Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum | Rustamaji | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 6781 15201 3 PB
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA MELALUI TELAAH SISI KEMANUSIAAN
APARAT PENEGAK HUKUM
RENEWAL OF CRIMINAL PROCEDURE LAW THROUGH THE STUDY OF THE HUMAN
SIDE OF LAW ENFORCEMENT OFFICERS
Muhammad Rustamaji
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS); Peer Group Pusat Penelitian Pengkajian
Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) LPPM UNS
Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan Solo, Surakarta 57126
E-mail: [email protected]
Diterima: 25/03/2017; Revisi: 07/04/2017; Disetujui: 12/04/2017
ABSTRAK
Pembaruan hukum atas Hukum Acara Pidana dapat dilakukan dengan menelisik sisi
dinamis manusia dan kemanusiaan aparat penegak hukum.Metode penulisan demikian
menggunakan perspektif ilmu hukum yang dikonsepsikan sebagai realitas. Oleh
karenanya, kajian empiris atas Hukum Acara Pidana dipilih sebagai kajian yang
memandang hukum sebagai kenyataan yang dilakukan oleh manusia. Kajian pada aspek
manusia inilah yang akan meruntuhkan Hukum Acara Pidana yang disebut sebagai
‘hukum yang tiada tempat untuk menafsir’. Pembaruan hukum yang tidak sebatas
mengkaji norma namun memfokuskan hingga ke tataran nilai demikian, pada akhirnya
menemukan keseimbangan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang
harus dipahami oleh para aparat penegak hukum dengan prophetic intelligence.
Kata Kunci: Pembaruan Hukum, Hukum Acara Pidana, Sisi Manusia.
ABSTRACT
Reform the law on penal procedure can be done by searching the human dynamic and
the human side of law enforcement officers. This writing method using the perspective
of jurisprudence ia conceived as areality. Therefore, empirical studies on criminal
procedural law chosen as the study that looked at the law as a reality that is done by
humans. Thus studies of the human aspect, which further undermine the criminal
procedural law known as the ‘law that has no place to interpret’. Legal reform is not
limited to assessing the norm, but also focus up to the level of value, finally found a
balance of law enforcement and the protection of human rights that must be understood
by law enforcemeny officer with prophetic intelligence.
Keywords: Law Reform, Penal Procedure, Human Side.
PENDAHULUAN
Hukum Acara Pidana yang selama ini dipedomani sebagai suatu ketentuan tata cara beracara
dalam penegakan hukum pidana, acapkali disalahpahami sebagai gambaran monofaset yang terbatas
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482.
Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
pada ketentuan KUHAP1 semata. Kesalahpahaman demikian tentunya tidak dapat dipisahlepaskan
dari ketentuan Pasal 3 KUHAP2 yang menjadi pagar pembatas yang kukuh sebagai “asas legalitas”
berlakunya penerapan KUHAP.
Dengan formulasi “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”3
setidaknya terdapat dua kesan yang ingin disampaikan oleh sang pembentuk undang-undang. Kesan
pertama yaitu berkenaan dengan bahwa ketentuan KUHAP yang disebut sebagai “karya agung”
Bangsa Indonesia merupakan susunan peraturan peradilan pidana yang finite dan lengkap. Kesan
demikian sejatinya menunjukkan sisi logosentrisme KUHAP yang kedap dan tidak lagi menerima
kemajuan yang mungkin saja terjadi pasca diundangkannya ketentuan tersebut. Kesan kedua atas
ketentuan Pasal 3 KUHAP demikian adalah penegasian peran penegak hukum yang dilimitasi
secara maksimal sehingga penegak hukum tidak ubahnya menjadi penegak undang-undang, yaitu
penegak KUHAP itu sendiri.
Namun apakah sisi logosentris dan limitasi sisi humanis penegak hukum dalam konteks
penegakan hukum pidana demikian dapat dibenarkan? Bukankah banyaknya judicial review atas
KUHAP menunjukan realitas bahwa KUHAP yang usianya sudah lebih dari tiga dasawarsa, sudah
mulai
tertinggal
1
oleh
perkembangan zaman dan dinamika penegakan hukum
pidana
‘KUHAP’ merupakan sebutan populis dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
2
Bunyi ketentuan Pasal 3 KUHAP demikian dapat diperbandingkan dengan RUU KUHAP pada pasal yang
sama sebagaimana dapat dikemukakan sebagai berikut; Pasal 3 ayat (1) Ruang lingkup berlakunya undang-undang ini
adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, (2)
Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Draf RUU KUHAP versi 10 Desember 2014, Kemenkumham RI, Jakarta, 2014, hlm.5
3
Andi Hamzah mengemukakan bahwa Pasal 3 salah susun dan kata ‘ini’ juga harus dihilangkan, karena ada
undang-undang lain selain daripada KUHAP yang mengatur acara pidana. Ketentuan Pasal 3 KUHAP yang
menyertakan kata ‘ini’ pada akhir rumusan formulasinya, seolah membatasi ketentuan mengenai Hukum Acara Pidana
yang hanya termaktub di dalam KUHAP sebagai legi generali. Konsekuensi selanjutnya adalah beragam Hukum Acara
Pidana Khusus yang tidak jarang menegasikan ketentuan umum KUHAP seakan dianulir dengan diksi ‘ini’ pada
rumusan Pasal 3 KUHAP tersebut. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.13 dan 11.
2
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
kekinian? 4 Bukankah langkah pembaruan hukum harus dilakukan terhadap ketentuan hukum
maupun aspek manusia sebagai penegak hukum yang selama ini seakan terkungkung dalam
positivisme hukum ala KUHAP?
Mencermati perkembangan KUHAP yang direduksi sekedar menjadi prosedur formal yang
statis, telaah tulisan ini selanjutnya memilih memfokuskan kajiannya pada sisi kemanusiaan aparat
penegak hukum yang terlalu sederhana dimensinya ketika dikerdilkan fungsinya hanya sebatas
sebagai “corong undang-undang”5. Fokus amatan sisi manusia dan kemanusiaan aparat penegak
hukum demikian, tentu saja membawa serta beragam dinamika dalam penegakan hukum pidana
yang membuka peluang dekonstruksi maupun pengungkapan antitesis terhadap ketentuan tekstual
KUHAP yang statis tersebut.
METODE PENELITIAN
Perspektif ilmu hukum dalam penulisan ini adalah ilmu hukum yang dikonsepsikan sebagai
realitas. Oleh karenanya, kajian hukum empiris dipilih sebagai kajian yang memandang hukum
sebagai kenyataan. Kajian hukum empiris demikian bersifat deskriptif, sehingga kajiannya adalah
das sein (apa kenyataannya)6.
Ketika kajian hukum empiris digunakan untuk membahas keberlakuan hukum acara pidana
pada kasus-kasus tertentu, yang dipertanyakan adalah bagaimana penerapan hukum acara pidana ini
dalam kenyataannya. Mulai dari poin inilah kemudian muncul beragam pertanyaan empiris, seperti
4
KUHAP sebagai karya Agung Bangsa Indonesia, pada kekiniannya terus mengalami ujian ketika
dihadapmukakan dengan Undang-udang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Muhammad Rustamaji,
Simulacra Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Ingsutan Kewenangan Praperadilan, Jurnal Yustisia, Edisi 95, MeiAgustus 2016, Tahun XXV, hlm.116
5
Pembelajar hukum yang akhirnya hanya menjadi aparat penegak undang-undang, mendapat kritik tajam
berkenaan dengan model pendidikannya yang tidak menyentuh link and match dalam aras kehidupan keseharian yang
acapkali dikeluhkan publik. Muhammad Rustamaji & Dewi Gunawati, Model Pembelajaran Moot Court bagi Strata-1
Ilmu Hukum Sebagai Pencapaian Pendidikan Hukum Progresif, Jurnal Yustisia, Edisi 78, September-Desember 2009,
Tahun XX, hlm.24-26
6
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2012, hlm. 2-3.
3
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
benarkah hukum acara pidana bersifat statis sedangkan seperti diketahui penegaknya demikian
dinamis, yaitu manusia? Bagaimana hukum acara pidana diperbaharui ketika kekerasan masih saja
menimpa orang yang berhadapan dengan hukum? Faktor-faktor nonhukum apa yang mendorong
pembaruan hukum terhadap hukum acara pidana demikian? Ragam pertanyaan empiris inilah yang
mempertegas kajian atas fenomena hukum yang muncul seiring penegakan hukum acara pidana
dimaksud.
Curzon menjelaskan kajian sosiologi hukum dimanfaatkan untuk menunjukkan studi spesifik
tentang situasi yang menggambarkan aturan-aturan hukum beroperasi, dan tingkah laku yang
dihasilkan dari beroperasinya aturan-aturan hukum itu. Pandangan Curzon 7 demikian diperoleh
setelah mengemukakan pandangan beberapa penulis lain seperti:
1) Pound, yang menunjukkan studi sosiologi hukum ini sebagai studi sosiologi yang sebenarnya,
yang didasarkan pada konsep yang memandang hukum sebagai suatu alat pengadilan sosial;
2) Lloyd, menuliskan bahwa sebagai sesuatu yang pokoknya merupakan ilmu deskriptif yang
memanfaatkan teknik-teknik empiris. Hal itu berkaitan dengan pertanyaan mengapa perangkat
hukum dan tugasnya dibuat. Ia memandang hukum sebagai produk suatu sistem sosial dan
sebagai alat untuk mengendalikan dan mengubah sistem itu;
3) Eugen Ehrlich8, memberikan perhatian terhadap adanya hubungan, alias mata rantai hukum dan
ilmu sosial. Ehrlich meyakini bahwa para yuris dapat, dan harus belajar dari ekonom dan para
pakar ilmu sosial.
7
Achmad Ali, Wiwie Heryani, Ibid, dapat dilihat pula Curzon,L.B. Jurisprudence, M&E Handbook,1979, hlm.
137-138.
8
Menurut Ehrlich, semua pengetahuan harus diterima sebagai bidang ilmu hukum sebab fakta yang vital dari
hukum yang hidup adalah fakta kehidupan sosial secara keseluruhan. Jadi, tidak ada batas antara ilmu hukum dengan
pengetahuan lain. Achmad Ali, Wiwie Heryani, Ibid.
4
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagai serangkaian tatacara dan acara dalam beracara, Hukum Acara Pidana (HAP)
merupakan hukum yang diciptakan dengan persistensi yang tinggi untuk ditepati kepastian
hukumnya. Itulah mengapa, hukum acara acapkali dipandang sebagai hukum yang statis dan
tidak memerlukan dinamisasi dalam penegakannya. Oleh karenanya, ketika HAP disebut
sebagai “hukum yang tiada tempat untuk menafsir”, seakan ungkapan demikian menjadi
pembenar akanstatisnya sifat HAP tersebut.
Akan tetapi, sebagai suatu aturan hukum yang diberlakukan dan diterapkan kepada
subjek yang senantiasa dinamis, yaitu manusia, pertanyaan yang kemudian muncul adalah,
benarkah anggapan statis atas HAP demikian? Bukankah hukum itu selalu i nterpretif,
sebagaimana disampaikan Dworkin? 9 Bukankah kebekuan tekstual hukum itu sangat mungkin
dicairkan sehingga menjadi perdebatan dan menunjukkan realitas yang melee, sebagaimana
dikemukakan Sampford? 10 Bukankah logosentrisme HAP yang kaku (rigid) sekalipun, tetap
dapat dibongkar alias didekontruksi sebagaimana diutarakan Derrida? 11
Mencermati ragam pertanyaan demikian, agaknya statement awal yang menyatakan HAP
sebagai hukum statis yang hanya memedulikan kepastian hukum, atau bahkan terjebak pada
kepastian teks hukum semata, pada akhirnya harus diruntuhkan. Bukankah hukum sebagai
‘tatanan tertib’ manusia lebih kaya dari sekedar kumpulan aturan formal-yuridis? Bukankah
hukum merupakan dunia yang kompleks, serumit dan sekompleks dunia manusia yang
diaturnya? 12.
Ronald Dworkin, Law’s Empire, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, 1986, p.225-227
Charles Sampford, The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, New York, 1989,
hlm.104. Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Nonsistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia),
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 107.
11
Muhammad Al Fayyadl, Derrida, cet. V, LkiS, Yogyakarta, 2012, hlm.111
12
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. vii.
9
10
5
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Oleh karenanya, pada kajian ini, fokus bahasan selanjutnya akan mengungkap lebih jauh
mengenai sisi manusia yang dikenal sebagai aparat penegak hukum dalam kajian pembaruan
Hukum Acara Pidana. Mencermati hubungan manusia dan hukum, Bernard L. Tanya
mengemukakan, semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor peraturan, maka semakin ia
menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya, semakin
bergeser ke manusia, semakin teori itu terbuka dan menyentuh mozaik sosial kemanusiaan 13.
Poin inilah yang senafas dengan pidato pengukuhan Barda Nawawi Arief sebagai Guru Besar
Ilmu Hukum Pidana (1994). Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa gencarnya
sorotan dan kritik masyarakat terhadap menurunnya kualitas penegakan hukum pidana, jelas
tidak ditujukan pada merosotnya kemampuan dan kematangan intelektual menguasai norma norma hukum pidana, akan tetapi justru ditujukan pada terjadinya kemerosotan atau erosi
nilai. Jadi tampaknya ketidakmatangan nilai atau kejiwaan inilah yang terutama menjadi
keprihatinan masyarakat, dan seyogyanya juga harus menjadi keprihatinan semua lembaga
pendidikan tinggi hukum 14.
Terinspirasi dari ilustrasi menjalankan sebuah mobil pada suatu kosmologi beserta
pengendara yang memegang lisensi (Surat Izin Mengemudi; SIM) yang dimiliki sebagai
simbol ‘ilmu mengemudi’ yang dikuasainya, Barda Nawawi Arief menjelaskan pola hubungan
mengenai
dioperasionalisasikannya
WvS
(KUHP
buatan
Belanda)
dalam
konteks
keindonesiaan oleh aparat negara 15 . Dengan menggunakan pola pemikiran yang serupa,
ternyata gambaran hubungan KUHAP, aparat penegak hukum, serta konteks negara hukum
Indonesia, dapat dijelaskan pula korelasinya. Penggambaran demikian menjadi penting guna
13
Ibid.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru
Hukum Pidana Indonesia), Pustaka Magister, Semarang, 2011, hlm. 59-60.
15
Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan
Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm.1920.
14
6
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
menentukan sikap untuk memosisikan KUHAP yang notabene menjadi rule of the game dalam
penegakan hukum, ketika ‘melaju’ di dalam kosmologi Indonesia.
Sebagai sebuah konsep ‘asing’, Hukum Acara merupakan salah satu produk yang
berkaitan dengan politik etis yang bersemboyan “geen exploitatie maar educatie” (tidak boleh
lagi eksploitasi, tetapi edukasi). Dikemukakan oleh Soetandyo bahwa ketika pemerintah
kolonial mulai menyelenggarakan pendidikan dengan gaya klasikal seperti yang dianut di
Eropa. Tak pelak lagi, sejalan dengan kebijakan Idenburg, program pendidikan untuk anakanak pribumi dalam bidang kehukuman dan kehakiman ini nyata kalau diarahkan guna
memperoleh rechtsamtenaren yang cakap dan berkepribadian kolonial yang secara khusus
hendak melayani kebutuhan hukum orang-orang pribumi 16.
Karakteristik hukum acara yang sudah melintasi periodisasi waktu yang panjang dan
lahir di belahan dunia lain dengan sifat rigid (kaku) yang diperamnya, memunculkan
pertanyaan besar mengenai keterposisiannya ketika memasuki konfigurasi hukum dan konteks
keindonesiaan. Pertanyaan mengenai apakah hukum acara yang dituangkan dalam KUHAP
dapat berjalan begitu saja ketika memasuki suatu konteks kenegaraan, menjadi salah satu hal
yang mengemuka.
Dengan mengikuti ilustrasi yang sudah dikemukakan Barda Nawawi Arief sebelumnya,
dapat dijelaskan bahwa ketika ‘mobil KUHAP’ berkeinginan berjalan dengan baik, maka
mobil KUHAP demikian harus dikendarai oleh pengemudi yang memiliki ilmu dan
pengetahuan yang baik pula mengenai mobil yang dikendarainya, maupun segala aspek
kewilayahan yang hendak dilaluinya. Artinya, ketika KUHAP memasuki kosmologi
Indonesia, mau tidak mau para penegak hukum yang bertugas menegakkannya harus
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional – Dinamika Sosial-Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, Epistema Institute, Jakarta,
2014, hlm. 145.
16
7
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
memahami secara benar apa yang dikandung KUHAP, maupun memahami dengan baik pula
karakter hukum Indonesia sebagai ‘kontur jalan’ yang akan dilewatinya.
Penegak hukum yang memahami kandungan KUHAP dan karakter hukum Indonesia,
dengan demikian dapat dikatakan sudah menguasasi ‘ilmu mengemudi’ yang dipersyaratkan
penegakannya dalam konteks Indonesia. Melalui ‘ilmu mengemudi’ yang dikuasai dengan
baik dan benar inilah yang selanjutnya mengantarkan “mobil” KUHAP melalui struktur
kosmologi Indonesia dengan selamat dan mencapai tujuannya.
Mencermati pandangan Barda Nawawi Arief, diketahui bahwa urgensi kualitas keilmuan
demikian tidak hanya dimaksudkan semata-mata untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
pengembangan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, kualitas keilmuan tersebut juga untuk
meningkatkan kualitas nilai dan produk dari proses penegakan hukum (in abstracto maupun in
concreto). Bukankah kualitas, kesuksesan, kebahagiaan hidup (dunia dan akhirat), termasuk
kualitas penegakan hukum di dunia, hanya dapat dicapai dengan ilmu? 17 Aspek penguasaan
keilmuan inilah yang semakin menunjukkan bahwa sisi manusia dan kemanusiaan aparat
penegak hukum memegang peran penting ketika langkah pembaruan hendak dilaksanakan.
Oleh karenanya, KUHAP yang sarat dengan keseimbangan yang serasi antara orientasi
“penegakan dan perlindungan ketertiban masyarakat” di satu sisi dengan “kepentingan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia”18 di sisi lain, tentu harus dijalankan oleh aparat penegak
hukum yang memahami ilmu mengenai penegakan hukum dan HAM dengan sangat baik. Hal
demikian dikatakan menjadi semacam prasyarat agar ‘kendaraan’ yang bernama KUHAP
17
Barda Nawawi Arief menunjukkan bahwa kedalaman penguasaan keilmuan tersebut bahkan harus bersumber
dan berkesesuaian dengan ilmu ketuhanan, antara lain dinukilkan Hadist Nabi, man aroda dunya fa’alaihi bil ‘ilmi, man
arodal akhirota fa’alaikhi bil ilmi, wa man aroda huma fa’alaihi bil ‘ilmi (Barang siapa menghendaki kebahagiaan
hidup di dunia maka dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebahagiaaan hidup di akhirat maka dengan ilmu, dan
barang siapa menghendaki kebahagiaan keduanya maka dengan ilmu) (HR.Bukhari). Barda Nawawi Arief, Pendekatan
Keilmuan dan Pendekatan Religius…Ibid, hlm. 10-11.
18
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar
Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 38.
8
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
demikian tidak menabrak ‘struktur jalan’ kehidupan bersama, mengoyak ‘sparasi’ tata
kehidupan, maupun melanggar ‘rambu-rambu’ komunalitas hidup berbangsa. Karena, apabila
yang terjadi adalah beragam benturan dalam mengaplikasikan KUHAP, tentu akan membawa
ekses negatif bagi sang ‘pengendara’. Pelanggaran atas KUHAP segera saja akan memicu
sentimen negatif bagi aparat penegak hukum, bahkan ‘merendahkan sang pengemudi’ karena
dianggap tidak cakap dalam mengendarai kendaraannya. Artinya, sang penegak hukum tidak
menguasai ilmu dan kapabilitas yang harus dipahaminya dengan baik ketika melakukan
penegakan hukum yang notabene berbasis keseimbangan penegakan hukum dan HAM.
Penguasaan keilmuan yang tidak memadai demikian, pada konteks yang lebih luas dapat
semakin memperburuk penilaian masyarakat dunia atas Indonesia sebagai suatu bangsa atas
konsepsi kemanusiaan yang diperamnya. Contoh kasus konkrit, mengenai meninggalnya
Siyono dalam proses penegakan hukum, atau terbunuhnya aktivis HAM Munir, tentu dapat
dikaji kandungan hikmah filosofisnya dalam kerangka aplikasi KUHAP.
Sebagai gambaran, peristiwa meninggalnya Siyono yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana terorisme dalam proses pemeriksaan oleh Densus 88 Antiteror, sudah seharusnya
menjadi tamparan keras bagi aparat dalam menjalankan proses penegakan hukum dan
perlindungan HAM. Aparat dalam hal ini berada pada posisi yang patut dipersalahkan atas
sikap represif yang telah dilakukan, dan abai terhadap tindak profesionalitas yang semestinya
tetap dijaga. Berdasarkan konferensi pers yang berlangsung Senin 11 April 2016, Komisioner
Komnas HAM Siane Indriani menjelaskan hasil autopsi terhadap jenazah terduga teroris
Siyono menunjukkan bahwa jenazah mengalami patah tulang di lima iga bagian kiri dan patah
satu iga bagian kanan. Tulang-tulang dada yang patah akibat benturan benda tumpul di rongga
dada tersebut, mengarah ke jaringan jantung yang akhirnya menjadi penyebab utama
meninggalnya Siyono. Hasil pemeriksaan forensik juga tidak menunjukkan adanya tandatanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono. Tim forensik yang diketuai Gatot Suharto juga
9
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
menemukan luka pukulan (ketokan) di kepala, tetapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan
atau kematian 19.
Pada kondisi demikian, maraknya kekerasan
20
dalam penggunaan kewenangan
penegakan hukum di satu sisi semakin memperjelas bahwa cara berhukum dengan memegang
teguh tekstual hukum semata tidak akan pernah mencukupi. Teks hukum yang formalistik
harus diisi dengan ilmu sehingga sang penegak hukum tidak terjerembab pada ujaran Lord
Acton (1887) bahwa ‘Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely’ 21 .
Sementara pada sisi yang berbeda, langkah represif aparat demikian menunjukkan terjadinya
distorsi pemahaman 22 atas kandungan nilai suatu formulasi normahukum acara pidana sebagai
landasan penegakan hukum.
Sedangkan pada kasus pembunuhan berencana terhadap Munirtanpa melalui suatu proses
penegakan hukum atas tuduhan terhadapnya, akan tetapi langsung ‘dieksekusi’ menggunakan
arsenik, hingga saat ini menjadi beban sejarah penegakan hukum yang belum tertuntaskan.
19
Bandingkan dengan pernyataan Kepolisian sebelumnya yang mengklaim bahwa Siyono meninggal setelah
berkelahi dengan anggota Detasemen Khusus Antiteror 88 dan menyatakan Siyono tewas akibat perdarahan di Kepala
yang disebabkan benturan dengan benda tumpul. Isyana Artharini, “Penyebab Kematian Terduga Teroris Siyono
Terungkap”, BBC Indonesia, 11 April 2016.
20
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis data motif penyiksaan oleh
oknum Polri pada periode juni 2013 s.d. Mei 2014 untuk memeroleh keterangan, sebagai bentuk penghukuman, sebagai
metode mengakui kejahatan, bahkan guna memberikan keterangan palsu dan tindakan tidak manusiawi lainnya, yang
mencapai 64 kasus. Adapun metode penyiksaan oleh oknum Polri, baik dengan cara memukul, menendang, mengikat
dengan sangat erat, menembak, menyetrum, menelanjangi, menusuk, menutup kepala, mengancam dan melakukan
tekanan psikologis, penggunaan cahaya menyilaukan, pemaksaan minum obat tertentu, pembatasan akses kesehatan dan
makanan serta keamanan, merendahkan martabat, membenamkan kepala dalam air, membakar bagian tubuh, menyekap,
mencambuk, mencabut bagian tubuh, serta kematian dalam tahanan, mencapai 121 kasus. KontraS, “Mengenal
Penyiksaan dan Tindakan Tidak Manusiawi Lainnya!”, (Jakarta: KontraS, 2015). Pada Mei-Agustus 2015, KontraS juga
menerima empat pengaduan kasus penyiksaan yang dilakukan oknum Polri yang mengakibatkan tujuh orang tewas, dan
16 orang lainnya luka-luka. KontraS, “Darurat Penghentian Praktik Penyiksaan, Pemberatan Hukuman Pelaku
Penyiksaan dan Hentikan Kriminalisasi Bagi Korban/Keluarga Penyiksaan”, Siaran Pers KontraS 24 Agustus 2015,
(Jakarta: KontraS, 2015), diunduh dari https://www.kontras,org/home/index.php?module=pers&id=2149
21
Gestrude Himmelfarb, Lord Acton:A Study in Concience and Politics, University of Chicago Press, Chicago,
1952, p. 1.
22
Salah satu distorsi pemahaman demikian seringkali dialamatkan kepada positivisme hukum yang bertalian
dengan paradigma positivisme. Muhammad Rustamaji, Prison of Legal Positivism Paradigm and Corruption
Eradication in Indonesia, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol.35, 2015, hlm.167-170.
10
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pertanyaan besar yang harus dikemukakan adalah, bagi para penentang HAM yang tidak
setuju dengan perjuangan Munir, maupun bagi para pihak yang melancarkan praduga bahwa
Munir adalah ‘penjual rahasia negara’, bukankah langkah yang benar sebagai kesepakatan
bersama (common sense) adalah diadili dan dibuktikan kesalahan tindakan seseorang tersebut
dalam suatu proses persidangan yang fair dan imparsial? Akan tetapi, yang terjadi pada Munir
bukanlah proses penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, bahkan proses persidangan
yang baik untuk membuktikan praduga terhadap Munir tersebut. Hal yang justru terjadi adalah
pembunuhan tanpa landasan hukum dan tanpa memperhatikan sistem penegakan hukum yang
telah disepakati bersama sebagai langkah yang paling adil dan fair dalam menentukan
kesalahan seseorang.
Mencermati kasus Munir, lalu dengan langkah pembungkaman perjuangan HAM yang
diwujudkan dalampembunuhan tersebut, apakah selanjutnya dapat dibuktikan bahwa Munir
memperjuangkan hal yang keliru? Atau justru sebaliknya, langkah pembunuhan tanpa
dilandasi hukum itulah yang keliru? Ketika dua realitas demikian saling dihadapmukakan,
maka dengan mudah dapat diperoleh jawabannya. Jika HAM yang diperjuangankan Munir
merupakan sesuatu yang keliru, maka sudah seharusnya proses hukum membuktikan
kesalahannya tersebut dalam proses peradilan yang adil. Nilai filsafat yang dapat diambil
adalah, “bukankah suatu tujuan yang dikatakan baik, harus ditempuh dengan cara dan jalan
yang baik pula?” Oleh karenanya, ketika ternyata bukan langkah hukum yang diterapkan guna
membuktikan kesalahan perjuangan Munir, yang justru muncul ke permukaan publik dan
pemikiran masyarakat umum adalah perjuangan HAM yang diusung Munir-lah yang
merupakan sesuatu yang benar. Akan tetapi, ‘kebenaran’ demikian coba ditutup-tutupi dengan
kekuasaan yang menegasikan HAM sehingga menghalalkan segala macam cara untuk
mencapai hasil yang diancangkan. Namun sayang sekali, lagi-lagi langkah serampangan di
luar proses hukum dan pengesampingan pemahaman yang baik mengenai penegakan hukum
11
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
dan HAM tersebut justru memicu munculnya kesadaran mengenai HAM yang semakin
mendalam. Munir justru menjadi martir dan dijadikan simbol perjuangan yang belum tu ntas
mengenai HAM di Indonesia.
Mencermati gambaran ekses buruk yang dapat timbul akibat tidak memadainya
keilmuan mengenai penegakan hukum dan HAM, serta luasan cakupan dan besarnya
dukungan akan pentingnya penegakan hukum dan HAM, maka aspek yang selanjutnya harus
dipikirkan adalah mengenai sumber daya manusia yang menjalankan penegakan hukum dan
HAM dimaksud. Kualifikasi dan kompetensi pengemban hukum yang biasa-biasa saja tentu
saja tidak akan mampu menjawab tuntutan dunia agar pemenuhan dan per lindungan HAM
terlaksana dengan baik. Oleh karenanya, diperlukan kualitas dan kuantitas personal penegak
hukum yang tinggi guna mengemban tanggungjawab reinput pengembalian ekses tindak
pidana ke jalan yang benar. Sehingga pada kulminasi tertentu officium nobile sebagai predikat
mulia bagi semua aparat pengak hukum, mewujud dalam bentuk yang tidak hanya sekedar
wacana dan utopia.
Guna memenuhi kualifikasi sumber daya manusia demikian, gagasan mengenai
prophetic intelligence dalam menentukan kualifikasi penegak hukum yang memahami HAM,
tampaknya perlu dipertimbangkan. Penggambaran mengenai penegak hukum yang memahami
HAM dengan kualifikasi tinggi tersebut menekankan pada aspek manusia sebagai fokus
kajian. Kemampuan mentransformasikan diri untuk berani melakukan rule breking
23
mensyaratkan apa yang disebut prophetic intelligence (PI). Kecerdasan kenabian inilah yang
memandu sekaligus memberikan keberanian holistik dalam bertindak progresif ketika
mengemban hukum.
23
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,
hlm. 61-62.
12
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Sebagaimana mencermati perkembangan kekinian, disiplin psikologi mengembangkan
prophetic intelligence atau kecerdasan kenabian, sebagai pendekatan menyeluruh dari
pendekatan kecerdasan yang sebelumnya ada. PI inilah yang memandu cognitive intelligence,
emotional intelligence, adversity intelligence, dan spiritual intelligence 24 . Pembenaman PI
dalam kemauan dan kemampuan mentransformasi diri inilah yang dimaksud dengan
kualifikasi tinggi dalam tipologi penegak hukum yang progresif.
Terhadap hasil temuan PI demikian, dunia hukum sangat berkepentingan ‘meminjam’
konsep kecerdasan kenabian ini guna mengatasi krisis hukum maupun kegamangan
pemenuhan penegakan hukum dan perlindungan HAM yang terjadi. Terlebih ketika optik
krisis tersebut diarahkan pada moralitas 25 para penegak hukum. Dapat dikemukakan bahwa
kecerdasan kenabian merupakan kemampuan seseorang untuk mentranformasikan dirinya
dalam interaksi, sosialisasi dan adaptasi dengan lingkungan vertikal dan horizontal. Konsepsi
dualistik lahiriah dan batiniah, kehidupan duniawi dan ukhrowi, diambil untuk dipahami
manfaat dan hikmahnya. Pada sisi inilah pengejawantahan irah-irah ‘Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang selanjutnya diimplementasikan dalam sistem
penegakan hukum, menemukan momentumnya untuk dicamkan kembali.
Pada prinsipnya, setiap orang dapat meraih kecerdasan kenabian, dengan syarat mau
melakukan transformasi diri. Khusus bagi penegak hukum, transformasi diri ini mencakup
penyadaran, penemuan, dan pengembangan diri dengan mengamalkan serta menghayati sifat
prinsip kejujuran (sidiq), dapat dipercaya (amanah), terbuka (tabliq), dan cerdas (fatonah).
Transformasi diri penegak hukum yang menepati jalan Illahi demikian, dimaksudkan untuk
24
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, 2012,
hlm. 262.
25
Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Jaksa AF beserta barang bukti uang suap Rp1,5 Milyar oleh Tim
Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Kejaksaan Agung, merupakan contoh kasus terbaru gambaran moralitas
penegak hukum yang masih saja digerogoti ‘naluri lapar’ yang oleh Konrad Lorenz (1969) menumbuhkan mental
menerabas. Achmad Fauzi, “Badai Suap Korp Adhyaksa”, Harian Jawa Pos, Rabu 30 November 2016, hlm. 4.
13
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
membuka peluang seluas-luasnya untuk mendapatkan bimbingan Alloh SWT yaitu khoirunnas
anfaum linas ketika menjalankan tugas mulia sebagai penegak hukum. 26
Ketika transformasi diri telah dilakukan, maka rule breaking menjadi sikap tindak yang
tampak. Hukum progresiflah yang digunakan sebagai tawaran pendekatan penegakan hukum,
bukan melulu logosentrisme teks hukum yang dikedepankan. Logosentrisme sebagai
kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasinya dengan mengacu pada dalil -dalil
kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal 27 , menjadi penghalang utama
yang sudah saatnya harus mulai ditinggalkan dalam rangkaian transformasi diri sang penegak
hukum. Pada faset inilah ditemukan apa yang ada di balik setiap tindakan penegakan hukum,
maupun kepada masyarakat pada umumnya sebagai orang yang bermanfaat bagi sesamanya.
Para penegak hukum dengan transformasi diri demikian akan membawa penyadaran bahwa
penegakan hukum harus dilaksanakan dengan cara yang baik, agar tujuan penegakan hukum
yang sejatinya baik dapat mencapai tujuannya. Pada kulminasi inilah Hukum Progresif
digunakan untuk memperluas dan sekaligus mengasah multiple intelligence yang dipandu
prophetic intelligence. Sehingga ketika palu diketukkan dengan irah-irah ‘Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, upaya penegakan hukum dengan segenap tahapan
yang dilaluinya menjadi harapan selanjutnya yang menunjukkan sebuah upaya holistik dalam
rangkaian penegakkan keadilan hukum dan pemenuhan serta perlindungan HAM yang
dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sekaligus secara
horizontal kepada semua manusia.
26
Dengan menepati jalan Illahi melalui upaya transformasi diri dan munajad dengan ragam ibadah kepadaNya,
serangkaian langkah demikian semoga menghadirkan keridhoan sehingga Alloh Swt berkenan membimbing hambaNya
menjadi sebaik-baik manusia yaitu manusia yang memberi manfaat bagi sesamanya. Muhammad Rustamaji,
“Mengggali Akar Transendensi Pancasila, Menuju Ilmu Hukum Berketuhanan Yang Masa Esa” dalam Absori, Kelik
Wardiono, Shidarta, Aan Asphianto ( Ed.), Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi, Genta Publishing &
Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana UMS, Yogyakarta, 2017, hlm. 394-395.
27
Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik, hlm. xii.
14
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
KESIMPULAN
Hukum Acara Pidana yang dipersepsikan statis karena harus menjaga kepastian hukum,
bagaimanapun masih memiliki sisi dinamis yang terus mencari bentuknya. Sisi dinamis
tersebut tidak lain mewujud dalam perilaku para penegak hukumnya dalam memahami
KUHAP yang bukan hanya sebatas gugusan norma, namun lebih jauh daripada itu menyasar
kandungan nilainya.
Pemahaman yang baik mengenai KUHAP yang ditopang dengan pendidikan hukum
yang tidak sebatas melaksanakan business as usual, tetapi menukik dalam hingga mencapai
prophetic intelligence, akan sangat menentukan kualitas penegakan hukum dan perlindungan
HAM.
Pada sisi inilah pembaruan hukum acara pidana dilakukan dengan suatu perubahan besar
yang membidik faset (sisi) manusia dan kemanusiaan penegak hukum. Langkah pembaruan
hukum demikian, meskipun dirasa layaknya suatu cacatan pinggir, diharapkan memberi
kedalaman pembaruan hukum yang patut dipikirkan dan ditindaklanjuti sebagai suatu objek
ilmu yang masih meninggalkan lahan garap yang perlu dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali & Wiwie Heryani, 2012, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Achmad Fauzi, 2016, “Badai Suap Korp Adhyaksa”, Harian Jawa Pos, Rabu 30 November.
Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Nonsistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia), Genta Publishing, Yogyakarta.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2014, Draf RUU KUHAP versi 10 Desember 2014,
Kemenkumham RI, Jakarta.
15
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Barda Nawawi Arief, 2011, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pustaka Magister, Semarang.
Barda Nawawi Arief, 2012, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka
Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.
Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, New
York.
Curzon,L.B., 1979, Jurisprudence, Macdonald &Evans Ltd, Handbook Series.
Gestrude Himmelfarb, 1952, Lord Acton:A Study in Concience and Politics, University of Chicago
Press, Chicago.
Isyana Artharini, 2016, “Penyebab Kematian Terduga Teroris Siyono Terungkap” BBC Indonesia,
11 April.
M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana,
Jakarta.
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta.
Muhammad Al Fayyadl, 2012, Derrida, Cet.V, LkiS, Yogyakarta.
Muhammad Rustamaji & Dewi Gunawati, 2009, Model Pembelajaran Moot Court bagi Strata-1
Ilmu Hukum Sebagai Pencapaian Pendidikan Hukum Progresif, Jurnal Yustisia, Edisi 78,
Tahun XX, September-Desember.
Muhammad Rustamaji, 2015, Prison of Legal Positivism Paradigm and Corruption Eradication in
Indonesia, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol. 35.
16
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Muhammad Rustamaji, 2016, Simulacra Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Ingsutan
Kewenangan Praperadilan, Jurnal Yustisia, Edisi 95, Tahun XXV, Mei-Agustus.
Muhammad Rustamaji, 2017, “Mengggali Akar Transendensi Pancasila, Menuju Ilmu Hukum
Berketuhanan Yang Masa Esa”, dalam Absori, Kelik Wardiono, Shidarta, Aan Asphianto
(Ed.), Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi, Genta Publishing & Program Doktor
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana UMS, Yogyakarta.
Ronald Dworkin, 1986, Law’s Empire, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge.
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2014, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional – Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, HuMa, Van Vollenhoven Institute,
KITLV-Jakarta, Epistema Institute, Jakarta.
17
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA MELALUI TELAAH SISI KEMANUSIAAN
APARAT PENEGAK HUKUM
RENEWAL OF CRIMINAL PROCEDURE LAW THROUGH THE STUDY OF THE HUMAN
SIDE OF LAW ENFORCEMENT OFFICERS
Muhammad Rustamaji
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS); Peer Group Pusat Penelitian Pengkajian
Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) LPPM UNS
Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan Solo, Surakarta 57126
E-mail: [email protected]
Diterima: 25/03/2017; Revisi: 07/04/2017; Disetujui: 12/04/2017
ABSTRAK
Pembaruan hukum atas Hukum Acara Pidana dapat dilakukan dengan menelisik sisi
dinamis manusia dan kemanusiaan aparat penegak hukum.Metode penulisan demikian
menggunakan perspektif ilmu hukum yang dikonsepsikan sebagai realitas. Oleh
karenanya, kajian empiris atas Hukum Acara Pidana dipilih sebagai kajian yang
memandang hukum sebagai kenyataan yang dilakukan oleh manusia. Kajian pada aspek
manusia inilah yang akan meruntuhkan Hukum Acara Pidana yang disebut sebagai
‘hukum yang tiada tempat untuk menafsir’. Pembaruan hukum yang tidak sebatas
mengkaji norma namun memfokuskan hingga ke tataran nilai demikian, pada akhirnya
menemukan keseimbangan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang
harus dipahami oleh para aparat penegak hukum dengan prophetic intelligence.
Kata Kunci: Pembaruan Hukum, Hukum Acara Pidana, Sisi Manusia.
ABSTRACT
Reform the law on penal procedure can be done by searching the human dynamic and
the human side of law enforcement officers. This writing method using the perspective
of jurisprudence ia conceived as areality. Therefore, empirical studies on criminal
procedural law chosen as the study that looked at the law as a reality that is done by
humans. Thus studies of the human aspect, which further undermine the criminal
procedural law known as the ‘law that has no place to interpret’. Legal reform is not
limited to assessing the norm, but also focus up to the level of value, finally found a
balance of law enforcement and the protection of human rights that must be understood
by law enforcemeny officer with prophetic intelligence.
Keywords: Law Reform, Penal Procedure, Human Side.
PENDAHULUAN
Hukum Acara Pidana yang selama ini dipedomani sebagai suatu ketentuan tata cara beracara
dalam penegakan hukum pidana, acapkali disalahpahami sebagai gambaran monofaset yang terbatas
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482.
Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
pada ketentuan KUHAP1 semata. Kesalahpahaman demikian tentunya tidak dapat dipisahlepaskan
dari ketentuan Pasal 3 KUHAP2 yang menjadi pagar pembatas yang kukuh sebagai “asas legalitas”
berlakunya penerapan KUHAP.
Dengan formulasi “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”3
setidaknya terdapat dua kesan yang ingin disampaikan oleh sang pembentuk undang-undang. Kesan
pertama yaitu berkenaan dengan bahwa ketentuan KUHAP yang disebut sebagai “karya agung”
Bangsa Indonesia merupakan susunan peraturan peradilan pidana yang finite dan lengkap. Kesan
demikian sejatinya menunjukkan sisi logosentrisme KUHAP yang kedap dan tidak lagi menerima
kemajuan yang mungkin saja terjadi pasca diundangkannya ketentuan tersebut. Kesan kedua atas
ketentuan Pasal 3 KUHAP demikian adalah penegasian peran penegak hukum yang dilimitasi
secara maksimal sehingga penegak hukum tidak ubahnya menjadi penegak undang-undang, yaitu
penegak KUHAP itu sendiri.
Namun apakah sisi logosentris dan limitasi sisi humanis penegak hukum dalam konteks
penegakan hukum pidana demikian dapat dibenarkan? Bukankah banyaknya judicial review atas
KUHAP menunjukan realitas bahwa KUHAP yang usianya sudah lebih dari tiga dasawarsa, sudah
mulai
tertinggal
1
oleh
perkembangan zaman dan dinamika penegakan hukum
pidana
‘KUHAP’ merupakan sebutan populis dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
2
Bunyi ketentuan Pasal 3 KUHAP demikian dapat diperbandingkan dengan RUU KUHAP pada pasal yang
sama sebagaimana dapat dikemukakan sebagai berikut; Pasal 3 ayat (1) Ruang lingkup berlakunya undang-undang ini
adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, (2)
Ketentuan dalam undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Draf RUU KUHAP versi 10 Desember 2014, Kemenkumham RI, Jakarta, 2014, hlm.5
3
Andi Hamzah mengemukakan bahwa Pasal 3 salah susun dan kata ‘ini’ juga harus dihilangkan, karena ada
undang-undang lain selain daripada KUHAP yang mengatur acara pidana. Ketentuan Pasal 3 KUHAP yang
menyertakan kata ‘ini’ pada akhir rumusan formulasinya, seolah membatasi ketentuan mengenai Hukum Acara Pidana
yang hanya termaktub di dalam KUHAP sebagai legi generali. Konsekuensi selanjutnya adalah beragam Hukum Acara
Pidana Khusus yang tidak jarang menegasikan ketentuan umum KUHAP seakan dianulir dengan diksi ‘ini’ pada
rumusan Pasal 3 KUHAP tersebut. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.13 dan 11.
2
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
kekinian? 4 Bukankah langkah pembaruan hukum harus dilakukan terhadap ketentuan hukum
maupun aspek manusia sebagai penegak hukum yang selama ini seakan terkungkung dalam
positivisme hukum ala KUHAP?
Mencermati perkembangan KUHAP yang direduksi sekedar menjadi prosedur formal yang
statis, telaah tulisan ini selanjutnya memilih memfokuskan kajiannya pada sisi kemanusiaan aparat
penegak hukum yang terlalu sederhana dimensinya ketika dikerdilkan fungsinya hanya sebatas
sebagai “corong undang-undang”5. Fokus amatan sisi manusia dan kemanusiaan aparat penegak
hukum demikian, tentu saja membawa serta beragam dinamika dalam penegakan hukum pidana
yang membuka peluang dekonstruksi maupun pengungkapan antitesis terhadap ketentuan tekstual
KUHAP yang statis tersebut.
METODE PENELITIAN
Perspektif ilmu hukum dalam penulisan ini adalah ilmu hukum yang dikonsepsikan sebagai
realitas. Oleh karenanya, kajian hukum empiris dipilih sebagai kajian yang memandang hukum
sebagai kenyataan. Kajian hukum empiris demikian bersifat deskriptif, sehingga kajiannya adalah
das sein (apa kenyataannya)6.
Ketika kajian hukum empiris digunakan untuk membahas keberlakuan hukum acara pidana
pada kasus-kasus tertentu, yang dipertanyakan adalah bagaimana penerapan hukum acara pidana ini
dalam kenyataannya. Mulai dari poin inilah kemudian muncul beragam pertanyaan empiris, seperti
4
KUHAP sebagai karya Agung Bangsa Indonesia, pada kekiniannya terus mengalami ujian ketika
dihadapmukakan dengan Undang-udang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Muhammad Rustamaji,
Simulacra Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Ingsutan Kewenangan Praperadilan, Jurnal Yustisia, Edisi 95, MeiAgustus 2016, Tahun XXV, hlm.116
5
Pembelajar hukum yang akhirnya hanya menjadi aparat penegak undang-undang, mendapat kritik tajam
berkenaan dengan model pendidikannya yang tidak menyentuh link and match dalam aras kehidupan keseharian yang
acapkali dikeluhkan publik. Muhammad Rustamaji & Dewi Gunawati, Model Pembelajaran Moot Court bagi Strata-1
Ilmu Hukum Sebagai Pencapaian Pendidikan Hukum Progresif, Jurnal Yustisia, Edisi 78, September-Desember 2009,
Tahun XX, hlm.24-26
6
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2012, hlm. 2-3.
3
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
benarkah hukum acara pidana bersifat statis sedangkan seperti diketahui penegaknya demikian
dinamis, yaitu manusia? Bagaimana hukum acara pidana diperbaharui ketika kekerasan masih saja
menimpa orang yang berhadapan dengan hukum? Faktor-faktor nonhukum apa yang mendorong
pembaruan hukum terhadap hukum acara pidana demikian? Ragam pertanyaan empiris inilah yang
mempertegas kajian atas fenomena hukum yang muncul seiring penegakan hukum acara pidana
dimaksud.
Curzon menjelaskan kajian sosiologi hukum dimanfaatkan untuk menunjukkan studi spesifik
tentang situasi yang menggambarkan aturan-aturan hukum beroperasi, dan tingkah laku yang
dihasilkan dari beroperasinya aturan-aturan hukum itu. Pandangan Curzon 7 demikian diperoleh
setelah mengemukakan pandangan beberapa penulis lain seperti:
1) Pound, yang menunjukkan studi sosiologi hukum ini sebagai studi sosiologi yang sebenarnya,
yang didasarkan pada konsep yang memandang hukum sebagai suatu alat pengadilan sosial;
2) Lloyd, menuliskan bahwa sebagai sesuatu yang pokoknya merupakan ilmu deskriptif yang
memanfaatkan teknik-teknik empiris. Hal itu berkaitan dengan pertanyaan mengapa perangkat
hukum dan tugasnya dibuat. Ia memandang hukum sebagai produk suatu sistem sosial dan
sebagai alat untuk mengendalikan dan mengubah sistem itu;
3) Eugen Ehrlich8, memberikan perhatian terhadap adanya hubungan, alias mata rantai hukum dan
ilmu sosial. Ehrlich meyakini bahwa para yuris dapat, dan harus belajar dari ekonom dan para
pakar ilmu sosial.
7
Achmad Ali, Wiwie Heryani, Ibid, dapat dilihat pula Curzon,L.B. Jurisprudence, M&E Handbook,1979, hlm.
137-138.
8
Menurut Ehrlich, semua pengetahuan harus diterima sebagai bidang ilmu hukum sebab fakta yang vital dari
hukum yang hidup adalah fakta kehidupan sosial secara keseluruhan. Jadi, tidak ada batas antara ilmu hukum dengan
pengetahuan lain. Achmad Ali, Wiwie Heryani, Ibid.
4
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebagai serangkaian tatacara dan acara dalam beracara, Hukum Acara Pidana (HAP)
merupakan hukum yang diciptakan dengan persistensi yang tinggi untuk ditepati kepastian
hukumnya. Itulah mengapa, hukum acara acapkali dipandang sebagai hukum yang statis dan
tidak memerlukan dinamisasi dalam penegakannya. Oleh karenanya, ketika HAP disebut
sebagai “hukum yang tiada tempat untuk menafsir”, seakan ungkapan demikian menjadi
pembenar akanstatisnya sifat HAP tersebut.
Akan tetapi, sebagai suatu aturan hukum yang diberlakukan dan diterapkan kepada
subjek yang senantiasa dinamis, yaitu manusia, pertanyaan yang kemudian muncul adalah,
benarkah anggapan statis atas HAP demikian? Bukankah hukum itu selalu i nterpretif,
sebagaimana disampaikan Dworkin? 9 Bukankah kebekuan tekstual hukum itu sangat mungkin
dicairkan sehingga menjadi perdebatan dan menunjukkan realitas yang melee, sebagaimana
dikemukakan Sampford? 10 Bukankah logosentrisme HAP yang kaku (rigid) sekalipun, tetap
dapat dibongkar alias didekontruksi sebagaimana diutarakan Derrida? 11
Mencermati ragam pertanyaan demikian, agaknya statement awal yang menyatakan HAP
sebagai hukum statis yang hanya memedulikan kepastian hukum, atau bahkan terjebak pada
kepastian teks hukum semata, pada akhirnya harus diruntuhkan. Bukankah hukum sebagai
‘tatanan tertib’ manusia lebih kaya dari sekedar kumpulan aturan formal-yuridis? Bukankah
hukum merupakan dunia yang kompleks, serumit dan sekompleks dunia manusia yang
diaturnya? 12.
Ronald Dworkin, Law’s Empire, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, 1986, p.225-227
Charles Sampford, The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, New York, 1989,
hlm.104. Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Nonsistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia),
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 107.
11
Muhammad Al Fayyadl, Derrida, cet. V, LkiS, Yogyakarta, 2012, hlm.111
12
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. vii.
9
10
5
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Oleh karenanya, pada kajian ini, fokus bahasan selanjutnya akan mengungkap lebih jauh
mengenai sisi manusia yang dikenal sebagai aparat penegak hukum dalam kajian pembaruan
Hukum Acara Pidana. Mencermati hubungan manusia dan hukum, Bernard L. Tanya
mengemukakan, semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor peraturan, maka semakin ia
menganggap hukum sebagai unit tertutup yang formal-legalistik. Sebaliknya, semakin
bergeser ke manusia, semakin teori itu terbuka dan menyentuh mozaik sosial kemanusiaan 13.
Poin inilah yang senafas dengan pidato pengukuhan Barda Nawawi Arief sebagai Guru Besar
Ilmu Hukum Pidana (1994). Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa gencarnya
sorotan dan kritik masyarakat terhadap menurunnya kualitas penegakan hukum pidana, jelas
tidak ditujukan pada merosotnya kemampuan dan kematangan intelektual menguasai norma norma hukum pidana, akan tetapi justru ditujukan pada terjadinya kemerosotan atau erosi
nilai. Jadi tampaknya ketidakmatangan nilai atau kejiwaan inilah yang terutama menjadi
keprihatinan masyarakat, dan seyogyanya juga harus menjadi keprihatinan semua lembaga
pendidikan tinggi hukum 14.
Terinspirasi dari ilustrasi menjalankan sebuah mobil pada suatu kosmologi beserta
pengendara yang memegang lisensi (Surat Izin Mengemudi; SIM) yang dimiliki sebagai
simbol ‘ilmu mengemudi’ yang dikuasainya, Barda Nawawi Arief menjelaskan pola hubungan
mengenai
dioperasionalisasikannya
WvS
(KUHP
buatan
Belanda)
dalam
konteks
keindonesiaan oleh aparat negara 15 . Dengan menggunakan pola pemikiran yang serupa,
ternyata gambaran hubungan KUHAP, aparat penegak hukum, serta konteks negara hukum
Indonesia, dapat dijelaskan pula korelasinya. Penggambaran demikian menjadi penting guna
13
Ibid.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru
Hukum Pidana Indonesia), Pustaka Magister, Semarang, 2011, hlm. 59-60.
15
Barda Nawawi Arief, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka Optimalisasi dan
Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hlm.1920.
14
6
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
menentukan sikap untuk memosisikan KUHAP yang notabene menjadi rule of the game dalam
penegakan hukum, ketika ‘melaju’ di dalam kosmologi Indonesia.
Sebagai sebuah konsep ‘asing’, Hukum Acara merupakan salah satu produk yang
berkaitan dengan politik etis yang bersemboyan “geen exploitatie maar educatie” (tidak boleh
lagi eksploitasi, tetapi edukasi). Dikemukakan oleh Soetandyo bahwa ketika pemerintah
kolonial mulai menyelenggarakan pendidikan dengan gaya klasikal seperti yang dianut di
Eropa. Tak pelak lagi, sejalan dengan kebijakan Idenburg, program pendidikan untuk anakanak pribumi dalam bidang kehukuman dan kehakiman ini nyata kalau diarahkan guna
memperoleh rechtsamtenaren yang cakap dan berkepribadian kolonial yang secara khusus
hendak melayani kebutuhan hukum orang-orang pribumi 16.
Karakteristik hukum acara yang sudah melintasi periodisasi waktu yang panjang dan
lahir di belahan dunia lain dengan sifat rigid (kaku) yang diperamnya, memunculkan
pertanyaan besar mengenai keterposisiannya ketika memasuki konfigurasi hukum dan konteks
keindonesiaan. Pertanyaan mengenai apakah hukum acara yang dituangkan dalam KUHAP
dapat berjalan begitu saja ketika memasuki suatu konteks kenegaraan, menjadi salah satu hal
yang mengemuka.
Dengan mengikuti ilustrasi yang sudah dikemukakan Barda Nawawi Arief sebelumnya,
dapat dijelaskan bahwa ketika ‘mobil KUHAP’ berkeinginan berjalan dengan baik, maka
mobil KUHAP demikian harus dikendarai oleh pengemudi yang memiliki ilmu dan
pengetahuan yang baik pula mengenai mobil yang dikendarainya, maupun segala aspek
kewilayahan yang hendak dilaluinya. Artinya, ketika KUHAP memasuki kosmologi
Indonesia, mau tidak mau para penegak hukum yang bertugas menegakkannya harus
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional – Dinamika Sosial-Politik dalam
Perkembangan Hukum di Indonesia, HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, Epistema Institute, Jakarta,
2014, hlm. 145.
16
7
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
memahami secara benar apa yang dikandung KUHAP, maupun memahami dengan baik pula
karakter hukum Indonesia sebagai ‘kontur jalan’ yang akan dilewatinya.
Penegak hukum yang memahami kandungan KUHAP dan karakter hukum Indonesia,
dengan demikian dapat dikatakan sudah menguasasi ‘ilmu mengemudi’ yang dipersyaratkan
penegakannya dalam konteks Indonesia. Melalui ‘ilmu mengemudi’ yang dikuasai dengan
baik dan benar inilah yang selanjutnya mengantarkan “mobil” KUHAP melalui struktur
kosmologi Indonesia dengan selamat dan mencapai tujuannya.
Mencermati pandangan Barda Nawawi Arief, diketahui bahwa urgensi kualitas keilmuan
demikian tidak hanya dimaksudkan semata-mata untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
pengembangan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, kualitas keilmuan tersebut juga untuk
meningkatkan kualitas nilai dan produk dari proses penegakan hukum (in abstracto maupun in
concreto). Bukankah kualitas, kesuksesan, kebahagiaan hidup (dunia dan akhirat), termasuk
kualitas penegakan hukum di dunia, hanya dapat dicapai dengan ilmu? 17 Aspek penguasaan
keilmuan inilah yang semakin menunjukkan bahwa sisi manusia dan kemanusiaan aparat
penegak hukum memegang peran penting ketika langkah pembaruan hendak dilaksanakan.
Oleh karenanya, KUHAP yang sarat dengan keseimbangan yang serasi antara orientasi
“penegakan dan perlindungan ketertiban masyarakat” di satu sisi dengan “kepentingan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia”18 di sisi lain, tentu harus dijalankan oleh aparat penegak
hukum yang memahami ilmu mengenai penegakan hukum dan HAM dengan sangat baik. Hal
demikian dikatakan menjadi semacam prasyarat agar ‘kendaraan’ yang bernama KUHAP
17
Barda Nawawi Arief menunjukkan bahwa kedalaman penguasaan keilmuan tersebut bahkan harus bersumber
dan berkesesuaian dengan ilmu ketuhanan, antara lain dinukilkan Hadist Nabi, man aroda dunya fa’alaihi bil ‘ilmi, man
arodal akhirota fa’alaikhi bil ilmi, wa man aroda huma fa’alaihi bil ‘ilmi (Barang siapa menghendaki kebahagiaan
hidup di dunia maka dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebahagiaaan hidup di akhirat maka dengan ilmu, dan
barang siapa menghendaki kebahagiaan keduanya maka dengan ilmu) (HR.Bukhari). Barda Nawawi Arief, Pendekatan
Keilmuan dan Pendekatan Religius…Ibid, hlm. 10-11.
18
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar
Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 38.
8
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
demikian tidak menabrak ‘struktur jalan’ kehidupan bersama, mengoyak ‘sparasi’ tata
kehidupan, maupun melanggar ‘rambu-rambu’ komunalitas hidup berbangsa. Karena, apabila
yang terjadi adalah beragam benturan dalam mengaplikasikan KUHAP, tentu akan membawa
ekses negatif bagi sang ‘pengendara’. Pelanggaran atas KUHAP segera saja akan memicu
sentimen negatif bagi aparat penegak hukum, bahkan ‘merendahkan sang pengemudi’ karena
dianggap tidak cakap dalam mengendarai kendaraannya. Artinya, sang penegak hukum tidak
menguasai ilmu dan kapabilitas yang harus dipahaminya dengan baik ketika melakukan
penegakan hukum yang notabene berbasis keseimbangan penegakan hukum dan HAM.
Penguasaan keilmuan yang tidak memadai demikian, pada konteks yang lebih luas dapat
semakin memperburuk penilaian masyarakat dunia atas Indonesia sebagai suatu bangsa atas
konsepsi kemanusiaan yang diperamnya. Contoh kasus konkrit, mengenai meninggalnya
Siyono dalam proses penegakan hukum, atau terbunuhnya aktivis HAM Munir, tentu dapat
dikaji kandungan hikmah filosofisnya dalam kerangka aplikasi KUHAP.
Sebagai gambaran, peristiwa meninggalnya Siyono yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana terorisme dalam proses pemeriksaan oleh Densus 88 Antiteror, sudah seharusnya
menjadi tamparan keras bagi aparat dalam menjalankan proses penegakan hukum dan
perlindungan HAM. Aparat dalam hal ini berada pada posisi yang patut dipersalahkan atas
sikap represif yang telah dilakukan, dan abai terhadap tindak profesionalitas yang semestinya
tetap dijaga. Berdasarkan konferensi pers yang berlangsung Senin 11 April 2016, Komisioner
Komnas HAM Siane Indriani menjelaskan hasil autopsi terhadap jenazah terduga teroris
Siyono menunjukkan bahwa jenazah mengalami patah tulang di lima iga bagian kiri dan patah
satu iga bagian kanan. Tulang-tulang dada yang patah akibat benturan benda tumpul di rongga
dada tersebut, mengarah ke jaringan jantung yang akhirnya menjadi penyebab utama
meninggalnya Siyono. Hasil pemeriksaan forensik juga tidak menunjukkan adanya tandatanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono. Tim forensik yang diketuai Gatot Suharto juga
9
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
menemukan luka pukulan (ketokan) di kepala, tetapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan
atau kematian 19.
Pada kondisi demikian, maraknya kekerasan
20
dalam penggunaan kewenangan
penegakan hukum di satu sisi semakin memperjelas bahwa cara berhukum dengan memegang
teguh tekstual hukum semata tidak akan pernah mencukupi. Teks hukum yang formalistik
harus diisi dengan ilmu sehingga sang penegak hukum tidak terjerembab pada ujaran Lord
Acton (1887) bahwa ‘Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely’ 21 .
Sementara pada sisi yang berbeda, langkah represif aparat demikian menunjukkan terjadinya
distorsi pemahaman 22 atas kandungan nilai suatu formulasi normahukum acara pidana sebagai
landasan penegakan hukum.
Sedangkan pada kasus pembunuhan berencana terhadap Munirtanpa melalui suatu proses
penegakan hukum atas tuduhan terhadapnya, akan tetapi langsung ‘dieksekusi’ menggunakan
arsenik, hingga saat ini menjadi beban sejarah penegakan hukum yang belum tertuntaskan.
19
Bandingkan dengan pernyataan Kepolisian sebelumnya yang mengklaim bahwa Siyono meninggal setelah
berkelahi dengan anggota Detasemen Khusus Antiteror 88 dan menyatakan Siyono tewas akibat perdarahan di Kepala
yang disebabkan benturan dengan benda tumpul. Isyana Artharini, “Penyebab Kematian Terduga Teroris Siyono
Terungkap”, BBC Indonesia, 11 April 2016.
20
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis data motif penyiksaan oleh
oknum Polri pada periode juni 2013 s.d. Mei 2014 untuk memeroleh keterangan, sebagai bentuk penghukuman, sebagai
metode mengakui kejahatan, bahkan guna memberikan keterangan palsu dan tindakan tidak manusiawi lainnya, yang
mencapai 64 kasus. Adapun metode penyiksaan oleh oknum Polri, baik dengan cara memukul, menendang, mengikat
dengan sangat erat, menembak, menyetrum, menelanjangi, menusuk, menutup kepala, mengancam dan melakukan
tekanan psikologis, penggunaan cahaya menyilaukan, pemaksaan minum obat tertentu, pembatasan akses kesehatan dan
makanan serta keamanan, merendahkan martabat, membenamkan kepala dalam air, membakar bagian tubuh, menyekap,
mencambuk, mencabut bagian tubuh, serta kematian dalam tahanan, mencapai 121 kasus. KontraS, “Mengenal
Penyiksaan dan Tindakan Tidak Manusiawi Lainnya!”, (Jakarta: KontraS, 2015). Pada Mei-Agustus 2015, KontraS juga
menerima empat pengaduan kasus penyiksaan yang dilakukan oknum Polri yang mengakibatkan tujuh orang tewas, dan
16 orang lainnya luka-luka. KontraS, “Darurat Penghentian Praktik Penyiksaan, Pemberatan Hukuman Pelaku
Penyiksaan dan Hentikan Kriminalisasi Bagi Korban/Keluarga Penyiksaan”, Siaran Pers KontraS 24 Agustus 2015,
(Jakarta: KontraS, 2015), diunduh dari https://www.kontras,org/home/index.php?module=pers&id=2149
21
Gestrude Himmelfarb, Lord Acton:A Study in Concience and Politics, University of Chicago Press, Chicago,
1952, p. 1.
22
Salah satu distorsi pemahaman demikian seringkali dialamatkan kepada positivisme hukum yang bertalian
dengan paradigma positivisme. Muhammad Rustamaji, Prison of Legal Positivism Paradigm and Corruption
Eradication in Indonesia, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol.35, 2015, hlm.167-170.
10
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pertanyaan besar yang harus dikemukakan adalah, bagi para penentang HAM yang tidak
setuju dengan perjuangan Munir, maupun bagi para pihak yang melancarkan praduga bahwa
Munir adalah ‘penjual rahasia negara’, bukankah langkah yang benar sebagai kesepakatan
bersama (common sense) adalah diadili dan dibuktikan kesalahan tindakan seseorang tersebut
dalam suatu proses persidangan yang fair dan imparsial? Akan tetapi, yang terjadi pada Munir
bukanlah proses penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, bahkan proses persidangan
yang baik untuk membuktikan praduga terhadap Munir tersebut. Hal yang justru terjadi adalah
pembunuhan tanpa landasan hukum dan tanpa memperhatikan sistem penegakan hukum yang
telah disepakati bersama sebagai langkah yang paling adil dan fair dalam menentukan
kesalahan seseorang.
Mencermati kasus Munir, lalu dengan langkah pembungkaman perjuangan HAM yang
diwujudkan dalampembunuhan tersebut, apakah selanjutnya dapat dibuktikan bahwa Munir
memperjuangkan hal yang keliru? Atau justru sebaliknya, langkah pembunuhan tanpa
dilandasi hukum itulah yang keliru? Ketika dua realitas demikian saling dihadapmukakan,
maka dengan mudah dapat diperoleh jawabannya. Jika HAM yang diperjuangankan Munir
merupakan sesuatu yang keliru, maka sudah seharusnya proses hukum membuktikan
kesalahannya tersebut dalam proses peradilan yang adil. Nilai filsafat yang dapat diambil
adalah, “bukankah suatu tujuan yang dikatakan baik, harus ditempuh dengan cara dan jalan
yang baik pula?” Oleh karenanya, ketika ternyata bukan langkah hukum yang diterapkan guna
membuktikan kesalahan perjuangan Munir, yang justru muncul ke permukaan publik dan
pemikiran masyarakat umum adalah perjuangan HAM yang diusung Munir-lah yang
merupakan sesuatu yang benar. Akan tetapi, ‘kebenaran’ demikian coba ditutup-tutupi dengan
kekuasaan yang menegasikan HAM sehingga menghalalkan segala macam cara untuk
mencapai hasil yang diancangkan. Namun sayang sekali, lagi-lagi langkah serampangan di
luar proses hukum dan pengesampingan pemahaman yang baik mengenai penegakan hukum
11
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
dan HAM tersebut justru memicu munculnya kesadaran mengenai HAM yang semakin
mendalam. Munir justru menjadi martir dan dijadikan simbol perjuangan yang belum tu ntas
mengenai HAM di Indonesia.
Mencermati gambaran ekses buruk yang dapat timbul akibat tidak memadainya
keilmuan mengenai penegakan hukum dan HAM, serta luasan cakupan dan besarnya
dukungan akan pentingnya penegakan hukum dan HAM, maka aspek yang selanjutnya harus
dipikirkan adalah mengenai sumber daya manusia yang menjalankan penegakan hukum dan
HAM dimaksud. Kualifikasi dan kompetensi pengemban hukum yang biasa-biasa saja tentu
saja tidak akan mampu menjawab tuntutan dunia agar pemenuhan dan per lindungan HAM
terlaksana dengan baik. Oleh karenanya, diperlukan kualitas dan kuantitas personal penegak
hukum yang tinggi guna mengemban tanggungjawab reinput pengembalian ekses tindak
pidana ke jalan yang benar. Sehingga pada kulminasi tertentu officium nobile sebagai predikat
mulia bagi semua aparat pengak hukum, mewujud dalam bentuk yang tidak hanya sekedar
wacana dan utopia.
Guna memenuhi kualifikasi sumber daya manusia demikian, gagasan mengenai
prophetic intelligence dalam menentukan kualifikasi penegak hukum yang memahami HAM,
tampaknya perlu dipertimbangkan. Penggambaran mengenai penegak hukum yang memahami
HAM dengan kualifikasi tinggi tersebut menekankan pada aspek manusia sebagai fokus
kajian. Kemampuan mentransformasikan diri untuk berani melakukan rule breking
23
mensyaratkan apa yang disebut prophetic intelligence (PI). Kecerdasan kenabian inilah yang
memandu sekaligus memberikan keberanian holistik dalam bertindak progresif ketika
mengemban hukum.
23
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,
hlm. 61-62.
12
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Sebagaimana mencermati perkembangan kekinian, disiplin psikologi mengembangkan
prophetic intelligence atau kecerdasan kenabian, sebagai pendekatan menyeluruh dari
pendekatan kecerdasan yang sebelumnya ada. PI inilah yang memandu cognitive intelligence,
emotional intelligence, adversity intelligence, dan spiritual intelligence 24 . Pembenaman PI
dalam kemauan dan kemampuan mentransformasi diri inilah yang dimaksud dengan
kualifikasi tinggi dalam tipologi penegak hukum yang progresif.
Terhadap hasil temuan PI demikian, dunia hukum sangat berkepentingan ‘meminjam’
konsep kecerdasan kenabian ini guna mengatasi krisis hukum maupun kegamangan
pemenuhan penegakan hukum dan perlindungan HAM yang terjadi. Terlebih ketika optik
krisis tersebut diarahkan pada moralitas 25 para penegak hukum. Dapat dikemukakan bahwa
kecerdasan kenabian merupakan kemampuan seseorang untuk mentranformasikan dirinya
dalam interaksi, sosialisasi dan adaptasi dengan lingkungan vertikal dan horizontal. Konsepsi
dualistik lahiriah dan batiniah, kehidupan duniawi dan ukhrowi, diambil untuk dipahami
manfaat dan hikmahnya. Pada sisi inilah pengejawantahan irah-irah ‘Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang selanjutnya diimplementasikan dalam sistem
penegakan hukum, menemukan momentumnya untuk dicamkan kembali.
Pada prinsipnya, setiap orang dapat meraih kecerdasan kenabian, dengan syarat mau
melakukan transformasi diri. Khusus bagi penegak hukum, transformasi diri ini mencakup
penyadaran, penemuan, dan pengembangan diri dengan mengamalkan serta menghayati sifat
prinsip kejujuran (sidiq), dapat dipercaya (amanah), terbuka (tabliq), dan cerdas (fatonah).
Transformasi diri penegak hukum yang menepati jalan Illahi demikian, dimaksudkan untuk
24
M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana, Jakarta, 2012,
hlm. 262.
25
Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Jaksa AF beserta barang bukti uang suap Rp1,5 Milyar oleh Tim
Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Kejaksaan Agung, merupakan contoh kasus terbaru gambaran moralitas
penegak hukum yang masih saja digerogoti ‘naluri lapar’ yang oleh Konrad Lorenz (1969) menumbuhkan mental
menerabas. Achmad Fauzi, “Badai Suap Korp Adhyaksa”, Harian Jawa Pos, Rabu 30 November 2016, hlm. 4.
13
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
membuka peluang seluas-luasnya untuk mendapatkan bimbingan Alloh SWT yaitu khoirunnas
anfaum linas ketika menjalankan tugas mulia sebagai penegak hukum. 26
Ketika transformasi diri telah dilakukan, maka rule breaking menjadi sikap tindak yang
tampak. Hukum progresiflah yang digunakan sebagai tawaran pendekatan penegakan hukum,
bukan melulu logosentrisme teks hukum yang dikedepankan. Logosentrisme sebagai
kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasinya dengan mengacu pada dalil -dalil
kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal 27 , menjadi penghalang utama
yang sudah saatnya harus mulai ditinggalkan dalam rangkaian transformasi diri sang penegak
hukum. Pada faset inilah ditemukan apa yang ada di balik setiap tindakan penegakan hukum,
maupun kepada masyarakat pada umumnya sebagai orang yang bermanfaat bagi sesamanya.
Para penegak hukum dengan transformasi diri demikian akan membawa penyadaran bahwa
penegakan hukum harus dilaksanakan dengan cara yang baik, agar tujuan penegakan hukum
yang sejatinya baik dapat mencapai tujuannya. Pada kulminasi inilah Hukum Progresif
digunakan untuk memperluas dan sekaligus mengasah multiple intelligence yang dipandu
prophetic intelligence. Sehingga ketika palu diketukkan dengan irah-irah ‘Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, upaya penegakan hukum dengan segenap tahapan
yang dilaluinya menjadi harapan selanjutnya yang menunjukkan sebuah upaya holistik dalam
rangkaian penegakkan keadilan hukum dan pemenuhan serta perlindungan HAM yang
dipertanggungjawabkan secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sekaligus secara
horizontal kepada semua manusia.
26
Dengan menepati jalan Illahi melalui upaya transformasi diri dan munajad dengan ragam ibadah kepadaNya,
serangkaian langkah demikian semoga menghadirkan keridhoan sehingga Alloh Swt berkenan membimbing hambaNya
menjadi sebaik-baik manusia yaitu manusia yang memberi manfaat bagi sesamanya. Muhammad Rustamaji,
“Mengggali Akar Transendensi Pancasila, Menuju Ilmu Hukum Berketuhanan Yang Masa Esa” dalam Absori, Kelik
Wardiono, Shidarta, Aan Asphianto ( Ed.), Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi, Genta Publishing &
Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana UMS, Yogyakarta, 2017, hlm. 394-395.
27
Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistematik, hlm. xii.
14
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
KESIMPULAN
Hukum Acara Pidana yang dipersepsikan statis karena harus menjaga kepastian hukum,
bagaimanapun masih memiliki sisi dinamis yang terus mencari bentuknya. Sisi dinamis
tersebut tidak lain mewujud dalam perilaku para penegak hukumnya dalam memahami
KUHAP yang bukan hanya sebatas gugusan norma, namun lebih jauh daripada itu menyasar
kandungan nilainya.
Pemahaman yang baik mengenai KUHAP yang ditopang dengan pendidikan hukum
yang tidak sebatas melaksanakan business as usual, tetapi menukik dalam hingga mencapai
prophetic intelligence, akan sangat menentukan kualitas penegakan hukum dan perlindungan
HAM.
Pada sisi inilah pembaruan hukum acara pidana dilakukan dengan suatu perubahan besar
yang membidik faset (sisi) manusia dan kemanusiaan penegak hukum. Langkah pembaruan
hukum demikian, meskipun dirasa layaknya suatu cacatan pinggir, diharapkan memberi
kedalaman pembaruan hukum yang patut dipikirkan dan ditindaklanjuti sebagai suatu objek
ilmu yang masih meninggalkan lahan garap yang perlu dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali & Wiwie Heryani, 2012, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Achmad Fauzi, 2016, “Badai Suap Korp Adhyaksa”, Harian Jawa Pos, Rabu 30 November.
Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Anthon F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Nonsistematik (Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu
Hukum Indonesia), Genta Publishing, Yogyakarta.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2014, Draf RUU KUHAP versi 10 Desember 2014,
Kemenkumham RI, Jakarta.
15
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Barda Nawawi Arief, 2011, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pustaka Magister, Semarang.
Barda Nawawi Arief, 2012, Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius dalam Rangka
Optimalisasi dan Reformasi Penegakan Hukum (Pidana) di Indonesia, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta.
Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law; A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell, New
York.
Curzon,L.B., 1979, Jurisprudence, Macdonald &Evans Ltd, Handbook Series.
Gestrude Himmelfarb, 1952, Lord Acton:A Study in Concience and Politics, University of Chicago
Press, Chicago.
Isyana Artharini, 2016, “Penyebab Kematian Terduga Teroris Siyono Terungkap” BBC Indonesia,
11 April.
M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana,
Jakarta.
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta.
Muhammad Al Fayyadl, 2012, Derrida, Cet.V, LkiS, Yogyakarta.
Muhammad Rustamaji & Dewi Gunawati, 2009, Model Pembelajaran Moot Court bagi Strata-1
Ilmu Hukum Sebagai Pencapaian Pendidikan Hukum Progresif, Jurnal Yustisia, Edisi 78,
Tahun XX, September-Desember.
Muhammad Rustamaji, 2015, Prison of Legal Positivism Paradigm and Corruption Eradication in
Indonesia, Journal of Law, Policy and Globalization, Vol. 35.
16
Pembaruan Hukum Acara Pidana Melalui Telaah Sisi Kemanusiaan Aparat Penegak Hukum
Muhammad Rustamaji
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 19, No. 1, (April, 2017), pp. 1-17.
Muhammad Rustamaji, 2016, Simulacra Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Ingsutan
Kewenangan Praperadilan, Jurnal Yustisia, Edisi 95, Tahun XXV, Mei-Agustus.
Muhammad Rustamaji, 2017, “Mengggali Akar Transendensi Pancasila, Menuju Ilmu Hukum
Berketuhanan Yang Masa Esa”, dalam Absori, Kelik Wardiono, Shidarta, Aan Asphianto
(Ed.), Transendensi Hukum Prospek dan Implementasi, Genta Publishing & Program Doktor
Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana UMS, Yogyakarta.
Ronald Dworkin, 1986, Law’s Empire, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge.
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2014, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional – Dinamika SosialPolitik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, HuMa, Van Vollenhoven Institute,
KITLV-Jakarta, Epistema Institute, Jakarta.
17