik antar dua individu (aktifitas seksual
genital)
2. Sebagai lebel gender (jenis kelamin). Seks lebih berkonotasi kepada badani dan biologis
perempuan dan laki-laki yang sering disebut jenis kelamin.

Beberapa orang awam menyatakan bahwa setelah menstruasi seseorang dapat memiliki
seorang anak dan masa dimana mulai muncul dorongan seksual. Dorongan seksual berkaitan
dengan gairah seseorang. Tidak banyak berbeda dengan teori mengenai makna dan konstruksi
seksualitas, dorongan seksual itu sendiri juga dikontruksikan dalam sejarah dan kebudayaan
dalam kapasitas kelembagaan. Secara tradisional dorongan seksual diasumsikan secara alamiah,
terjadi dengan sendirinya, heteroseksual, dan universal, serta diatur dan diinterpretasikan sebagai
suatu aktivitas sosial. Dorongan seksual tidak datang dengan sendirinya, melainkan merupakan
suatu proses menciptakan sesuatu. Dorongan seksual dapat timbul oleh gabungan antara
kenangan, gairah, dan fantasi seksual (Lola,1997).

Universitas Sumatera Utara

Ada pendapat yang menyebutkan bahwa dasar pemikiran yang menjembatani dorongan
seksual dengan lingkup sosial; Pertama dengan siapa kita berinteraksi/ status orang lain yang
sedang berinteraksi bersama kita; waktu dan tempat kita melakukan interaksi; apa yang dilakukan
dalam interaksi tersebut dan tujuan melakukan interaksi. Kedua, lakon dorongan seksual dapat
diperankan pada kesempatan yang akan datang, yaitu apa yang akan kita lakukan secara
seksual;narasi yang kita ciptakan dan komposisi beberapa aktor yang akan kita libatkan, serta
tindakan dan konteks yang sesuai dengan tujuan seksual kita. Ketiga, lakon seksual dapat
dijadikan sebagai sebuah kerangka untuk memanggil kembali kenangan yang sudah lalu;siapa
yang berada disana pada saat itu, kapan dan bagaimana peristiwa seksual itu terjadi dan apa yang
kita lakukan serta mengapa kita melakukannya (Lola,1997).
Namun adanya dorongan seksual dalam diri masing-masing orang tentu melibatkan
respon yang berbeda-beda pula pada masing-masing individu dalam menanggapi dorongan
seksual itu sendiri. Beberapa perempuan masih merasa terpaksa melakukan hubungan seksual
untuk memenuhi tuntutan dan menyenangkan pasangannya, walaupun perempuan itu merasa
lelah, stress atau tidak berada dalam suasana hati yang tepat. Dalam sebuah studi lintas budaya
menemukan bahwa perempuan berada dalam situasi tersebut karena; (1) tidak tahu bagaimana
mengatakan tidak; (2) merasa itu merupakan kewajiban untuk menyenangkan pasangan laki-laki;
(3) untuk menghindari pertengkarang; (4) untuk memelihara hubungan baik; (5) memberikan
perasaan memiliki kekuasaan dan kesenangan kepada pasangan laki-laki; (6) tidak mau dicap
sebagai yang dingin (figrid); dan (7) harus berprokreasi (Lola,1997).
Menurut Shirley Feldman (dalam Santrock,2007), hasrat seksual muncul sebagai
fenomena baru di masa remaja dan seksualitas harus dipandang sebagai aspek yang normal dari

Universitas Sumatera Utara

perkembangan remaja. Seksualitas dianggap sebagai hal sakral yang tidak dapat di bicarakan
seperti membicarakan fiksi, puisi atau makanan, karena seksualitas mengandung daya tarik,
gairah, nafsu, keinginan dan kelanjutan. Membicarakan seksualitas merupakan hal tabu, aib dan
berbahaya.
Dalam sudut pandang Antropologi dan ilmu sosial, luasan jangkau studi seksualitas
mencakup : (1) tindakan seksual yang dapat diamati secara empirik (setidaknya secara prinsip)
(2) apa yang di lakukan sekelompok orang secara seksual terhadap dirinya sendiri dan terhadap
orang lain : (3) bagaimana menampilkan diri secara seksual : (4) bagaimana secara seksual
bertindak tentang hal-hal seksual (Lola, 1997).
Dorongan seksual berkaitan dengan gairah seseorang. Tidak banyak berbeda dengan teori
mengenai makna dan konstruksi seksualitas, dorongan seksual itu sendiri juga di konstruksikan
dalam sejarah dan kebudayaan dalam kapasitas kelembagaan. Secara tradisional dorongan
seksual di asumsikan bersifat alamiah, terjadi dengan sendirinya, heteroseksual dan universal,
serta diatur dan diinterpretasikan sebagai suatu aktifitas sosial diperdebatkan bahwa tidak ada
yang alamiah dan nyata mengenai hubungan seksual. Ada orang yang tidak ingin melakukannya,
atau ada orang yang pernah melakukannya, tidak menyukainya, dan tidak ingin mengulangnya
kembali (Lola,1997).
Dorongan seksual tidak datang dengan sendirinya, melainkan merupakan suatu proses
menciptakan sesuatu.Keterlibatan secara seksual dengan orang lain itu bukan hanya dalam
bersenggama, berpelukan, berciuman, membelai, berpegangan tangan, fantasi, memijat, bahkan
telanjang dan ungkapan seksual lainnya memberi dan merespons perasaan senang/ kenikmatan
terhadap diri sendiri atau pasangan adalah suatu tindakan seksual (Lola,1997). Menurut Gagnon,

Universitas Sumatera Utara

Greenblat, dan Kimmel bahwa “Manusia tidak pernah berhenti mengaitkan makna respon atau
dorongan seksual yang mereka alami dalam setiap peristiwa hubungan seksual yang konteks
sosial” (dalam Lola,1997).
Salah satu perilaku seksual yang dilakukan manusia adalah masturbasi. Masturbasi
merupakan salah satu perilaku seksual dan cara orang mengungkapkan seksualitasnya.
Menyentuh, meraba, dan mempermainkan alat kelamin tubuhnya sendiri yang memberikan
perasaan nikmat sampai mencapai klimaks. Ini bisa dilakukan seorang diri atau dengan pasangan
seksual. Namun masturbasi merupakan salah satu perilaku menyimpang bagi beberapa kelompok
masyarakat.
Perubahan organ-organ reproduksi yang makin matang pada remaja, menyebabkan
dorongan dan gairah seksual remaja makin kuat dalam dirinya. Banyak media massa, seperti
internet, televisi, koran atau majalah yang menyampaikan informasi secara bebas kepada
masyarakat umum, termasuk remaja. Sementara itu, menurut Piaget, walaupun remaja telah
mencapai kematangan kognitif, namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah
informasi yang diterima tersebut secara benar. Akibatnya perilaku seksual remaja, seringkali
tidak terkontrol dengan baik. Mereka melakukan pacaran, kumpul kebo, seks pra-nikah atau
mengadakan “pesta seks” dengan pasangannya, yang menyebabkan hamil muda, timbulnya
penyakit menular dikalangan remaja. Untuk itu peran sekolah, orang tua, media massa maupun
pemerintah adalah memikirkan dan membuat program pendidikan seksual untuk remaja (dalam
Dariyo,2004).
Bersamaan dengan meningkatknya gejolak seksual pada remaja, kebutuhan itu mereka
penuhi dengan cara-cara yang mereka kenal. Cara-cara memuaskan diri dalam seks, yaitu melalui

Universitas Sumatera Utara

masturbasi. Bahasa prokem yang dipakai untuk istilah tersebut antara lain “nyabun” (memakai
sabun) “ngocok” (mengocok) “lakon” “swalayan” atau Halo-halo Bandung” bagi laki-laki. Bagi
perempuan, antara lain dikenal dengan istilah “Dolanan Gedang” (bermain dengan pisang).
Penggunaan istilah itu dimaksudkan untuk menggambarkan alat bantu dan jenis aktivitas saat
melakukan aktivitas seksual. Bahasa sandi mereka gunakan agar terlihat bahwa seks tidak dilihat
sebagai masalah vulgar. Dalam pemahaman mereka, aktivitas masturbasi mempunyai efek
dibidang kejiwaan, seperti rasa bersalah, berdosa, cemas, menjadi pendiam, suka menyendiri,
melamun dan berkhayal (Susanti, 2001).
Seksualitas remaja berkaitan dengan berbagai aspek lain dari perkembangan remaja,
termasuk perkembangan fisik dan pubertas, perkembangan kognitif, diri dan identitas, gender,
keluarga, kawan-kawan sebaya, sekolah dan budaya. Seksualitas di alami dan diungkapkan dalam
pikiran, khayalan, gairah, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, perbuatan, peran, dan hubungan.
Namun tidak semuanya dapat dialami dan diungkapkan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi
antar faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, religi,
dan spiritual.
Menurut WHOtentang seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya
yang meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan,
kemesraan dan reproduksi. Dalam sebuah tulisanDrs.Argyo Demartoto, M.si, menyatakan bahwa
seksualitas menyangkut aspek kehidupan dan di ekspresikan dalam bentuk perilaku yang
beraneka ragam. Lebih lanjut ia menyatakan seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang
mengalami, menghayati, dan mengekspresikan diri sebagai mahkluk seksual, bagaimana
seseorang berpikir, merasa dan bertindak berdasarkan posisinya sebagai mahkluk seksual, yaitu

Universitas Sumatera Utara

bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan
yang dilakukannya seperti sentuhan, pelukan, ataupun perilaku seperti isyarat, gerak tubuh, cara
berpakaian, dan perbendaharaan kata, termasuk pikiran, pengalaman, nilai, fantasi, emosi.
Menurut Argyo seksualitas manusia (human sexsuality) merupakan topik yang kompleks dan
sensitif. Ruang lingkupnya meliputi perilaku, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan norma, orientasi
dan sebagainya. Sifatnya sensitif karena menyangkut hal-hal yang bersifat sangat pribadi
(Argyo,2013).
Dalam satu budaya, hubungan seksual bisa bermakna sebagai sumber kesenangan dan
kunci pada pemujaan seni erotis, tetapi dalam budaya lainnya seks justru merupakan sumber
bahaya, tabu, dan aib. Hal ini membuat seksualitas selain bersifat rasional, juga merupakan suatu
kategori sosial yang kemudian memiliki implikasi tertentu, membatasi dan mengontrol individu
dalam masyarakat.
Sejarah seksualitas bukan sejarah representasi seksualitas, melainkan sejarah aliran
perilaku. Percakapan tentang seks dibatasi, wacana tentang seks semakin banyak beredar. Dalam
konstruksi sosial masyarakat orientasi dan kegiatan yang di anggap “tidak lazim” “menyimpang”
diancam rasa bersalah bagi para pelakunya. Diskriminasi terhadap homoseksual pada akhirnya
membuat mereka memilih untuk menjalani kehidupan ganda, memilih untuk menikah dan
memiliki anak. Data dari Arus pelangi pada tahun 2013 menyatakan bahwa 89,3% LGBT di
Indonesia pernah mengalami kekerasan, 79,1% dalam bentuk kekerasan psikis, 46,3% dalam
bentuk kekerasan fisik, 26,3% dalam bentuk kekerasan ekonomi, 45,1% dalam bentuk kekerasan
seksual, 63,3% dalam bentuk kekerasan budaya yang pernah dialami LGBT di Indonesia
termasuk pengusiran dari rumah atau kos, dituntut untuk menikah, dan dipaksa untuk menikah

Universitas Sumatera Utara

dengan orang lain yang tidak disukai, dan pelaku kekerasan budaya adalah keluarga (76,4%) dan
teman (26,9%).
Dalam rangka studi seksualitas ini, dipilih dua pendekatan yaitu pendekatan kebudayaan
dan pendekatan struktural-fungsionalisme. Pemilihan dua pendekatan ini didasarkan atas studi ini
sendiri, yaitu tentang perilaku seksualitas untuk memahami mempelajari dimensi masyarakat
yakni remaja mengenai perilaku seksual remaja yang berjudul “Seksualitas Remaja di Kota
Sibolga”. Perbedaan antara pilihan seksual dan tingkah laku seksual tergantung pada perbedaan
lingkungan alam dan kebudayaan. Faktor seksualitas tidak hanya ditentukan oleh kematangan
biologis saja, tetapi faktor kebudayaan dan lingkungan sangat besar pengaruh nya dalam
menentukan perilaku seksual. Berdasarkan konteks kebudayaan dalam membentuk perilaku
seksual individu-individu penyandang kebudayaannya, maka perlu dianalisis bagaimana
interpretasi perilaku seksual dilihat berdasarkan pendekatan kebudayaaan. Berbicara tentang
perilaku seksual menurut kebudayaan maka unsur pengetahuan merupakan dasar utama pada
perilaku seksual individu.
Pengetahuan merupakan unsur yang mengisi akal dan jiwa seseorang manusia yang sadar
secara nyata terkandung dalam otaknya. Dari pengetahuan tersebut akan melahirkan berbagai
dorongan naluri seperti hal nya dorongan seks yang timbul pada tiap individu yang normal tanpa
terkena pengetahuan, dan memang dorongan ini mempunyai landasan biologi yang mendorong
mahkluk manusia untuk membentuk keturunan guna melanjutkan jenisnya. Selanjutnya dalam
buku Seksualitas di Pulau Batam (Lola,1997) turut menyatakan bahwa dorongan seksual
misalnya dalam pendekatan konstruksi sosial (seperti yang dijelaskan sebelumnya) menentang
pemahaman biologis mengenai rangsangan, insting, implus, libido, dan nafsu karena bukan tubuh

Universitas Sumatera Utara

melainkan konstruksi sosial yang telah membentuk dorongan seksual. Lebih lanjut Lola Wagner
menekankan bahwa penelitian atau pembahasan mengenai seksualitas secara khusus perlu
memperitimbangkan faktor siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana dorongan seksual itu
tercipta.
Konstruksi seksualitas remaja dalam kebijakan terkait yaitu Undang-Undang (UU)
Kesehatan RI

No.36 Tahun 2009, meskipun tidak menyebutkan pencegahan terhadap seks

pranikah, namun menyebutkan bahwa pemeliharaan kesehatan remaja ditujukan untuk
mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi
(pasal 136 ayat 1), dan dilakukan agar remaja terbebas dari berbagai ganguan kesehatan yang
dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat (ayat 2).
Beberapa ahli memiliki beberapa pendapat untuk melihat remaja ditinjau dari beberapa
pendekatan, yakni (dalam Gunarsa,2003) :
(1). Pendekatan Psikobiologis
Pendekatan ini mengutamakan pola tingkah laku. Arnold Gesell sependapat
dengan Stanley Hall yang mengemukakan pendekatan ini , bahwa dari hasil
penelitiannya telah dibuat daftar tingkah laku yang merupakan ciri khas dari beberapa
kategori umur tertentu. Dengan daftar tersebut dapat dilihat apakah pola tingkah laku
seorang anak sesuai dengan perkembangan anak lain yang sebaya atau sebaliknya
tidak sesuai. Atau mungkin pola tingkahlaku sama dengan anak-anak yang lebuh tua
sehingga dapat dikatakan bahwa anak tersebut telah mengalami proses perkembangan
yang lebih cepat daripada anak sebayanya.
(2). Pendekatan Kebudayaan (antropologis)

Universitas Sumatera Utara

Beberapa ahli yang telah meneliti sekelompok remaja dalam satu kelompok
budaya, seperti Margareth Mead melihat adanya upacara ritual khusus berhubung
dengan peristiwa datangnya haid pertama pada beberapa kebudayaan di kepulauan
tertentu, hal tersebut ternyata sama sekali tidak ditemukan pada kebudayaan lainnya.
Sedangkan kebudayaan di beberapa tempat menganggap peristiwa tersebut sebagai
suatu kejadian biasa. Sedangkan Ausubel berpendapat bahwa pandangan biologis
sebagai dasar yang menentukan perkembangan masa remaja kurang memuaskan.
Sudah jelas pada masa itu timbul banyak persoalan dan pertentangan. Persoalan yang
dapat atau tidak dapat di elakkan sesuai dengan corak kebudayaan
(3). Pendekatan Psikoanalitis
Aliran psikoanalisa yang lama menganggap masa remaja sebagai suatu masa
dimana kebutuhan dan aktivitas seks timbul lagi setelah mengalami masa laten
dengan penekanan terhadap segala aktivitas seksual. Bertambahnya timbul rasa takut
dan emosionalitas yang tidak stabil. Pendekatan ini menyatakan bahwa tugas dalam
masa remaja adalah memperoleh kembali keseimbangan-keseimbangan antara
ekspresi dan kebutuhan seksual, antar hambatan lingkungan terhadap ekspresi ini dan
kemungkinan yang diberikan oleh realitas dan hati nurani seseorang.

Sedangkan menurut Made Oka Negara, seksualitas secara denotatif memiliki makna yang
luas karena meliputi aspek yang berhubungan dengan seks yang bisa meliputi nilai, sikap,
orientasi, dan perilaku. Selanjutnya mengutip dari artikel Argyo(2013) menyatakan bahwa
seksualitas dapat dilihat secara dimensional yakni yang terdiri dari dimensi biologis, psikososial,

Universitas Sumatera Utara

perilaku, klinis dan kultural. Lebih lanjut Argyo menjelaskan bahwa dimensi biologis tersebut
meliputi bentuk anatomi organ seks hingga fungsi dan proses-proses biologi yang menyertai nya.
Faktor biologi ini mengontrol perkembangan seksual dari konsepsi sampai kelahiran dan
kemampuan bereproduksi setelah pubertas. Dimensi psikososial meliputi faktor psikis yakni
emosi, pandangan, dan kepribadian yang berkolaborasi dengan faktor sosial yaitu bagaimana
manusia berinteraksi dengan lingkungannya secara seksual. Dimensi klinis seksualitas
memberikan solusi terhadap masalah seperti kecemasan, depresi, konflik dalam hubungan dan
masalah-masalah lain yang dapat menghambat tercapainya kebahagiaan seksual. Dimensi
kultural seksualitas berkaitan dengan aturan yang ada dimasyarakat dalam hal ini, terdapat
banyak aturan seperti nilai dan norma didalam masyarakat. Misalnya ada „moral‟ yang dikaitan
dengan masalah seksualitas berbeda dari satu budaya ke budaya lain, dari masa ke masa.
Sehingga berbagai perubahan perilaku terutama perilaku seksual di Indonesia tidak lepas dari
dimensi kultural ini.
Berbicara mengenai manusia juga berbicara mengenai perilaku. Manusia berperilaku,
perilaku itu sendiri merupakan sesuatu yang dapat dilihat dari hasil „budayanya‟. Agar
mendeskripsikan budaya (blueprint) seseorang dapat di observasi dari „perilakunya‟. Menurut
Skinner (dalam Notoadmojo,2010) perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan atau aktivitas
dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara,
menangis, bekerja dan sebagainya.
Berbagai pengertian mengenai perilaku seksual dipaparkan guna menambah referensi
yang jelas apa itu, bagaimana terjadi nya, faktor yang mempengaruhi, dan peneliti berusaha

Universitas Sumatera Utara

memaparkan perilaku seksual dari berbagai aspek yakni dari berbagai pendapat para ahli yang
sudah melakukan penelitian mengenai perilaku seksual.
Perilaku seksual adalah perilaku yang timbul sebagai akibat dorongan seksual dalam diri
seseorang. Perilaku seksual adalah perilaku yang didasari dorongan seksual atau kegiatan untuk
mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku (Feldman dan Parrot). Perilaku
seksual merupakan segala perilaku yang didasari oleh dorongan seksual dan berhubungan dengan
fungsi reproduktif atau yang merangsang sensasi reseptor yang terletak pada atau disekitar organorgan reproduktif dan daerah-daerah erogen untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan
seksual terutama orgasme, membatasi dan mengatur perilaku (Lola, 1997).
Perilaku seks pada remaja, adalah segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat
seksual, baik dengan lawan jenis maupun sejenis. Bentuk-bentuk seksual bermacam-macam,
mulai dari tertarik hingga pada tingkah laku berfantasi, berkencan, bercumbu, dan bersenggama
(Basri dalam Yuli dkk,2010).
Menurut Kinsley (dalam Susanti,2001) perilaku seksual meliputi empat tahap sebagai
berikut :
1. Bersentuhan (touching) mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan
2. Berciuman (kissing) mulai dari ciuman singkat hingga ciuman bibir yang
mempermainkan lidah
3. Bercumbuan (petting) menyentuh bagian sensitive dari tubuh pasangan dan mengarah
pada pembangkitan gairah seksual
4. Berhubungan kelamin

Universitas Sumatera Utara

Tahapan perilaku seksual pada dasarnya beragam antar pada tiap-tiap individu, namun
secara khusus dapat di identifikasikan bahwa tahapan perilaku seksual yang dilakukan individu
merupakan suatu rangkaian perilaku yang makin tinggi tahapan perilakunya maka mempunyai
nilai keintiman yang semakin tinggi pula.
Membicarakan dimensi perilaku seksual, sebaiknya kita menghindarkan diri dari
menghakimi perilaku seksual orang lain dengan menggunakan nilai dan pengalaman diri sendiri.
Istilah „normal‟ seringkali dilabelkan kepada apa yang kita sendiri lakukan dan rasakan nyaman,
sedang „abnormal‟ diartikan‟ sebagai apa yang dilakukan oleh orang lain yang berbeda atau
terasa ganjil bagi kita.
Dari fenomena LGBT yang semakin banyak dibahas dan diungkapkan,di beberapa kota di
Indonesia „waria‟ sudah memiliki ruang tersendiri di masyarakat walaupun terdapat berbagai
kontroversi mengenai eksistensi nya. Kembali mengutip dari tulisan Argyo (2013) :
Perlu diingat bahwa ada budaya-budaya yang mengakui adanya lebih
dari dua gender. Budaya Indonesia modern, misalnya dapat dipandang
sebagai mengakui adanya tiga gender, yaitu jantan, betina, dan banci.

Menurut L.Green, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seksual antara
lain (Notoatmodjo,2003):
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mendahului
perilaku yang memberikan dasar rasional atau motivasi untuk perilaku tersebut antara
lain terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai
dan sebagainya. Dalam hal ini khususnya yang berkaitan dengan perilaku seksual
remaja

Universitas Sumatera Utara

2. Faktor-faktor penyebab (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang mendahului
perilaku yang memungkinkan sebuah motivasi untuk direalisasikan, yaitu antara lain
ketersediaan sumberdaya kesehatan, keterjangkauan sumberdaya kesehatan, dan
keterampilan tenaga ke