BAB II TINJAUAN PUSTAKA - DAHLIA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sectio Caesarea

  1. Pengertian Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan

  anak lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn & William, 2010).

  Menurut Amru Sofian (2012) Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut (Amin & Hardhi, 2013).

  Sectio Caesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui

  insisi pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi) (Rasjidi, 2009).

  Dari beberapa pengertian tentang Sectio Caesarea diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Sectio Caesarea adalah suatu tindakan pembedahan yang tujuannya untuk mengeluarkan janin dengan cara melakukan sayatan pada dinding abdomen dan dinding uterus.

  2. Etiologi

  Menurut Amin & Hardi (2013) etiologi Sectio Caesarea ada dua yaitu sebagai berikut: a. Etiologi yang berasal dari ibu Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua disertai kelainan letak ada, disporporsi sefalo pelvik

  (disproporsi janin/ panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat kesempitan panggul, placenta

  previa terutama pada primigravida, solutsio placenta tingkat I -

  II, komplikasi kehamilan yaitu preeklampsi-eklampsia, atas permitaan, kehamilan yang disertai penyakit (jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya).

  b. Etiologi yang berasal dari janin Fetal distress/ gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forseps ekstraksi.

3. Komplikasi

  Menurut Wikjosastro (2007) komplikasi Sectio Caesarea sebagai berikut: a. Komplikasi pada ibu

  1) Infeksi puerperal

  Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas; atau bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis dan sebagainya. Infeksi postoperatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala – gejala yang merupakan presdisposisi terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya).

  2) Perdarahan

  Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang – cabang arteri uterina ikut terbuka, atau karena atonia uteri. 3)

  Komplikasi – komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme paru – paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi. 4)

  Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura uteri. Kemungkinan peristiwa ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea klasik.

  b. Komplikasi pada bayi Nasib anak yang dilahirkan dengan Sectio Caesarea banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan Sectio Caesarea.

4. Indikasi dan kontra Indikasi

  Menurut Rasjidi (2009) indikasi dan kontra indikasi dari Sectio

  Caesarea sebagai berikut:

  a. Indikasi Sectio Caesarea 1)

  Indikasi mutlak Indikasi Ibu

  a) Panggul sempit absolut

  b) Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya stimulasi c) Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi d)

  Stenosis serviks atau vagina

e) Placenta previa

  f) Disproporsi sefalopelvik

  g) Ruptur uteri membakat

  Indikasi janin

  a) Kelainan letak

  b) Gawat janin

  c) Prolapsus placenta

  d) Perkembangan bayi yang terhambat

  e) Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklampsia.

  2) Indikasi relatif

  a) Riwayat Sectio Caesarea sebelumnya

  b) Presentasi bokong

  c) Distosia

  d) Fetal distress

  e) Preeklampsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes f) Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu

  3) Indikasi Sosial

  a) Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman sebelumnya.

  b) Wanita yang ingin Sectio Caesarea elektif karena takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi resiko kerusakan dasar panggul.

  c) Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau sexuality image setelah melahirkan.

  b. Kontra indikasi Kontraindikasi dari Sectio Caesarea adalah:

  1) Janin mati

  2) Syok

  3) Anemia berat

  4) Kelainan kongenital berat

  5) Infeksi piogenik pada dinding abdomen

6) Minimnya fasilitas operasi sectio caesarea.

B. Placenta Previa 1. Pengertian Placenta Previa

  Placenta Previa adalah plasenta dengan implantasi di sekitar

  segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh

  Ostium Uteri Internum (Manuaba, 2002)

  Menurut Winknjosastro(1999) placenta previa adalah plasenta ada didepan jalan lahir (prae = didepan ; vias : jalan), di kutip dalam buku (Rukiyah & yulianti, 2010).

  Placenta previa adalah keadaan di mana implantasi plasenta terletak pada atau didekat serviks (Saifuddin dkk, 2002).

  Placenta Previa adalah keadaan dimana placenta berimplantasi

  pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagaian atau seluruh pembukaan jalan lahir (Ostium Uteri Internal) (Mochtar, 1998 : Nugraheny, 2010).

  Dari beberapa pengertian placenta previa diatas dapat diambil kesimpulan bahwa placenta previa adalah palcenta yang implantasinya berada di depan jalan lahir sehingga menutupi seluruh permukaan atau sebagian pembukaan jalan lahir.

2. Etiologi

  Etiologi placenta previa tidak diketahui namun lebih sering dijumpai pada multipara dan kalau placentanya lebar serta tipis.

  Diperkirakan kalau terdapat defisiensi endometrium dan decidua pada segmen atas uterus, maka placenta akan meluas dalam upanyanya untuk mendapatkan suplai darah yang lebih memadai (Oxorn & William, 2010).

  Sedangkan menurut Winkjosatro (1999) perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dari placenta previa. dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi dan serviks akan lebih membuka. Darahnya berwarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan solusio placenta yang berwarna kehitam-hitaman (Rukiyah & Yulianti, 2010).

  Faktor – faktor yang meningkatkan kejadian placenta previa (Manuaba, 2010).

  a. Umur penderita 1)

  Umur muda karena endometrium masih belum sempurna 2)

  Umur di atas 35 tahun karena tumbuh endometrium yang kurang subur.

  b. Paritas Pada paritas yang tinggi kejadian placenta previa makin besar karena endometrium belum sempat tumbuh.

  c. Hipoplasi endometrium bila kawin dan hamil diumur muda d. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi e. Endometrium yang cacat

  1) Bekas persalinan berulang dengan jarak pendek

  2) Bekas operasi, bekas kuretase atau placenta manual

  3) Perubahan endometrium pada mioma uteri atau polip

  4) Pada keadaan mal nutrisi.

  3. Manifestasi klinis

  Keluhan utama atau keluhan satu-satunya adalah perdarahan pervaginam tanpa rasa nyeri. Pada kebanyakan kasus, perdarahan tidak diketahui sebabnya namun mungkin didahului oleh trauma atau coitus. Perdarahan pertama hampir tidak pernah membawa kematian.

  Perdarahan ini dapat berhenti dan kemudian mulai lagi. Kadang- kadang darah menetes terus-menerus sehingga pasien menjadi anemis.

  Keistimewaan pada placenta previa adalah bahwa derajat anemia atau syok setara dengan jumlah darah yang hilang (Oxorn & William, 2010)

  Perdarahan pada placenta previa terjadi tanpa rasa sakit pada saat tidur atau sedang melakukan aktivitas. Mekanisme perdarahan karena pembentukan segmen bawah rahim menjelang kehamilan aterm sehingga placenta lepas dari implantasi dan menimbulkan perdarahan. Bentuk perdarahan dapat sedikit atau banyak dan menimbulkan penyulit pada janin maupun ibu. Penyulit pada ibu dapat menimbulkan anemia sampai syok sedangkan pada janin dapat menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam rahim. Implantasi

  placenta di segmen bawah rahim menyebabkan bagian terendah tidak

  mungkin masuk pintu atas panggul atau menimbulkan kelainan letak janin dalam rahim (Manuaba, 2002).

  4. Klasifikasi

  Menurut Oxorn & William (2010) Klasifikasi placenta previa sebagai berikut: a. Totalis atau ventralis: keseluruhan Ostium Internum Cervix ditutup oleh placenta b. Partialis: sebagian Ostium Internum Cervix ditutup oleh placenta.

  c. Marginalis: Placenta membentang sampai tepi Cervix tapi tidak terletak pada Ostium. Kalau Cervix menipis dan membuka pada kehamilan lanjut, placenta previa dapat berubah menjadi jenis partialis.

  5. Komplikasi

  Menurut Nugraheny (2010) komplikasi yang terjadi pada

  placenta previa adalah:

  a. Prolaps tali pusat b. Prolaps placenta

  c. Placenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu dibersihkan dengan kerokan.

  d. Robekan – robekan jalan lahir karena tindakan

  e. Perdarahan postpartum

  f. Infeksi karena perdarahan yang banyak g. Bayi prematur atau lahir mati.

6. Patofisiologi

  Menurut sarwono (2005) sumber perdarahannya adalah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya placenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari placenta. Perdarahannya tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan tersebut, tidak sama dengan serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III pada placenta yang letaknya normal. Semakin rendah letak

  placenta, maka semakin dini perdarahan yang terjadi. Oleh karena itu,

  perdarahan pada placenta previa totalis akan terjadi lebih dini daripada placenta letak rendah yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai (Rukiyah & Yulianti, 2010).

  Placenta previa adalah implantasi placenta di segmen bawah

  rahim sehingga menutupi kanalis servikalis dan mengganggu proses persalinan dengan terjadinya peredarahan. Implantasi placenta di segmen bawah rahim dapat disebabkan oleh endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan placenta untuk mampu memberikan nutrisi janin, vili korealis pada korion laeve yang persisten.

  Pembagian placenta previa menurut tingkatannya:

  a) Tingkat I

  Placenta previa letak rendah (pada pembukaan 4 cm ujung jari dapat meraba tepi plasenta).

  b) Tingkat II

  Placenta previa marginalis , tepi plasenta berimpitan dengan tepi pembukaan, dulu dipergunakan pembukaan 4 cm.

  c) Tingkat III

  Placenta previa partialis , plasenta menutupi sebagian pembukaan 4 cm.

  d) Tingkat IV

  Placenta previa totalis , seluruh osteum uteri internum tertutup oleh plasenta, pada pembukaan 4 cm.

C. Masa Nifas

1. Pengertian masa nifas

  Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra- hamil. Lama masa nifas ini yaitu 6-8 minggu (Mochtar, 1998).

  Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi,

  placenta serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali

  organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu (Saleha, 2009).

  Dari pengertian diatas maka dapat di ambil kesimpulan bahwa masa nifas adalah masa sesudah kelahiran bayi sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil berlangsung kurang lebih dalam 6 minggu setelah persalinan.

  2. Tujuan perawatan masa nifas

  Asuhan masa nifas bertujuan menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun psikologis; melaksanakan skrining yang komprehensif; mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya; memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi, perawatan bayi agar tetap sehat; memberikan pendidikan mengenai laktasi dan perawatan payudara; dan memberikan pelayanan keluarga berencana (KB) (Vivian & Sunarsih, 2011).

  3. Perubahan fisiologis

  Menurut Vivian & Sunarsih (2011) perubahan fisiolgis selama masa nifas antara lain: a. Sistem reproduksi 1)

  Uterus Pada kala tiga TFU setinggi pusat umbilikus dan beratnya 1000 gram. Selama 7-8 hari pertama mengalami involusi dengan cepat. Post natal 12 hari sudah tidak dapat diraba melalui abdomen, setelah 6 minggu ukuran seperti sebelum hamil setinggi 8 cm dengan berat 50 gram. 2)

  Lochea Yaitu pengeluaran darah dan jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus. Jenisnya: a) Rubra (hari 1-4) jumlahnya sedang, berwarna merah, terutama lendir dan darah.

  b) Sanguinolenta berwarna coklat, lendir dari cairan bercampur darah.

  c) Serosa (hari 4-8) jumlah berkurang dan berwarna merah muda.

  d) Alba (8-14) jumlahnya sedikit, berwarna putih atau hampir tidak berwarna.

  3) Serviks

  Setelah persalinan ostium eksterna dapat dimasuki 2-3 jari tangan, setelah 6 minggu serviks menutup.

  4) Vulva dan vagina

  Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi.

  5) Perineum

  Setelah melahirkan perineum menjadi kendur karena sebelumnya teregang di tekanan kepala bayi yang bergerak maju. 6)

  Dinding abdominal Abdomen menonjol dan memberikan bentuk seperti masih hamil selama 2 minggu pertama setelah persalinan didinding abdominal berelaksasi, dibutuhkan waktu kira- kira 6 minggu sebelum dinding abdominal kembali seperti semula. 7)

  Payudara Payudara tegang (bengkak), keras, perih dan hangat ketika di sentuh. Pada hari ke 3 dan ke 4 payudara menjadi penuh. Masa sebelum laktasi dimulai payudara terasa lembut dan mengeluarkan cairan kekuningan yang disebut kolostrum.

  b. Sistem kardiovaskuler 1)

  Volume darah Perubahan volume darah bergantung pada beberapa faktor, misalnya kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi, serta pengeluaran cairan ekstravaskuler (edema fisiologis). Kehilangan darah merupakan akibat penurunan volume darah total yang cepat, tetapi terbatas. Pada minggu ke- 3 dan ke- 4 setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume darah sebelum hamil. Perubahan terdiri atas volume darah dan hematokrit (haemoconcentration). Pada persalinan pervaginam, hematokrit akan naik, sedangkan pada Sectio

  Caesarea, hematokrit cenderung stabil dan kembali normal setelah 4-6 minggu (Vivian & Sutarsih, 2011).

  2) Curah jantung

  Denyut jantung, volume sekuncup, dan curang jantung meningkat sepanjang masa hamil. Segera setelah melahirkan, keadaan ini meningkat bahkan lebih tinggi selama 30-60 menit karena darah yang bisanya melintasi sirkulasi uteroplasenta tiba-tiba kembali ke sirkulasi umum (Vivian & Sunarsih, 2011).

  c. Perubahan tanda- tanda vital 1)

  Suhu Suhu badan sesudah persalinan dapat naik ± 0,5 ºC dari keadaan normal. Sesudah 12 jam pertama melahirkan, umunya suhu badan akan kembali normal.

  2) Nadi

  Dapat terjadi bradikardi biasanya 6-8 jam pertama setelah persalinan.

  3) Pernafasan

  Respirasi akan menurun sampai pada keadaan normal seperti sebelum keadaan hamil.

  4) Tekanan darah

  Hipotensi ortostatik yang diindikasikan dengan perasaan pusing atau pening setelah berdiri dapat berkembang dalam 48 jam pertama, sebagai akibat dari gangguan pada daerah persyarafan yang mungkin terjadi setelah persalinan.

  d. Sistem urinaria Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama setelah persalinan. Kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama persalinan urine dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12-36 jam sesudah persalinan.

  e. Sistem gastrointestinal Setelah pemulihan yang sempurna dari analgetik, anestesi dan kelelahan, kebanyakan ibu merasa lapar. Rasa sakit pada perineum dapat menghalangi keinginan defekasi.

4. Perubahan psikologis

  Menurut Straight (2004) ada 3 tahap transisi ke peran menjadi orang tua selama periode pascapartum, yaitu: a. Periode Taking In Selam 1-2 hari persalinan, sikap ibu pasif dan bergantung.

  Kesehatan ibu tergantung pada tanggung jawab orang lain untuk kebutuhan akan rasa nyaman, istirahat, makan, dan kedekatan hubungan keluarga.

  b. Periode Taking Hold Periode ini berlangsung 3-4 hari setelah melahirkan. Ibu menaruh perhatian pada kemampuannya untuk menjadi orang tua yang berhasil dan menerima peningkatan tanggung terhadap bayinya. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitif, sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan ynag dialami ibu (Saleha, 2009).

  c. Periode Letting Go Setelah kembali serumah, ibu menerima tanggung jawab untuk perawatan bayinya, ia harus beradaptasi terhadap kebutuhan ketergantungan bayinya, dan beradaptasi terhadap penurunan otonomi, kemandirian dan interaksi sosial.

5. Penatalaksanaan post partum

  a. Mobilisasi Setelah periode istirahat pertama berakhir (biasanya sekitar 2 jam atau 8 jam). Dorong ibu untuk sering melakukan ambulasi (Bobak, 2000). Sedangkan menurut wiknjosastro (2002) sesudah 8 jam ibu boleh miring ke kiri atau ke kanan.

  b. Diet Diet yang diberikan harus bermutu tinggi dengan cukup kalori, mengandung cukup protein, cairan, serta banyak buah-buahan karena wanita tersebut mengalami hemokonsentrasi (Wiknjosastro, 2002).

  c. Miksi Ibu diminta untuk buang air kecil (miksi) 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam postpartum belum dapat berkemih atau sekali berkemih belum melebihi 100 cc, maka dilakukan kateterisasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih penuh, tidak perlu menunggu 8 jam untuk kateterisasi (Saleha, 2009).

  d. Defekasi Ibu postpartum diharapkan dapat buang air besar (defekasi) setelah hari kedua postpartum. Jika hari ketiga belum bab maka perlu diberi obat pencahar, tetapi jika tidak bab juga maka dilakukan huknah (klisma) (Saleha, 2009). e. Perawatan payudara Menurut Saifuddin (2002), apabila terjadi payudara bengkak sangat baik untuk ASI dilakukan:

  1) Mengompres payudara dengan menggunakan air basah dan hangat selama 5 menit.

  2) Urut payudara dari arah pangkal menuju putting, untuk mengurut payudara dengan arah “Z” menuju puting.

  3) Keluarkan ASI di bagian depan payudara sehingga putting menjadi lunak

  4) Susukan bayi pada setiap 2-3 jam sekali. Apabila tidak dapat menghisap seluruh ASI dikeluarkan dengan tangan.

5) Letakkan kain dingin pada payudara setelah menyusui.

  f. Kebersihan diri Kebersihan diri pada ibu post partum menurut Saifuddin (2002): 1)

  Anjurkan kebersihan seluruh tubuh 2)

  Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air.

  3) Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut setidaknya dua kali sehari

  4) Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah membersihkan daerah kelaminya.

  5) Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan pada ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka.

  g. Pemeriksaan pasca persalinan Pemeriksaan pasca persalinan adalah sebagai berikut: 1)

  Keadaan umum 2)

  Keadaan payudara dan putingnya 3)

  Dinding perut apakah ada hernia 4)

  Keadaan perineum 5)

  Kandung kencing, apakah ada sistokel dan retrokel 6)

  Rektum, apakah ada rektokel dan pemeriksaan tonus muskulus sfingter ani.

  7) Keadaan servik

  h. Nasihat untuk ibu postnatal Menurut Mochtar (1998) adalah: 1) Fisioterapi post natal sangat baik bila diberikan. 2) Sebaiknya bayi disusui. 3) Kerjakan gimnastik sehabis bersalin. 4)

  Untuk kesehatan ibu, bayi, dan keluarga sebaiknya melakukan KB untuk menjarangkan kehamilan.

  5) Bawalah bayi anda untuk memperoleh imunisasi.

D. Konsep Nyeri

  1. Pengertian nyeri

  Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2002).

  Menurut The International Association For The Study

  ofPain/IASP (1979) mendefinisikan nyeri sebagai sesuatu yang tidak

  menyenangkan, bersifat subjektif dan berhubungan dengan pancaindera, serta merupakan suatu pengalaman emosional yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial, atau digambarkan sebagai suatu kerusakan/ cedera (Potter & Perry, 2010).

  2. Etiologi a. Agen cedara fisik adalah penyebab nyeri karena trauma fisik.

  b. Agen cedera biologi adalah penyebab nyeri karena kerusakan fungsi organ atau jaringan tubuh.

  c. Agen cedera psikologi adalah penyebab nyeri yang bersifat psikologi seperti kelainan organic neurosis trumatik, skizofreniad.

  d. Agen cedera kimia adalah penyebab nyeri karena bahan zat kimia tidak hanya satu stimulus yang menghasilkan suatu yang spesifik dan nyeri, tetapi nyeri memilki suatu etiologi multimodal. Nyeri biasanya dihubungkan dengan beberapa proses patologis spesifik. Kelainan yang mengakibatkan rasa nyeri, mencangkup: infeksi, keadaan inflamasi, trauma, kelainan degenerative, keadaan toksik metabolic atau neoplasma. Nyeri dapat juga timbul karena distorsi mekanis ujung-ujung saraf misalnya karena meningkatnya tekanan di dinding viskus/ organ.

c. Manifestasi klinis

  Menurut Amin & Hardhi (2013):

  a. Klien melaporkan nyeri secara verbal atau non verbal

  b. Tingkat laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang, mengeluh).

  c. Menunjukan kerusakan pada bagian tubuhnya.

  d. Perubahan Posisi untuk menghindari nyeri

  e. Sikap tubuh melindungi area nyeri

  c. Perubahan tekanan darah

  d. Tingkah laku berhati-hati

  e. Fokus pada diri sendiri dan penurunan interaksi dengan lingkungan f. Perubahan dalam nafsu makan dan minum g. Gangguan tidur.

4. Klasifikasi

  a. Berdasarkan Durasi dan Lamanya Nyeri dikatagorikan dengan durasi atau lamanya nyeri berlangsung (akut atau kronis), atau dengan kondisi patologis

  (contoh: kanker atau neuropatik) (Potter & Perry, 2010) 1)

  Nyeri akut Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (international Association for the study of pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau prediksi dan berlangsung < 6 bulan (Amin & Hardhi, 2013).

  2) Nyeri kronis

  Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (international Association for the study of pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan intesitas dari ringan hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau prediksi dan berlangsung > 6 bulan (Amin & Hardhi, 2013).

  b. Berdasarkan intesitasnya (alat pengukur nyeri) Terdiri dari nyeri berat, sedang, ringan. Masing- masing diukur berdasarkan skala dan bersifat subyektif. Macam-macam skala pengukuran nyeri: 1)

  Anak – anak Gambar 2.1: Alat pengukuran skala nyeri pada anak-anak.

  Sumber: Potter & Perry (2010) 2)

  Dewasa

  a) Skala intensitas nyeri deskritif Gambar 2.2: Skala nyeri deskritif

  Sumber: Smeltzer & Bare (2002) b) Skala identitas nyeri numerik

  Gambar 2.3: Skala nyeri numerik Sumber: Smeltzer & Bare (2002)

  c) Skala analog visual Gambar 2.4: Skala nyeri visual (Smeltzer & Bare, 2002)

  Keterangan : : Tidak nyeri

  1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik 4-6 : Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mengekspresikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

  7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi. 10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi.

  e. Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri Menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut: 1)

  Usia 2)

  Jenis kelamin 3)

  Kultur 4)

  Ansietas 5)

  Efek plasebo 6)

  Pengalaman masa lalu 7)

  Pola koping 8)

  Support keluarga dan social D.

   Anatomi dan fisiologi

  Organ reproduksi wanita yang biasa di sebut traktus genitalis terletak dalam rongga panggul terbagi atas organ genitalia eksterna dan interna (Manuaba, 2012).

1. Organ Genetalia Eksterna

  Gambar 2.6: Gambar Genitalia Eksterna Wanita Sumber: Manuaba (2009)

  Organ genitalia eksterna wanita terdiri atas bagian-bagian berikut:

  a. Mons Veneris/ mons pubis Adalah bagian yang menonjol berupa bantalan lemak yang ditutupi oleh kulit, yang terletak di atas simfisis pubis. Setelah pubertas, bagian ini akan ditumbuhi rambut (rambut pubis). Pertumbuhan rambut kemaluan ini tergantung dari suku bangsa. Pada wanita, umunya batas atasnya melintang sampai pinggir atas simfisis, sedangkan ke bawah sampai ke sekitar anus atau paha. b. Labia mayora (bibir besar) Merupakan dua lipatan membulat besar, terdiri atas bagian kanan dan kiri, lonjong mengecil ke bawah, terisi oleh jaringan lemak yang serupa dengan yang ada di mons veneris. Ke bawah belakang kedua labia mayora bertemu dengan membentuk

  komisura posterior . Permukaan sebelah dalam labia mayora

  halus dan mengandung banyak kelenjar keringat (glandula sudorifera) dan kelenjar minyak (glandula sebacea).

  Sedangkan, permukaan luarnya setelah pubertas akan tertutup oleh rambut.

  c. Labia Minora (bibir kecil) Dua lipatan kulit berwarna merah muda yang lebih kecil terletak memanjang di bagian dalam labia mayora. Kedua labia minora ini halus, tertutup oleh rambut, tetapi mengandung sejumlah kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Ke depan bibir kecil bertemu dan membentuk klitoris preputium klitoridis (atas) dan klitoris frenulum klitoridis (bawah). Ke belakang, kedua bibir kecil menyatu dan membentuk fossa naviculare/ fourcette di mana pada wanita yang belum pernah melahirkan tampak masih utuh, cekung seperti perahu, pada wanita yang pernah melahirkan kelihatan tebal dan tidak rata, serta dapat mengalami robekan saat melahirkan. Ujung-ujung urat saraf menyebabkan labia minora sangat sensitif dan jaringan ikatnya mengandung banyak pembuluh darah, serta beberapa otot polos yang menyebabkan bibir kecil ini dapat mengembang.

  d. Klitoris Kira – kira sebesar kacang ijo, tertutup oleh preputium klitoridis dan terdiri atas gland klitoridis, korpus klitoridis, dan 2 krura yang menggantungkan klitoris ke arah tulang pubis. Gland klitoridis terdiri atas jaringan yang dapat mengembang, penuh dengan urat saraf hingga amat sensitif. Klitoris dapat disetarakan dengan penis pada pria.

  e. Vestibulum/ vulva Untuk memeriksa vestibulum, maka kedua lipatan labia minora harus dibuka agar vestibulum tampak. Terdapat enam muara pada vestibulum. 1)

  Orifisium uretra eksternum 2) 2 duktus skene 3)

  Introitus vagina 4) 2 duktus dan glandula bartholini 5)

  Perineum

2. Organ Genitalia Interna

  Gambar 2.7: Gambar Organ Genitalia Interna wanita Sumber: Manuaba (2009)

  Menurut Manuaba (2009) organ genitalia interna terdiri dari:

  a. Vagina Vagina merupakan saluran muskulo membranasea (otot-selaput) yang menghubungkan rahim dengan dunia luar, bagian ototnya berasal dari otot levator ani dan otot sfingter ani (otot dubur) sehingga dapat dikendalikan dan dilatih.

  b. Uterus Bentuk rahim seperti buah pir, dengan berat sekitar 30 gram, terletak di panggul kecil di antara rektum (bagian usus sebelum dubur), dan didepanya terletak kandung kemih. c. Tuba fallopi Tuba fallopi berasal dari ujung ligamentum latum, berjalan ke arah lateral, dengan panjang sekitar 12 cm. fungsi tuba untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi.

  d. Ovarium Berfungsi untuk menghasilkan sel telur kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm.

E. Pemeriksaan Penunjang

  Menurut Wiknjosastro (2007) sebagai berikut:

  1. Anamnesis Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri, tanpa alasan, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hamatokrit.

  2. Pemeriksaan luar Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul, ada kelainan letak janin.

  3. Pemeriksaan inspekulo Untuk mengetahui apakah pendarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan servik dan vagina.

  4. Penentuan letak placenta tidak langsung Dilakukan dengan ultrasonografi, radiografi, dan radioisotopi.

  5. Penentuan letak placenta secara langsung

  a. Perabaan fornises Bila janin presentasi kepala, sambil mendorong sedikit kepala janin kearah pintu atas panggul perlahan-lahan raba seluruh forniks dengan jari. Perabaan lunak bisa antar jari dan kepala tidak terdapat placenta.

  b. Pemeriksaan melalui kanalis servikalis Setelah pada perabaan forniks dicurigai adanya placenta previa, bila kanalis servikalis telah terbuka perlahan-lahan masukkan jari telunjuk ke dalam kanalis servikalis untuk meraba kotiledon plasenta jangan sekali-kali berusaha menyusuri pinggir plasenta akan terlepas dari insersinya.

F. Penatalaksanaan

  Menurut Oxorn & William (2010) penatalaksanaan placenta previa adalah:

  1. Terapi menunggu (expectant management) Karena episode perdarahan yang pertama kali jarang membawa kematian dan karena janin masih terlampau prematur untuk dapat hidup di luar kandunga, kehamilan diusahakan diperpanjang demi keselamatan janin. Usia kehamilan ynag cukup layak untuk dicapai adalah 37 hingga 38 mnggu. a. Perawatan rumah sakit: saat dan derajat efisode perdarahan berikutnya tidak bisa diramalkan. Karena itu, pasien harus tinggal dirumah sakit.

  b. Transfusi: sedikitnya harus tersedia dua unit darah c. Anemia: transfusi dan tablet besi diberikan bila terdapat anemia.

  d. Maturitas paru – paru: Ratio lecithin/ sphingomyelin (L/S) cairan amnion membantu menentukan waktu optimal kelahiran bayi.

  2. Mangakhiri kehamilan a. Perdarahan berlebihan, maturitas janin tidak usah dipikirkan.

  b. Kehamilan telah mencapai 37 minggu sampai 38 minggu dan maturitas paru – paru diyakini sudah tercapai.

c. Sectio Caesarea

  Operasi ini dilaksanakan dengan indikasi berikut:

  a. Perdarahan yang banyak tanpa henti-hentinya

  b. Placenta previa totalis atau partialis: diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound.

  c. Gawat janin d. Presentasi abnormal (misalnya presentasi bokong, letak lintang).