ALASAN INTERVENSI KEMANUSIAAN UNI AFRIKA TERHADAP NEGARA ANGGOTA (STUDI KASUS: KONFLIK BURUNDI 2015-2016)

BAB II
DINAMIKA SEJARAH UNI AFRIKA DAN BURUNDI

Organisasi internasional merupakan suatu wadah berkumpulnya anggotaanggota yang memiliki tujuan berbeda namun bersatu untuk mencapai tujuan yang
sama. Berbagai macam jenis organisasi internasional yang ada di dunia ini dibentuk
dengan tujuan yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi dengan latar belakang
dibentuknya

organisasi

internasional

tersebut.

Secara

istilah,

organisasi

internasional adalah suatu struktur formal yang dibentuk oleh anggota (pemerintah

atau non-pemerintah) melalui suatu perjanjian antara dua atau lebih negara yang
berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan umum bersama (Archer,
2001, hal. 14-22). Sebagai contohnya adalah ASEAN (Association of Southeast
Asian Nations) yang memiliki fokus di bidang kerjasama politik maupun ekonomi
antar negara-negara anggota yang ada di Asia Tenggara. Ada tiga kriteria yang
membedakan organisasi internasional satu sama lain yaitu keanggotaan, tujuan dan
aktivitas (Archer, International Organisations 3rd Edition, 2001, hal. 3-4).
Uni Afrika merupakan satu dari sekian banyak organisasi internasional di
dunia yang bergerak dalam bidang kerjasama antar negara. Fokus utama dari Uni
Afrika sendiri adalah untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan antar
negara-negara di Afrika. Dibentuknya Uni Afrika sendiri diharapkan dapat
menjawab tantangan global serta membuat solidaritas antar negara di Afrika lebih
kuat (African Union, 2000).

1

A.

Terbentuknya Uni Afrika
Sebelumnya, organisasi ini bernama Organisasi Kesatuan Afrika atau


Organization of African Unity (OAU). Organisasi ini berdiri pada tanggal 25 Mei
1963 di Etiopia. Dilatar belakangi oleh kondisi keamanan negara-negara di Afrika
yang pada saat itu masih banyak yang belum bisa berdiri sendiri karena negaranegara barat yang mencoba mendominasi. Mereka berlomba-lomba untuk bisa
menguasai negara-negara di Afrika, terutama yang belum stabil secara ekonomi.
Organisasi Kesatuan Afrika memiliki tujuan yang tertulis di dalam piagam
Organization of African Unity yaitu untuk mendorong persatuan dan kesatuan
negara-negara di Afrika (Organization of African Unity, 1963). Berdirinya
organisasi ini dilatarbelakangi oleh ideologi pan-african, ideologi yang terkenal di
abad ke-18. Ideologi ini bertujuan untuk mendorong dan memperkuat ikatan
penduduk Afrika.
Di tahun 1990, muncul berbagai kritik yang ditujukan kepada Organisasi
Kesatuan Afrika yang dianggap tidak berhasil dalam menangani konflik intraAfrika. Selain itu muncul beberapa pendapat para pemimpin negara Afrika untuk
mengembangkan sektor ekonomi Afrika. sektor tersebut dirasa kurang mengalami
perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan sektor keamanan yang
menjadi fokus utama Organisasi Kesatuan Afrika. Badan utama Organisasi
Kesatuan Afrika yang melambangkan ideologi pan-african juga dianggap tidak
akan bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan global yang akan datang
(Packer, 2002, hal. 366). Atas kritik yang bermunculan, para pemimpin negara di
Organisasi Kesatuan Afrika mulai merencanakan merubah struktur organisasi ini.

Perubahan ini dianggap mampu membuat organisasi ini berkembang dalam
2

menghadapi perubahan dunia. Empat konferensi diadakan untuk menentukan arah
Organisasi Kesatuan Afrika yang selanjutnya. Konferensi ini diadakan mulai tahun
1999 hingga 2002. Di pertemuan ini ditentukan constitutive act, penggambaran
program-program kerja, dan diresmikannya Uni Afrika pada tahun 2002 sekaligus
diadakannya pertemuan sidang pertama Uni Afrika di Addis Ababa (African Union,
2016).
Dengan perubahan nama menjadi Uni Afrika, constitutive act dari organisasi
ini juga berkembang menjadi lebih baru meskipun masih mengadaptasi poin-poin
serupa seperti pada saat masih menjadi Organisasi Kesatuan Afrika. Salah satu poin
tentang prinsip non-interference yang dipegang teguh oleh Organisasi Kesatuan
Afrika mengalami modifikasi menjadi “mendukung dan melindungi hak-hak
manusia dan rakyat Afrika yang sesuai dengan piagam Afrika tentang hak manusia
dan instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya” (Manby, 2004, hal. 985).
Badan-badan Uni Afrika juga mengalami perubahan nama meskipun fungsinya
akan tetap sama. Beberapa istilah seperti General Secretariat digantikan dengan
Commission seperti yang tertulis di constitutive act. Selain itu di Commission ini
akan dipimpin oleh Chairman, yang dulu bernama Secretary-General pada saat

masih berada di Organisasi Kesatuan Afrika (Parker, 2002, hal. 370-371).

B.

Kontribusi Uni Afrika Terhadap Afrika
Sesuai dengan perwujudan visi dan misi Uni Afrika yang ada di constitutive

act, organisasi ini terus berupaya untuk membangun Afrika untuk menjadi lebih
baik. Salah satu bentuk perencanaan besar Uni Afrika dinamakan Agenda 2063.

3

Rencana ini merupakan wujud dari impian Uni Afrika akan Afrika yang maju dan
siap untuk bekerja sama dalam skala global. Usaha yang telah dicapai untuk
mewujudkan agenda ini beberapa diantaranya adalah dengan memperluas lapangan
pekerjaan, meningkatkan produksi pertanian, investasi di bidang sains, teknologi
dan penelitian. Selain itu Uni Afrika juga berupaya untuk mendorong kesadaran
masyarakat Afrika akan isu hak asasi manusia, pemberdayaan pemuda dan bantuan
terhadap sektor kebutuhan umum seperti kesehatan, pendidikan, kebutuhan air dan
kebersihan (Agenda 2063: Africa We Want, 2014, hal. 2-5).

Di bidang kesehatan, Uni Afrika memiliki agenda untuk memberantas
penyakit-penyakit di Afrika secara menyeluruh hingga tahun 2030. Poin-poin
penting mengenai kerangka berpikir dan strategi Uni Afrika tertuang di dalam
African Health Strategy (AHS). AHS pertama kali dirancang pada tahun 2007 di
Konferensi Menteri Kesehatan Afrika yang ke tiga. AHS berisi rencana Uni Afrika
untuk menguatkan sistem sektor kesehatan dan meningkatkan kesadaran sosial
masyarakat Afrika sehingga Uni Afrika dapat menekan jumlah penyakit-penyakit
yang umum ditemui di Afrika seperti AIDS, Malaria dan Tuberculosis (African
Health Strategy 2016-2030, 2016, hal. 6). Pengaruh dari berbagai krisis di Afrika
membawa

dampak

buruk

bagi

sistem

kesehatan


di

Afrika.

dalam

mengimplementasikan prinsip AHS 2007-2015, bencana alam seperti banjir,
kekeringan, kelaparan dan lain sebagainya merupakan beberapa penghambat.
Dengan hambatan tersebut, krisis seperti persebaran penyakit, kematian, malnutrisi,
dan lain-lain. Maka Uni Afrika melakukan rencana sesuai dengan AHS 2007-2015
yakni dengan meningkatkan pembiayaan kesehatan dengan sistem pendanaan yang
inovatif, mendorong penelitian di bidang kesehatan, menyediakan fasilitas

4

kesehatan yang terjangkau dan memadai bagi masyarakat, serta menguatkan
kerjasama antar negara untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan
dengan industri kesehatan.
Kontribusi Uni Afrika yang tertuang jelas di AHS membuahkan hasil yang

cukup signifikan. Negara-negara yang terletak di sahara selatan Afrika, sekarang
memiliki akses dalam perawatan HIV yang lebih kondusif. Kasus kematian akibat
HIV juga menurun sebanyak 30% di tahun 2015. Kasus yang banyak terjadi di
Afrika yaitu kematian anak-anak umur 2-10 tahun menurun sebanyak 26%.
Kematian anak-anak ini biasanya disebabkan oleh malaria . sejak tahun 2000
hingga 2015, peran Uni Afrika sanggup menekan angka kematian akibat malaria
sebanyak 42% (dalam kasus 1000 orang). Kontribusi ini cukup membawa dampak
positif bagi sektor kesehatan di Afrika (African Health Strategy 2016-2030, 2016,
hal. 12-18).
Tak hanya di bidang kesehatan, kehadiran Uni Afrika juga dilatarbelakangi
oleh berbagai sengketa yang tak kunjung usai. Beragam konflik yang terjadi,
memiliki akar yang cukup dalam sehingga membutuhkan penyelesaian yang
berbeda. Dalam menanganinya, Uni Afrika membentuk sebuah organ khusus yang
bernama Dewan Perdamaian dan Keamanan (Peace and Security Council). Segala
hal yang berkaitan dengan penanganan dan pencegahan konflik adalah fokus dari
dewan ini. Dewan ini memiliki wewenang atau kuasa sendiri untuk menentukan
sikap dan tindakan yang dianggap dalam menanggapi konflik di Afrika (Oguonu,
2014, hal. 326-327).
Kontribusi Uni Afrika dalam menangani konflik salah satunya adalah di
konflik Darfur, Sudan pada tahun 2003. Konflik antara kelompok pemberontak dari


5

Sudan Liberation Movement melawan pemerintah Sudan. Konflik ini menelan
korban sebanyak 300.000 jiwa (World Without Genocide, 2012). Uni Afrika,
melalui organ Dewan Perdamaian dan Keamanan, kemudian mengirimkan pasukan
perdamaian yang dinamakan The African Union Mission in Sudan (AMIS). Pasukan
perdamaian yang berjumlah 150 personel ini diterjunkan di tahun 2004 untuk
mengawasi dan melakukan operasi perdamaian yang sesuai dengan standar
operasional Dewan Perdamaian dan Keamanan. Operasi perdamaian yang
dimaksud antara lain memprioritaskan perlindungan warga sipil, memastikan
keselamatan bantuan kemanusiaan dan mengawasi perjanjian gencatan senjata yang
telah dibuat di Darfur (Luqman, 2012, hal. 63-64). Kontribusi lainnya juga
ditunjukkan Uni Afrika dalam penanganan konflik perang sipil di Somalia pada
tahun 2007. Untuk membantu jalannya pengiriman bantuan kemanusiaan dan
melancarkan rencana keamanan nasional yang dicanangkan oleh pemerintah
Somalia, Dewan Perdamaian dan Keamanan membentuk The African Union
Mission in Somalia (AMISOM) (United Nations Security Council, 2007).

C. DINAMIKA KONFLIK BURUNDI

Untuk menjelaskan mengenai alasan intervensi kemanusiaan oleh Uni Afrika
terhadap penanganan konflik Burundi 2015-2016, perlu dipahami terlebih dahulu
mengenai latar belakang konflik Burundi yang menjadi dasar permasalahan dalam
penelitian ini. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konflik-konflik terdahulu
Burundi yang menjadi latar belakang konflik 2015-2016 serta respon organisasi
internasional terhadap konflik-konflik tersebut.

6

1. Kolonisasi Jerman dan Belgia
Burundi, salah satu negara di Afrika dan juga salah satu negara anggota
dari Uni Afrika. Negara yang terdiri dari 18 provinsi ini berbatasan langsung
dengan Rwanda, Tanzania, dan Republik Demokratik Kongo. Jumlah
populasi penduduk Burundi berjumlah sekitar 6 juta jiwa. Para penduduk di
negara ini berkomunikasi dengan bahasa Kirundi dan sebagian kecil
berkomunikasi dengan bahasa Prancis. Etnis yang terkenal menempati
negara ini antara lain etnis Hutu, Tutsi, dan Twa. Pasca perang dunia kedua,
Belgia mendapat mandat untuk memerintah di Burundi dan Rwanda yang
pada saat itu bernama Rwanda-Urundi. Namun setelah Belgia mendapat
kemerdekaannya, Rwanda-Urundi saling memisahkan diri untuk menjadi

dua negara terpisah yaitu Burundi dan Rwanda di tahun 1962 (Law, 2015).
Sejarah Burundi berawal sebelum masa kolonialisme ketika negara ini
masih berupa kerajaan. Pada Abad ke-16, Burundi masih berupa kerajaan
yang dipimpin oleh sultan yang disebut sebagai Mwami. Sebagai pemimpin
kerajaan, Mwami memiliki tugas sebagai pemegang kuasa atas kerajaan
Burundi dan sebagai pemilik penuh sebagian besar tanah di Burundi. Oleh
karena itu, penduduk yang mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak
secara rutin akan mengumpulkan pajak kepada Mwami. Burundi terkenal
dengan tiga etnis yang sama dengan negara tetangganya, yaitu Rwanda.
Burundi memiliki Twa, Hutu, dan Tutsi. Orang-orang dari ras Twa terkenal
sebagai pembuat tembikar, penghibur dan pemburu. Sedangkan penduduk
etnis Hutu terkenal dengan keahliannya bercocok tanam dan sebagian besar
berprofesi sebagai petani. Tutsi sebagai etnis minoritas terkenal sebagai

7

penggembala ternak. Sejarah dari klasifikasi Hutu dan Tutsi masih menjadi
perdebatan hingga sekarang dikarenakan keduanya terkadang dibedakan
sebagai status sosial, bukan ras keluarga. Seorang Tutsi yang miskin akan
tergolong sebagai Hutu dan sebaliknya, Hutu yang memiliki kekayaan diatas

Hutu lainnya akan tergolong sebagai Tutsi. Di kerajaan ini, masyarakat
memiliki pola kerja yang sama, berbahasa sama dan memiliki keyakinan
agama yang sama (Berchmans, 2005, hal. 15-16).
Di abad ke 20 setelah 200 tahun kerajaan ini berdiri, Jerman kemudian
datang untuk menduduki wilayah ini (Fortune of Africa, 2016). Tepatnya
pada tahun 1856, Jerman menduduki sebagian dari wilayah Afrika, tak hanya
di Burundi saja. Rwanda dan Tanzania juga ikut dijajah oleh Jerman yang
kemudian dinamakan sebagai German East Africa. Pada saat perang dunia
pertama, wilayah Rwanda dan Burundi kemudian beralih ke Belgia di tahun
1916. Dua negara yang sebelumnya merupakan wilayah jajahan Jerman ini
kemudian digabung oleh Belgia menjadi Rwanda-Urundi. Belgia kemudian
mendapatkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk membuat RwandaUrundi menjadi wilayah kekuasaannya. Istilah ini kemudian berubah
menjadi wilayah kepercayaan (trust territory) setelah perang dunia kedua
dan liga bangsa-bangsa berubah menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations).
Pemberian wilayah ini memiliki syarat agar Belgia menyiapkan
kemerdekaan bagi Rwanda-Urundi segera. Hingga di tahun 1959, Burundi
meminta kemerdekaan mereka dan memisahkan diri dari bagian RwandaUrundi. Di tahun yang sama, burundi menyiapkan partai politik yang

8

dinamakan Union for National Progress (UPRONA). Partai yang dipimpin
oleh pangeran dari etnis Tutsi, Louis Rwagasore bersaing dengan partai
yang dibentuk oleh Belgia yang bernama Christian Democratic Party
(PDC) dan dipimpin oleh August de Schryver, seorang menteri dari Belgia
(Central Intelligence Agency US, 2015). Pemilu yang diadakan pada 1961
ini dimenangkan oleh UPRONA dengan perolehan suara sebanyak 80%
unggul dari partai PDC. Setelah pemilu dimenangkan oleh UPRONA,
Burundi memisahkan diri dari Rwanda dan merdeka pada tanggal 1 Juli
1962 (Bamber Gascoigne, 2001).
Tak lama setelah Burundi meraih kemerdekaannya, salah satu perdana
menteri yang merupakan etnis Hutu yaitu Pierre Ngendandumwe terbunuh
oleh beberapa oknum yang merupakan etnis Tutsi. Sebelumnya di tahun
1961, peristiwa serupa juga terjadi kepada Pangeran Rwagasore, yang
merupakan pemimpin partai UPRONA sebelum pemilu diadakan. Pangeran
Rwagasore terbunuh oleh beberapa orang yang merupakan anggota dari
partai PDC (HISTORY OF BURUNDI, 2001). Peristiwa pembunuhan yang
terjadi tak luput dari perseteruan antar etnis yang masih dipengaruhi pada
masa penjajahan Belgia. Burundi memiliki etnis yang sama dengan negara
tetangganya Rwanda, yaitu Hutu, Tutsi dan Twa. Dari ketiganya, Hutu
menjadi etnis mayoritas dengan presentase 85%, Tutsi 14% dan Twa yang
hanya sekitar 1% dari sekitar 11,099,298 jiwa di Burundi (The World
Factbook : Burundi, 2015). Pada saat pemerintahan Belgia, banyak posisi
di pemerintahan yang diserahkan kepada

9

etnis Tutsi,

sehingga

menimbulkan adanya kecemburuan sosial dari etnis Hutu yang merupakan
mayoritas di Burundi.

2. Genosida Burundi 1972 dan 1993
Pasca kemerdekaan yang diraih Burundi pada 1962, negara ini
mengalami dua sejarah kelam terkait genosida dan perang sipil. Genosida
pertama terjadi di tahun 1972 dan genosida kedua terjadi pada tahun 1993.
Rasa ketidakpercayaan elit-elit politik dari Hutu ke Tutsi dan sebaliknya
melatarbelakangi peristiwa yang menelan korban hingga 250.000 jiwa ini.
Kebutaan akan buruknya sistem pemerintahan yang dibangun oleh elit Tutsi
dan pemberontakan yang dipicu oleh oknum-oknum Hutu yang kemudian
juga membuat ribuan nyawa penduduk yang tidak terkait dalam permasalahan
juga ikut melayang.
Peristiwa pembunuhan perdana menteri Pierre Ngendandumwe membuat
hubungan antara Hutu dan Tutsi semakin tidak bersahabat. Monopoli jabatan
pemerintahan Burundi yang dimainkan oleh Tutsi juga membuat adanya
pihak-pihak

Hutu

yang

merencanakan adanya

penggulingan kursi

pemerintahan di kemudian hari. Setelah Ngendandumwe terbunuh, posisi
perdana menteri yang saat itu kosong segera digantikan dengan cara
melakukan pemilihan kembali setelah pemilu pertama di tahun 1962.
Terpilihlah kandidat dari etnis Hutu yang bernama Joseph Bamina, ketua
partai UPRONA. Keputusan terpilihnya perdana menteri yang baru ini
kemudian tidak disetujui oleh Mwami Burundi saat itu, raja Mwambutsa IV.
Posisi perdana menteri kemudian diserahkan secara sepihak oleh raja

10

Mwambutsa IV kepada Léopold Biha, sekretaris pribadi Mwami yang juga
berasal dari etnis Tutsi (Eggers, 2006, hal. 27). Diangkatnya Biha sebagai
perdana menteri memicu aksi pemberontakan yang dipimpin oleh anggota
militer dari etnis Hutu, Gervais Nyangoma dan pasukannya. Aksi kudeta yang
membuat Mwami Mwambutsa IV pergi meninggalkan Burundi ke Eropa ini
kemudian digagalkan oleh pasukan militer burundi dan para pimpinan
pemberontakan dari Hutu dieksekusi mati (Eggers, 2006, hal. 28).
Tahta pemimpin negara yang saat itu ditinggalkan oleh Mwambutsa
kemudian secara sepihak diwariskan terhadap anaknya yakni Charles Ndizeye
atau Ntare V pada tanggal 8 Juli 1966. Kepemimpinan Ntare V kemudian
dikenal sebagai masa kepemimpinan yang paling singkat dalam sejarah
Burundi dikarenakan Ntare V terbunuh oleh pasukan pemberontak Hutu di
tahun yang sama setelah berkunjung ke Uganda. Sesaat setelah kepergian
Ntare V, tahta kepemimpinan jatuh kepada Michael Micombero yang juga
berasal dari etnis Tutsi pada Desember 1966 (Lemarchand, 2008, hal. 3).
Micombero terkenal sebagai diktator di Burundi yang menekankan martial
law, yaitu sebuah aturan yang dilakukan setelah otoritas militer mengambil
alih kekuasaan dari pemerintahan secara resmi. Rezim Micombero juga
dikenal sebagai rezim dimana Tutsi berkuasa penuh dan cukup dominan baik
di kursi pemerintahan maupun militer Burundi. Orang-orang yang berasal dari
etnis Hutu pun tidak diberikan kesempatan yang sama dalam berkontribusi di
dalam pemerintahan dan militer Burundi.
Tepat pada 27 April 1972, sekelompok pasukan pemberontak Hutu
menyatakan telah membuat wilayah negara baru yang disebut sebagai

11

Republik Martyazo (Eggers, 2006, hal. 29). Meletuslah berbagai tindakan
pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh pemberontak Hutu ini
terhadap masyarakat etnis Tutsi. Tidak hanya Tutsi, masyarakat yang berasal
dari etnis Hutu yang menolak untuk bergabung dengan kelompok
pemberontakan tersebut juga mengalami nasib yang serupa. Sebanyak lebih
dari 800 jiwa terbunuh pada peristiwa itu (Lemarchand, 2008, hal. 4). Respon
Micombero selanjutnya yang kemudian menorehkan sejarah kelam bagi
Burundi. 30 April, semua pasukan militer bersenjata dikerahkan oleh
Micombero untuk membinasakan semua Hutu yang terlibat dengan aksi
pemberontakan yang dilakukan sebelumnya. Genosida ini dilakukan secara
sistematis, membunuh semua kalangan Hutu baik dari kaum pelajar, elit
politik, maupun tentara-tentara. Sebanyak lebih dari 100.000 jiwa mengungsi
ke negara tetangga seperti Tanzania dan Zaire. Peristiwa Genosida pertama di
Burundi antara etnis Tutsi dan Hutu ini menelan korban hingga mencapai
210.000 jiwa (White, 2011).
Setelah berakhirnya peristiwa genosida 1972, Burundi berangsur-angsur
menerima bantuan untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh
kelompok pemberontak tersebut, salah satunya berasal dari Amerika Serikat
(Melady, 1974, hal. 13). Dua puluh satu tahun pasca peristiwa tersebut,
Burundi harus menghadapi situasi serupa yang juga dikategorikan sebagai
genosida berdasarkan laporan dari PBB (International Commission of Inquiry
for Burundi: Final Report, 1995, hal. 62). Pada tahun 1993, Burundi
mengalami pemilu presiden untuk pertama kalinya. Pemenang dari pemilu
presiden pada tahun tersebut yaitu Melchior Ndadaye. Ia berasal dari salah

12

satu partai yang dinamakan Front pour la Démocratie au Burundi atau
FRODEBU. Ndadaye merupakan kepala negara pertama yang berasal dari
etnis Hutu dan ia segera menyusun rancangan kerja untuk rakyat Hutu yang
selama ini belum pernah mendapatkan peluang yang sama dengan Tutsi di
dalam pemerintahan (Eggers, 2006, hal. 34). Terpilihnya Ndadaye membuat
Burundi terbagi menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil. Kelompok ini
terdiri dari Hutu yang senang karena mendapatkan peluang yang sama besar
dan Tutsi yang tidak terima dengan diangkatnya Ndadaye sebagai Presiden
Burundi. Ketegangan ini kian hari kian meningkat dengan munculnya
berbagai laporan aksi perkelahian kelompok-kelompok kecil Hutu dan Tutsi,
terutama di Bujumbura, ibukota dari Burundi.
Puncak dari konflik ini adalah ketika Ndadaye terbunuh di tangan
kelompok ekstremis Tutsi pada tanggal 21 Oktober 1993. Terbunuhnya
Presiden Burundi ini kemudian memicu perang antar etnis yang menelan
korban jiwa cukup banyak. Partai FRODEBU kemudian mengirimkan
pasukan bersenjata yang membunuh penduduk yang berasal dari etnis Tutsi
sebanyak mungkin, hingga mencapai angka 25.000 jiwa melayang. Kelompok
Tutsi yang lain juga kembali menyerang dengan membunuh berbagai elemen
masyarakat Hutu, baik yang terlibat maupun penduduk yang tak bersalah.
Orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini juga menutup batas-batas
wilayah Burundi, menutup bandara-bandara, menutup akses danau
Tanganyika, dan juga memotong saluran-saluran komunikasi yang ada
sehingga Burundi terisolasi dari dunia luar (Historical Dictionary of Burundi,
2006, hal. 33).

13

Pemicu kericuhan selanjutnya adalah peristiwa presiden Burundi yang
kelima, Cyprien Ntaryamira terbunuh dalam insiden kecelakaan pesawat yang
diakibatkan oleh tembakan yang berasal dari kelompok ekstremis Rwanda
(Rwanda Patriotic Front). Kejadian ini memicu peristiwa besar di Rwanda
dan memicu perselisihan antar Hutu-Tutsi di Burundi meskipun tidak dalam
skala besar (Eggers, 2006, hal. 34). Pada tahun 2000, perang ini terus
berlanjut meskipun banyak komunitas-komunitas internasional berusaha
memberikan fasilitas untuk berdamai. Diskusi mengenai gencatan senjata
kemudian dilakukan dengan Nelson Mandela sebagai Fasilitator. Dalam
perjanjian Arusha ini, tercapai kesepakatan adanya pergantian rutin antara
Presiden dan Wakil Presiden setiap 18 bulan sekali, antara Tutsi dan Hutu.
Diskusi ini tidak berjalan secara lancar hingga kemudian dinyatakan selesai
dengan perkembangan yang sedikit di akhir tahun 2000 (Arusha Peace and
Reconciliation Agreement for Burundi, 2000). 3 tahun setelah terjadinya
perjanjian Arusha, posisi presiden kemudian digantikan oleh Domitien
Ndayizeye setelah Buyoya resmi turun dari jabatannya. Naiknya Ndayizeye
membawa perubahan yang cukup signifikan dalam mencapai perdamaian,
setelah ia setuju untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata yang
diadakan Summit of African Leaders di Tanzania pada November 2003. Di
dalam pertemuan ini, pasukan pemberontak yang bernama National Council
for the Defense of Democracy–Forces for the Defense of Democracy (FDD)
resmi menjadi partai politik di Burundi. Perkembangan menuju penyelesaian
konflik perang etnis yang berlangsung lebih dari 12 tahun itu menuju titik
terang di tahun 2005. Konflik mulai mereda setelah partai FDD

14

memenangkan pemilihan parlemen pada akhir November 2005. Beberapa
bulan kemudian, Pierre Nkurunziza yang berasal dari partai Hutu FDD
terpilih sebagai Presiden Burundi oleh parlemen yang sebagian besar berasal
dari etnis Hutu (The World Factbook : Burundi, 2015). Diangkatnya
Nkurunziza sebagai presiden mengakhiri konflik perang etnis antar HutuTutsi yang telah berlangsung selama 12 tahun. Burundi mulai tumbuh
memperbaiki beberapa ketidakstabilan yang telah terjadi di negara tersebut
semenjak peristiwa terbunuhnya Presiden Melchior Ndadaye.

D. Respon Organisasi Internasional Terhadap Konflik Burundi
1972 dan 1993

1. Perserikatan Bangsa-Bangsa
Peristiwa genosida pertama yang dialami Burundi pada tahun 1993
tentunya mendapat perhatian internasional. Negara kecil ini seketika berubah
menjadi medan perang antar etnis yang telah bersaudara selama beberapa
abad lamanya. Jumlah korban yang mencapai angka 200.000 membuat
Burundi menjadi area yang sangat berbahaya tak hanya bagi penduduk namun
juga bagi para pendatang yang ingin masuk ke Burundi. Situasi di Burundi
kemudian memicu adanya respon dari organisasi internasional, salah satunya
adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Titik penting dalam penanganan
konflik ini dimulai pada tahun 2000, dimana perjanjian Arusha dibuat oleh
pihak-pihak yang berkonflik dan disusun dengan pihak ketiga yaitu OAU.
Untuk menilai proses jalannya perjanjian ini dan penerapannya dalam konflik,

15

sekretaris jenderal PBB pada saat itu, Kofi Annan, mengirimkan utusan ke
Burundi untuk mengevaluasi kembali mekanisme perjanjian Arusha dan
memberikan beberapa saran untuk menangani konflik yang terjadi
(Schweiger, hal. 655-656).
Selain itu, PBB juga mengimplementasikan apa yang tertuang dalam
piagam PBB VII mengenai tindakan yang berkaitan dengan ancaman terhadap
kedamaian, dibentuklah United Nations Operation in Burundi (ONUB) pada
1 Juni 2004. Misi PBB ini pada dasarnya untuk memastikan dan mengawasi
implementasi perjanjian Arusha (United Nations, 2006). Selain itu, ONUB
juga diizinkan untuk bertindak secara penuh dalam melindungi penduduk
Burundi dari segala keterlibatan konflik yang terjadi. Di dalam operasi ini,
PBB mengerahkan sebanyak 5.500 personel bersenjata termasuk diantaranya
adalah 1.000 penduduk lokal yang bersedia membantu. Secara detail, tugas
dari ONUB berada langsung dibawah mandat sekretaris jenderal PBB yang
mengadopsi resolusi tahun 1545 (Jackson, 2006, hal. 13-14).

2. Uni Afrika
Sebelum Uni Afrika terbentuk pada 2002, organisasi ini bernama
Organization of African Unity (OAU). Respon OAU terhadap Burundi yang
merupakan salah satu pemrakarsa berdirinya organisasi ini adalah bentuk dari
implementasi tujuan OAU yaitu untuk melindungi wilayah, kedaulatan dan
keamanan negara-negara Afrika (Lemarchand, 2009). Pada bulan Mei 1972,
sekretaris jenderal OAU yang saat itu dipegang oleh Diallo Telli berkunjung
ke Bujumbura. Di sana, ia berkunjung dan berdiskusi dengan Micombero

16

mengenai penanganan yang tepat dan cepat dalam menekan konflik yang
terjadi serta melakukan pengamanan yang responsif terhadap warga Burundi
yang tidak terlibat. Berikut adalah kutipan pernyataan Sekretaris Jenderal
OAU pada kunjungannya ke Burundi:
“The OAU being essentially an organization based on solidarity, my
presence here signifies the total solidarity of the Secretariat with the
President of Burundi, with the government and the fraternal people of
Burundi” (The Burundi Genocide, 2009).
Tertuang di dalam pembukaan piagam OAU yang menggarisbawahi
tanggung jawab masing-masing negara anggota untuk membangun,
memelihara dan mempertahankan perdamaian dan keamanan di Afrika,
namun OAU juga sangat menjaga prinsip non-intervensi sebelum berganti
nama menjadi Uni Afrika. prinsip inilah yang kemudian menghalangi OAU
untuk bisa bertindak secara langsung dalam menangani konflik Burundi 1972
(African Union and Conflict Resolution in Africa , 2014, hal. 326).
Setelah OAU resmi berganti nama menjadi Uni Afrika pada tahun 2002,
prinsip-prinsip lama dari OAU kemudian mengalami perubahan dan
perkembangan yang tertulis dalam constitutive act Uni Afrika. Salah satu poin
penting yang tertulis adalah bahwa Uni Afrika harus mendukung perdamaian,
keamanan dan keseimbangan di Afrika. Secara jelas prinsip non-intervensi
yang sebelumnya dipegang teguh oleh OAU berubah menjadi prinsip
intervensi ke dalam permasalahan yang dihadapi negara anggota, terutama
yang berkaitan dengan hak asasi manusia (CONSTITUTIVE ACT OF THE
AFRICAN UNION, 2002, hal. 3-4). Perwujudan dari prinsip ini kemudian

17

berawal ketika Uni Afrika secara resmi membentuk sebuah organ yang
memiliki fokus terhadap keamanan Afrika yang dinamakan Dewan
Perdamaian dan Keamanan (PSC).
Pada konflik perang etnis yang meletus antara Hutu dan Tutsi, PSC
mengirimkan pasukan perdamaian yang dinamakan Peace Operation in
Burundi (AMIB) pada bulan April 2003 (Oguonu & Dr Christian
Chukwuebuka Ezeibe, 2014). Misi dari penerjunan AMIB ke Burundi adalah
untuk melindungi penduduk yang tidak terlibat ke dalam perang, melucuti
senjata dan berintegrasi dengan para tentara Burundi untuk mempertahankan
wilayah. AMIB juga bertugas untuk melindungi para elit politik yang berusaha
kembali masuk ke wilayah Burundi dan bergabung dengan pasukan
perdamaian yang dikirim oleh PBB. Peran Uni Afrika yang berupa pasukan
AMIB ini kemudian sangat berpengaruh dalam penanganan konflik 2003 dan
juga berpengaruh besar dalam berbagai perjanjian gencatan senjata di tahun
yang sama. Sebagian besar wilayah Bujumbura kembali pulih setelah misi
AMIB selesai di tahun 2004, membuktikan peran Uni Afrika yang cukup
berpengaruh dalam konflik besar ini (African Union and Conflict Resolution
in Africa , 2014, hal. 329).

E.

Konflik Burundi 2015-2016
Selama 10 tahun lamanya Burundi menghabiskan waktu dengan membangun

kembali infrastruktur dan sektor lainnya yang sempat jatuh secara drastis sejak
peristiwa perang terakhir. Dibawah kepemimpinan Pierre Nkurunziza yang
berlangsung selama dua periode mampu membuat Burundi bangkit kembali dan

18

mengembangkan potensi ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Para
pasukan pemberontak yang sempat berseteru menerapkan apa yang sudah mereka
sepakati dalam perjanjian Arusha yakni bergabung dengan pasukan keamanan dan
militer, melindungi penduduk Burundi tanpa terkecuali. Untuk pertama kalinya,
segala hal-hal yang bersinggungan antara Tutsi dan Hutu mereda (Berwouts, 2015).
Di pertengahan 2015, sejarah kembali terulang. Burundi kembali mengalami
kericuhan yang berpotensi akan membesar seperti peristiwa 1972 maupun 1993.
Pada bulan April 2015, Pierre Nkurunziza mengumumkan akan kembali memimpin
Burundi untuk ketiga kalinya setelah dua periode terakhir. Tindakan Nkurunziza
kemudian memicu aksi demonstrasi besar di Bujumbura yang menuntut akan
ketidakadilan sistem pemerintah yang dianggap melanggar konstitusi yang sudah
ditetapkan oleh Burundi. Konstitusi yang dimaksud oleh demonstran adalah
mengenai konstitusi yang ditetapkan di perjanjian Arusha, yang mengakhiri konflik
Burundi 1993 hingga 2005. Demonstrasi yang berlangsung selama beberapa
minggu ini kemudian ditetapkan sebagai aksi terorisme dan pemberontakan
sehingga pemerintah Burundi harus bersikap tegas dalam melawan para demonstran
(Jorgic, 2015). Sebanyak 600 orang telah ditangkap oleh petugas kepolisian
Burundi dan sekitar 200.000 penduduk memutuskan untuk mengungsi ke negara
tetangga seperti Rwanda dan Tanzania (Burundi 2005-2015: Autopsy of an
embryonic democracy, 2015).

19