Perbandingan Kompresi Citra Menggunakan Algoritma Run- Length Encoding Dengan Algoritma Elias Delta Code

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan membahas landasan atas teori-teori ilmiah untuk mendukung
penelitian ini. Teori-teori yang dibahas mengenai pengertian citra, kompresi citra,
algoritma dan jenisnya, serta beberapa sub pokok pembahasan lainnya yang menjadi
landasan dalam penelitian ini.

2.1. Citra Digital
Citra digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer. Citra digital disebut juga
citra diskrit di mana citra tersebut dihasilkan melalui proses digitalisasi terhadap citra
kontinu. (Sutoyo, 2009)

Gambar 2.1. Ilustrasi Citra dengan Matriks 200 x 200 (Putra, 2010)

Universitas Sumatera Utara

7

Pada gambar 2.1. terdapat sebuah ilustrasi citra grayscale berukuran 200x200
pixel diambil sebagian (kotak kecil) berukuran 8x9. Setelah itu monitor akan

menampilkan sebuah kotak kecil, namun yang disimpan dalam memori komputer
hanyalah angka-angka yang menunjukkan besar intensitas pada masing-masing pixel
tersebut (Sutoyo, 2009). Citra digital merupakan sebuah matriks di mana indeks baris
dan kolomnya menyatakan suatu titik pada citra tersebut dan elemen matriksnya (yang
disebut sebagai pixel) menyatakan tingkat keabuan pada titik tersebut. Sebuah citra
mungkin dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) berukuran M baris dan N kolom,
dengan x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo f di titik koordinat (x,y)
disebut intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila nilai x, y
dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan bernilai diskrit maka
dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital.

Gambar 2.2. Pixel Matriks (Pramitarini, 2011)

Pada gambar 2.2. terdapat nilai Digital dan banyak bit:
M = banyak pixel per baris (panjang)
N = banyak pixel per kolom (lebar)
b = banyak/besar bit pada suatu citra

Universitas Sumatera Utara


8

Citra digital memiliki 4 jenis, yaitu Citra Biner, Grayscale, True Color, dan
Indexed Color.

2.1.1. Citra Biner
“Citra biner (monochrome) atau disebut juga binary image, merupakan citra digital
yang setiap pixel-nya hanya memiliki 2 kemungkinan derajat keabuan, yaitu 0 dan 1.
Nilai 0 mewakili warna hitam, dan nilai 1 mewakili warna putih, di mana setiap pixelnya membutuhkan media penyimpanan sebesar 1 bit.” (Paryono, 2010) Citra biner
diperoleh melalui proses pemisahan pixel berdasarkan derajat keabuan yang
dimilikinya. Pada citra biner, setiap titik bernilai 0 dan 1, masing-masing
merepresentasikan warna tertentu. Nilai 0 diberikan untuk pixel yang memiliki derajat
keabuan lebih kecil dari nilai batas yang ditentukan, sementara pixel yang memiliki
derajat keabuan yang lebih besar dari batas akan di ubah menjadi nilai 1. Pada
standard citra untuk ditampilkan di layer komputer, nilai biner ini berhubungan
dengan ada tidaknya cahaya yang ditembakkan oleh electron gun yang terdapat di
dalam monitor komputer. Angka 0 menyatakan tidak ada cahaya, dengan demikian
warna yang direpresentasikan adalah hitam. Untuk angka 1, terdapat cahaya, sehingga
warna yang direpresentasikan adalah putih. Standar tersebut disebut sebagai standar
citra cahaya, sedangkan standar citra tinta/cat adalah berkebalikan, karena biner

tersebut menyatakan ada tidaknya tinta. Setiap titik pada citra hanya membutuhkan 1
bit, sehingga setiap byte dapat menampung informasi 8 bit. (Pramitarini, 2011)

Gambar 2.3. Ilustrasi Citra Biner (Pramitarini, 2011)

Universitas Sumatera Utara

9

2.1.2. Citra Grayscale
Citra skala keabuan atau disebut juga dengan citra aras keabuan memberikan
kemungkinan warna yang lebih banyak. Format citra ini disebut dengan aras keabuan
karena ada warna abu-abu diantara warna minimum (hitam) dan warna maksimum
(putih). Jumlah maksimum warna sesuai dengan bit penyimpanan yang digunakan,
apakah 4 bit atau 8 bit. Citra dengan skala keabuan 4-bit memiliki 24 = 16
kemungkinan warna, yaitu 0 (minimal) hingga 15 (maksimal). Sementara citra digital
dengan skala keabuan 8-bit memliki 28 = 256 kemungkinan warna, yaitu 0 (minimal)
hingga 255 (maksimal). (Novitasari, 2011)

Gambar 2.4. Ilustrasi Citra Grayscale (Pramitarini, 2011)


2.1.3. Citra True Color
Pada citra warna (true color) setiap pixel-nya merupakan kombinasi dari tiga warna
dasar merah, hijau, dan biru, sehingga citra warna ini disebut juga citra RGB (Red
Green Blue). Setiap komponen warna memiliki intensitas sendiri dengan nilai
minimum 0 dan nilai maksimum 255 (8-bit). Hal ini menyebabkan setiap pixel pada
citra RGB membutuhkan media penyimpanan 3 byte. Jumlah kemungkinan kombinasi
warna citra RGB adalah 224 = lebih dari 16 juta warna. (Novitasari, 2011)

Universitas Sumatera Utara

10

Gambar 2.5. Ilustrasi Citra True Color (Pramitarini, 2011)

2.1.4. Citra Indexed Color
Setiap pixel pada citra warna berindeks memiliki indeks dari suatu tabel warna yang
tersedia (biasanya disebut Palette Color). Keuntungan yang diperoleh dengan
menggunakan palet warna ini adalah kita dapat dengan cepat memanipulasi warna
tanpa harus mengubah informasi dari setiap pixel pada citra. (Novitasari, 2011)


2.2 Kompresi Citra
Kompresi citra adalah proses yang bertujuan untuk mengurangi duplikasi data pada
citra sehingga memory yang digunakan untuk merepresentasikan citra menjadi lebih
sedikit daripada representasi citra semula. (Sutoyo, 2009)
Rasio citra kompresi adalah ukuran persentase citra yang telah berhasil
dimampatkan. Secara matematis rasio pemampatan data ditulis sebagai berikut:

R = 100% - (K1/Ko) x 100 %…(1)
Dimana:
R adalah rasio kompresi.
Ko adalah Ukuran file asli.
K1 adalah Ukuran file terkompresi.

Universitas Sumatera Utara

11

Secara garis besar metode pemampatan citra atau kompresi citra dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu metode lossless dan metode lossy

yaitu:

2.2.1 Metode Lossless
Metode Lossless merupakan kompresi citra dimana hasil dekompresi dari citra yang
terkompresi sama dengan citra aslinya, tidak ada informasi yang hilang. Sayangnya,
untuk ratio kompresi citra metode ini sangat rendah. (Sutoyo, 2009)

Original

Restored
Compressed
Compressed
Gambar 2.6. Kompresi Lossless

2.2.2 Metode Lossy
Metode Lossy merupakan kompresi citra dimana hasil dekompresi dari citra yang
terkompresi tidak sama dengan citra aslinya, artinya bahwa ada informasi yang hilang,
tetapi masih bisa ditolerir oleh persepsi mata. Metode ini menghasilkan ratio kompresi
yang lebih tinggi dari pada metode lossless. Contohnya adalah color reduction,
chroma subsampling, dan transform coding, seperti transformasi Fourier, Wavelet dll.

(Sutoyo, 2009)
Original

Restored
Compressed

Gambar 2.7. Kompresi Lossy

Universitas Sumatera Utara

12

2.2.3 Padding Dan Flag Bits
Khusus algoritma Elias Delta Code diperlukan padding dan flag bits untuk
penambahan bit 0 sebanyak kekurangan jumlah bit, dan penambahan bilangan biner
sepanjang 8 bit.
1. Padding
Padding bits adalah penambahan bit 0 sebanyak kekurangan jumlah bit-bit pada
proses kompresi sehingga jumlah keseluruhan bit data pada hasil kompresi
merupakan kelipatan delapan (habis dibagi delapan) (Andika, 2014)

2. Flag
Flag bits adalah penambahan bilangan biner sepanjang 8 bit setelah padding bits
dimana flag bits ini merupakan sejumlah bilangan yang memberikan tanda bahwa
terdapat n buah padding di dalam bit-bit data hasil kompresi. Penambahan flag
bits ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam membaca bit-bit data hasil
kompresi pada saat proses kompresi. (Andika, 2014)

2.2.4 Parameter Perbandingan
1. Compression Ratio (Cr)
Compression Ratio (Cr) adalah persentase besar data terkompresi, hasil
perbandingan antara data yang sudah dikompresi dengan data yang belum
dikompresi (Salomon, 2007).
Cr =





ℎ �� �� �


ℎ �� �� �

ℎ ��

��

� �

� �

X 100%…(2)

2. Ratio of Compression (Rc)
Ratio of Compression (Rc) adalah hasil perbandingan antara data yang belum
dikompresi dengan data yang sudah dikompresi (Salomon, 2007).
Rc =






ℎ �� �� �

ℎ �� �� �

��

ℎ ��

� �

� �

X 100%…(3)

Universitas Sumatera Utara

13

3. Redundancy Data (Rd)

Redundancy Data adalah kelebihan yang terdapat di dalam data sebelum
dikompresi. Jadi setelah data dikompresi dapat dihitung Redundancy data yaitu
persentasi dari hasil selisih antara ukuran data sebelum dikompresi dengan data
setelah dikompresi. (Salomon & Motta, 2010).
Rd= 100% – Cr …(4)
4. Waktu Kompresi
Waktu kompresi adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah sistem untuk
melakukan proses kompresi dari mulai pembacaan data hingga proses encoding
pada data tersebut. Semakin kecil waktu yang diperoleh maka semakin efisien
metode yang digunakan dalam proses kompresi dan dekompresi itu.

2.3 Format File Citra Bitmap
Citra bitmap sering disebut juga dengan citra raster. Citra bitmap menyimpan data
kode citra secara digital dan lengkap (cara penyimpanannya adalah per pixel). Citra
bitmap dipresentasikan dalam bentuk matriks atau dipetakan dengan menggunakan
bilangan biner atau sistem bilangan lain. Citra ini memiliki kelebihan untuk
memanipulasi warna, tetapi untuk mengubah objek lebih sulit. Tampilan bitmap
mampu menunjukkan kehalusan gradasi bayangan dan warna dari sebuah gambar.
Oleh karena itu, bitmap merupakan media elektronik yang paling tepat untuk gambargambar dengan perpaduan gradasi warna yang rumit, seperti foto dan lukisan digital
(Sutoyo, 2009).
Format bitmap ini cocok digunakan untuk menyimpan citra digital yang memiliki
banyak variasi dalam bentuknya maupun warnanya, seperti foto, lukisan, dan frame
video. Format file yang menggunakan format bitmap ini antara lain adalah BMP, DIB,
PCX, GIF, dan JPG. Format yang menjadi standar dalam sistem operasi Microsoft
Windows adalah format bitmap BMP atau DIB (Santi, 2010).

Universitas Sumatera Utara

14

2.4 Pixel
Pixel (Picture Elements) adalah nilai tiap-tiap entri matriks pada bitmap. Rentang
nilai-nilai pixel ini dipengaruhi oleh banyaknya warna yang dapat ditampilkan. Jika
suatu bitmap dapat menampilkan 256 warna maka nilai-nilai pixelnya dibatasi dari 0
hingga 255. Suatu bitmap dianggap mempunyai ketepatan yang tinggi jika dapat
menampilkan lebih banyak warna (Putra, 2010).

2.5 Dekompresi Citra
Sebuah citra yang sudah terkompresi tentunya harus dapat dikembalikan lagi kebentuk
aslinya, prinsip ini dinamakan dekompresi. Untuk dapat merubah citra yang
terkompresi diperlukan cara yang berbeda seperti pada waktu proses kompresi
dilaksanakan. Jadi pada saat dekompresi catatan header yang berupa byte-byte
tersebut terdapat catatan isi mengenai isi dari file tersebut. (Alkhudri, 2015)
Catatan header akan menuliskan kembali mengenai isi dari file tersebut, jadi
isi dari file sudah tertulis oleh catatan header sehingga hanya tinggal menuliskan
kembali pada saat proses dekompresi. Proses dekompresi sempurna dan kembali ke
bentuk aslinya.
Parameter perbandingan dalam dekompresi adalah waktu dekompresi. Waktu
dekompresi adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah sistem untuk melakukan
proses dekompresi dari mulai pembacaan data hingga proses decoding pada data
tersebut. Semakin kecil waktu yang diperoleh maka semakin efisien metode yang
digunakan dalam proses kompresi dan dekompresi itu.

Citra Asli

Kompresi
Dekompresi

Citra
Hasil
Kompresi

Gambar 2.8 Alur Kompresi-Dekompresi Citra (Alkhudri, 2015)

Universitas Sumatera Utara

15

2.6 Algoritma
Makna informal dari kata algoritma ada dalam persamaan berikut: “Tidak ada
manusia yang dapat menulis begitu cepat, atau begitu lama, atau begitu kecil ("kecil,
dan lebih kecil tanpa batas ... anda mungkin mencoba menulis di atas molekul, atom,
elektron") untuk mencatat semua anggota dari kumpulan bilangan tak terbatas dengan
menuliskan namanya, bergantian, dalam suatu notasi. Tapi manusia bisa melakukan
sesuatu yang sama bergunanya, pada kasus kumpulan bilangan tak terbatas: Mereka
dapat memberikan instruksi jelas untuk menentukan anggota ke-n dari set,
untuk n terbatas acak. Instruksi tersebut diberikan secara eksplisit, dalam bentuk
yang dapat diikuti oleh mesin penghitung, atau oleh manusia yang mampu melakukan
hanya operasi-operasi dasar dengan simbol-simbol.” (Boolos & Jeffrey, 1974).
Algoritma adalah teknik penyusunan langkah-langkah penyelesaian masalah
dalam bentuk kalimat dengan jumlah kata terbatas tetapi tersusun secara logis dan
sistematis. Langkah-langkah pemecahan masalah bisa dilakukan dengan berbagai cara
yang berbeda (Wahyudi, 2004).
Ciri-ciri algoritma yaitu:
1. Algoritma harus berhenti setelah melakukan sejumlah langkah terbatas.
2. Aksi-aksi dalam algoritma terjadi dalam waktu terbatas, tiap langkah harus
didefinisikan dengan tepat dan tidak bermakna ganda (non-ambiguous).
3. Algoritma memiliki nol atau lebih masukan (input). Input adalah besaran yang
diberikan kepada algoritma sebelum algoritma mulai bekerja.
4. Algoritma memiliki salah satu atau beberapa keluaran (output). Output adalah
besaran yang mrmiliki hubungan dengan input.
5. Algoritma harus efektif, tiap langkah harus sederhana, dapat dikerjakan dalam
sejumlah waktu yang logis (Knuth, 1968).

2.7 Algoritma Run-Length Encoding (RLE)
Algoritma Run Length Encoding adalah melakukan kompresi dengan memindahkan
pengulangan bit yang sama berturut-turut atau secara terus menerus. Algoritma ini
digunakan untuk mengompresi citra yang memiliki kelompok-kelompok pixel yang
berderajat keabuan yang sama. Pada metode ini dilakukan pembuatan rangkaian
pasangan nilai (P,Q) untuk setiap baris pixel, dimana nilai P menyatakan nilai derajat

Universitas Sumatera Utara

16

keabuan, sedangkan nilai Q menyatakan jumlah pixel berurutan yang memiliki derajat
keabuan tersebut. (Lubis, 2014)
Berbeda dengan teknik-teknik sebelumnya yang bekerja berdasarkan karakter
per karakter, teknik run length ini bekerja berdasarkan sederetan karakter yang
berurutan. Run Length Encoding adalah suatu algoritma kompresi data yang bersifat
Lossless. Algoritma ini mungkin merupakan algoritma yang paling mudah untuk
dipahami dan diterapkan.
Algoritma RLE ini cocok digunakan untuk mengkompres citra yang memiliki
kelompok-kelompok pixel berderajat keabuan yang sama. Kompresi citra dengan
algoritma RLE dilakukan dengan membuat rangkaian pasangan nilai (p,q) untuk
setiap baris pixel, nilai pertama (p) menyatakan derajat keabuan, sedangkan nilai
kedua (q) menyatakan jumlah pixel berurutan yang memiliki derajat kabuan tersebut
(dinamakan Run-Length Encoding).
Langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melakukan kompresi Run-Length
Encoding adalah sebagai berikut:
1. Periksa nilai saat ini dengan nilai tetangga, apabila nilai saat ini sama dengan nilai
tetangga maka gabungkan nilai tersebut menjadi satu dan tambahkan nilai counter
untuk nilai tersebut.
2. Apabila nilai saat ini dengan nilai tetangganya tidak sama maka simpan nilai saat ini
dan lanjut pemeriksaan seperti pada nomor 1.
3. Setelah proses 1 dan 2 telah dilakukan kemudian simpan hasil proses kompresi
tersebut.

Untuk melakukan proses dekompresi terhadap file yang telah mengalami
proses kompresi Run Length Encoding (RLE) dapat dilihat pada langkah-langkah
berikut ini.
1. Baca nilai yang terdapat pada citra kemudian periksa apakah nilai saat ini berulang
atau tidak, apabila nilai saat ini berulang maka ulang nilai sebanyak perulangan
yang ada.
2. Apabila nilai tidak berulang maka nilai saat ini simpan dan lanjutkan ke nilai
selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

17

2.8 Algoritma Elias Delta Code
Algoritma Elias Delta Code adalah sebuah algoritma kompresi yang dibuat oleh Peter
Elias menggunakan kode yang telah dia buat sebelumnya, yaitu Elias Gamma Code,
sebagai building block (Figueiredo, 2009).
Dalam kode Gamma, Elias menambah panjang kode dalam unary (α). Dalam
kode berikutnya, δ (delta), ditambahkan pada panjang kode dalam biner (β). Dengan
demikian, Elias Delta Code, yang juga untuk bilangan bulat positif, sedikit lebih
kompleks untuk dibangun (Salomon, 2007).
Untuk melakukan encode dengan Elias Delta Code dalam bilangan bulat
positif n dilakukan dalam langkah-langkah berikut: (Salomon, 2007).
1. Tulis n dalam biner. Bit yang paling kiri (paling signifikan) akan menjadi 1.
2. Hitung bit, hapus bit paling kiri dari n, dan tambahkan hitungan, di dalam biner, apa
yang tersisa dari bit n yang paling kiri setelah telah dihapus.
3. Kurangi 1 dari hitungan di langkah 2 ,dan tambahkan jumlah nol sebanyak hasil
hitungan tersebut ke awal kode.
Contoh kasus pada bilangan integer 5, hasilnya: 5 = 1012 (3 bit). Hapus angka
1 paling kiri dan tambahkan 3 = 11, sehingga menjadi 11 | 01. 2 bit telah ditambahkan,
jadi kita tambahkan 1 nol untuk mendapatkan kode delta 0 hasilnya 11|01. 2 bit sudah
ditambahkan, kemudian tambahkan 1 nol untuk mendapatkan kode delta 0|11|01.
Untuk melakukan decode dengan Elias Delta Code, berikut adalah langkahlangkahnya:
1. Baca bit dari kode sampai proses decode dengan Elias Gamma Code dapat
dilakukan. Proses ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut ini:
a. Hitung jumlah nol terdepan dari kode tersebut lalu gantikan perhitungan
tersebut dengan C.
b. Periksa bit bagian kiri 2C + 1 (C nol, diikuti dengan 1, lalu diikuti dengan bit C
selebihnya). Ini merupakan decode Elias Gamma Code M + 1.
2. Baca bit M berikutnya. Sebut ini sebagai L.
3. Bilangan bulat yang di decode adalah 2M + L.
Pada kasus dimana n = 5, kode deltanya adalah 01101. Lewati satu nol,
sehingga C = 2. Nilai bit paling kiri dari 2C + 1 = 3 adalah 00101 = 3, jadi M + 1 = 3.
Pembacaan akan dilakukan berikutnya pada M = 1 bit 1, dan diakhirnya dengan nilai
decode 2M + L = 22 + 1 = 5.

Universitas Sumatera Utara

18

Tabel 2.1 Kode Elias Gamma
0

1=2 +0=1

10 = 23 + 2 = 0001010

2 = 21 + 0 = 010

11 = 23 + 3 = 0001011

3 = 21 + 0 = 011

12 = 23 + 4 = 0001010

4 = 22 + 0 = 00100

13 = 23 + 5 = 0001101

5 = 22 + 1 = 00101

14 = 23 + 6 = 0001010

6 = 22 + 2 = 00110

15 = 23 + 7 = 0001111

7 = 22 + 3 = 00111

16 = 24 + 0 = 00001000

8 = 23 + 0 = 0001000

17 = 24 + 1 = 00001001

9 = 23 + 1 = 0001001

18 = 24 + 2 = 00001010

Sebagai contoh, jika n = 5, kode deltanya adalah 01101. Hitung dua angka nol,
sehingga C = 2. Nilai dari 2C paling kiri + 1 = 3 bit adalah 011 = 5, sehingga M + 1 =
5. Berikutnya baca M = 1 bit 1, dan berakhir dengan nilai 2M + L = 24 + 1 = 5.

Tabel 2.2 Kode Elias Delta
1 = 20 + 0 -> |L| = 0 -> 1

10 = 23 + 2 -> |L| = 0 -> 00100010

2 = 21 + 0 -> |L| = 1 -> 0100

11 = 23 + 3 -> |L| = 0 -> 00100011

3 = 21 + 1 -> |L| = 0 -> 0101

12 = 23 + 4 -> |L| = 0 -> 00100100

4 = 22 + 0 -> |L| = 0 -> 01100

13 = 23 + 5 -> |L| = 0 -> 00100101

5 = 22 + 1 -> |L| = 0 -> 01101

14 = 23 + 6 -> |L| = 0 -> 00100110

6 = 22 + 2 -> |L| = 0 -> 01110

15 = 23 + 7 -> |L| = 0 -> 00100111

7 = 22 + 3 -> |L| = 0 -> 01111

16 = 24 + 0 -> |L| = 0 -> 001010000

8 = 23 + 0 -> |L| = 0 -> 00100000 17 = 24 + 1 -> |L| = 0 -> 001010001
9 = 23 + 1 -> |L| = 0 -> 00100001 18 = 24 + 2 -> |L| = 0 -> 001010010

2.9 Kompleksitas Algoritma
Kebutuhan untuk dapat mengukur masalah kompleksitas, algoritma dan struktur data
memperoleh batas serta hubungan kuantitatif untuk kuantitas muncul di beberapa
bidang ilmu disamping Ilmu Komputer, yaitu cabang Matematika, Fisika, Statistika,
Biologi, dan Kedokteran dihadapi lebih banyak dan lebih sering dengan masalah
kompleksitas ini, Dalam Ilmu Komputer, kompleksitas diukur oleh kuantitas sumber

Universitas Sumatera Utara

19

daya komputasi yang digunakan oleh tugas tertentu. Teori komputasi pada dasarnya
dibagi menjadi tiga bagian karakter yang berbeda. (Gács & Lovász, 1999).
1.

Pengertian yang tepat dari algoritma, waktu, kapasitas, penyimpanan, dan lainlain harus diperkenalkan. Perbedaan model mesin matematika harus digambarkan,
waktu dan penyimpanan kebutuhan perhitungan dilakukan pada kebutuhan ini
harus diperjelas (umumnya diukur sebagai fungsi dari ukuran input). Yang paling
dasar pada kompleksitas adalah memberikan klasifikasi penting dari masalah
yang timbul dalam praktek, bahkan timbul di daerah matematika klasik.

2.

Menentukan kebutuhan sumber daya dari algoritma yang paling penting dalam
berbagai bidang matematika, dan memberikan algoritma yang efisien untuk
membuktikan bahwa masalah tertentu memiliki kompleksitas tertentu

3.

Menemukan metode yang membuktikan “Hasil Negatif” yaitu untuk bukti
beberapa masalah sebenarnya terpecahkan di bawah pembatasan sumber daya
tertentu.

2.10 Penelitian Yang Relevan
Berikut ini beberapa penelitian yang terkait dengan algoritma Run-Length Encoding
dan Elias Delta Code:
1. Umri Erdiansyah (2014) dalam skripsi yang berjudul Perbandingan Algoritma
Elias Delta Code Dengan Levenstein Untuk Kompresi File Teks. Dalam skripsi ini,
dapat disimpulkan bahwa, hasil akhir dari kompresi adalah file berekstensi *.lev
atau *eld yang berisi informasi karakter dan string bit hasil kompresi yang dapat
didekompresi. Keluaran dari hasil dekompresi adalah sebuah file asli yang
disimpan dengan ekstensi file *.txt atau *.doc. Sampel yang digunakan pada proses
pengujian yaitu string yang terdiri dari satu jenis karakter (String Homogen) dan
string yang terdiri dari beberapa jenis karakter (String Heterogen) yang tersimpan
pada file teks yang berekstensi *.txt atau *.doc. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam kinerja metode Elias Delta Code lebih baik dibandingkan dengan
metode Levenstein dengan rasio kompresi rata-rata sebesar 114.69% pada kompresi
String Homogen, dan rasio kompresi rata-rata sebesar 252.03% pada kompresi
String Heterogen.

Universitas Sumatera Utara

20

2. Ririani Santi (2010) dalam skripsi yang berjudul Perancangan Perangkat Lunak
Kompresi File Citra Dengan Menggunakan Algoritma Run Length Encoding.
Dalam

skripsi

ini,

dapat

disimpulkan

bahwa,

Perangkat

lunak

kompresi/dekompresi citra dengan Algoritma Run Length Encoding (RLE) dapat
melakukan kompresi file citra dengan format *.bmp maupun *.jpg. Kompresi citra
dengan metode Run Length Encoding (RLE) dapat memperkecil ukuran file,
sehingga dapat menghemat ruang tempat penyimpanan (Storage). Perangkat lunak
kompresi citra RLE ini dapat berjalan dengan baik untuk citra yang memiliki
derajat keabu-abuan (grayscale) yang sama.

Universitas Sumatera Utara