T1 802009009 Full text

KONFLIK BATIN WIJI THUKUL DALAM KUMPULAN PUISI
“PARA JENDERAL MARAH-MARAH”
OLEH
EVAN ADIANANTA NONOPUTRA
80 2009 009

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memasuki Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYAWACANA
SALATIGA
2016

KONFLIK BATIN WIJI THUKUL DALAM KUMPULAN PUISI
“PARA JENDERAL MARA-MARAH”


Evan Adiananta Nonoputra
Aloysius L. S. Soesilo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

1

PENDAHULUAN
Keinginan mengetahui kejiwaan manusia menyebabkan orang melakukan
pendekatan psikologi dalam berbagai bidang, termasuk bidang sastra. Penjelajahan ke
dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui seluk-beluk manusia, konflik dalam diri
manusia, kesuksesan manusia, dapat dilaksanakan melalui pendekatan psikologi sastra.
Tokoh-tokoh psikologi seperti Jung, Adler, Freud, dan Brill memberikan inspirasi
tentang pemecahan misteri tingkah laku manusia melalui psikologi. Ini juga bermula
dari terapi untuk mengobati penyakit kejiwaan yang terungkap melalui kata-kata.

Kesusastraan dipilih dan dianggap wajar, karena dalam sastra terungkap kejiwaan
manusia melalui bahasa (Jefferson dalam Winarni, 2013).
Freud (dalam Wiyatmi, 2007) secara jelas mengemukakan bahwa karya sastra
sama seperti mimpi yang dikaji dengan mengandalkan tanda-tanda (sistem tanda).
Berangkat dari kesamaan inilah Freud berpendapat, bahwa kajian mimpi itu sama
dengan kajian teks sastra. Psikoanalisis berusaha mengungkapkan (mengkaji) hasrat tak
sadar melalui makna yang terungkap dalam karya sastra. Menurut Winarni (2013),
karya sastra adalah perwujudan hasrat tak sadar, begitu pula dengan mimpi, namun
bukan berarti karya sastra mengatakan apa yang ada dalam mimpi itu, melainkan
kesamaan proses mengungkapkan apa yang terpendam dalam psikis yang tidak dapat
diungkapkan secara langsung.
Abrams (dalam Wiyatmi, 2011) berpendapat bahwa, pendefinisian sastra di
kalangan akademik sastra disesuaikan dengan kerangka teori yang mendasarinya.
Berdasarkan teori objektif, sastra didefinisikan secara otonom, berdiri sendiri, bebas
dari pengarangnya, realitas, maupun pembaca. Berdasarkan teori mimetik, sastra
dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan. Berdasarkan teori ekspresif, karya sastra

2

dianggap sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan dan pikiran sastrawan,

atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiranpikiran dan perasaan-perasaannya. Kemudian dari teori pragmatik, sastra dipandang
sebagai sarana menyampaikan tujuan tertentu, nilai-nilai atau ajaran-ajaran pada
pembacanya. Selain dari beberapa kerangka teori di atas, perkembangan kajian sastra
yang bersifat interdispliner, telah mempertemukan ilmu sastra dengan berbagai ilmu,
salah satunya adalah ilmu psikologi. Dari pertemuan ini, mulai muncul pendekatan
kedua ilmu yang bernama Psikologi Sastra yang menurut Wellek (dalam Winarni, 2013)
memiliki empat kerangka teori psikologi dalam sastra, yaitu: (1) proses penciptaan
karya sastra, (2) psikologi pengarang, (3) kaidah psikologi yang muncul dari karya
sastra, dan (4) pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.
Puisi dalam Psikologi Sastra
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi tidak hanya
dipergunakan untuk penulisan karya besar saja, namun puisi juga erat hubungannya
dengan kehidupan sehari-hari (Waluyo, 1995). Sedangkan menurut Dresden (dalam
Mihardja, 2012), puisi adalah sebuah dunia dalam kata. Isi yang terkandung di dalam
puisi merupakan cerminan pengalaman, pengetahuan dan perasaan penyair yang
membentuk sebuah dunia bernama puisi. Kesusastraan, khususnya puisi, adalah cabang
seni yang paling sulit untuk dihayati secara langsung sebagai totalitas. Elemen-elemen
seni ini ialah kata. Sebuah kata adalah suatu unit totalitas utuh yang kuat berdiri sendiri.
Hawkes (dalam Pradopo, 2001) mengatakan bahwa puisi merupakan struktur
ketandaan yang bermakna dan kompleks, antar unsurnya terjadi hubungan yang erat

(koheren). Tiap unsur karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan
unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya, salah satunya pergumulan atau

3

konflik batin. Puisi menjadi totalitas-totalitas baru dalam pembentukan-pembentukan
baru, dalam kalimat-kalimat yang telah mempunyai suatu urutan yang logis. Seperti
yang pernah dikemukakan oleh Arief Budiman dan Goenawan Mohamad (dalam Ali,
ed. 1978) bahwa memahami puisi sama seperti memahami manusia, tidak bisa dengan
jalan setapak demi setapak, unsur demi unsur. Karena bukanlah kata-kata yang datang
terlebih dulu, melainkan totalitasnya. Itulah mengapa puisi dianggap sebagai karya
sastra dengan struktur yang kompleks.
Dalam penelitian sebelumnya pula, Budiman (1976) meneliti konflik batin
Chairil Anwar menggunakan teori psikologi gestalt dan metode sequence analysis.
Penelitian ini menganalisis konflik-konflik batin Chairil Anwar yang terungkap dalam
puisi-puisinya berdasarkan urutan kejadian secara utuh. Selain itu, penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa puisi sebagai karya sastra merupakan tanggapan penyair terhadap
sesuatu yang penuh dengan pengalaman-pengalaman subjektif penyair, karena itu puisi
sama majemuknya dengan manusia atau penyair itu sendiri.
Dalam KBBI, konflik batin dapat diartikan sebagai konflik yang disebabkan

oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk
menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku. Maka, jika dikaitkan dengan
istilah psikologi, konflik batin merupakan pertentangan antara id, ego dan superego
teori yang dicetuskan oleh Sigmund Freud. Wordsworth (dalam Hardjana, 1984),
menyatakan bahwa proses penciptaan puisi merupakan pengungkapan alamiah dari
perasaan-perasaan yang meluap-luap, dari getaran hati yang berkembang dalam
kesyahduan, juga menunjukkan adanya aspek psikologis dalam proses penciptaan puisi.

4

Wiji Thukul: Sastrawan yang Melawan Diktator
Widji Widodo atau yang lebih sering didengar dengan nama Wiji Thukul, adalah
anak pertama dari tiga bersaudara. Dia lahir dari keluarga sederhana pada tanggal 26
Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, yang sebagaian besar penduduknya bekerja
sebagai tukang becak dan buruh. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara
ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga. Mulai
menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Dia
bergabung dengan Teater Jagat (Jejibahan Agawe Genepe Akal Tumindak) milik
Cempe Lawu Warta, ketika Thukul masih kelas II di Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia, Solo. Setahun kemudian, Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah dan

aktif di dunia teater (Tempo, 2013).
Puisi-puisi Thukul –sapaan akrab Wiji Thukul—terkenal sebagai kritik sosial
dan penyemangat perlawanan kaum marginal terhadap kaum borjuis (pemilik modal dan
pemerintah). Dengan gaya bahasanya sendiri yang mudah dipahami semua kalangan,
Thukul menuliskan permasalahan-permasalahan sosial yang dia lihat sehari-hari dalam
sebagian besar puisi-puisinya. Menurut Lawu, guru Thukul semasa masih belajar di
Teater Jagat, meski sudah mengandung kritik, puisi Thukul awalnya merupakan
kontemplasi tentang dirinya dan lingkungannya, tidak bersinggungan dengan masalah
sosial apalagi politik. Puisi Thukul mulai mengalami pergeseran ketika ia berkenalan
dengan Halim H. D., aktifis kebudayaan jebolan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Dari Halim, Thukul mulai banyak terpengaruh oleh buku-buku
kritik sosial, serta majalah sastra yang ia pinjam dari Halim, seperti buku Tan Malaka,
Sjahrir, Bung Hatta, majalah Horison, Basis, dan lain-lainnya. Selain buku-buku itu,
puisi Thukul juga dipengaruhi oleh pemikiran Maxim Gorky, Arief Budiman, Romo Y.

5

B. Mangunwijaya, dan naskah teater Jawa karya Bambang ―Kenthut‖ Widoyo S. P.
yang membuat Thukul mulai memasukkan bahasa Jawa dan bahasa sehari-hari dalam
puisinya (Tempo, 2013).

Sejak dia aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD), Thukul sering mendapat
bagian untuk penggalangan massa, terutama dengan menggunakan kata-kata yang bisa
dibuatnya dalam bentuk selembaran, pamflet dan puisi melalui Jaringan Kerja
Kebudayaan Rakyat (Jaker –organisasi yang awalnya merupakan organisasi kesenian
non-parpol, namun akhirnya menjadi organisasi sayap PRD). Pada saat deklarasi
berdirinya PRD secara resmi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,
22 Juli 1996, Thukul membacakan puisi di depan publik untuk yang terakhir kalinya,
karena sepekan kemudian Thukul menjadi buron dan hilang sejak 1998 hingga kini
(Tempo, 2013).
Jalan politik praktis memang menjadi pilihan Thukul dalam berkesenian,
terutama sastra. Bagi Thukul, sastra merupakan salah satu alat perjuangan, namun dia
juga menganggap berlebihan bila mengharapkan sastra akan membawa perubahan
sosial. Thukul mungkin bukan penyair paling cemerlang yang pernah Indonesia miliki.
Sejarah juga menunjukkan bahwa dia bukanlah satu-satunya orang yang menjadi korban
penghilangan paksa. Tapi Thukul adalah cerita penting dalam sejarah Orde Baru yang
tidak patut diabaikan: seorang penyair yang menakutkan sebuah rezim dan kematiannya
hingga kini menjadi misteri. Kini nama Thukul mulai dikenal khalayak sebagai penyair
sekaligus aktifis HAM yang hilang ketika kerusuhan Mei 1998 bergejolak (Tempo,
2013).
―Yang khas dari puisi Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan puisi tentang protes,

melainkan protes itu sendiri. Karena itu, puisinya gampang melebur dalam tiap

6

momen pergolakan dan berbagai aksi protes. Puisinya adalah bagian dari aksi, bukan
mengenai aksi, bukan juga ‗gaya‘ yang hendak ditambah-tambahkan untuk
memberikan kesan ‗estetis‘ terhadap suatu aksi. Karena itu, puisi Wiji Thukul hidup
tanpa memerlukan pengenalan siapa seniman pengarangnya. Puisi itu diketahui
sebagai puisinya, tapi ia tidak pernah dipersepsikan sebagai ‗tuan‘ atau ‗majikan‘
dari puisi-puisi itu. Puisinya beredar, hidup ke mana-mana melampaui dirinya! Puisi
Wiji Thukul adalah peristiwa, bukan lagi kata-kata.
Barangkali itu sebabnya mengapa Wiji Thukul dihilangkan! Pada masanya
banyak kritik ditulis seniman, beberapa dari mereka diancam penjara Orde Baru, tapi
cuma Wiji Thukul yang dihilangkan. Mungkin pada yang lain Orde Baru masih dapat
memilah-milah antara puisi, politik dan senimannya. Terhadap mereka, Orde Baru
masih bisa mengatakan, ‗‖Larang puisi, tapi ‗perbaiki‘ atau ‗dekati‘ penyairnya.‖‘
Barangkali para penyair yang lain itu hidup di ruang edar Jakarta yang pusat dan
sohor atau komunitas budaya yang mapan dan terbuka hingga mereka terlindung dari
tangan kekuasaan justru oleh sorot publisitas aktivitasnya. Para seniman ini dibenci,
tapi tidak dianggap berbahaya. Sedangkan Wiji Thukul, boleh dibilang ia adalah

artikulasi paling optimum dari suatu imaji ekstrem mengenai gerakan kelas. Tapi
kelas yang dalam sejarah kekuasaan Orde Baru masih terpencil dan penuh stigma.
Wiji Thukul adalah buruh dengan pikiran radikal tapi yang sekaligus juga mampu
berpuisi dengan kebebasan, artikulasi dan daya estetik yang setara bahkan dengan
borjuis paling terdidik di republik ini. Wiji Thukul dibenci sekaligus dianggap
berbahaya!‖ (Robet, 2013).

7

METODE PENELITIAN
Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menggunakan
analisis deskriptif yang merupakan ranah interdispliner dalam penginterpretasiannya
(Wiyatmi, 2011). Analisis deskriptif ini menggunakan critical discourse analysis atau
analisis wacana kritis. Menurut Eriyanto (2008) analisis wacana kritis memiliki lima
karakteristik utama yaitu: (1) tindakan, (2) konteks, (3) historis, (4) kekuasaan, dan (5)
ideologi.
Tindakan. Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman
seperti ini maka wacana harus dipandang; Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu
yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga,

bereaksi, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan
secara sadar, terkontrol bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan diluar
kesadaran.
Konteks. Dalam analisis wacana kritis ada dua konteks yang penting, karena
berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang
memproduksi wacana. Kedua, keadaan sosial tertentu seperti, tempat, waktu, posisi
pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk
mengerti suatu wacana.
Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan
konteks yang menyertainya. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu
tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti
itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu.

8

Kekuasaan. Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan
(power) dalam analisisnya. Di sini, setiap wacana muncul, dalam bentuk teks,
percakapan, atau apapun tidak dipandang sebagai suatu yang alamiah, wajar dan netral,
tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu

kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat.
Ideologi. Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis yang bersifat kritis.
Hal ini disebabkan teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik atau
pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok
akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, serta
memberikan kontribusi membentuk solidaritas dan hubungan erat di dalam kelompok.
Dengan melihat dari kelima karakteristik analisis wacana kritis di atas, maka
analisis wacana kritis model Teun A. van Dijk, model yang selain mengkaji teks secara
konten (isi), model ini juga mengaitkan teks dengan konteks sosial dan sejarah yang
terjadi ketika teks tersebut dibuat, sehingga model ini cocok untuk mengkaji teks
apapun, termasuk sastra. Mengingat bahwa teks sastra merupakan ungkapan perasaan
dan pikiran penyair dalam menyikapi lingkungannya, maka analisis wacana kritis ini
sangatlah penting untuk mengkaji puisi-puisi ―Para Jenderal Marah-marah‖ karya Wiji
Thukul. Menurut van Dijk (1985), penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan
pada analisis atas teks semata, karena teks juga merupakan hasil dari proses produksi
yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi,
sehingga kita memperoleh pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu.
Pada teorinya, van Dijk (dalam Eriyanto, 2008) melihat suatu teks terdiri dari
beberapa struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia
membaginya dalam tiga tingkatan, yaitu (1) Struktur Makro, (2) Superstruktur (3) dan

9

Struktur Mikro. Pertama, Struktur Makro. Ini merupakan makna global atau umum dari
suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam
suatu teks. Kedua, Superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan
dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian itu tersusun secara utuh dalam
teks. Ketiga, Struktur Mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil
dari suatu teks yaitu kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, dan parafrasa.
Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan suatu
kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari
suatu teks didukung oleh kerangka teks dan akhirnya didukung oleh pilihan kata dan
kalimat yang dipakai. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan
semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik
berkomunikasi. Suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan
dukungan, memperkuat legitimasi dan menyingkirkan lawan atau penantang. Struktur
wacana adalah cara efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan
ketika seseorang menyampaikan pesan. Kata-kata tertentu mungkin dipilih untuk
mempertegas pilihan dan sikap, membentuk kesadaran politik dan sebagainya. Berikut
ini digambarkan elemen-elemen wacana menurut van Dijk:
Tabel 1.
Elemen-elemen wacana menurut van Dijk
STRUKTUR WACANA

HAL YANG DIAMATI

Struktur Makro

Tematik

Makna global dari suatu Tema/topik yang
teks yang dapat diamati dari dikedepankan dalam
topik/tema yang diangkat suatu teks.
dari suatu.

ELEMEN

Topik

10

Superstruktur

Skematik

Kerangka suatu teks, seperti Bagaimana bagian dan
bagian

pendahuluan,

Skema

isi, urutan teks diskemakan

penutup, dan kesimpulan.

dalam teks utuh.

Semantik

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks Makna yang ingin

Latar, Detil,

yang dapat diamati dari ditekankan dalam teks.

Maksud, Pra-

pilihan kata, kalimat dan Misal membuat detail

anggapan,

gaya yang dipakai oleh disatu sisi dan

Nominalisasi.

mengurangi detil sisi

suatu teks.

yang lain.
Sintaksis
Bagaimana kalimat

Bentuk kalimat,

(bentuk susunan) yang

koherensi, kata

dipilih.

ganti.

Stilistik
Bagaimana pilihan kata

Leksikon

yang dipakai dalam teks.
Retoris
Bagaimana dan dengan

Grafis, Metafora,

cara penekanan apa

ekspresi.

dilakukan.
Sumber: Eriyanto, 2008.
Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah kumpulan puisi Wiji Thukul yang
berjudul ―Para Jenderal Marah-marah‖ (judul ini diambil dari judul puisi pertama
Thukul ketika melakukan pelarian), yaitu kumpulan puisi yang dibuat ketika Thukul
sedang dalam masa pelariannya sebagai buronan pemerintahan Soeharto. Puisi-puisi ini

11

menarik untuk diteliti, mengingat situasi Thukul yang sedang bersembunyi dari banyak
orang (agar bisa menghindari incaran pemerintah), sehingga tidak banyak yang tahu
mengenai keadaan seorang Thukul selama pelariannya tersebut. Kumpulan puisi ini
dirangkai secara sistematis, seperti pendahuluan, isi dan penutup. Terdapat 23 puisi di
dalamnya, namun dalam penelitian ini hanya akan mengambil 7 puisi; (1) puisi
pendahuluan, berisikan awal kebingungan Thukul ketika menjadi buron; (2) puisi yang
menggambarkan hubungan dia dengan teman-temannya saat buron; (3) puisi tentang
keluarganya saat menjadi buron; (4) puisi tentang dirinya sendiri saat menjadi buron; (5)
puisi tentang pemerintahnya saat itu; (6) puisi tentang negara; dan (7) puisi penutup.
Setiap puisi diperlakukan sebagai satu adegan yang saling berkaitan. Dengan
demikian ada 7 adegan yang dikonstruksi, termasuk pendahuluan dan penutup. Secara
keseluruhan utuh, naskah kumpulan puisi ini diawali dengan situasi kebingungan
Thukul yang menjadi buronan. Sedangkan isi kumpulan puisi ini terletak pada puisipuisi yang menanggapi berbagai aspek kehidupannya, seperti pertemanan, keluarga, diri
sendirinya, pemerintah saat itu, dan kondisi negara saat itu. Serta penutupnya (adegan 7)
merupakan puisi yang diletakkan pada bagian paling akhir dari kumpulan puisi ini.
Prosedur
Metode penggalian data dalam penelitian ini ialah menggunakan metode pustaka
dan simak dari elemen-elemen wacana kritis milik van Dijk. Peneliti sebagai instrumen
kunci melakukan penyimakan secara cermat, terarah dan teliti terhadap sumber data
primer yaitu teks kumpulan puisi Thukul yang berjudul ―Para Jenderal Marah-marah‖
dan hasil wawancara istri (Sipon) dan guru teater (Cempe Lawu Warta) Wiji Thukul
berdasarkan elemen-elemen wacana kritis milik van Dijk dalam memperoleh data yang
diinginkan.

12

HASIL PENELITIAN
1. Struktur Makro (Tematik)
Pada puisi-puisi Wiji Thukul ini, tema besar digunakan hanya dua, yaitu (1)
kediktatoran pemerintah Orde Baru; dan (2) keadaan Wiji Thukul dan sekitarnya.
2. Super Struktur (Skematik)
Secara alur puisi-puisi Wiji Thukul ini memiliki awalan yang merupakan
deskripsi keadaan dirinya dan lingkungan sekitarnya, lalu isi berbeda-beda
tergantung dari pengalaman yang ia alami saat itu atau apa yang sedang ia lihat dan
rasakan, sehingga itu ia jadikan penjelasan dari awalan puisinya sekaligus sebagai
sudut pandang puisinya. Sedangkan pada penutupan puisi-puisinya ini ialah, Wiji
Thukul memiliki kecenderungan menulis kritikan terhadap pemerintah Orde Baru.
Namun ada dua puisinya yang memiliki penutupan berbeda, yaitu yang berjudul
―buat l. ch. & a. b.‖ dan ―pepatah buron‖.
Pada puisi ―buat l. ch. & a. b.‖, Wiji Thukul menyampaikan harapannya untuk
dapat berkunjung lagi ke rumah kedua temannya itu tanpa status buron, ―tapi aku
harus pergi//mungkin tahun depan//atau entah kapan//akan kuketuk lagi//daun
pintumu//bukan sebagai buron‖ (hal. 216). Sedangkan pada puisi ―pepatah buron‖,
Wiji Thukul menyampaikan perasaannya yang kesepian secara implisit dengan
mengatakan arti sesungguhnya seorang teman, ―kawan sejati adalah kawan yang
masih berani//tertawa bersama//walau dalam kepungan bahaya‖ (hal. 220).

13

3. Struktur Mikro
3.1. Semantik
3.1.1. Latar
Puisi-puisi

Wiji

Thukul

didominasi

dengan

latar

pengalaman-

pengalamannya sebagai buronan pemerintah Orba yang diktator.
3.1.2. Detil
Wiji Thukul memang jarang mengatakan perasaannya secara langsung,
kalaupun ia mengatakan perasaannya, ia memilih untuk menggunakan kata-kata
penyangkalan akan perasaan sesungguhnya. Penyangkalan ini ia lakukan untuk
mengubah perasaan-perasaan negatifnya. Seperti pada puisi ―buat l. ch. & a. b.‖
dan ―(14)‖.
Dalam puisi ―buat l. ch. & a. b.‖, Wiji yang sedang kelelahan dan
kelaparan, datang ke rumah Arief Budiman dengan perasaan putus asa, ini ia
tulis dengan metafora ―pagi itu//budimu menjadi api‖ (hal. 216). Metafora ini
menunjukkan keputusasaan dirinya sebelum bertemu dengan Arief Budiman dan
keputusasaan itu berubah menjadi semangat karena kebaikan Arief Budiman,
serta Leila Chairini Budiman. Sedangkan pada puisi ―(14)‖, Wiji Thukul secara
implisit mengakui bahwa ia merasakan takut dan cemas, namun dengan
penyampaian yang menggunakan perasaan lainnya, yaitu marah. ―habis
cemasku//kaugilas//habis

takutku//kautindas//kini

padaku

tinggal//tenaga

mendidih!‖ (hal. 227).
3.1.3. Maksud
Menurut van Dijk, suatu teks merupakan hal yang tidak terjadi begitu
saja, namun ada suatu pertarungan kekuasaan. Dari pertarungan yang terjadi

14

itulah suatu teks dapat dianalisis maksudnya. Secara garis besar, puisi-puisi Wiji
Thukul ini memiliki maksud yang menyatakan pertentangan keinginankeinginannya (ingin beraktifitas seperti semula tanpa merasa cemas, serta
terancam) dan pertentangan ideologi atau kelas (Thukul dari kelas marginal
dengan pemerintah Orba dari kelas borjuis). Namun, ada satu puisi yang
memiliki maksud berbeda, yaitu pada puisi ―pepatah buron‖ (adegan 4). Maksud
yang terdapat pada puisi ini adalah penegasan bahwa apa yang dialami Wiji
Thukul merupakan penindasan yang nyata, ―penindasaan adalah guru yang
paling jujur//bagi yang mengalami‖ (hal. 220).
3.1.4. Pra-anggapan
Praanggapan atau latar belakang pola berpikir yang terdapat dalam puisipuisi Wiji Thukul, yaitu penetapan status Wiji Thukul menjadi buronan
dianggap sebagai tindakan pemerintah yang diktator, kejam, penindas, perenggut
kebebasan, dan gemar melakukan propaganda untuk membodohi, serta menakutnakuti rakyatnya dengan militer bergaya fasis.
3.1.5. Nominalisasi
Pada puisi-puisi Wiji Thukul yang dianalisis, hanya terdapat satu puisi
yang menggunakan nominalisasi, yaitu puisi ―(20)‖ bait pertama, ―sebuah
bank//memasang iklan//ukuran setengah halaman koran, teriaknya//Dirgahayu
Republik Indonesia 51 Tahun‖ (hal. 236).
3.2. Sintaksis
3.2.1. Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat-kalimat yang terdapat pada puisi Wiji Thukul cenderung
bentuk kalimat aktif. Bentuk kalimat aktif ini secara psikologis bertujuan untuk

15

mempengaruhi pembaca, baik secara kognitif maupun afektif sehingga pembaca
dapat lebih mudah terhanyut dengan apa yang terjadi pada Wiji Thukul.
Namun ada puisinya yang menonjolkan kalimat pasif, yaitu pada puisi
―(20)‖ bait ketiga, ―sementara itu ratusan aktivis//di daerah dan di ibukota
ditangkapi‖ (hal. 236). Bait ini sengaja Wiji Thukul buat pasif, karena
penangkapan para aktifis ini memang sulit terpahami alasan dalam negara yang
katanya menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai Demokrasi Pancasila.
3.2.2. Koherensi
Dalam puisi-puisi Wiji Thukul terdapat koherensi-koherensi seperti,
koherensi kausal, koherensi perbandingan, koherensi pertentangan, koherensi
kondisional, dan koherensi konjungsi ―tapi‖. Koherensi konjungsi ―tapi‖
merupakan koherensi yang paling banyak terdapat di puisi-puisi Wiji Thukul.
3.2.3. Kata Ganti
Kata-kata ganti yang terdapat di puisi-puisi Wiji Thukul adalah ―aku‖, ―ku‖, ―-mu‖, ―-nya‖, ―mereka‖, dan ―kalian‖.
3.3. Stilistik (Leksikon)
Pemilihan kata-kata yang digunakan Wiji Thukul merupakan kata sehari-hari,
kata-kata yang mudah dipahami orang dari kelas bawah sekalipun. Contohnya
seperti, ―kekejaman kemanusiaan‖, ―penguasa‖, ―rezim‖, ―penindasan‖, ―damai‖,
―nelan‖, ―nenteng-nenteng senapan‖, dan lain-lain.
3.4. Retoris
3.4.1. Grafis
Pemakaian grafis ada pada semua puisi-puisi Wiji Thukul. Grafis
merupakan penggunaan kata-kata yang terlihat menonjol dibandingkan kata-kata

16

lainnya untuk mempengaruhi pembacanya. Dari puisi-puisinya, ada dua puisi
yang pemakaian grafisnya paling menonjol, yaitu puisi ―para jenderal marahmarah‖ dan puisi ―(20)‖.
Pada puisi ―para jenderal marah-marah‖, pemakaian grafis terdapat pada
penggunaan dua kata yang memiliki arti sama, ―menyeret-nyeret‖ dan ―ditariktarik‖, ―Sebab seorang letnan jenderal menyeret-nyeret namaku. Dengan
tergopoh-gopoh

selimutku

ditarik-tariknya.

(Istrinya)‖

(hal.

214).

Ini

menunjukkan bahwa Wiji Thukul ingin mempengaruhi pembaca, bahwa ada
perbedaan perilaku antara Letnan Jenderal (mewakili pemerintah Orba yang
kasar dan memiliki daya paksa) dengan istrinya (mewakili rakyat biasa yang
berdaya kecil).
Sedangkan pada puisi ―(20)‖, pemakaian grafis terdapat pada
penggunaan satu kata sama yang memiliki penulisan berbeda, ―merdeka‖ dan
―MERDEKA‖, ―MERDEKA MERDEKA MERDEKA//siapa yang merdeka?‖
(hal. 236). Ini menunjukkan bahwa bagi Wiji Thukul kemerdekaan itu hanya
sebatas slogan yang didengungkan besar-besar oleh pemerintah Orba, namun
pada kenyataannya rakyat biasa masih mempertanyakan kemerdekaan itu
dengan bisik-bisik.
3.4.2. Metafora
Metafora-metafora yang digunakan Wiji Thukul dalam puisi-puisinya
cenderung mengkritik pemerintah Orba yang kejam, penindas dan diktator.
Namun ada metafora yang berbeda dengan metafora lainnya, yaitu puisi ―buat l.
ch. & a. b.‖ yang menunjukkan perasaan syukur atas dukungan sosial atau
bantuan Arief Budiman dan Leila Chairini Budiman.

17

Metafora itu terdapat pada bait, ―pagi itu//budimu menjadi api‖ (hal.
216). Kata ―budi‖ memiliki arti akhlak, namun juga bisa sebagai bagian dari
nama Arief Budiman. Sedangkan kata ―api‖ berarti semangat.
4. Dimensi Kognisi Sosial
Dalam pandangan van Dijk, kognisi sosial terutama dihubungkan dengan
proses produksi teks. Van Dijk mengemukakan bahwa produksi teks sebagian besar
dan terutama terjadi pada proses mental dalam kognisi seorang penulis. Maka dalam
menganalisis kognisi sosial tersebut terdapat pertanyaan-pertanyaan utama, yaitu
bagaimana penulis mendengar dan membaca peristiwa; bagaimana peristiwa
tersebut dimengerti, dimaknai, dan ditampilkan dalam pikiran.
Wiji Thukul lahir dan besar dari lingkungan keluarga kelas bawah.
Bapaknya penarik becak, sebagaimana mayoritas profesi para tetangga di tempat
tinggalnya. Pada 1982 dia putus sekolah dan memilih bekerja mencari uang buat
membantu bapaknya. Dia pernah berjualan koran di Semarang, jadi buruh plitur di
kampungnya, calo karcis bioskop, dan jadi pengamen puisi. Pernah juga dia bekerja
jadi wartawan, meski hanya tiga bulan. Dalam keadaan ekonomi seperti itu,
membuat Wiji Thukul merasakan adanya kesenjangan sosial di lingkungannya.
Sering dia bilang pada istrinya, Sipon, bahwa suatu saat dia ingin mempunyai rumah
besar dan mewah untuk mereka berdua dan anak-anaknya.
Pengalaman bergaul dengan para aktivis juga membuat Thukul semakin
kritis dalam berpikir. Wiji Thukul aktif terlibat dalam sejumlah aksi solidaritas
terhadap para petani dan buruh. Pada 1992 dia ikut demonstrasi memprotes
pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT. Sariwarna Asli Solo. Pada 1994, saat
terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur, Thukul memimpin massa dan melakukan

18

orasi. Dalam aksi ini dia ditangkap serta dipukuli sejumlah aparat militer. Setahun
berikutnya, saat ikut aksi demo 15.000 karyawan PT. Sritex, Thukul dipukuli
dengan popor senjata dan kepalanya dibenturkan ke mobil oleh aparat keamanan
yang mengakibatkan mata kirinya buta kemudian ditangkap.
Ketika Wiji Thukul dijadikan pemerintah Orde Baru sebagai buronan, ia
memilih untuk melarikan diri. Seringnya dia berpindah-pindah tempat dan
bersembunyi dengan penampilan berbeda menghindari keramaian, membuatnya
hanya bisa berdiam diri menuliskan semua yang ia lihat dan rasakan dalam puisi
dengan pensil di atas kertas surat putih bergaris 13 halaman bolak-balik. Bagi Wiji
Thukul, kelakuan pemerintah Orde Baru merupakan kesewenang-wenangan
terhadap kemerdekaan serta kemanusiaan dirinya dan sekitarnya yang tidak ditulis.
Karena itu sebelum Wiji Thukul memutuskan untuk pergi dari tempat
persembunyiannya, ia menyerahkan kumpulan puisinya itu pada Stanley Adi
Prasetyo, aktifis HAM saat itu, sambil berkata, ‖Tolong ini kamu pegang. Siapa tahu
suatu saat ada gunanya.‖ (Prasetyo, 2012).
5. Dimensi Konteks Sosial
Pada dimensi konteks sosial, merupakan dimensi di mana suatu wacana itu
diproduksi, direproduksi, dan berkembang dalam masyarakat. Kondisi bangsa
Indonesia pada periode antara tahun 1986-1998 sedang berada dalam sebuah fase
yang disebut oleh Gramsci sebagai situasi krisis hegemoni: ―Manakala kelas
penguasa telah kehilangan konsensusnya, misalnya tak lagi ‗memimpin‘ namun
hanya ‗dominasi‘, menjalankan kekuatan kekerasan sendiri, ini maknanya adalah
bahwa massa telah terlepas dari ideologi tradisional mereka, dan tak lagi percaya

19

apa yang dahulunya mereka percayai, dll. Krisis ini memuat satu situasi dimana
yang tua sedang sekarat dan yang muda belum lahir‖ (Gramsci, 1976).
Periode ini terjadi karena pada fase itu Indonesia berada dalam pemerintahan
yang sangat otoriter dan didominasi oleh peran militer yang sangat kuat. Akibatnya
terjadi krisis multidimensional (berbagai bidang), seperti krisis politik, karena
terlalu lamanya Presiden Soeharto berkuasa (kurang lebih 32 tahun). Lalu, krisis
ekonomi, karena terlalu banyak utang Indonesia kepada luar negeri, dan banyak
terjadi korupsi. Pada masa Orde Baru, utang didefinisikan menjadi penerimaan
negara. Juga krisis sosial, pertikaian sosial yang terjadi sepanjang tahun 1996 telah
memicu munculnya kerusuhan antar agama dan etnis, misalnya di Situbondo, Haur
Koneng Majalengka, Tasikmalaya, Sanggau Ledo (Kalimantan Barat) yang meluas
hingga ke Singkawang dan Pontianak. (Hadiansyah, 2013).
Dalam menjalankan rezim Orde Baru, Soeharto selalu menggunakan militer
sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Hingga pihak militer pada saat itu
mempunyai hak ekslusif dengan dikeluarkannya konsep Dwifungsi ABRI dan
Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat semesta. Cara ini menciptakan khierarki
jabatan militer yang ditempatkan ditingkat kabupaten/kota hingga tingkat
desa/kelurahan yang kemudian diidentikan sebagai alat pengusaha untuk menindas
buruh dan mereka-mereka yang dianggap mengancam keamanan Negara. Karena,
dibalik penugasan mereka selalu ada pesanan politik tertentu di dalamnya. Hal ini
terbukti dengan contoh kasus pada pengumuman Wiji Thukul sebagai buronan
pemerintah, karena seringnya Wiji Thukul ikut bahkan berkontribusi besar dalam
berbagai aksi solidaritas buruh dan petani, terutama pasca Peristiwa Kudatuli.

20

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada tiap-tiap adegan, maka dapat
dilihat konflik batin yang terjadi pada Wiji Thukul saat itu seperti berikut ini:
1. Wiji Thukul menganggap bahwa pengumuman dirinya sebagai buronan
adalah kekejaman pemerintah terhadap kemanusiaan. Kekejaman inilah yang
membuatnya merasa terancam, hingga mau tidak mau ia merasa harus pergi
meninggalkan istri dan kedua anaknya.
2. Wiji Thukul merasa berhutang budi pada setiap kawan-kawannya yang telah
membantu dan mendukungnya, namun ia belum bisa membalasnya sehingga
berharap bisa datang lagi ke mereka tanpa status buronan.
3. Kabar penggeledahan rumah Wiji Thukul didengarnya, namun ia tidak bisa
berbuat apa-apa untuk mencegah itu. Akhirnya ia hanya menulis puisi
bernada satire dengan mengucapkan terima kasih karena telah mengajari
anak-anaknya tentang kekejaman pemerintah Orde Baru.
4. Wiji Thukul menemukan arti dari sebuah persahabatan yang di mana
persahabatan sejati adalah hubungan dengan orang yang tetap bersama
meskipun dalam bahaya. Pada titik ini, ia merasa kesepian karena banyak
teman-temannya yang takut untuk berhubungan secara langsung dengan
dirinya.
5. Wiji Thukul merasa marah dengan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah
Orde Baru terhadap rakyat kecil, termasuk dirinya. Kemarahan ini
membuatnya sangat sadar waras bahwa ia harus segera melawan
ketidakadilan, namun harus melawan kecemasan dan ketakutannya sendiri
terlebih dulu.

21

6. Mempertanyakan arti dari kemerdekaan. Hingar bingar perayaan Hari
Kemerdekaan berbanding terbalik dengan yang ia dan kawan-kawannya
alami.
7. Wiji Thukul juga merasa kesepian dan kebosanan dengan rutinitas
bersembunyinya. Akhirnya ia merasa harus segera pergi dari tempat
persembunyiannya saat itu.
Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti dapat meneliti dan
menganalisis seluruh puisi yang ada dalam kumpulan puisi ―Para Jenderal
Marah-marah‖, agar mendapatkan hasil penelitian yang lebih lengkap
mengenai konflik batin Wiji Thukul sewaktu menjadi buronan.
2. Konflik batin yang terjadi oleh Wiji Thukul ini kiranya dapat menjadi
pembelajaran bagi negara ini, terutama pemerintah, agar tidak mengulangi
dan dapat menyelesaikan permasalahan ini secara cepat di kemudian hari,
karena melalui konflik batin ini dapat diketahui bahwa pemerintahan yang
diktator dan melanggar HAM hanya akan memperburuk kehidupan
rakyatnya.

22

REFERENSI
Ali, L. (Ed.). 1967. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia Sebagai Cermin Manusia
Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Astuti, T. A. (2011). Analisis Wacana van Dijk Terhadap Berita ―Sebuah Kegilaan Di
Simpang Kraft‖ di Majalah Pantau. Skripsi. Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Budiman, A. (1976). Chairil Anwar; Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Endraswara, S. (2008). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Medpress.
Eriyanto. (2008). Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Gramsci, Antonio. 1976. Selections From The Prisson Notebooks, Quintin Hoare and
Nowell Smith (ed.). New York: International Publisher.
Hadiansyah, O. N. (2013). Pemikiran Wiji Thukul Tentang Orde Baru (Analisis Wacana
Kritis Teun A. van Dijk Mengenai Pemikiran Wiji Thukul Tentang Orde Baru
Pada Puisi ―Peringatan‖). Artikel. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Komputer Indonesia.
Hardjana, A. (1984). Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Mihardja, R. (2012). Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara.
Pradopo, R. D. (2001). Penelitian Sastra Dengan Pendekatan Semiotik. Yogyakarta:
PT. Hanindita.
Prasetyo, S. A. (2012). Puisi Pelarian Wiji Thukul. Jurnal Dignitas, 8 (1), 89-113.
Rafiq, A. (2013). Teka-teki Wiji Thukul. Tempo edisi 13-19 Mei 2013.
Robet, R. (2013). Wiji Thukul dan Kejahatan Yang Berkelanjutan. Tempo edisi 13-19
Mei 2013.
Thukul, W. (2014). Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: Gramedia.

23

Winarni, R. (2013). Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari Press.
Wiyatmi. (2007). Psikologi Sastra: Teori dan Aplikasinya. Sleman: Kanwa Publisher.
van Dijk, T. A. (ed.) (1985). Handbook of Discourse Analysis, Vols 1–4. London:
Academic Press.