MAKALAH KESULTANAN ACEH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latarbelakang
Islam di Aceh merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh. Banyak
ahli sejarah baik dalam maupun luar negeri yang berpendapat bahwa agama Islam pertama
sekali masuk ke Indonesia melalui Aceh.Keterangan Marco Polo yang singgah di Perlak pada
tahun 1292 menyatakan bahwa negeri itu sudah menganut agama Islam. Begitu juga
Samudera-Pasai, berdasarkan makam yang diketemukan di bekas kerajaan tersebut dan berita
sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan bahwa kerajaan ini sudah menjadi
kerajaan Islam sekitar 1270.
Tentang sejarah perkembangan Islam di daerah Aceh pada zaman-zaman permulaan
itu petunjuk yang ada selain yang telah kita sebutkan pada bagian-bagian yang lalu ada pada
naskah-naskah yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti Kitab Sejarah Melayu, Hikayat
Raja-Raja Pasai. Menurut kedua kitab tersebut, seorang mubaligh yang bernama Syekh
Ismail telah datang dari Mekkah sengaja menuju Samudera untuk mengislamkan penduduk di
sana. Sesudah menyebarkan agama Islam seperlunya, Svekh Ismail pun pulang kembali ke
Mekkah. Perlu uga disebutkan di sini bahwa dalam kedua kitab ini disebutkan pula negerinegeri lain di Aceh yang turut diislamkan, antara lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana perkembangan islam di Aceh
1.3.Tujuan
Agar kita mengetahui bagaimana sejarah islam di Aceh


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan islam pada masa kesultanan Aceh
Sebelum Aceh berdiri menjadi sebuah kerajaan yang berdiri sendiri (bukan daerah taklukan),
di daerah Sumatera Utara telah terdapat enam kerajaan yang terpenting, yaitu Kerajaan
Perlak, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Teumiang (Burma), Kerajaan Pedie (Pedir/Pidie),
Kerajaan Indera Purba (Lamuri/Lambri) dan Kerajaan Indera Jaya.
Kesultanan Aceh Darussalam didirikan oleh seorang ahli tasawuf dari Parsi (ada yang
mengatakan orang India keturunan Parsi) yang datang untuk memesatkan perkembangan
dakwah Islam di Nusantara khususnya di kawasan Aceh dan Sumatera setelah mendengar
mengenai perkembangan dakwah Islam di Perlak dan Samudera Pasai. Seorang ahli tasawuf
tersebut bernama Jihan Syah atau Johan Syah. Beliau menikahi perempuan pribumi dan
memiliki seorang anak laki-laki. Kemudian mendirikan Kesultanan Aceh pada tahun 601
H/1205 M. dan, menjadi sultan Aceh sampai 631 H/1235 M.
Ketika Sultan Johan Syah wafat, maka tampuk kepemimpinan dilanjutkan oleh keturunannya
(yang dikenal dengan Dinasti Johan Syah) sampai tahun 811 H/1408 M. Setelah itu,
Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin oleh dinasti-dinasti yang lain secara bergantian. Para
sultan yang memerintah Aceh Darussalam setelah wafatnya Johan Syah dari keturunannya
adalah Sultan Ahmad Riayat Syah (631-665 H/1235-1269 M.), Sultan Mahmud Syah (665708 ./1269-1308 M.), Sultan Firman Syah (708-755 H/1308-1345 M.), dan Sultan Mansyur

Syah

(755-811

H/1345-1408

M.).

Mereka

menjadikan

Ramni

menjadi

pusat

pemerintahannya. Setelah wafatnya Sultan Mansur Syah, naiklah seorang yang bukan berasal
dari keturunan Johan Syah dengan gelar Sultan Alauddin Inayat Syah, anak dari Abdullah AlMalikulmubin. Beliau berkuasa periode 811-870 H/1408-1465 M.

Pada mulanya pusat pemerintahan Aceh terletak di satu tempat yang dinamakan kampung
Ramni dan dipindahkan ke Darul Kamal oleh Sultan Alauddin Inayat Syah. Kemudian setelah
wafatnya Sultan Alauddin Inayat, maka naik tahta Sultan Muzaffar Syah (870-901 H./14651497 M). Beliaulah yang menata dan membangun Aceh Darussalam.
Sebagaimana keterangan di atas, bahwa Kesultanan Aceh Darussalam belum menjadi sebuah
kerajaan yang berdiri sendiri tetapi masih berupa kerajaan taklukkan, maka pada saat

kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1497-1530) Aceh mampu keluar dari pengaruh
kerajaan penakluknya bahkan balik mempengaruhi kerajaan penakluknya. Selain itu, Sultan
Ali Mughayat Syah berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan yang telah muncul sebelumnya ke
dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dan saat itulah Kesultanan Aceh mulai
berkembang di berbagai bidang seperti perluasan wilayah, melakukan perlawanan pada
Portugis dan perkembangan perekonomian. Sepeninggal Sultan Ali Mughyat Syah, naik
tahtalah anaknya Sultan Salahuddin (1530-1538 M.), namun dikarenakan bersikap terlalu
lunak pada Portugis dan kurang memerhatikan pemerintahan maka digantikan oleh
saudaranya Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (1538-1571 M.). Pada masa kekuasaanya
pernah dilakukan penyerangan ke Malaka pada tahun 1547 M dan 1568 M.
Ketika berakhirnya kekuasaan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, untuk beberapa lama
kesultanan Aceh mengalami kemelut disebabkan perebutan kekuasaan di antara pewaris
kekuasaan. Akhirnya setelah melewati masa-masa tersebut pada tahun 1596 kekuasaan
diambil alih oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Said al-Mukammal sampai 1604 dan

diteruskan oleh Sultan Ali Riayat Syah periode 1604-1607 Aceh menjadi stabil kembali.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M.). Kemudian beliau digantikan oleh menantunya Sultan
Iskandar Tsani yang berkuasa sampai 1641 M. Setelah itu kesultanan sempat dipimpin oleh
beberapa Sultanah sampai pada tahun 1699 M.
Kesultanan Aceh Darussalam masih berdiri sampai tahun 1903 tetapi eksistensi dari
Kesultanan Aceh mulai memudar karena penerus kekuasaan yang bersikap lunak pada bangsa
asing dan terjadinya perebutan kekuasaan, sehingga berakhirlah Kesultanan Aceh pada tahun
1903.

Peran dalam Penyebaran Islam
Ulama-ulama yang berada di Kesultanan Aceh sangat memengaruhi berkembangnya
penyebaran Islam. Mereka pun mendapat andil dalam perjuangan melawan para kompeni
bersama tokoh-tokoh lainnya. Dengan demikian, Sultan Kerajaan Aceh menaruh perhatian
terhadap ulama-ulama dengan menempatkannya dalam posisi jabatan, baik sebagai
Mangkubumi atau lainnya.

Ada pula ulama yang mendapatkan kesempatan untuk mengelola serta mengawasi Masjid
Raja dan sekitarnya. Sultan tidak memerintah langsung melainkan melimpahkannya kepada
hakim tertinggi kerajaan Teuku Kadli Malikul Adil dan Panglima Masjid Raya.

Kesultanan Aceh memiliki andil dalam menyebarluaskan Islam ke berbagai daerah, baik yang
masih di Pulau Sumatera atau luar Pulau Sumatera. Ekspansi-ekspansi yang dilakukan pada
masa Kesultanan Aceh tidak hanya berunsur politik semata, melainkan dengan tujuan
memesatkan dakwah Islam. Selain itu telah ditemukan satu dokumentasi tua yang berupa graf
(graph) yang menunjukkan bahwa sekumpulan pendakwah yang diketuai oleh Abdullah alMalikulmubin menyebarluaskan Islam ke Kedah (Semenanjung tanah Melayu), Campa,
Minangkabau, dan Patani (Utara Semenanjung Tanah Melayu).Masa kekuasaan Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, beliau mengutus Syarif Hidayatullah (Ahmad Fathullah)
untuk menyebarluaskan Islam di Pulau Jawa. Syarif Hidayatullah berhasil menyebarkan
Islam di Jawa Timur dan Jawa Barat. Selain itu Syarif Hidayatullah pun memimpin mujahidin
menghalau tentara Portugis. Karena pengaruh dan jasanya, maka dianggap oleh muslimin
Jawa Barat sebagai wali Allah dan diberi gelar Sunan Gunung Djati. Peran lain Ulama di
Aceh yaitu adanya lembaga-lembaga yang diberikan sultan secara sengaja untuk
menghimpun para ulama dalam mendiskusikan berbagai masalah keagamaan, seperti Balai
Jamaah Himpunan Ulama dan Balai Setia Hukama’. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam
mulai timbulnya ilmu tasawuf. Keempat ulama besar yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin alSumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdu Rauf al-Singkeli mempunyai latar belakang
tasawuf, bahkan Hamzah Fansuri memiliki faham tersendiri, yaitu Wahdatul Wujud yang
ditentang keras oleh Nuruddin ar-Raniri dengan faham Wahdatul Syuhud-nya. Dikarenakan
berkembang pesatnya Islam pada masa Kesultanan Aceh Darussalam maka banyak pula
ulama-ulama besar menghasilkan karya, seperti Hamzah Fansuri dengan karya Tibyan fi
Ma’rifati al-U Adyan, Syamsuddin as-Sumantrani dengan karya Mi’raj al-Muhakikin alIman, Nuruddin ar-Raniri dengan karya Sirat al-Mustaqim, dan Abdur Rauf as-Singkeli

dengan karya Mi’raj at-Tulaab fi Fashil. Masih banyak karya mereka yang tidak dapat
disebut satu per satu.

BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan kepada
warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan semua nilai
yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan
dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Islam sendiri
adalah proses bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang
baik (insan kamil)
Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam di Aceh, tidak terlepas
dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama serta pujangga, baik dari luar
maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani,
dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan
Aceh sebagai pusat pengkajian Islam.