BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan - YULI TRI WILIYANTI BAB II

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian dengan judul Feminisme dalam Novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf . Penelitian tersebut dilakukan oleh Arum Rini Asih di Universitas Muhammadiyah pada tahun 2010. Penelitian tersebut dimulai dengan menentukan fakta cerita yang meliputi alur, tokoh

  dan penokohan, kemudian latar atau setting. Setelah menentukan fakta cerita peneliti menganalisis feminisme yaitu tentang penindasan-penindasan dalam novel Tanah

  

Tabu yang meliputi penindasan keluarga, penindasan pendidikan, penindasan politik,

  dan penindasan pemerintah. Mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan Arum Rini Asih tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian tentang feminisme dalam novel, yang berjudul Konsep Feminisme Islam dalam Novel Mataraisa karya

  

Abidah El Khalieqy. Penelitian ini memiliki perbedaan dibanding penelitian yang

sebelumnya, yaitu terletak pada objek penelitian dan sumber data.

  Objek dalam penelitian Arum Rini Asih adalah kajian feminisme, sedangkan pada penelitian ini adalah konsep feminisme Islam. Sumber data yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, sedangkan pada penelitian ini adalah novel Mataraisa karya Abidah El Khalieqy. Perbedaan yang lain adalah dalam penelitian ini peneliti mencoba merelevansikan dengan kehidupan nyata sedangkan pada penelitian sebelumnya tidak. Dengan demikian, penelitian ini benar! berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga perlu dilakukan.

  8

B. Feminisme Islam

  Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan genetis, sebagai hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis dan kultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan maskulin feminin mengacu pada jenis kelamin atau gender (Ratna, 2011:184).

  Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Kemudian dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi (Ratna,2011: 184). Tujuan inti dari gerakan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan atau derajat laki-laki ( Djajanegara, 2000:4).

  Geofe dalam Sugihastuti dan Suharto (2010:61), mengemukakan feminisme merupakan kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan.Kemudian Fakih dkk (2000: 38), menyatakan feminisme adalah suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami deskriminasi dan usaha untuk menghentikan deskriminasi tersebut. Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sofia dan Sugihastuti, 2003:24).

  Pengertian feminis tersebut masih secara umum. Faham feminis lahir dan mulai berkobar sekitar akhir 1960 di Barat, sedangkan di Indonesia feminisme dikenal sejak awal tahun 1970-an tetapi baru tahun 1990-an istilah feminisme selanjutnya dikaitkan dengan Islam (Fakih dkk, 2000: 201). Secara umum feminisme Islam sama halnya seperti feminisme pada umumnya. Ciri-ciri feminisme Islam adalah prinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks keagamaan seperti Qur‟an, hadist dan tradisi keagamaan dengan realitas perlakuan terhadap perempuan yang ada dalam masyarakat muslim (Fakih dkk, 2000: 202).

  Hal yang menjadi ciri khas gerakan feminisme Islam, yaitu (1) Feminisme Islam harus mendasarkan diri kepada agama. Artinya bahwa feminis Islam harus menyadari bahwa agama Islam merupakan sumber nilai dan pendukung terbaik dalam perjuangannya dan yang menjamin akan hak-hak perempuan yang terkandung pada ajaran yang tertulis di dalam QS. Al-Israa : 9 yang artinya sebagai berikut.

  “ Sesungguhnya Al-Qur‟an adalah petunjuk jalan yang lurus dan memberikan kabar gembira kepada orang- orang yang mu‟min (laki-laki dan perempuan) yang mengerjakan amal sholeh akan mendapat pahala yang besar”

  Ayat tersebut menjelaskan bahwa Al- Qur‟an merupakan pedoman dasar agama Islam untuk menjalankan kehidupan nyata baik laki- laki atau perempuan sebagai mu‟min,

  (2) Feminisme Islam mestinya tidak bersikap chauvinistik. Artinya kaum feminis Islam jangan hanya menekankan kekuatannya kepada perempuan dengan mengabaikan potensi kekuatan laki-laki, bahkan meruntuhkannya. Sebab laki-laki dan perempuan sebenarnya diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi dan hidup secara harmonis menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, (3) Feminisme Islam harus memandang ajaran Islam secara integral dan menyeluruh. Artinya al- Qur‟an dan tradisi-tradisi Islam yang pernah muncul dalam sejarah, dapat dijadikan pisau bedah analisis dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya (Mustaqim, 2008:108-109).Prinsip dasar Islam memperlakukan atau meletakkan posisi kaum perempuan(muslimat) secara adil dan secara gender dikaitkan dengan kaum laki-laki.

  Dalam Al- Qur‟an sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukkan bahwa pada dasarnya mengakui, bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah adil karena mereka diciptakan dari jenis yang sama. Sebagai rujukan Q.s. An-Nisaa:1 berikut ini.

  “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu dari jenis yang sama dan daripada keduanya memperkembangbiakan laki- laki dan perempuan yang banyak”

  Ayat tersebut merupakan penegasan bahwa keduanya diciptakan dari satu “nafs” (jenis), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Dalam Al- Qur‟an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam as, sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al- Quran terhadap hak kaum laki-laki dan perempuan adalah sama. (Fakih, dkk, 2000: 50-51).

  Berdasarkan pendapat dari masing-masing sumber dapat disimpulkan bahwa feminisme Islam merupakan sebuah gerakan untuk meningkatkan kesetaraan kedudukan kaum perempuaan agar dapat lebih dihormati dan mendapat porsi yang sama dengan kaum laki-laki.Manusia pada dasarnya diciptakan Allah SWT dari jenis yang sama. Kedudukan manusia dihadapan Allah SWT adalah sama. Laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama, yang membedakan keduanya adalah tingkat ketakwaannya.

  Konsep feminisme Islam erat kaitannya dengan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam Islam. Kesetaraan gender telah menjadi persoalan yang melahirkan ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan terutama untuk kaum perempuan. Persoalan tentang gender dalam perspektif Islam terletak pada skala prioritas dimana unsur-unsur kesadaran pembebasan kaum perempuan di dalam dasar perjuangan Islam (Fakih dkk, 2000:236). Fakih dkk, (2000: 152-153) mengemukakan bahwa,konsep feminisme menurut pandangan Islam, yaitu : Dari segi persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan : a) dalam bidang pendidikan Islam tidak membatasi antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Hal tersebut dijelaskan dalam HR Ibnu Majah dari Anas r.a “ Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim, baik

  laki-laki maupun perempuan

  ”, b) Dari segi kekurangan dan kelebihan di dalam kehidupan untuk saling mengisi dan melengkapi antara kaum laki-laki dan perempuan sehingga terciptanya keluarga yang harmonis. Dijelaskan dalam QS. Faathir : 11 menerangkan bahwa

  “perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dengan derajat yang

  sama, karena keduanya sama

  • – sama diciptakan dari air mani, jadi Allah SWT

    menciptakan laki-laki dan perempuan itu untuk saling melengkapi dan berpasangan

    dalam memperoleh keseimbangan kehidupan . Di hadapan Allah SWT, laki-laki dan

  perempuan adalah sama. Islam bukan hanya agama yang mengutamakan segi-segi ritual saja (hablun minallah), tetapi dimaksudkan juga untuk menegakkan kemaslahatan umat manusia (rahmatan lil‟alamin).

  Ketidakadilan gender dalam penafsiran mufassir klasik dinilai oleh para

  

mufassir feminis adalah akibat tidak dipahaminya teks-teks keagamaan tentang

  perempuan. Menyadari bahwa agama Islam dengan membawa misi menegakkan keadilan-keadilan bagi siapa pun, muslim- non muslim, laki-laki perempuan dan seterusnya para mufassir-feminis berupaya untuk menafsirkan kembali teks-teks keagamaan Islam yang secara harfiah mengakui superioritas laki-laki itu dengan perspektif keadilan gender (Mustaqim, 2008:116).

  Perbedaan gender melahirkan peran gender yang sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah, sehingga tidak perlu digugat, akan tetapi dengan menggunakan analisis gender ternyata ditemukan berbagai manifestasi ketidakadilan yaitu: (1) terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan disebabkan oleh perbedaan gender. Di dunia ini banyak sekali pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti guru Taman Kanak-kanak dan sekretaris. Hal tersebut seringkali berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut, (2) adanya pelabelan negatif (stereotipe) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibatnya terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan, sehingga dalam masyarakat stereotipe dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, dan merugikan, (3) menganggap peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (Fakih, 2012: 72-75).

  Sebelum agama Islam datang, perempuan sering menjadi bahan perdebatan dalam berbagai forum. Sekarang, perempuan sudah mendapatkan posisi yang terhormat. Perempuan sama dengan laki-laki dalam hal rohnya, hak-haknya, dan kemanusiaannya. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kalaupun ada perbedaan, hal tersebut dikarenakan akibat fungsi dan tugas utama masing-masing jenis kelamin melalui ajarannya dalam Al-

  Qur‟an dan As-Sunnah. Perbedaan yang ada tidak mengakibatkan saling memiliki kelebihan atas yang lain, tetapi mereka saling melengkapi satu sama lain. Kenyataan secara sosial, perempuan cenderung dinomorduakan dalam berbagai aspek. Bahwa dalam kehidupan sosial kaum perempuan sering mengalami ketertindasan, tidak bisa dilepaskan dari penafsiran agama yang patriarkis. Dalam pendekatan feminis terhadap teks-teks keagamaan ini, kerangka yang dikedepankan adalah soal kesetaraan gender, yakni bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata agama. Dengan pendekatan tersebut, teks-teks keagamaan yang cenderung hirarkis ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara ( Mustaqim, 2008:119).

  Kenyataan dalam kehidupan sosial, perempuan sering dinomorduakan dan dianggap memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki, namun perempuan pada dasarnya memiliki hak-hak dalam kehidupannya. Seperti yang dijelaskan pada QS. An-Nisa : 32 yang artinya sebagai berikut.

  “Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang di anugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang di anugerahkan kepadanya”

  Dari bunyi ayat tersebut dapat disimpulkan Allah SWT telah menuliskan di Al-Quran bahwa bukan hanya laki

  • – laki yang memiliki hak dalam menjalani kehidupan, tetapi perempuan pun memiliki hak tersendiri yang telah di anugerahkan kepadanya.

  Qardlawi dkk (2004: 33), menyatakan hak-hak perempuan meliputi: (1) dalam bidang politik, artinya perempuan dapat ikut berperan aktif dalam menjalankan kegiatan politik, contohnya perempuan sebagai pemimpin musyawarah (syura) karena tidak tercantum dalam agama bahwa seorang pemimpin harus laki-laki, (2) di bidang pekerjaan, artinya seorang perempuan tidak dibatasi dalam memilih pekerjaan yang berat ataupun ringan selagi pekerjaan tersebut membutuhkannya atau sebaliknya.

  Contohnya perempuan di zaman nabi banyak sekali yang terlibat di dalam peperangan dan bukan hanya laki-laki saja, (3) hak di bidang pendidikan atau kewajiban belajar, artinya perempuan diwajibkan untuk menuntut ilmu sebanyak mungkin, contohnya perempuan juga berhak menyandang gelar sarjana ataupun yang lainnya. Perempuan dapat berfikir, mempelajari dan mengamalkan ilmu yang sudah didapatnya.

  Berdasarkan pendapat dari masing-masing sumber dapat disimpulkan bahwa konsep feminisme Islam dapat disebutkan seperti: (1) Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi persamaan di bidang pendidikan dan keseimbangan laki-laki dan perempuan untuk menjadi keluarga harmonis. Artinya kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, sama-sama memiliki peran dan beban tanggung jawab masing-masing. Laki-laki dan perempuan dapat bekerjasama dan menjadi rekan kerja yang baik. Artinya perempuan dapat dipimpin dan dapat memimpin laki-laki, karena pada kodratnya mereka saling melengkapi untuk keseimbangan dalam hidup, (2) Hak masing-masing. Artinya laki-laki memiliki hak dan peranan yang kuat, begitu pula dengan perempuan. Hak-hak perempuan dalam Islam seperti bidang pendidikan,, dan bidang pekerjaan untuk berperan dalam masyarakat atau politik.

C. Kritik Sastra Feminis

  Kritik sastra feminis berawal dari hasrat untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis- penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan(Djajanegara, 2000: 27). Menurut Baso (2000: 17), keyakinan masyarakat bahwa posisi perempuan itu untuk “melayani” mengakibatkan perempuan ditempatkan sebagai properti (barang) milik laki-laki untuk diperlakukan apa saja, termasuk dalam tindak kekerasan.Pada permulaan tahun 1920-an ada tanda-tanda terang untuk pendekatan baru dan berbeda dalam hubungan penulis perempuan dengan karya sastra, yang menyebabkan lahirnya kritik feminis. Akhir tahun 1960-an kritik feminis ini adalah satu kritik (sastra) yang berusaha mendeskripsikan dan menafsirkan (serta menafsirkan kembali) pengalaman perempuan dalam berbagai karya sastra terutama dalam novel (Pradotokusumo, 2005: 83).

  Kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika dalam sastra barat dianggap yang mewakili pembaca dan penciptanya adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010:18). Menurut Culler dalam Sugihastuti dan Suharto (2010:19), kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, juga bukanlah kritik tentang pengarang perempuan. Arti sederhana yang dikandungnya ialah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus. Kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.

  Kritik sastra feminis di dunia Barat sering dimetaforakan sebagai quilt. Quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan-potongan kain persegi itu pada bagian bawahnya dilapisi dengan kain lembut. Jahitan potongan kain itu memakan waktu cukup lama dan biasanya dikerjakan oleh beberapa orang. Metafora ini dapat dikenakan sebagai metafora pengertian kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat secara sadar membaca karya sastra sebagai perempuan ( Sugihastuti dan Suharto, 2010: 20).

  Dominasi laki-laki terhadap wanita, telah mempengaruhi kondisi sastra, antara lain: (1) nilai dan konvensi sastra sering didominasi oleh kekuasaan laki-laki, sehingga wanita selalu berada pada posisi berjuang terus-menerus ke arah kesetaraan gender, (2) penulis laki-laki sering berat sebelah, sehingga menganggap wanita adalah objek fantastis yang menarik. Wanita selalu dijadikan objek kesenangan sepintas oleh laki- laki. Karya-karya demikian selalu memihak, bahwa wanita sekedar orang yang berguna untuk melampiaskan nafsu semata, (3) wanita adalah figur yang menjadi bunga-bunga sastra, sehingga sering terjadi tindak asusila laki-laki, pemerkosaan, dan sejenisnya yang seakan-akan memojokkan wanita pada posisi lemah (Endraswara, 2003:148).

  Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa segala macam permasalahan yang dihadapi perempuan dalam dunia nyata juga dapat terjadi dalam dunia karya sastra. Pengarang adalah bagian dari masyarakat dan hidup dalam masyarakat. Pengarang menciptakan suatu karya sastra merupakan cerminan dari masyarakat atau pengalaman pribadi, sehingga untuk menganalisis suatu karya sastra dapat dilakukan dengan kritik sastra feminis.

D. Tokoh dalam Karya Sastra

  Tokoh cerita (character), menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007: 165), adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Menurut Sayuti (2000: 74) tokoh merupakan elemen struktural fiksi yang melahirkan suatu peristiwa. Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yakni: (a) Tokoh sentral (tokoh utama) merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar pada peristiwa dalam cerita, (b) Tokoh periferal (tokoh tambahan) merupakan tokoh yang hanya ditampilkan sekali atau beberapa kali dalam sebuah cerita.Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a.

   Tokoh Protagonis

  Menurut Altenberg & Irwis (dalam Nurgiyantoro, 2007: 178), tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero. Tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan pembaca.Tokoh protagonis merupakan tokoh yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.Tokoh tersebut dapat menjadi inspirasi dalam kehidupan.

b. Tokoh Antagonis

  Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik. Tokoh antagonis selalu beroposisi dengan tokoh protagonis (Nurgiyantoro, 2007:178).Tokoh cerita dalam sebuah fiksi harus bisa dipandang sebagai elemen dalam sebuah keseluruhan artistik yang lebih besar (Sayuti, 2000: 112). Dalam fiksi, motivasi tokoh dibagi menjadi dua, yaitu bersifat umum dan khusus. Motivasi tokoh yang bersifat umum mencakup dorongan manusia yang paling mendasar, seperti cinta, kelaparan, keserakahan, dan sejenisnya. Motivasi tokoh bersifat khusus mengikutsertakan penerapan yang bersifat individual dari dorongan mendasar tertentu.Dari pendapat tersebut mengenai uraian tokoh dapat disimpulkan bahwa tokoh memiliki peranan penting dalam suatu cerita. Tokoh merupakan bagian utama dalam sebuah karya sastra khususnya dalam karya naratif. Cerita apabila tidak ada tokoh maka suatu peristiwa dalam cerita tidak akan ada, karena tokoh merupakan subjek yang meggerakkan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Jadi tokoh dalam karya sastra merupakan unsur pembangun, karena tanpa adanya tokoh suatu cerita tidak akan memiliki jalan cerita.

E. Relevansi Sastra dengan Masyarakat

  Sastra diciptakan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang- seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Damono, 2002: 1).Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dan pembacanya. Pengarang sebagai seorang zender (pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman sebagai cerminan dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan). Berarti bahwa karya sastra sekaligus merupakan alat komunikasi yang jitu. Hal ini diakui oleh Bert van Heste (dalam Endraswara,

  2003: 89), bahwa karya sastra merupakan alat komunikasi kelompok dan juga individu.Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sehingga harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.

  a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.

  b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.

  c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.

  d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.

  e. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya (Ratna, 2011: 332-333).

  Menurut Swingewood dalam Damono (2002: 11-12), tentang hubungan antara sosiologi dan sastra ia tidak berpihak pada pandangan yang menganggap sastra sebagai sekedar bahan sampingan saja. Diingatkannya bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan” sastra adalah cermin masyarakat”. Simmel dalam Faruk (2010:54) mengemukakan, bahwa sastra tentu saja dapat ditempatkan sebagai salah satu bentuk interaksi sosial yang mikro yang sekaligus merepresentasikan struktur sosial yang makro. Damono (2002:9), menyatakan bahwa sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dari pendapat tersebut intinya bahwa sastra berhubungan dengan kehidupan sosial manusia yang menceritakan kehidupan masyarakat berupa pikiran imajinatif pengarang yang kemudian menghasilkan suatu karya sastra sehingga dapat dinikmati pembaca.