M02075
RELATIONSHIP LENDING DI PASAR KUTOARJO: MENGUAK EKSISTENSI
RENTENIR
Ardi Surya Satria Ridwan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
[email protected]
Apriani Dorkas Rambu Atahau
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
[email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe formation of relationship lending between moneylenders
and small traders in the Pasar Kutoarjo by the scope of the relationship, the distance from the
borrower, the frequency of contact and the exclusivity of lenders. This study uses primary data
from moneylenders and small traders in Pasar Kutoarjo and analysed qualitatively. The results
show that relationship lending in terms of the scope of the relationship, the distance from the
borrower, the frequency of contact and the exclusivity of lenders between moneylenders and
small traders in the Pasar Kutoarjo developed well. It supports the characteristics of
microfinance institution as stated by financial service authority (OJK) pursuant Act number
1/2013 in terms of simple, quick and non written general procedures and loan agreement.
Keywords: money lenders, relationship lending, informal financial institution, analysis
PENDAHULUAN
Kehadiran pedagang kecil merupakan salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan
pertumbuhan pengunjung di suatu pasar tradisional. Pedagang kecil di pasar-pasar tradisional
mampu bertahan di tengah krisis yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1998, dan bahkan
sampai sekarang. Yustika (2010) mengatakan bahwa pada tahun 2011 UMKM menyumbang 56
persen dari total PDB di Indonesia, tidak terkecuali pedagang kecil di pasar-pasar tradisional.
Dengan adanya pedagang kecil di pasar-pasar tradisional juga mampu mengurangi pengangguran
karena banyak menyerap tenaga kerja. Perkembangan usaha oleh pedagang kecil masih
terhambat sejumlah persoalan, yang ditinjau dari dua faktor. Pertama, faktor internal yaitu lemah
pada segi permodalan, produksi, pemasaran, dan sumber daya manusia. Kedua, faktor eksternal
berupa masalah yang muncul dari pihak pengembang dan pembinaan bagi pedagang kecil.
1
Namun demikian, berdasarkan penelitian Bank Dunia yang telah melakukan kajian terkait
dengan alternatif sumber dana dalam format yang disebut Global Financial Index (Global
Findex) tahun 2012 terungkap “hanya 32 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses ke
perbankan”. Akses disini dapat diartikan dalam fungsi untuk tujuan simpanan dan kredit. Kondisi
ini diperkirakan berkaitan dengan suburnya pertumbuhan lembaga keuangan informal atau biasa
disebut rentenir di daerah pasar-pasar pedesaan. (World Bank 2014).
Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Nugroho (2001) yang menyatakan bahwa
mayoritas pedagang kecil mengandalkan kredit dari lembaga keuangan informal yang mudah
tanpa syarat dan jaminan. Sebaliknya Wahyudi (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa
kebijakan perbankan Indonesia cenderung rumit untuk pedagang berskala kecil. Keengganan
perbankan untuk menyalurkan kredit kepada pedagang kecil karena bertujuan untuk mengurangi
risiko kredit macet, hal ini pada gilirannya menyebabkan pedagang kecil memilih melakukan
kredit melalui tawaran lembaga keuangan informal yang dikenal dengan istilah rentenir
(Nugroho 2001). Meskipun dengan stereotipe masyarakat tentang rentenir sebagai lintah darat
yang mengeksploitasi pedagang kecil dengan cara menarik bunga yang sangat tinggi dan
dibukanya kredit lunak jangka pendek, ternyata tidak mengurangi minat masyarakat untuk
meminjam kredit pada rentenir (Hari 2009). Rentenir sebagai lembaga informal di pasar-pasar
pedesaan mudah membangun jaringan mulai dari mulut ke mulut sampai iklan yang beredar di
jalan-jalan untuk mempromosikan usahanya sehingga memiliki banyak nasabah dengan
persyaratan mudah, pencairan yang cepat dan tanpa jaminan (Qodarini 2013).
Kondisi yang ditemui pada pedagang kecil di Pasar Kutoarjo adalah citra rentenir di
kalangan pedagang kecil sudah mulai meluntur karena terjalinnya keakraban antara pedagang
kecil dengan rentenir, serta rentenir di Pasar Kutoarjo yang lebih diminati sebagai sumber
memperoleh kredit dibandingkan lembaga keuangan lainnya dan dianggap sebagian pedagang
kecil sebagai penolong. Hal tersebut ditunjukkan dengan pedagang kecil di Pasar Kutoarjo yang
menjadi mudah menerima keberadaan rentenir meskipun menawarkan kredit dengan bunga
kredit cukup tinggi. Bunga yang dibebankan rentenir di Pasar Kutoarjo kepada nasabahnya
berkisar antara 10 sampai 20 persen per pinjaman serta melunasi kreditnya berdasarkan
kesepakatan bersama antara pedagang kecil dan rentenir, baik dengan sistem harian, mingguan
atau bulanan. Istilah yang digunakan rentenir untuk menunjukkan tingkat bunga, biasanya
disebut dengan “nyewelasan” yang berarti sebelasan untuk menyebutkan tingkat bunga kredit
2
senilai sepuluh persen. Hal ini dikarenakan setiap kredit sebesar Rp 1.000.000 maka nasabah
harus mengembalikan sebesar Rp 1.100.000. Atau “ngrolasan”, berarti ditunjukkan dengan dua
belasan untuk tingkat bunga kredit yaitu dua puluh persen, karena dengan kredit yang sama,
nasabah harus mengembalikan uang sebesar Rp 1.200.000.
Ditinjau dari penelitian sebelumnya, lebih banyak penelitian yang fokus kepada
pendekatan kredit di lembaga keuangan formal. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh
Cole et al. (2004) dan Morduch (1999) menyatakan bahwa ada perbedaan pendekatan yang
digunakan oleh bank besar dan bank kecil dalam proses evaluasi persetujuan aplikasi kredit
mikro dan kecil. Disampaikan pula dari hasil studinya Berger et al. (2005) dan Sihaloho (2011)
mengenai pendekatan yang dilakukan oleh bank besar yaitu menggunakan kriteria kuantitatif
standar bersumber dari laporan keuangan debitur disertai laporan pendukung lainnya, sementara
bank kecil dan koperasi menggunakan kriteria kualitatif yang diperoleh dari informasi di
lapangan yang menggambarkan karakter debitur dan asesmen terhadap aplikasi kredit. Oleh
karena itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu
penelitian ini lebih berfokus pada lembaga keuangan informal khususnya rentenir dengan
melihat pendekatan yang dilakukan dalam pemberian kredit kepada pedagang kecil yang
didasarkan pada hubungan kedekatan atau relationship lending.
Kajian penelitian ini dilaksanakan di Pasar Kutoarjo tepatnya di Kabupaten Purworejo
yang memiliki 263 pedagang kecil (Dikoperindagpar 2014). Banyaknya jumlah pedagang serta
ditunjang lokasi pasar yang dekat pusat pemukiman warga Kutoarjo menjadikan Pasar Kutoarjo
cukup ramai dan padat, baik pagi ataupun siang hari. Padatnya aktivitas ekonomi yang terjadi
didalam pasar tersebut menjadikan interaksi yang terjadi antar pelaku ekonomi semakin
kompleks dan heterogen. Begitupun dengan aspek permodalan para pedagang pasar yang banyak
menggunakan modal sendiri dan berhutang cenderung kepada rentenir (Nugroho 2001).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah: Bagaimana gambaran terbentuknya relationship lending antara rentenir dan pedagang
kecil di Pasar Kutoarjo berdasarkan ruang lingkup hubungan, jarak dari peminjam, frekuensi
kontak dan eksklusifitas pemberi pinjaman?
Tujuan penelitian ini adalah: Menganalisis gambaran terbentuknya relationship lending
antara rentenir dan pedagang kecil di Pasar Kutoarjo berdasarkan ruang lingkup hubungan, jarak
dari peminjam, frekuensi kontak dan eksklusifitas pemberi pinjaman. Manfaat penelitian yang
3
ingin dicapai adalah: (1) Bagi peneliti dan masyarakat umum, penelitian ini akan menambah
wawasan mengenai gambaran relationship lending yang dapat dikaji implementasinya pada
lembaga keuangan informal yang beroperasi di pasar tradisional (2) Bagi pemerintah, penelitian
ini dapat memberikan masukan mengenai perlunya aksesibilitas masyarakat pada lembaga
keuangan formal dan pentingnya pengawasan pada lembaga keuangan informal.
TELAAH PUSTAKA
Keputusan Pendanaan
Keputusan pendanaan menurut Suad dan Pudjiastuti (2006) adalah menyangkut
keputusan tentang bentuk dan komposisi pendanaan yang dipergunakan untuk usaha. Keputusan
ini merupakan keputusan manajemen keuangan dalam melakukan pertimbangan dan analisis
perpaduan antar sumber-sumber dana yang paling ekonomis bagi usahanya untuk mendanai
kebutuhan-kebutuhan baik untuk investasi serta kegiatan operasional usaha. Keputusan
pendanaan ini sering disebut juga sebagai kebijakan struktur modal (Harmono 2011). Pada
keputusan ini pemilik usaha dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari
sumber-sumber dana yang ekonomis bagi usahanya guna membelanjakan kebutuhan-kebutuhan
investasi serta usahanya.
Lembaga Keuangan Informal
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan seperti lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. Lalu sejak tanggal 8
Januari 2013 dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro yang akan menjadi diawasi oleh OJK. Di Indonesia lembaga ini terutama
beroperasi di pedesaan atau masyarakat kelompok bawah, umumnya prosedur serta perjanjian
peminjaman amat cepat, sederhana dan berdasarkan perjanjian lisan atau tertulis yang sederhana
(OJK 2014). Namun pada saat ini kondisinya, terjadi perubahan dimana selain lembaga
keuangan mikro hadir pula lembaga keuangan informal yang melakukan pemungutan dana pihak
ketiga dan menyalurkan dana tersebut untuk pihak ketiga pula. Sehingga atas hal ini peran OJK
sebenarnya sangat dibutuhkan.
Lembaga keuangan informal adalah lembaga yang menjalankan fungsi lembaga
keuangan namun tidak berlandaskan kekuatan hukum (Nugroho 2001). Bentuk-bentuk usaha
4
lembaga keuangan informal yang ada di Indonesia antara lain riba dan ijon. Usaha riba adalah
usaha memberi kredit dengan mengenakan bunga yang sangat tinggi, sehingga sering disebut
sebagai rentenir. Praktik ijon terjadi di kalangan petani, dimana pemodal memberikan dana
kepada petani, dengan syarat hasilnya nantinya harus dijual kepada pemodal. Yang menjadi
persoalan dalam praktik ijon adalah seringkali harga jual hasil petani sangat rendah dibanding
harga pasar yang berlaku.
Di satu sisi keberadaan lembaga keuangan informal ini amat menolong, karena
menjangkau kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal
(Sirait 2015). Di sisi lain biaya modal yang dibebankan kepada peminjam sangat tinggi.
Misalnya, jika melalui perbankan masyarakat dapat memperoleh kredit dengan bunga sekitar dua
sampai tiga persen per bulan, melalui riba beban bunga yang dipinjamkan lebih besar dari lima
persen per bulan. Sebenarnya ada juga lembaga keuangan informal yang tidak menjerat namun
umumnya kurang ekonomis untuk digunakan sebagai sumber dana usaha, yaitu lembaga arisan.
Relationship Lending
Keputusan pemberian pinjaman dan persyaratan pinjaman yang didasarkan pada
informasi atas usaha debitur, karakter dan kredibilitas debitur sebagai pemilik, serta informasi
lingkungan usaha debitur (Sihaloho 2011). Dalam relationship lending hubungan yang lebih kuat
antara kreditur dengan debiturnya menjadi keunggulan kompetitif rentenir sebagai lembaga
keuangan informal dibandingkan dengan bank besar ataupun lembaga keuangan formal lainnya
dalam menyalurkan kredit mikro dan kecil. Informasi terkait debitur dikumpulkan oleh rentenir
dari berbagai hasil pertemuan dengan debitur dalam jangka waktu tertentu baik yang diperoleh
dari orang-orang dilingkungan sekitar maupun dengan mengenal langsung debitur. Relationship
lending merupakan keputusan kredit yang didasarkan atas soft information yaitu informasi
mengenai karakter dan kredibilitas debitur yang mungkin agak sulit untuk dikuantisir atau
dilakukan standarisasi dan untuk dapat ditransfer kepada pihak lain di dalam suatu bank/kreditur
secara internal (Sunarto 2007). Hal lainnya yang masih terkait dengan pembiayaan mikro dan
kecil yaitu seperti dikemukakan oleh Uchida et al. (2007) bahwa peran bank kecil dan lembaga
keuangan informal masih tetap menjadi bank utama atau primary bank dalam pembiayaan sektor
mikro kecil dan belum dapat digantikan oleh bank besar untuk pemberian kredit yang didasarkan
pada hubungan kedekatan antara bank dengan debiturnya atau relationship lending.
5
Penyaluran kredit mikro dan kecil dengan menerapkan teknik pendekatan relationship
lending memiliki kelebihan yaitu akan berdampak kepada ketersediaan dana kredit dan biaya
(bunga) kredit yang diberikan. Berger et al. (2001) menambahkan bahwa melalui kedekatan
hubungan dapat mengatasi masalah asimetri informasi, karena dengan dasar kedekatan hubungan
tersebut maka informasi yang diperoleh akan lebih jelas antara kedua belah pihak serta dapat
menurunkan biaya (bunga) kredit menjadi lebih murah dan mempengaruhi ketersediaan dana
kredit menjadi lebih besar. Bahkan lebih dari itu debitur dapat dimungkinkan memperoleh
berbagai jasa keuangan lainnya yang diperlukan, selain perolehan pinjaman untuk modal
usahanya (Sunarto 2007). Hal ini sebagaimana disampaikan pula oleh Berger dan Udell (2002)
dari hasil studinya yang mengatakan:
”Under relationship lending, banks acquire information over time through contact with the firm,
its owner, and its local community on a variety of dimensions and use this information in their
dicisions about the availability and terms of credit to the firm. Recent empirical evidence provides
support for the importance of a bank relationship to small businesses in terms of both credit
availability and credit terms such as loan interest rates and collateral requirements.”
Lebih detail lagi Berger dan Udell (2002) menyatakan bahwa relationship lending secara
empiris berhubungan dengan tingkat bunga yang lebih rendah, mengurangi permintaan akan
jaminan atau collateral, pengurangan terhadap hutang dagang, perlindungan terhadap pergerakan
tingkat bunga, dan penambahan ketersediaan dana kredit. Berdasarkan penelitian lainnya dari
Berger et al. (2005) dikatakan bahwa bank besar di Amerika dalam proses persetujuan kredit
yang diajukan oleh calon debiturnya menggunakan pendekatan secara kuantitatif berdasarkan
penilaian atas laporan keuangan debitur. Hasil studi di Amerika tersebut, digunakan sebagai
rujukan oleh Uchida et al. (2007) untuk melihat penyaluran kredit berdasarkan relationship
lending di Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa lembaga keuangan berskala kecil di Jepang
dalam proses persetujuan kreditnya mengandalkan pendekatan atau relationship lending
berdasarkan informasi yang diperoleh dari para pihak-pihak terkait. Adapun hasil studi di Jepang
tersebut menghasilkan suatu temuan yang membuktikan bahwa lembaga keuangan berskala kecil
di Jepang juga menggunakan pendekatan relationship lending untuk menyalurkan kredit
SMEsnya, sebagaimana hasil studi Uchida et al. (2007) tersebut yang mengatakan:
“Our results indicate that small-scale creditors tend to have stronger relationships with their
borrowers (SMEs) in terms of the scope of relationship, the distance from the borrower, the
frequency of contact, and the exclusivity of lenders.”
Dengan kata lain lembaga keuangan berskala kecil memiliki keunggulan komparatif yaitu
strategi penyaluran kredit SMEs atas dasar hubungan kedekatan. Namun demikian, dari studi
6
yang sudah dilakukan dalam penerapan relationship lending membawa konsekuensi bagi
lembaga keuangan informal seperti rentenir untuk mampu memutuskan melalui soft information
dalam proses persetujuan kredit. Dalam hal ini, kredit yang disalurkan kreditur khususnya
rentenir didasarkan ruang lingkup hubungan, jarak dari peminjam, frekuensi kontak dan
eksklusifitas pemberi pinjaman. (a) Cakupan kedekatan hubungan antara kreditur dengan
debiturnya atau the scope of relationship, (b) Kedekatan lokasi antara kreditur dengan debiturnya
atau the distance from the borrower , (c) Frekuensi pertemuan antara kreditur dengan debiturnya
atau the frequency of contract, dan (d) Eksklusifitas lembaga keuangan sebagai kreditur atau the
exclusivity of lenders.
Ditinjau berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qodarini (2013), kreditur
khususnya rentenir menunjukkan interaksi yang intensif pada para nasabahnya serta memberikan
kesan yang baik terhadap para nasabah maupun calon nasabahnya. Kreditur memiliki cara yaitu
dengan menjalin hubungan yang erat dan kekeluargaan melalui “jemput bola” dengan
mengunjungi para nasabah maupun calon nasabahnya. Selain itu, mengajak berkomunikasi
secara informal dengan sistem kepercayaan menjadikan nasabahnya tidak lagi enggan untuk
meminta pinjaman walaupun dengan bunga yang relatif tinggi. Qodarini (2013) juga
menyebutkan mempertahankan fleksibilitas pinjaman merupakan suatu hal yang penting bagi
kreditur untuk menarik nasabahnya. Dalam hal ini, kreditur seperti rentenir memberikan
persyaratan tanpa jaminan, memperbolehkan menunggak pembayaran, dan sistem jemput bola.
Bahkan bila melunasi kredit tepat waktu terkadang nasabah memperoleh reward. Pada proses
angsuran pinjaman yang fleksibel tidak ada ketentuan jangka waktu pengembalian yang
mengikat serta dapat diangsur sewaktu-waktu, sehingga nasabah tidak terbebani dengan disiplin
pembayaran angsuran dan batas pengembalian serta pembebanan denda keterlambatan seperti
dalam sistem lembaga keuangan formal.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Studi ini berlangsung pada Pasar Kutoarjo. Data-data penting yang berhubungan dengan
penelitian akan diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara pada informan.
7
Jenis dan Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah
data yang didapat oleh penulis dengan turun langsung mencari informasi dengan teknik
wawancara terstruktur kepada informan yang mampu memberikan informasi yang akurat sesuai
dengan tujuan dalam penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
Ketertutupan aktivitas rentenir dengan nasabahnya terhadap pihak luar, dalam arti untuk
didekati dan diwawancarai secara formal, merupakan fenomena yang unik dan sensitif jika
dikaitkan dengan keuangan. Untuk itu, sebelum melakukan penelitian dilakukan observasi
terlebih dahulu di lokasi penelitian. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan metode analisis kualitatif melalui cara patisipatif. Metode analisis
deskriptif kualitatif adalah analisis yang digambarkan dengan menceritakan fenomena yang
terjadi pada subyek yang diamati. Dalam hal ini, peneliti terjun menyatu bersama rentenir dan
pedagang kecil sebagai informan. Sehingga dengan metode partisipatif, dapat mengeliminisasi
hal-hal yang dapat memicu masalah sensitif dari rentenir dan pedagang kecil yang akan diteliti.
Pendekatan penelitan yang digunakan adalah dengan cara pemahaman terhadap
fenomena yang terjadi. Pemahaman terhadap fenomena dan perilaku yang akan dijadikan
informan tidak sebatas tentang bagaimana masyarakat berperilaku, namun juga tentang makna
yang tersembunyi di dalamnya. Pemahaman makna yang bertransformasi ke wujud perilaku ini
dilakukan dengan cara pendekatan fenomenologis, dimana kajian tersebut menggunakan intuisi
sebagai sarana untuk mencapai kebenaran (Sulistiani 2008) Informan dipilih dengan cara
purposive sampling, dimana informan dipilih sesuai dengan kriteria-kriteria yang layak untuk
dijadikan sebagai informan.
1) Tiga rentenir (inisial (N), (K), (S))1
2) Enam pedagang kecil di Pasar Kutoarjo (inisial (P), (HD), (B), (HT), (KR), (J))
Untuk rentenir dipilih yang sudah melakukan usahanya >lima tahun dengan asumsi telah
memiliki banyak pengalaman dan informasi mengenai sistem pinjam-meminjam uang/barang di
Pasar Kutoarjo serta untuk nasabah yang dipilih adalah nasabah yang minimal sudah melakukan
usaha berdagang di Pasar Kutoarjo >dua tahun dan pernah meminjam rentenir >satu kali
sehingga memiliki banyak informasi terkait data yang dibutuhkan pada penelitian ini.
1
Identitas lengkap informan ada di peneliti
8
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian observasi
partisipatif, dimana peneliti terjun secara langsung di dalam kegiatan di pasar tersebut. Di selasela kegiatan tersebut, peneliti akan mengobservasi, dan mewawancarai subjek penelitian secara
terstruktur. Setelah data terkumpul, maka proses pengecekan dan validasi data untuk menunjang
konsistensi data terhadap fenomena dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Triangulasi, dimana teknik ini digunakan untuk menyocokkan data dengan cara
wawancara tak berstruktur dari berbagai sumber dalam waktu, tempat, dan orang yang
berbeda.
2) Peer Examination, dengan cara meminta bantuan kolega melalui diskusi untuk
memberikan komentar.
3) Audit trail, pengenalan terhadap lokasi penelitian.
4) Multi-side design, mengumpulkan seluruh data, termasuk juga yang terlibat sebagai
subjek penelitian, yaitu gender, usia, di berbagai tempat dan situasi. (Bungin 2011)
Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dilakukan
wawancara terstruktur ke pedagang kecil yang berlokasi di Pasar Kutoarjo berdasarkan kerangka
penelitian berikut:
Adapun pengukuran variabel dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Uchida et al.
(2007) adalah sebagai berikut:
Digunakannya instrumen pengukuran tersebut didasarkan pada penggunaan instrument
pengukuran ini dalam penelitian yang dilakukan Bank Indonesia (2009) sebagai bank sentral di
Indonesia.
9
Tabel 1
Pengukuran Relationship Lending
No
Variabel
Definisi
1
Ruang lingkup hubungan
(The scope of relationship)
Cakupan
kedekatan
hubungan antara kreditur
dengan debiturnya
2
Jarak dari peminjam
(The distance from the
borrower)
Kedekatan lokasi antara
bank dengan debiturnya
3
4
Frekuensi kontak
(The frequency of contact)
Ekslusifitas pemberi
pinjaman
(The exclusivity of lenders)
Frekuensi pertemuan antara
kreditur dengan debiturnya
Eksklusifitas
lembaga
keuangan sebagai kreditur
10
Indikator Empiris
Kedekatan hubungan antara rentenir dan
debitur (the scope of relationship) dapat
dibuktikan dengan:
- Pinjaman
diberikan
secara
bergilir. Atas pelunasan kredit
sebelumnya bisa mengajukan
kredit kembali dengan kenaikan
plafon
dan
jangka
waktu
pinjaman dapat lebih panjang.
- Adanya ketertarikan sosial yang
tinggi,
seperti: kepercayaan,
tenggang rasa, jaminan sosial, dll.
- Kreditur lebih mengenal kondisi
usaha debitur.
- Persyaratan pinjaman lunak/tanpa
jaminan, proses dan persetujuan
pinjaman lebih cepat dan mudah.
Kedekatan jarak lokasi kreditur dengan
debitur (the distance from the borrower)
dibutktikan melalui:
- Sistem pinjaman debitur yang
dibangun atas dasar kedekatan
lokasi tempat tinggal, kesamaan
profesi/usaha/gender, kedekatan
kelompok usia, kelompok arisan,
dll.
- Rentenir yang berada dilokasi
sama dengan tempat usaha
debitur, misal rentenir di pasar.
Frekuensi pertemuan antara debitur dengan
kreditur (the frequency of contact)
dibuktikan melalui:
- Sistem “jemput bola” yang
dilakukan oleh rentenir untuk
penarikan angsuran pinjman
secara harian, mingguan, bulanan,
musiman atau sesuai kesepakatan.
Umumnya
waktu
penarikan
angsuran pinjaman dapat juga
digunakan sekaligus untuk proses
pengajuan/persetujuan kredit.
Jumlah pemberi pinjaman per debitur (the
exclusivity of lenders) dibuktikan melalui:
- Debitur meminjam kepada satu
kreditur saja.
- Debitur memperoleh kredit baru
atas kredit lamanya yang lunas
atau bisa simultan dengan kredit
lama dari kreditur yang sama.
-
-
Fasilitas kredit (diluar modal
kerja) yang ditawarkan oleh
kreditur kepada debitur yang
dapat melunasi pinjaman selalu
secara tepat waktu.
Pemberian rewards atau potongan
bunga kepada debitur yang dapat
melunasi pinjaman sebelum jatuh
tempo atau lebih cepat.
Sumber: Uchida, Udell, Watanabe, 2007
Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Moleong (2002) merupakan proses mengatur urutan data,
kemudian mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan urutan dasar.
Sedangkan menurut Bogdan & Biklen bahwa “Analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensistensikanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain” (Moleong
2005).
Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik analisa data dari Miles dan Huberman
yaitu interactive mode. Dengan mengunakan penelitian kualitatif. Data-data yang telah didapat
kemudian diklarifikasikan ke dalam tabel-tabel. Untuk kemudian dianalisa menggunakan proses
penalaran secara ilmiah, penuturan, penafsiran, perbandingan dan kemudian penggambaran dari
yang terjadi secara apa adanya, guna mengambil kesimpulan dan memberikan saran-saran
dengan cara menguraikan dengan kata-kata. Pada metode analisa data ini terdiri tiga komponen
yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian
kesimpulan (drawing and verifying conclusions). (Pawito 2007)
Analisis Data Model Interaktif dari Miles dan Huberman
11
Keterangan :
1. Reduksi data (data reduction). Disini, peneliti mengumpulkan informasi-informasi yang
penting yang terkait dengan masalah penelitian, dan selanjutnya mengelompokkan data atau
pengumpulan data tersebut sesuai dengan topik masalahnya.
2. Penyajian data (data display). Data yang terkumpul dan telah dikelompokkan itu kemudian
disusun sistematis sehingga peneliti dapat melihat dan menelaah komponen-komponen penting
dari sajian data.
3. Penarikan dan pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions). Pada tahap ini,
peneliti melakukan interpretasi data sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan penelitian.
Dari interpretasi yang dilakukan akan diperoleh kesimpulan dalam menjawab masalah penelitian.
Untuk menghindari adanya perbedaan pemahaman atau informasi yang diberikan antara
informan (tiga rentenir dan enam nasabah) maka peneliti pada akhir penelitian dilakukan
triangulasi dengan metoda member check yang merupakan proses uji pemahaman dan
pengecekan data yang dilakukan oleh peneliti kepada informan dengan tujuan untuk mengetahui
seberapa jauh data yang diperoleh telah sesuai dengan yang disampaikan oleh informan. Uji
keabsahan atau validitas ini dilakukan dengan cara mengonfrimasi kembali kepada informan
untuk memastikan kembali hasil akhir penelitian terkait dengan informasi yang telah informan
berikan sebelumnya dalam proses wawancara. Latar belakang rentenir dan nasabah yang menjadi
informan juga ditanyakan agar memperoleh informasi yang menyeluruh tentang identitas
mahasiswa. Selanjutnya hasil wawancara diketik dan dianalisis lebih lanjut.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Dari Ruang Lingkup Hubungan
Mengacu pada hasil wawancara dengan informan ditinjau berdasarkan ruang lingkup
hubungan maka menunjukkan bahwa pedagang kecil di Pasar Kutoarjo cenderung memilih
rentenir yang merupakan lembaga keuangan informal dikarenakan alasan peminjaman yang
mudah, cepat, tanpa agunan, tanpa biaya potongan (biaya administrasi, materai, dll), bahkan
dikarenakan sudah mengenal lama dengan rentenir, nilai pinjaman bebas dan bayar angsuran bisa
bolong dengan pertimbangan tertentu. Nilai pinjaman yang diberikan rentenir kepada
nasabahnya menyesuaikan dengan kebutuhan nasabah dan jangka waktu pembayaran angsuran
yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama antara rentenir dan nasabah. Rentenir di Pasar
12
Kutoarjo diminati oleh pedagang kecil dikarenakan peminjaman melalui bank harian (koperasi,
BMT, dll) tidak perlu mengenal terlebih dahulu tapi prosesnya cukup berbelit (FC KTP, tidak
langsung cair dananya, potongan adminsitrasi, dsb). Ketika memberikan pinjaman kepada
nasabah rentenir melihatnya tanpa kriteria khusus, hanya bermodal kepercayan. Bahkan nilai
pinjaman yang diberikan maksimal bisa mencapai Rp 20.000.000 tanpa jaminan apapun.
Sehingga first impression dijadikan informasi pertama kali rentenir memberikan kredit ketika
belum mengenal nasabahnya. Dalam hal ini, rentenir mengutamakan intuisi sebagai sumber
utama melakukan analisis kredit.
Pada transaksi pinjam meminjam dana, rentenir akan selalu berhadapan dengan risiko
gagal bayar (default risk). Risiko terjadi ketika debitur tidak membayarkan bunga (imbal jasa)
atau bahkan tidak mengembalikan pokok pinjaman sebagaimana yang tertera di perjanjian awal
yang disepakati bersama. Upaya untuk meminimalkan default risk dimulai dari tahap analisis
kredit. Dalam praktik perbankan pada umumnya calon debitur dianalisis dalam hal character,
capacity, capital, collateral, condition (5 C’s) untuk menentukan apakah calon debitur tersebut
layak mendapatkan kredit. Sedangkan dari pendekatan manajemen risiko, dalam dunia
perbankan dikenal metode kualitatif untuk mengukur risiko calon debitur. Dalam penerapan
motode tersebut dibutuhkan semua informasi mengenai calon debitur (termasuk mengenai 5 C’s)
yang berupa data laporan keuangan dan semua informasi yang bisa diperoleh. Setelah itu,
berdasarkan kumpulan informasi tersebut seorang banker dengan menggunakan keahliannya
akan memutuskan tingkat risiko dari calon debitur. Ketepatan analisis tersebut sangat tergantung
dari pengalaman dan bersifat sangat subyektif. Tahap akhir dari metode qualitative ini, bisa
disamakan dengan ‘metode analisis’ pelaku rentenir dalam menentukan ‘kelayakan’ calon
nasabahnya. Pada praktik rentenir, meskipun calon peminjam tidak mempunyai informasi
laporan keuangan atau data tertulis yang menunjang pengambilan keputusan oleh rentenir
mengenai disetujui atau tidak permintaan pinjaman, seorang rentenir tetap melakukan ‘analisis
kredit’. Analisis kredit dilakukan berdasarkan ‘intuisi’ untuk ‘membaca’ kesungguhan dan
karakter dari peminjam. Keahlian menganalisis dengan memakai intuisi didapat berdasarkan
pengalaman dan terasah dengan semakin seringnya berinteraksi dengan para peminjam. Seperti
yang diceritakan oleh rentenir berinisial (K) sebagai berikut:
“Menawi ningali rupane tiyang mawon, rupane tiyang nakal kalih mboten kulo sampun ngerti,
saestu cirine nang moto. Mulae sing sae nopo mboten nggih, dados njenengan ngutangaken
dhuwik, sampean tangleti riyin. Sampean tingali saestu, maksude sing saestu, saestu-saestu
tiyang niki ndlewer nopo mboten. Maksude delewer niku tiyang niki temen, temen-temen nyelang
13
awak iki, mbujuki opo ora. Kalih yen bahasa jawine taksih kenthel niku rata -rata taksih lugu.
(melihat wajah orang tersebut saja, wajahnya orang nakal dan tidak saya tahu, sungguh cirinya
terletak pada mata. Lha iya, pada mulanya yang enak atau tidak ya, jadi [misalnya] Anda
meminjami uang, anda beri pertanyaan terlebih dahulu. Anda lihat sungguh-sungguh,
maksudnya sungguh-sunguh, sungguh-sungguh bahwa orang ini ndhelewer atau tidak.
Maksudnya itu orang tersebut betul-betul pinjam kepada kita, berbohong atau tidak)”. Apabila
masih pandai berbahasa jawa rata-rata masih jujur.
Dari pengalaman rentenir (K), ciri dari seseorang yang bersungguh-sungguh untuk
mendapatkan dana dapat dilihat dari mata calon nasabah tersebut. Sehingga dengan intuisi
tersebut risiko dapat terminimalisir. Selain itu, rentenir (K) juga melihat tanda-tanda lain
terhadap calon nasabah.
“Kulo yen rupane tiyang sampun gawe ragu-ragu, ningali mawon niku mboten wani ngutangi
dhuwik. Lha kulo kathah sing ilang riyin niku. Lha niku tiyang pinter! Oleh utangan emoh nyaur.
Benten tiyang pinter rupanya ragu-ragu”. (melihat yang demikian tidak usah diberi dana. Saya
banyak kehilangan dahulu itu. Lha itu yang disebut dengan orang pinter! Dapat hutangan tidak
mau membayar. Berbeda antara orang pinter dan orang ngerti iku, harus teliti dan waspada).
Pengakuan informan pelaku rentenir tersebut menjelaskan bahwa proses analisis kredit
yang dilakukan ditekankan pada analisis karakter. Seperti halnya pada lembaga keuangan formal,
faktor karakter nasabah menjadi faktor kunci untuk memutuskan kelayakan kredit, dalam arti
meskipun dari faktor jaminan, kapasitas, dan modal seorang nasabah layak mendapatkan kredit,
namun jika karakternya memungkinkan untuk melakukan moral hazard maka penilaian akhir
danggap tidak layak mendapatkan kredit. Sedangkan pada lembaga keuangan informal (rentenir),
salah satu alasan mengapa faktor karakter yang menjadi dasar pemberian kredit, karena pada
umumnya nasabah tidak memiliki kemampuan dalam hal permodalan maupun jaminan.
Sehingga penilain kelayakan kredit didasarkan pada karakter dan kapasitas. Kapasitas nasabah
didasarkan pada profesi atau mata pencaharian sebagai pedagang, atau bisa dikatakan
keberadaannya sebagai pedagang memungkinkan nasabah untuk mempunyai sumber
pengembalian pinjamannya. Namun tetap kunci terakhir ada pada hasil penilaian pada karakter
nasabah. Informasi mengenai karakter nasabah digali bukan dengan pertanyaan yang mendetil
ataupun rekam jejak dari lembaga keuangan lain, namun dilakukan dengan mengandalkan intuisi
dan tanda-tanda (gesture) dari nasabah (Hamka dan Danarti 2010).
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Berdasarkan Jarak Dari Peminjam
Berdasarkan kedekatan lokasi antara kreditur dengan debiturnya, informasi yang
diperoleh dari informan bahwa nasabah yang mayoritasnya pedagang kecil lebih memilih
pinjaman dari rentenir dikarenakan
transaction cost yang dicermati (lost sales, time,
14
transportation cost) karena tidak perlu meninggalkan dagangan, hemat biaya dan waktu. Selain
itu, mempermudah nasabah dalam membayar angsuran pinjaman dan mempermudah rentenir
untuk mengambilnya langsung ke tempat lokasi berjualan. Seperti yang dikatakan oleh rentenir
(N) sebagai berikut:
“Kulo ya gampang ngambil angsuran, sing ngutang ya gampang mbayar angsuran dadi ora perlu
ngeterke neng omahku. Kuwi kepenake nek usahane nggone cedhakan podo-podo neng Pasar
Kutoarjo”. (Saya lebih mudah untuk mengambil angsuran dan yang mengambil kredit lebih
mudah dalam membayarkan angsuran karena tidak perlu repot-repot mengantarkan angsuran ke
rumah saya. Usaha sama-sama di Pasar Kutoarjo).
Ketika nasabah memerlukan pinjaman dana maka pada saat itu dana yang dibutuhkan
dapat langsung diberikan sang rentenir kepada nasabah karena usaha yang sama dalam satu
lokasi Pasar Kutoarjo. Salah satu fleksibilitas dari rentenir adalah tercermin dari pada jam berapa
mereka beraktivitas dan memiliki kesesuaian waktu dengan pedagang tradisional. Selain itu,
terdapat jejaring yang telah terbangun dengan nasabahnya yang mayoritas pedagang. Hal
tersebut yang menjadikan rentenir semakin diminati. Hampir setiap hari rentenir akan bertemu
dengan nasabah yang mengambil pinjaman karena lokasi usaha yang sama yaitu di Pasar
Kutoarjo, selain itu rentenir semakin dimudahkan ketika akan melakukan penaksiran pinjaman
yang akan diberikan karena mengetahui langsung lokasi berjualan sang nasabah dan jenis usaha
yang dijalankan. Sistem pinjaman kepada debitur yang dibangun atas dasar kedekatan lokasi
tempat usaha dan kedekatan hubungan yang terjalin. Dalam hal ini, dengan dana pinjaman yang
diterima debitur karena kedekatan tersebut maka dapat membantu memudahkan debitur untuk
mengelola usahanya dan hasilnya untuk penghidupannya. Bahkan bagi debitur yang berkualitas
dapat dimungkinkan untuk diberikan penawaran kredit lainnya diluar modal kerja yang dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya yang
mendesak yang mana pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.
(Yustika 2010)
Dalam observasi dan wawancara ditemukan pula fakta baru bahwa ketika ditinjau dari
jarak peminjam maka terdapat beragam jenis rentenir yang beraktivitas di dalam pasar. Pada
komposisi dari jenis-jenis rentenir yang beroperasi di pasar ditunjukkan bahwa rentenir terbagi
menjadi dua berdasarkan posisi usaha yang dijalankan di Pasar Kutoarjo, yaitu: pertama, rentenir
dari intern pasar dimana aktor yang berperan memiliki usaha lain di pasar sendiri, kedua, rentenir
yang berasal dari ekstern pasar. Di dalam penelusuran jejak rentenir, berhasil ditemukan
karakteristik dari masing-masing rentenir yang pelakunya dari internal pasar maupun dari
15
eksternal. Pada umumnya, jenis rentenir yang berada di dalam pasar merupakan wujud dari
optimalisasi sumber daya finansial para pedagang dalam mencari keuntungan, rentenir (N)
memilliki usaha pengisian air minum dan laundry di sekitar Pasar Kutoarjo dan rentenir (K)
memiliki usaha berjualan snack di Pasar Kutoarjo. Dimana rentenir yang berasal dari intern,
pekerjaan utamanya adalah berdagang dan praktik ‘bank thithil’ yang dilakukan hanya sebagai
kegiatan off-trading. Pada dasarnya semua rentenir ditinjau berdasarkan besar kecilnya modal
yang dimiliki mempunyai kesempatan untuk menjalankan kegiatan off trading sebagai rentenir.
Kondisi tersebut didorong oleh intensnya interaksi antar pedagang yang kemudian secara
alami membentuk jaringan, sehingga memudahkan terjadinya transaksi dana di antara rentenir
dan nasabah. Sekedar informasi dalam observasi ditemukan pula bahwa di Pasar Kutoarjo ada
yang dikenal bank harian yang mengaku sebagai pegawai koperasi, BMT ataupun BPR. Namun,
dilapangan pinjaman yang ditawarkan bank harian kurang diminati pedagang kecil yang diwakili
dari informan karena pinjaman yang diterima tidak utuh (dipotong biaya adminitrasi, materai,
dsb). Dari informasi diatas terdapat fakta perihal ‘pinjam bendera’ yang dilakukan oleh bank
harian dengan meminjam nama dari suatu koperasi, BMT ataupun BPR tempat dia menyimpan
dananya, untuk kemudian digunakan sebagai cara untuk memudahkan bank harian beroperasi
menawarkan kredit di Pasar Kutoarjo agar tidak kalah bersaing dengan rentenir.
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Dari Frekuensi Kontak
Dari hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa frekuensi pertemuan antara
rentenir dan nasabahnya lebih sering berdasarkan kesepakatan yang dibuat ketika awal
mengambil kredit, karena rentenir memiliki fasilitas pinjaman yang bisa dibayarkan harian
ataupun mingguan. Tetapi mayoritas pedagang kecil Pasar Kutoarjo yang mengambil kredit di
rentenir lebih memilih mengambil kredit pinjaman secara harian dikarenakan dirasa lebih ringan
dalam pembayaran angsurannya, serta rentenir hampir setiap hari melakukan sistem “jemput
bola” kepada para nasabahnya sehingga itu yang semakin dirasakan memudahkan (Hari 2009).
Hal pokok yang membedakan rentenir di Pasar Kutoarjo dari bank harian yang merupakan dari
eksternal Pasar Kutoarjo adalah rentenir berinteraksi secara intens dan lebih ramah dengan para
nasabah yang mayoritas pedagang disekitarnya. Rentenir yang setiap harinya bertransaksi di
dalam pasar akan mudah berinteraksi dengan yang lain. Interaksi tersebut bisa dilakukan dengan
mudah karena rentenir tersebut sudah dikenal baik oleh pedagang yang berbaur dalam aktivitas
pasar, sehingga bisa leluasa berinteraksi dengan pedagang meskipun bukan nasabahnya. Posisi
16
pedagang yang bukan nasabah hakikatnya adalah sebagai nasabah potensial bagi rentenir karena
hubungan di antara mereka terjalin sehari-harinya. Rentenir menjadikan jejearing sebagai
instrumen untuk mendapatkan dan mempertahankan nasabahnya.
Berbeda dengan bank harian, karena bank harian tersebut jarang terlihat berbaur dengan
pedagang setempat. Mereka hanya menarik “harian” kepada pedagang yang menjadi nasabahnya
kemudian pergi tanpa berbincang-bincang dengan pedagang yang lain. Kredit yang ditawarkan
pun sangat procedural sekali, sehingga menjdikan bank harian kurang diminati pedagang di
Pasar Kutoarjo. Keterbatasan interaksi tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana cara
memperluas jaringan yang ada di pasar. Padahal untuk mendapatkan nasabah, membuat jaringan
dengan pedagang yang ada di dalam pasar merupakan faktor yang penting. Seperti yang
dijelaskan oleh pedagang berinisal (HT) penjual sayuran yang berjualan di lokasi pasar yang
menaruh barang dagangannya di trotoar Jalan MT Haryono, sebagai berikut :
“Menawa badhe ngampil arta saking Bu (S) niku gampil Mas, benten sanget ka lih ngampil arta
saking bank harian …ngono iku Bu (S) gelem srawung karo konco-konco, nek bank harian sing
neng Pasar Kutoarjo jarang srawung, dadi males meh njupuk jilihan merga penak neng Bu (S)
barang…”.
Dengan demikian jelas bahwa ‘aturan main’ yang berlaku bagi para pedagang untuk
mengakses “kreditan pasar” disyaratkan untuk memiliki suatu jaringan tertentu terhadap
pedagang lain yang mempunyai akses langsung kepada rentenir. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Yustika (2006), dimana untuk memasuki kelembagaan tersebut harus memiliki
jaringan tertentu untuk menembus eksklusivisme dari sifat rentenir, karena di dalam
kelembagaan itu sendiri terdapat larangan-larangan (prohibitions) dan persyaratan-persyaratan
(conditional permission).
Gambaran Relationship Lending Berdasarkan Eksklusifitas Pemberi Pinjaman
Dalam wawancara kepada informan menunjukkan berdasar eksklusifitas lembaga
keuangan informal sebagai kreditur, menunjukkan bahwa semua nasabah yang menjadi informan
pernah memperoleh pinjaman dari kreditur lainnya, baik itu dengan meminjam kepada kreditur
lain sesama rentenir, bank harian ataupun bank konvensional. Semua pedagang kecil memiliki
rentenir langganan yang memang dijadikan langganan ketika membutuhkan pinjaman. Nasabah
yang merupakan pedagang berinisal (P) dan (HD) merupakan langganan dari rentenir berinisal
(N), pedagang berinisial (B) dan (K) merupakan langganan rentenir berinisal (K), pedagang
berinisial (HT) dan (J) langganan dari rentenir berinisial (S). Semua rentenir yang menjadi
17
informan memang menawarkan pinjaman kredit yang meringankan dikarenakan nasabah dapat
memperoleh kredit baru atas kredit lamanya yang belum lunas. Hanya saja untuk pinjaman yang
diberikan rentenir (N) diketahui bahwa ada potongan Rp 100.000,- bila pinjaman sebelumnya
belum lunas sebagai biaya default risk, sedangkan untuk rentenir (K) dan (S) tidak ada potongan
apapun sehingga pinjaman yang diterima diberikan full dengan bunga yang dikenakan tetap
ngrolasan. Untuk fasilitas kredit yang diberikan untuk rentenir (N) dan (K) hanya memberikan
kredit berupa uang saja, tetapi rentenir (S) melayani juga kredit berupa uang dan barang. Ketika
memasuki hari raya lebaran dikarenakan mayoritas nasabah beragama muslim, maka dari
rentenir akan memberikan rewards kepada nasabahnya yang nilainya berbeda-beda ditinjau
berdasarkan jumlah pinjaman yang pernah diambil, tetapi berdasarkan informasi yang diperoleh
dari informan baik nasabah ataupun rentenir menunjukkan nilai rewards yang diberikan berupa
THR Rp 50.000 – Rp 250.000. Ada salah satu nasabah yaitu pedagang (P) yang pernah
mendapatkan THR berupa lemari kayu jati dari rentenir (N) karena dirasa sang rentenir sudah
langganan kurang lebih 5 tahun dengan nilai pinjaman minimal Rp 1.000.0000. Rentenir yang
berada di Pasar Kutoarjo dirasakan pedagang kecil yang menjadi informan dalam penelitian ini
sangat membantu aktivitas berdagang nasabahnya karena ketika membutuhkan pinjaman akan
langsung cair .
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
1. Relationship Lending ditinjau dari ruang lingkup hubungan menunjukkan rentenir yang
merupakan lembaga keuangan informal diminati pedagang kecil di Pasar Kutoarjo
dengan alasan peminjaman yang mudah, cepat, tanpa agunan, tanpa biaya potongan
(biaya administrasi, materai, dll), bahkan dikarenakan sudah mengenal lama dengan
rentenir, nilai pinjaman bebas dan bayar angsuran bisa bolong dengan pertimbangan
tertentu. Rentenir mengutamakan intuisi sebagai sumber utama melakukan analisis kredit
dengan ‘membaca’ kesungguhan dan karakter dari peminjam berdasarkan tanda-tanda
(gesture).
2. Relationship Lending ditinjau berdasarkan jarak dari peminjam diketahui bahwa nasabah
yang mayoritasnya pedagang kecil lebih memilih pinjaman dari rentenir dikarenakan
transaction cost yang dicermati (lost sales, time, transportation cost) karena tidak perlu
18
meninggalkan dagangan , hemat biaya dan waktu. Lokasi usaha yang sama di Pasar
Kutoarjo menjadikan proses pembayaran angsuran nasabah kepada rentenir dirasakan
menjadi lebih mudah serta mempermudah rentenir pula untuk mengambil angsuran
langsung ke tempat lokasi berjualan nasabah.
3. Relationship Lending ditinjau berdasarkan frekuensi pertemuan antara rentenir dan
nasabah menunjukkan kalau mayoritas pedagang kecil Pasar Kutoarjo yang mengambil
kredit di rentenir lebih memilih mengambil kredit pinjaman secara harian dikarenakan
dirasa lebih ringan dalam pembayaran angsurannya, serta rentenir hampir setiap hari
melakukan sistem “jemput bola” kepada para nasabahnya sehingga hal itu yang dirasa
memudahkan oleh nasabah.
4. Relationship Lending ditinjau berdasarkan eksklusifitas lembaga keuangan informal
sebagai kreditur, menunjukkan bahwa semua nasabah yang menjadi informan pernah
memperoleh pinjaman dari kreditur lainnya, baik itu dengan meminjam kepada kreditur
lain sesama rentenir, bank harian ataupun bank konvensional. Selain itu, nasabah yang
sudah berlangganan kredit pada rentenir mendapatkan rewards dalam bentuk THR
dengan nilai yang berbeda-beda.
Implikasi Terapan
1. Berdasarkan hasil penelitian, fakta empiris mendukung statement OJK bahwa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 menunjukkan apabila di Indonesia
lembaga keuangan informal banyak beroperasi di pedesaan atau masyarakat kelompok
bawah, umumnya prosedur serta perjanjian peminjaman amat cepat, sederhana dan
berdasarkan perjanjian lisan atau tertulis yang sederhana. Untuk itu, bagi lembaga
keuangan formal apabila hendak melayani segmen tersebut hendaknya mampu untuk
terus melakukan penyesuaian agar dapat terus bersaing dengan lembaga keuangan
informal.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini seharusnya pemerintah mempermudah urusan-urusan
peminjaman bagi masyarakat kelompok bawah dengan mempermudah prosedur
peminjaman dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan beroperasi dari lembaga
keuangan informal khususnya rentenir.
19
Saran Untuk Penelitian Mendatang
1. Melakukan analisis dengan penghitungan menggunakan rasio-rasio keuangan untuk
menentukan skala manajemen risiko dari rentenir dalam memberikan kredit kepada
nasabah.
2. Melakukan analisis pada keputusan kredit dari lembaga peminjaman lainnya seperti bank,
BMT, koperasi dan sebagainya yang beroperasi di pasar tradisional dengan
membandingkan tiap lembaga peminjaman serta dilihat pula prosedur-prosedur
peminjaman yang ditetapkan.
Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini belum memasukkan kalkulasi antara kredit yang diberikan lembaga
keuangan informal dan lembaga keuangan informal.
2. Tidak tersedianya data tentang jumlah rentenir yang beroperasi di Pasar Kutoarjo dan
sifat data yang confidential sehingga menimbulkan kesulitan mencarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 2011. Pranata Gadai Sebagai Alternatif Pembiayaan Berbasis Kekuatan Sendiri
(Gagasan Pembentukan UU Pergadaian). Universitas Padjajaran.
Anonim.
2013.
Perlu
Dana
Mendesak,
Jangan
Pinjam
Ke
Rentenir.
http://www.neraca.co.id/article/33713/Perlu-Dana-Mendesak-Jangan-Pinjam-Ke-Rentenir
Arthesa, A. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta: Indeks.
Badan Pusat Statistik. 2016. Jumlah Koperasi Aktif Menurut Provinsi. Diunduh 21 Juni 2016,
dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1314
Bank Indonesia. 2009. Peranan Bank Indonesia di Dalam Mendukung Pengembangan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK).
Berger, A.N., Leora F.K, and G.F. Udell. 2001. The Ability of Banks to Lend Informally Opaque
Small Business, Journal of Banking & Finance 25, 2127-2167.
Berger, Allen N., and Gregory F. Udell. 2002. Small Business Credit Availability and
Relationship Lending: The Importance of Bank Organizational Structure. The Economic
Journal, Vol.112, pp. 32-53.
20
Berger, A. N., Miller, N.H., Petersen, M.A., Rajan, R.G., and Stein, J.C. 2005. Does Function
Follow Organizational Form ? Evidence From The Lending Practices of Large and
Small Banks. Journal of Financial Economics, Vol. 76, pp. 237-269.
Bungin, B. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Social
Lainnya. Jakarta: Kencana.
Cole, R.A., Goldberg, L.G., & White, L.J. 2004. Cookie-Cutter Versus Character: The Micro
Structure of Small-Business Lending by Large and Small Banks. Journal of Financial and
Quantitative Analysis, Vol. 39, pp. 227-251.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
______. 2006. Sosiologi Uang. Padang: Andalas University Press
David, F. 1978. The Philosophy of Money. Library of congress catalog in publication data.
Dinas Pengelolaan Pasar Kabupaten Purworejo. 2014. Data Potensi Pasar Kabupaten Purworejo.
Purworejo
Hadiwiyono. 2011. Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor.
Skripsi Tidak Diterbitkan. Bogor. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Hamka, A.A., dan T. Danarti. 2010. Eksistensi Bank Thitil dalam Kegiatan Pasar Tradisional
(Studi Kasus di Pasar Kota Batu). Journal of Indonesian Applied Economics, Vol. 4, (No.
1): 58-70.
Hari, J.F. 2009. Dampak Kredit Kredit Rentenir Terhadap Kesejahteraan Pedagang Pasar
Tradisional dalam Tinjauan Ekonomi Islam, Skripsi, Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang.
Harmono. 2011. Manajemen Keuangan Berbasis Balanced Scorecard Pendekatan Teori, Kasus,
dan Riset Bisnis (Edisi 1). Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayat dan Fadillah. 2014. ”Pengaruh Penyaluran Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) Dan Pendapatan Operasional Terhadap Laba Operasional (Kasus Pada PT Bank
Jabar Banten, Tbk.). Universitas Siliwangi.
Kartono, D.T. 2004. Pasar Modal Tradisional (Analisis Sosiologi Ekonomi Terhadap Rentenir).
Vol.17, (No.1) : 1-9.
Marcellina. 2012. “Analisis Dampak Kredit Mikro Terhadap Perkembangan Usaha Mikro Di
Kota Semarang (Studi Kasus : Nasabah Koperasi Enkas Mulia)”. Universitas
Diponegoro.
21
Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Band
RENTENIR
Ardi Surya Satria Ridwan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
[email protected]
Apriani Dorkas Rambu Atahau
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
[email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe formation of relationship lending between moneylenders
and small traders in the Pasar Kutoarjo by the scope of the relationship, the distance from the
borrower, the frequency of contact and the exclusivity of lenders. This study uses primary data
from moneylenders and small traders in Pasar Kutoarjo and analysed qualitatively. The results
show that relationship lending in terms of the scope of the relationship, the distance from the
borrower, the frequency of contact and the exclusivity of lenders between moneylenders and
small traders in the Pasar Kutoarjo developed well. It supports the characteristics of
microfinance institution as stated by financial service authority (OJK) pursuant Act number
1/2013 in terms of simple, quick and non written general procedures and loan agreement.
Keywords: money lenders, relationship lending, informal financial institution, analysis
PENDAHULUAN
Kehadiran pedagang kecil merupakan salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan
pertumbuhan pengunjung di suatu pasar tradisional. Pedagang kecil di pasar-pasar tradisional
mampu bertahan di tengah krisis yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1998, dan bahkan
sampai sekarang. Yustika (2010) mengatakan bahwa pada tahun 2011 UMKM menyumbang 56
persen dari total PDB di Indonesia, tidak terkecuali pedagang kecil di pasar-pasar tradisional.
Dengan adanya pedagang kecil di pasar-pasar tradisional juga mampu mengurangi pengangguran
karena banyak menyerap tenaga kerja. Perkembangan usaha oleh pedagang kecil masih
terhambat sejumlah persoalan, yang ditinjau dari dua faktor. Pertama, faktor internal yaitu lemah
pada segi permodalan, produksi, pemasaran, dan sumber daya manusia. Kedua, faktor eksternal
berupa masalah yang muncul dari pihak pengembang dan pembinaan bagi pedagang kecil.
1
Namun demikian, berdasarkan penelitian Bank Dunia yang telah melakukan kajian terkait
dengan alternatif sumber dana dalam format yang disebut Global Financial Index (Global
Findex) tahun 2012 terungkap “hanya 32 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses ke
perbankan”. Akses disini dapat diartikan dalam fungsi untuk tujuan simpanan dan kredit. Kondisi
ini diperkirakan berkaitan dengan suburnya pertumbuhan lembaga keuangan informal atau biasa
disebut rentenir di daerah pasar-pasar pedesaan. (World Bank 2014).
Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Nugroho (2001) yang menyatakan bahwa
mayoritas pedagang kecil mengandalkan kredit dari lembaga keuangan informal yang mudah
tanpa syarat dan jaminan. Sebaliknya Wahyudi (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa
kebijakan perbankan Indonesia cenderung rumit untuk pedagang berskala kecil. Keengganan
perbankan untuk menyalurkan kredit kepada pedagang kecil karena bertujuan untuk mengurangi
risiko kredit macet, hal ini pada gilirannya menyebabkan pedagang kecil memilih melakukan
kredit melalui tawaran lembaga keuangan informal yang dikenal dengan istilah rentenir
(Nugroho 2001). Meskipun dengan stereotipe masyarakat tentang rentenir sebagai lintah darat
yang mengeksploitasi pedagang kecil dengan cara menarik bunga yang sangat tinggi dan
dibukanya kredit lunak jangka pendek, ternyata tidak mengurangi minat masyarakat untuk
meminjam kredit pada rentenir (Hari 2009). Rentenir sebagai lembaga informal di pasar-pasar
pedesaan mudah membangun jaringan mulai dari mulut ke mulut sampai iklan yang beredar di
jalan-jalan untuk mempromosikan usahanya sehingga memiliki banyak nasabah dengan
persyaratan mudah, pencairan yang cepat dan tanpa jaminan (Qodarini 2013).
Kondisi yang ditemui pada pedagang kecil di Pasar Kutoarjo adalah citra rentenir di
kalangan pedagang kecil sudah mulai meluntur karena terjalinnya keakraban antara pedagang
kecil dengan rentenir, serta rentenir di Pasar Kutoarjo yang lebih diminati sebagai sumber
memperoleh kredit dibandingkan lembaga keuangan lainnya dan dianggap sebagian pedagang
kecil sebagai penolong. Hal tersebut ditunjukkan dengan pedagang kecil di Pasar Kutoarjo yang
menjadi mudah menerima keberadaan rentenir meskipun menawarkan kredit dengan bunga
kredit cukup tinggi. Bunga yang dibebankan rentenir di Pasar Kutoarjo kepada nasabahnya
berkisar antara 10 sampai 20 persen per pinjaman serta melunasi kreditnya berdasarkan
kesepakatan bersama antara pedagang kecil dan rentenir, baik dengan sistem harian, mingguan
atau bulanan. Istilah yang digunakan rentenir untuk menunjukkan tingkat bunga, biasanya
disebut dengan “nyewelasan” yang berarti sebelasan untuk menyebutkan tingkat bunga kredit
2
senilai sepuluh persen. Hal ini dikarenakan setiap kredit sebesar Rp 1.000.000 maka nasabah
harus mengembalikan sebesar Rp 1.100.000. Atau “ngrolasan”, berarti ditunjukkan dengan dua
belasan untuk tingkat bunga kredit yaitu dua puluh persen, karena dengan kredit yang sama,
nasabah harus mengembalikan uang sebesar Rp 1.200.000.
Ditinjau dari penelitian sebelumnya, lebih banyak penelitian yang fokus kepada
pendekatan kredit di lembaga keuangan formal. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh
Cole et al. (2004) dan Morduch (1999) menyatakan bahwa ada perbedaan pendekatan yang
digunakan oleh bank besar dan bank kecil dalam proses evaluasi persetujuan aplikasi kredit
mikro dan kecil. Disampaikan pula dari hasil studinya Berger et al. (2005) dan Sihaloho (2011)
mengenai pendekatan yang dilakukan oleh bank besar yaitu menggunakan kriteria kuantitatif
standar bersumber dari laporan keuangan debitur disertai laporan pendukung lainnya, sementara
bank kecil dan koperasi menggunakan kriteria kualitatif yang diperoleh dari informasi di
lapangan yang menggambarkan karakter debitur dan asesmen terhadap aplikasi kredit. Oleh
karena itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu
penelitian ini lebih berfokus pada lembaga keuangan informal khususnya rentenir dengan
melihat pendekatan yang dilakukan dalam pemberian kredit kepada pedagang kecil yang
didasarkan pada hubungan kedekatan atau relationship lending.
Kajian penelitian ini dilaksanakan di Pasar Kutoarjo tepatnya di Kabupaten Purworejo
yang memiliki 263 pedagang kecil (Dikoperindagpar 2014). Banyaknya jumlah pedagang serta
ditunjang lokasi pasar yang dekat pusat pemukiman warga Kutoarjo menjadikan Pasar Kutoarjo
cukup ramai dan padat, baik pagi ataupun siang hari. Padatnya aktivitas ekonomi yang terjadi
didalam pasar tersebut menjadikan interaksi yang terjadi antar pelaku ekonomi semakin
kompleks dan heterogen. Begitupun dengan aspek permodalan para pedagang pasar yang banyak
menggunakan modal sendiri dan berhutang cenderung kepada rentenir (Nugroho 2001).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah: Bagaimana gambaran terbentuknya relationship lending antara rentenir dan pedagang
kecil di Pasar Kutoarjo berdasarkan ruang lingkup hubungan, jarak dari peminjam, frekuensi
kontak dan eksklusifitas pemberi pinjaman?
Tujuan penelitian ini adalah: Menganalisis gambaran terbentuknya relationship lending
antara rentenir dan pedagang kecil di Pasar Kutoarjo berdasarkan ruang lingkup hubungan, jarak
dari peminjam, frekuensi kontak dan eksklusifitas pemberi pinjaman. Manfaat penelitian yang
3
ingin dicapai adalah: (1) Bagi peneliti dan masyarakat umum, penelitian ini akan menambah
wawasan mengenai gambaran relationship lending yang dapat dikaji implementasinya pada
lembaga keuangan informal yang beroperasi di pasar tradisional (2) Bagi pemerintah, penelitian
ini dapat memberikan masukan mengenai perlunya aksesibilitas masyarakat pada lembaga
keuangan formal dan pentingnya pengawasan pada lembaga keuangan informal.
TELAAH PUSTAKA
Keputusan Pendanaan
Keputusan pendanaan menurut Suad dan Pudjiastuti (2006) adalah menyangkut
keputusan tentang bentuk dan komposisi pendanaan yang dipergunakan untuk usaha. Keputusan
ini merupakan keputusan manajemen keuangan dalam melakukan pertimbangan dan analisis
perpaduan antar sumber-sumber dana yang paling ekonomis bagi usahanya untuk mendanai
kebutuhan-kebutuhan baik untuk investasi serta kegiatan operasional usaha. Keputusan
pendanaan ini sering disebut juga sebagai kebijakan struktur modal (Harmono 2011). Pada
keputusan ini pemilik usaha dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari
sumber-sumber dana yang ekonomis bagi usahanya guna membelanjakan kebutuhan-kebutuhan
investasi serta usahanya.
Lembaga Keuangan Informal
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan seperti lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. Lalu sejak tanggal 8
Januari 2013 dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro yang akan menjadi diawasi oleh OJK. Di Indonesia lembaga ini terutama
beroperasi di pedesaan atau masyarakat kelompok bawah, umumnya prosedur serta perjanjian
peminjaman amat cepat, sederhana dan berdasarkan perjanjian lisan atau tertulis yang sederhana
(OJK 2014). Namun pada saat ini kondisinya, terjadi perubahan dimana selain lembaga
keuangan mikro hadir pula lembaga keuangan informal yang melakukan pemungutan dana pihak
ketiga dan menyalurkan dana tersebut untuk pihak ketiga pula. Sehingga atas hal ini peran OJK
sebenarnya sangat dibutuhkan.
Lembaga keuangan informal adalah lembaga yang menjalankan fungsi lembaga
keuangan namun tidak berlandaskan kekuatan hukum (Nugroho 2001). Bentuk-bentuk usaha
4
lembaga keuangan informal yang ada di Indonesia antara lain riba dan ijon. Usaha riba adalah
usaha memberi kredit dengan mengenakan bunga yang sangat tinggi, sehingga sering disebut
sebagai rentenir. Praktik ijon terjadi di kalangan petani, dimana pemodal memberikan dana
kepada petani, dengan syarat hasilnya nantinya harus dijual kepada pemodal. Yang menjadi
persoalan dalam praktik ijon adalah seringkali harga jual hasil petani sangat rendah dibanding
harga pasar yang berlaku.
Di satu sisi keberadaan lembaga keuangan informal ini amat menolong, karena
menjangkau kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal
(Sirait 2015). Di sisi lain biaya modal yang dibebankan kepada peminjam sangat tinggi.
Misalnya, jika melalui perbankan masyarakat dapat memperoleh kredit dengan bunga sekitar dua
sampai tiga persen per bulan, melalui riba beban bunga yang dipinjamkan lebih besar dari lima
persen per bulan. Sebenarnya ada juga lembaga keuangan informal yang tidak menjerat namun
umumnya kurang ekonomis untuk digunakan sebagai sumber dana usaha, yaitu lembaga arisan.
Relationship Lending
Keputusan pemberian pinjaman dan persyaratan pinjaman yang didasarkan pada
informasi atas usaha debitur, karakter dan kredibilitas debitur sebagai pemilik, serta informasi
lingkungan usaha debitur (Sihaloho 2011). Dalam relationship lending hubungan yang lebih kuat
antara kreditur dengan debiturnya menjadi keunggulan kompetitif rentenir sebagai lembaga
keuangan informal dibandingkan dengan bank besar ataupun lembaga keuangan formal lainnya
dalam menyalurkan kredit mikro dan kecil. Informasi terkait debitur dikumpulkan oleh rentenir
dari berbagai hasil pertemuan dengan debitur dalam jangka waktu tertentu baik yang diperoleh
dari orang-orang dilingkungan sekitar maupun dengan mengenal langsung debitur. Relationship
lending merupakan keputusan kredit yang didasarkan atas soft information yaitu informasi
mengenai karakter dan kredibilitas debitur yang mungkin agak sulit untuk dikuantisir atau
dilakukan standarisasi dan untuk dapat ditransfer kepada pihak lain di dalam suatu bank/kreditur
secara internal (Sunarto 2007). Hal lainnya yang masih terkait dengan pembiayaan mikro dan
kecil yaitu seperti dikemukakan oleh Uchida et al. (2007) bahwa peran bank kecil dan lembaga
keuangan informal masih tetap menjadi bank utama atau primary bank dalam pembiayaan sektor
mikro kecil dan belum dapat digantikan oleh bank besar untuk pemberian kredit yang didasarkan
pada hubungan kedekatan antara bank dengan debiturnya atau relationship lending.
5
Penyaluran kredit mikro dan kecil dengan menerapkan teknik pendekatan relationship
lending memiliki kelebihan yaitu akan berdampak kepada ketersediaan dana kredit dan biaya
(bunga) kredit yang diberikan. Berger et al. (2001) menambahkan bahwa melalui kedekatan
hubungan dapat mengatasi masalah asimetri informasi, karena dengan dasar kedekatan hubungan
tersebut maka informasi yang diperoleh akan lebih jelas antara kedua belah pihak serta dapat
menurunkan biaya (bunga) kredit menjadi lebih murah dan mempengaruhi ketersediaan dana
kredit menjadi lebih besar. Bahkan lebih dari itu debitur dapat dimungkinkan memperoleh
berbagai jasa keuangan lainnya yang diperlukan, selain perolehan pinjaman untuk modal
usahanya (Sunarto 2007). Hal ini sebagaimana disampaikan pula oleh Berger dan Udell (2002)
dari hasil studinya yang mengatakan:
”Under relationship lending, banks acquire information over time through contact with the firm,
its owner, and its local community on a variety of dimensions and use this information in their
dicisions about the availability and terms of credit to the firm. Recent empirical evidence provides
support for the importance of a bank relationship to small businesses in terms of both credit
availability and credit terms such as loan interest rates and collateral requirements.”
Lebih detail lagi Berger dan Udell (2002) menyatakan bahwa relationship lending secara
empiris berhubungan dengan tingkat bunga yang lebih rendah, mengurangi permintaan akan
jaminan atau collateral, pengurangan terhadap hutang dagang, perlindungan terhadap pergerakan
tingkat bunga, dan penambahan ketersediaan dana kredit. Berdasarkan penelitian lainnya dari
Berger et al. (2005) dikatakan bahwa bank besar di Amerika dalam proses persetujuan kredit
yang diajukan oleh calon debiturnya menggunakan pendekatan secara kuantitatif berdasarkan
penilaian atas laporan keuangan debitur. Hasil studi di Amerika tersebut, digunakan sebagai
rujukan oleh Uchida et al. (2007) untuk melihat penyaluran kredit berdasarkan relationship
lending di Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa lembaga keuangan berskala kecil di Jepang
dalam proses persetujuan kreditnya mengandalkan pendekatan atau relationship lending
berdasarkan informasi yang diperoleh dari para pihak-pihak terkait. Adapun hasil studi di Jepang
tersebut menghasilkan suatu temuan yang membuktikan bahwa lembaga keuangan berskala kecil
di Jepang juga menggunakan pendekatan relationship lending untuk menyalurkan kredit
SMEsnya, sebagaimana hasil studi Uchida et al. (2007) tersebut yang mengatakan:
“Our results indicate that small-scale creditors tend to have stronger relationships with their
borrowers (SMEs) in terms of the scope of relationship, the distance from the borrower, the
frequency of contact, and the exclusivity of lenders.”
Dengan kata lain lembaga keuangan berskala kecil memiliki keunggulan komparatif yaitu
strategi penyaluran kredit SMEs atas dasar hubungan kedekatan. Namun demikian, dari studi
6
yang sudah dilakukan dalam penerapan relationship lending membawa konsekuensi bagi
lembaga keuangan informal seperti rentenir untuk mampu memutuskan melalui soft information
dalam proses persetujuan kredit. Dalam hal ini, kredit yang disalurkan kreditur khususnya
rentenir didasarkan ruang lingkup hubungan, jarak dari peminjam, frekuensi kontak dan
eksklusifitas pemberi pinjaman. (a) Cakupan kedekatan hubungan antara kreditur dengan
debiturnya atau the scope of relationship, (b) Kedekatan lokasi antara kreditur dengan debiturnya
atau the distance from the borrower , (c) Frekuensi pertemuan antara kreditur dengan debiturnya
atau the frequency of contract, dan (d) Eksklusifitas lembaga keuangan sebagai kreditur atau the
exclusivity of lenders.
Ditinjau berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qodarini (2013), kreditur
khususnya rentenir menunjukkan interaksi yang intensif pada para nasabahnya serta memberikan
kesan yang baik terhadap para nasabah maupun calon nasabahnya. Kreditur memiliki cara yaitu
dengan menjalin hubungan yang erat dan kekeluargaan melalui “jemput bola” dengan
mengunjungi para nasabah maupun calon nasabahnya. Selain itu, mengajak berkomunikasi
secara informal dengan sistem kepercayaan menjadikan nasabahnya tidak lagi enggan untuk
meminta pinjaman walaupun dengan bunga yang relatif tinggi. Qodarini (2013) juga
menyebutkan mempertahankan fleksibilitas pinjaman merupakan suatu hal yang penting bagi
kreditur untuk menarik nasabahnya. Dalam hal ini, kreditur seperti rentenir memberikan
persyaratan tanpa jaminan, memperbolehkan menunggak pembayaran, dan sistem jemput bola.
Bahkan bila melunasi kredit tepat waktu terkadang nasabah memperoleh reward. Pada proses
angsuran pinjaman yang fleksibel tidak ada ketentuan jangka waktu pengembalian yang
mengikat serta dapat diangsur sewaktu-waktu, sehingga nasabah tidak terbebani dengan disiplin
pembayaran angsuran dan batas pengembalian serta pembebanan denda keterlambatan seperti
dalam sistem lembaga keuangan formal.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Studi ini berlangsung pada Pasar Kutoarjo. Data-data penting yang berhubungan dengan
penelitian akan diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara pada informan.
7
Jenis dan Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah
data yang didapat oleh penulis dengan turun langsung mencari informasi dengan teknik
wawancara terstruktur kepada informan yang mampu memberikan informasi yang akurat sesuai
dengan tujuan dalam penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
Ketertutupan aktivitas rentenir dengan nasabahnya terhadap pihak luar, dalam arti untuk
didekati dan diwawancarai secara formal, merupakan fenomena yang unik dan sensitif jika
dikaitkan dengan keuangan. Untuk itu, sebelum melakukan penelitian dilakukan observasi
terlebih dahulu di lokasi penelitian. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan metode analisis kualitatif melalui cara patisipatif. Metode analisis
deskriptif kualitatif adalah analisis yang digambarkan dengan menceritakan fenomena yang
terjadi pada subyek yang diamati. Dalam hal ini, peneliti terjun menyatu bersama rentenir dan
pedagang kecil sebagai informan. Sehingga dengan metode partisipatif, dapat mengeliminisasi
hal-hal yang dapat memicu masalah sensitif dari rentenir dan pedagang kecil yang akan diteliti.
Pendekatan penelitan yang digunakan adalah dengan cara pemahaman terhadap
fenomena yang terjadi. Pemahaman terhadap fenomena dan perilaku yang akan dijadikan
informan tidak sebatas tentang bagaimana masyarakat berperilaku, namun juga tentang makna
yang tersembunyi di dalamnya. Pemahaman makna yang bertransformasi ke wujud perilaku ini
dilakukan dengan cara pendekatan fenomenologis, dimana kajian tersebut menggunakan intuisi
sebagai sarana untuk mencapai kebenaran (Sulistiani 2008) Informan dipilih dengan cara
purposive sampling, dimana informan dipilih sesuai dengan kriteria-kriteria yang layak untuk
dijadikan sebagai informan.
1) Tiga rentenir (inisial (N), (K), (S))1
2) Enam pedagang kecil di Pasar Kutoarjo (inisial (P), (HD), (B), (HT), (KR), (J))
Untuk rentenir dipilih yang sudah melakukan usahanya >lima tahun dengan asumsi telah
memiliki banyak pengalaman dan informasi mengenai sistem pinjam-meminjam uang/barang di
Pasar Kutoarjo serta untuk nasabah yang dipilih adalah nasabah yang minimal sudah melakukan
usaha berdagang di Pasar Kutoarjo >dua tahun dan pernah meminjam rentenir >satu kali
sehingga memiliki banyak informasi terkait data yang dibutuhkan pada penelitian ini.
1
Identitas lengkap informan ada di peneliti
8
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian observasi
partisipatif, dimana peneliti terjun secara langsung di dalam kegiatan di pasar tersebut. Di selasela kegiatan tersebut, peneliti akan mengobservasi, dan mewawancarai subjek penelitian secara
terstruktur. Setelah data terkumpul, maka proses pengecekan dan validasi data untuk menunjang
konsistensi data terhadap fenomena dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Triangulasi, dimana teknik ini digunakan untuk menyocokkan data dengan cara
wawancara tak berstruktur dari berbagai sumber dalam waktu, tempat, dan orang yang
berbeda.
2) Peer Examination, dengan cara meminta bantuan kolega melalui diskusi untuk
memberikan komentar.
3) Audit trail, pengenalan terhadap lokasi penelitian.
4) Multi-side design, mengumpulkan seluruh data, termasuk juga yang terlibat sebagai
subjek penelitian, yaitu gender, usia, di berbagai tempat dan situasi. (Bungin 2011)
Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dilakukan
wawancara terstruktur ke pedagang kecil yang berlokasi di Pasar Kutoarjo berdasarkan kerangka
penelitian berikut:
Adapun pengukuran variabel dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Uchida et al.
(2007) adalah sebagai berikut:
Digunakannya instrumen pengukuran tersebut didasarkan pada penggunaan instrument
pengukuran ini dalam penelitian yang dilakukan Bank Indonesia (2009) sebagai bank sentral di
Indonesia.
9
Tabel 1
Pengukuran Relationship Lending
No
Variabel
Definisi
1
Ruang lingkup hubungan
(The scope of relationship)
Cakupan
kedekatan
hubungan antara kreditur
dengan debiturnya
2
Jarak dari peminjam
(The distance from the
borrower)
Kedekatan lokasi antara
bank dengan debiturnya
3
4
Frekuensi kontak
(The frequency of contact)
Ekslusifitas pemberi
pinjaman
(The exclusivity of lenders)
Frekuensi pertemuan antara
kreditur dengan debiturnya
Eksklusifitas
lembaga
keuangan sebagai kreditur
10
Indikator Empiris
Kedekatan hubungan antara rentenir dan
debitur (the scope of relationship) dapat
dibuktikan dengan:
- Pinjaman
diberikan
secara
bergilir. Atas pelunasan kredit
sebelumnya bisa mengajukan
kredit kembali dengan kenaikan
plafon
dan
jangka
waktu
pinjaman dapat lebih panjang.
- Adanya ketertarikan sosial yang
tinggi,
seperti: kepercayaan,
tenggang rasa, jaminan sosial, dll.
- Kreditur lebih mengenal kondisi
usaha debitur.
- Persyaratan pinjaman lunak/tanpa
jaminan, proses dan persetujuan
pinjaman lebih cepat dan mudah.
Kedekatan jarak lokasi kreditur dengan
debitur (the distance from the borrower)
dibutktikan melalui:
- Sistem pinjaman debitur yang
dibangun atas dasar kedekatan
lokasi tempat tinggal, kesamaan
profesi/usaha/gender, kedekatan
kelompok usia, kelompok arisan,
dll.
- Rentenir yang berada dilokasi
sama dengan tempat usaha
debitur, misal rentenir di pasar.
Frekuensi pertemuan antara debitur dengan
kreditur (the frequency of contact)
dibuktikan melalui:
- Sistem “jemput bola” yang
dilakukan oleh rentenir untuk
penarikan angsuran pinjman
secara harian, mingguan, bulanan,
musiman atau sesuai kesepakatan.
Umumnya
waktu
penarikan
angsuran pinjaman dapat juga
digunakan sekaligus untuk proses
pengajuan/persetujuan kredit.
Jumlah pemberi pinjaman per debitur (the
exclusivity of lenders) dibuktikan melalui:
- Debitur meminjam kepada satu
kreditur saja.
- Debitur memperoleh kredit baru
atas kredit lamanya yang lunas
atau bisa simultan dengan kredit
lama dari kreditur yang sama.
-
-
Fasilitas kredit (diluar modal
kerja) yang ditawarkan oleh
kreditur kepada debitur yang
dapat melunasi pinjaman selalu
secara tepat waktu.
Pemberian rewards atau potongan
bunga kepada debitur yang dapat
melunasi pinjaman sebelum jatuh
tempo atau lebih cepat.
Sumber: Uchida, Udell, Watanabe, 2007
Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Moleong (2002) merupakan proses mengatur urutan data,
kemudian mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan urutan dasar.
Sedangkan menurut Bogdan & Biklen bahwa “Analisis data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensistensikanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain” (Moleong
2005).
Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik analisa data dari Miles dan Huberman
yaitu interactive mode. Dengan mengunakan penelitian kualitatif. Data-data yang telah didapat
kemudian diklarifikasikan ke dalam tabel-tabel. Untuk kemudian dianalisa menggunakan proses
penalaran secara ilmiah, penuturan, penafsiran, perbandingan dan kemudian penggambaran dari
yang terjadi secara apa adanya, guna mengambil kesimpulan dan memberikan saran-saran
dengan cara menguraikan dengan kata-kata. Pada metode analisa data ini terdiri tiga komponen
yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian
kesimpulan (drawing and verifying conclusions). (Pawito 2007)
Analisis Data Model Interaktif dari Miles dan Huberman
11
Keterangan :
1. Reduksi data (data reduction). Disini, peneliti mengumpulkan informasi-informasi yang
penting yang terkait dengan masalah penelitian, dan selanjutnya mengelompokkan data atau
pengumpulan data tersebut sesuai dengan topik masalahnya.
2. Penyajian data (data display). Data yang terkumpul dan telah dikelompokkan itu kemudian
disusun sistematis sehingga peneliti dapat melihat dan menelaah komponen-komponen penting
dari sajian data.
3. Penarikan dan pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions). Pada tahap ini,
peneliti melakukan interpretasi data sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan penelitian.
Dari interpretasi yang dilakukan akan diperoleh kesimpulan dalam menjawab masalah penelitian.
Untuk menghindari adanya perbedaan pemahaman atau informasi yang diberikan antara
informan (tiga rentenir dan enam nasabah) maka peneliti pada akhir penelitian dilakukan
triangulasi dengan metoda member check yang merupakan proses uji pemahaman dan
pengecekan data yang dilakukan oleh peneliti kepada informan dengan tujuan untuk mengetahui
seberapa jauh data yang diperoleh telah sesuai dengan yang disampaikan oleh informan. Uji
keabsahan atau validitas ini dilakukan dengan cara mengonfrimasi kembali kepada informan
untuk memastikan kembali hasil akhir penelitian terkait dengan informasi yang telah informan
berikan sebelumnya dalam proses wawancara. Latar belakang rentenir dan nasabah yang menjadi
informan juga ditanyakan agar memperoleh informasi yang menyeluruh tentang identitas
mahasiswa. Selanjutnya hasil wawancara diketik dan dianalisis lebih lanjut.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Dari Ruang Lingkup Hubungan
Mengacu pada hasil wawancara dengan informan ditinjau berdasarkan ruang lingkup
hubungan maka menunjukkan bahwa pedagang kecil di Pasar Kutoarjo cenderung memilih
rentenir yang merupakan lembaga keuangan informal dikarenakan alasan peminjaman yang
mudah, cepat, tanpa agunan, tanpa biaya potongan (biaya administrasi, materai, dll), bahkan
dikarenakan sudah mengenal lama dengan rentenir, nilai pinjaman bebas dan bayar angsuran bisa
bolong dengan pertimbangan tertentu. Nilai pinjaman yang diberikan rentenir kepada
nasabahnya menyesuaikan dengan kebutuhan nasabah dan jangka waktu pembayaran angsuran
yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama antara rentenir dan nasabah. Rentenir di Pasar
12
Kutoarjo diminati oleh pedagang kecil dikarenakan peminjaman melalui bank harian (koperasi,
BMT, dll) tidak perlu mengenal terlebih dahulu tapi prosesnya cukup berbelit (FC KTP, tidak
langsung cair dananya, potongan adminsitrasi, dsb). Ketika memberikan pinjaman kepada
nasabah rentenir melihatnya tanpa kriteria khusus, hanya bermodal kepercayan. Bahkan nilai
pinjaman yang diberikan maksimal bisa mencapai Rp 20.000.000 tanpa jaminan apapun.
Sehingga first impression dijadikan informasi pertama kali rentenir memberikan kredit ketika
belum mengenal nasabahnya. Dalam hal ini, rentenir mengutamakan intuisi sebagai sumber
utama melakukan analisis kredit.
Pada transaksi pinjam meminjam dana, rentenir akan selalu berhadapan dengan risiko
gagal bayar (default risk). Risiko terjadi ketika debitur tidak membayarkan bunga (imbal jasa)
atau bahkan tidak mengembalikan pokok pinjaman sebagaimana yang tertera di perjanjian awal
yang disepakati bersama. Upaya untuk meminimalkan default risk dimulai dari tahap analisis
kredit. Dalam praktik perbankan pada umumnya calon debitur dianalisis dalam hal character,
capacity, capital, collateral, condition (5 C’s) untuk menentukan apakah calon debitur tersebut
layak mendapatkan kredit. Sedangkan dari pendekatan manajemen risiko, dalam dunia
perbankan dikenal metode kualitatif untuk mengukur risiko calon debitur. Dalam penerapan
motode tersebut dibutuhkan semua informasi mengenai calon debitur (termasuk mengenai 5 C’s)
yang berupa data laporan keuangan dan semua informasi yang bisa diperoleh. Setelah itu,
berdasarkan kumpulan informasi tersebut seorang banker dengan menggunakan keahliannya
akan memutuskan tingkat risiko dari calon debitur. Ketepatan analisis tersebut sangat tergantung
dari pengalaman dan bersifat sangat subyektif. Tahap akhir dari metode qualitative ini, bisa
disamakan dengan ‘metode analisis’ pelaku rentenir dalam menentukan ‘kelayakan’ calon
nasabahnya. Pada praktik rentenir, meskipun calon peminjam tidak mempunyai informasi
laporan keuangan atau data tertulis yang menunjang pengambilan keputusan oleh rentenir
mengenai disetujui atau tidak permintaan pinjaman, seorang rentenir tetap melakukan ‘analisis
kredit’. Analisis kredit dilakukan berdasarkan ‘intuisi’ untuk ‘membaca’ kesungguhan dan
karakter dari peminjam. Keahlian menganalisis dengan memakai intuisi didapat berdasarkan
pengalaman dan terasah dengan semakin seringnya berinteraksi dengan para peminjam. Seperti
yang diceritakan oleh rentenir berinisial (K) sebagai berikut:
“Menawi ningali rupane tiyang mawon, rupane tiyang nakal kalih mboten kulo sampun ngerti,
saestu cirine nang moto. Mulae sing sae nopo mboten nggih, dados njenengan ngutangaken
dhuwik, sampean tangleti riyin. Sampean tingali saestu, maksude sing saestu, saestu-saestu
tiyang niki ndlewer nopo mboten. Maksude delewer niku tiyang niki temen, temen-temen nyelang
13
awak iki, mbujuki opo ora. Kalih yen bahasa jawine taksih kenthel niku rata -rata taksih lugu.
(melihat wajah orang tersebut saja, wajahnya orang nakal dan tidak saya tahu, sungguh cirinya
terletak pada mata. Lha iya, pada mulanya yang enak atau tidak ya, jadi [misalnya] Anda
meminjami uang, anda beri pertanyaan terlebih dahulu. Anda lihat sungguh-sungguh,
maksudnya sungguh-sunguh, sungguh-sungguh bahwa orang ini ndhelewer atau tidak.
Maksudnya itu orang tersebut betul-betul pinjam kepada kita, berbohong atau tidak)”. Apabila
masih pandai berbahasa jawa rata-rata masih jujur.
Dari pengalaman rentenir (K), ciri dari seseorang yang bersungguh-sungguh untuk
mendapatkan dana dapat dilihat dari mata calon nasabah tersebut. Sehingga dengan intuisi
tersebut risiko dapat terminimalisir. Selain itu, rentenir (K) juga melihat tanda-tanda lain
terhadap calon nasabah.
“Kulo yen rupane tiyang sampun gawe ragu-ragu, ningali mawon niku mboten wani ngutangi
dhuwik. Lha kulo kathah sing ilang riyin niku. Lha niku tiyang pinter! Oleh utangan emoh nyaur.
Benten tiyang pinter rupanya ragu-ragu”. (melihat yang demikian tidak usah diberi dana. Saya
banyak kehilangan dahulu itu. Lha itu yang disebut dengan orang pinter! Dapat hutangan tidak
mau membayar. Berbeda antara orang pinter dan orang ngerti iku, harus teliti dan waspada).
Pengakuan informan pelaku rentenir tersebut menjelaskan bahwa proses analisis kredit
yang dilakukan ditekankan pada analisis karakter. Seperti halnya pada lembaga keuangan formal,
faktor karakter nasabah menjadi faktor kunci untuk memutuskan kelayakan kredit, dalam arti
meskipun dari faktor jaminan, kapasitas, dan modal seorang nasabah layak mendapatkan kredit,
namun jika karakternya memungkinkan untuk melakukan moral hazard maka penilaian akhir
danggap tidak layak mendapatkan kredit. Sedangkan pada lembaga keuangan informal (rentenir),
salah satu alasan mengapa faktor karakter yang menjadi dasar pemberian kredit, karena pada
umumnya nasabah tidak memiliki kemampuan dalam hal permodalan maupun jaminan.
Sehingga penilain kelayakan kredit didasarkan pada karakter dan kapasitas. Kapasitas nasabah
didasarkan pada profesi atau mata pencaharian sebagai pedagang, atau bisa dikatakan
keberadaannya sebagai pedagang memungkinkan nasabah untuk mempunyai sumber
pengembalian pinjamannya. Namun tetap kunci terakhir ada pada hasil penilaian pada karakter
nasabah. Informasi mengenai karakter nasabah digali bukan dengan pertanyaan yang mendetil
ataupun rekam jejak dari lembaga keuangan lain, namun dilakukan dengan mengandalkan intuisi
dan tanda-tanda (gesture) dari nasabah (Hamka dan Danarti 2010).
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Berdasarkan Jarak Dari Peminjam
Berdasarkan kedekatan lokasi antara kreditur dengan debiturnya, informasi yang
diperoleh dari informan bahwa nasabah yang mayoritasnya pedagang kecil lebih memilih
pinjaman dari rentenir dikarenakan
transaction cost yang dicermati (lost sales, time,
14
transportation cost) karena tidak perlu meninggalkan dagangan, hemat biaya dan waktu. Selain
itu, mempermudah nasabah dalam membayar angsuran pinjaman dan mempermudah rentenir
untuk mengambilnya langsung ke tempat lokasi berjualan. Seperti yang dikatakan oleh rentenir
(N) sebagai berikut:
“Kulo ya gampang ngambil angsuran, sing ngutang ya gampang mbayar angsuran dadi ora perlu
ngeterke neng omahku. Kuwi kepenake nek usahane nggone cedhakan podo-podo neng Pasar
Kutoarjo”. (Saya lebih mudah untuk mengambil angsuran dan yang mengambil kredit lebih
mudah dalam membayarkan angsuran karena tidak perlu repot-repot mengantarkan angsuran ke
rumah saya. Usaha sama-sama di Pasar Kutoarjo).
Ketika nasabah memerlukan pinjaman dana maka pada saat itu dana yang dibutuhkan
dapat langsung diberikan sang rentenir kepada nasabah karena usaha yang sama dalam satu
lokasi Pasar Kutoarjo. Salah satu fleksibilitas dari rentenir adalah tercermin dari pada jam berapa
mereka beraktivitas dan memiliki kesesuaian waktu dengan pedagang tradisional. Selain itu,
terdapat jejaring yang telah terbangun dengan nasabahnya yang mayoritas pedagang. Hal
tersebut yang menjadikan rentenir semakin diminati. Hampir setiap hari rentenir akan bertemu
dengan nasabah yang mengambil pinjaman karena lokasi usaha yang sama yaitu di Pasar
Kutoarjo, selain itu rentenir semakin dimudahkan ketika akan melakukan penaksiran pinjaman
yang akan diberikan karena mengetahui langsung lokasi berjualan sang nasabah dan jenis usaha
yang dijalankan. Sistem pinjaman kepada debitur yang dibangun atas dasar kedekatan lokasi
tempat usaha dan kedekatan hubungan yang terjalin. Dalam hal ini, dengan dana pinjaman yang
diterima debitur karena kedekatan tersebut maka dapat membantu memudahkan debitur untuk
mengelola usahanya dan hasilnya untuk penghidupannya. Bahkan bagi debitur yang berkualitas
dapat dimungkinkan untuk diberikan penawaran kredit lainnya diluar modal kerja yang dapat
dimanfaatkan untuk kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya yang
mendesak yang mana pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.
(Yustika 2010)
Dalam observasi dan wawancara ditemukan pula fakta baru bahwa ketika ditinjau dari
jarak peminjam maka terdapat beragam jenis rentenir yang beraktivitas di dalam pasar. Pada
komposisi dari jenis-jenis rentenir yang beroperasi di pasar ditunjukkan bahwa rentenir terbagi
menjadi dua berdasarkan posisi usaha yang dijalankan di Pasar Kutoarjo, yaitu: pertama, rentenir
dari intern pasar dimana aktor yang berperan memiliki usaha lain di pasar sendiri, kedua, rentenir
yang berasal dari ekstern pasar. Di dalam penelusuran jejak rentenir, berhasil ditemukan
karakteristik dari masing-masing rentenir yang pelakunya dari internal pasar maupun dari
15
eksternal. Pada umumnya, jenis rentenir yang berada di dalam pasar merupakan wujud dari
optimalisasi sumber daya finansial para pedagang dalam mencari keuntungan, rentenir (N)
memilliki usaha pengisian air minum dan laundry di sekitar Pasar Kutoarjo dan rentenir (K)
memiliki usaha berjualan snack di Pasar Kutoarjo. Dimana rentenir yang berasal dari intern,
pekerjaan utamanya adalah berdagang dan praktik ‘bank thithil’ yang dilakukan hanya sebagai
kegiatan off-trading. Pada dasarnya semua rentenir ditinjau berdasarkan besar kecilnya modal
yang dimiliki mempunyai kesempatan untuk menjalankan kegiatan off trading sebagai rentenir.
Kondisi tersebut didorong oleh intensnya interaksi antar pedagang yang kemudian secara
alami membentuk jaringan, sehingga memudahkan terjadinya transaksi dana di antara rentenir
dan nasabah. Sekedar informasi dalam observasi ditemukan pula bahwa di Pasar Kutoarjo ada
yang dikenal bank harian yang mengaku sebagai pegawai koperasi, BMT ataupun BPR. Namun,
dilapangan pinjaman yang ditawarkan bank harian kurang diminati pedagang kecil yang diwakili
dari informan karena pinjaman yang diterima tidak utuh (dipotong biaya adminitrasi, materai,
dsb). Dari informasi diatas terdapat fakta perihal ‘pinjam bendera’ yang dilakukan oleh bank
harian dengan meminjam nama dari suatu koperasi, BMT ataupun BPR tempat dia menyimpan
dananya, untuk kemudian digunakan sebagai cara untuk memudahkan bank harian beroperasi
menawarkan kredit di Pasar Kutoarjo agar tidak kalah bersaing dengan rentenir.
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Dari Frekuensi Kontak
Dari hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa frekuensi pertemuan antara
rentenir dan nasabahnya lebih sering berdasarkan kesepakatan yang dibuat ketika awal
mengambil kredit, karena rentenir memiliki fasilitas pinjaman yang bisa dibayarkan harian
ataupun mingguan. Tetapi mayoritas pedagang kecil Pasar Kutoarjo yang mengambil kredit di
rentenir lebih memilih mengambil kredit pinjaman secara harian dikarenakan dirasa lebih ringan
dalam pembayaran angsurannya, serta rentenir hampir setiap hari melakukan sistem “jemput
bola” kepada para nasabahnya sehingga itu yang semakin dirasakan memudahkan (Hari 2009).
Hal pokok yang membedakan rentenir di Pasar Kutoarjo dari bank harian yang merupakan dari
eksternal Pasar Kutoarjo adalah rentenir berinteraksi secara intens dan lebih ramah dengan para
nasabah yang mayoritas pedagang disekitarnya. Rentenir yang setiap harinya bertransaksi di
dalam pasar akan mudah berinteraksi dengan yang lain. Interaksi tersebut bisa dilakukan dengan
mudah karena rentenir tersebut sudah dikenal baik oleh pedagang yang berbaur dalam aktivitas
pasar, sehingga bisa leluasa berinteraksi dengan pedagang meskipun bukan nasabahnya. Posisi
16
pedagang yang bukan nasabah hakikatnya adalah sebagai nasabah potensial bagi rentenir karena
hubungan di antara mereka terjalin sehari-harinya. Rentenir menjadikan jejearing sebagai
instrumen untuk mendapatkan dan mempertahankan nasabahnya.
Berbeda dengan bank harian, karena bank harian tersebut jarang terlihat berbaur dengan
pedagang setempat. Mereka hanya menarik “harian” kepada pedagang yang menjadi nasabahnya
kemudian pergi tanpa berbincang-bincang dengan pedagang yang lain. Kredit yang ditawarkan
pun sangat procedural sekali, sehingga menjdikan bank harian kurang diminati pedagang di
Pasar Kutoarjo. Keterbatasan interaksi tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana cara
memperluas jaringan yang ada di pasar. Padahal untuk mendapatkan nasabah, membuat jaringan
dengan pedagang yang ada di dalam pasar merupakan faktor yang penting. Seperti yang
dijelaskan oleh pedagang berinisal (HT) penjual sayuran yang berjualan di lokasi pasar yang
menaruh barang dagangannya di trotoar Jalan MT Haryono, sebagai berikut :
“Menawa badhe ngampil arta saking Bu (S) niku gampil Mas, benten sanget ka lih ngampil arta
saking bank harian …ngono iku Bu (S) gelem srawung karo konco-konco, nek bank harian sing
neng Pasar Kutoarjo jarang srawung, dadi males meh njupuk jilihan merga penak neng Bu (S)
barang…”.
Dengan demikian jelas bahwa ‘aturan main’ yang berlaku bagi para pedagang untuk
mengakses “kreditan pasar” disyaratkan untuk memiliki suatu jaringan tertentu terhadap
pedagang lain yang mempunyai akses langsung kepada rentenir. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Yustika (2006), dimana untuk memasuki kelembagaan tersebut harus memiliki
jaringan tertentu untuk menembus eksklusivisme dari sifat rentenir, karena di dalam
kelembagaan itu sendiri terdapat larangan-larangan (prohibitions) dan persyaratan-persyaratan
(conditional permission).
Gambaran Relationship Lending Berdasarkan Eksklusifitas Pemberi Pinjaman
Dalam wawancara kepada informan menunjukkan berdasar eksklusifitas lembaga
keuangan informal sebagai kreditur, menunjukkan bahwa semua nasabah yang menjadi informan
pernah memperoleh pinjaman dari kreditur lainnya, baik itu dengan meminjam kepada kreditur
lain sesama rentenir, bank harian ataupun bank konvensional. Semua pedagang kecil memiliki
rentenir langganan yang memang dijadikan langganan ketika membutuhkan pinjaman. Nasabah
yang merupakan pedagang berinisal (P) dan (HD) merupakan langganan dari rentenir berinisal
(N), pedagang berinisial (B) dan (K) merupakan langganan rentenir berinisal (K), pedagang
berinisial (HT) dan (J) langganan dari rentenir berinisial (S). Semua rentenir yang menjadi
17
informan memang menawarkan pinjaman kredit yang meringankan dikarenakan nasabah dapat
memperoleh kredit baru atas kredit lamanya yang belum lunas. Hanya saja untuk pinjaman yang
diberikan rentenir (N) diketahui bahwa ada potongan Rp 100.000,- bila pinjaman sebelumnya
belum lunas sebagai biaya default risk, sedangkan untuk rentenir (K) dan (S) tidak ada potongan
apapun sehingga pinjaman yang diterima diberikan full dengan bunga yang dikenakan tetap
ngrolasan. Untuk fasilitas kredit yang diberikan untuk rentenir (N) dan (K) hanya memberikan
kredit berupa uang saja, tetapi rentenir (S) melayani juga kredit berupa uang dan barang. Ketika
memasuki hari raya lebaran dikarenakan mayoritas nasabah beragama muslim, maka dari
rentenir akan memberikan rewards kepada nasabahnya yang nilainya berbeda-beda ditinjau
berdasarkan jumlah pinjaman yang pernah diambil, tetapi berdasarkan informasi yang diperoleh
dari informan baik nasabah ataupun rentenir menunjukkan nilai rewards yang diberikan berupa
THR Rp 50.000 – Rp 250.000. Ada salah satu nasabah yaitu pedagang (P) yang pernah
mendapatkan THR berupa lemari kayu jati dari rentenir (N) karena dirasa sang rentenir sudah
langganan kurang lebih 5 tahun dengan nilai pinjaman minimal Rp 1.000.0000. Rentenir yang
berada di Pasar Kutoarjo dirasakan pedagang kecil yang menjadi informan dalam penelitian ini
sangat membantu aktivitas berdagang nasabahnya karena ketika membutuhkan pinjaman akan
langsung cair .
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
1. Relationship Lending ditinjau dari ruang lingkup hubungan menunjukkan rentenir yang
merupakan lembaga keuangan informal diminati pedagang kecil di Pasar Kutoarjo
dengan alasan peminjaman yang mudah, cepat, tanpa agunan, tanpa biaya potongan
(biaya administrasi, materai, dll), bahkan dikarenakan sudah mengenal lama dengan
rentenir, nilai pinjaman bebas dan bayar angsuran bisa bolong dengan pertimbangan
tertentu. Rentenir mengutamakan intuisi sebagai sumber utama melakukan analisis kredit
dengan ‘membaca’ kesungguhan dan karakter dari peminjam berdasarkan tanda-tanda
(gesture).
2. Relationship Lending ditinjau berdasarkan jarak dari peminjam diketahui bahwa nasabah
yang mayoritasnya pedagang kecil lebih memilih pinjaman dari rentenir dikarenakan
transaction cost yang dicermati (lost sales, time, transportation cost) karena tidak perlu
18
meninggalkan dagangan , hemat biaya dan waktu. Lokasi usaha yang sama di Pasar
Kutoarjo menjadikan proses pembayaran angsuran nasabah kepada rentenir dirasakan
menjadi lebih mudah serta mempermudah rentenir pula untuk mengambil angsuran
langsung ke tempat lokasi berjualan nasabah.
3. Relationship Lending ditinjau berdasarkan frekuensi pertemuan antara rentenir dan
nasabah menunjukkan kalau mayoritas pedagang kecil Pasar Kutoarjo yang mengambil
kredit di rentenir lebih memilih mengambil kredit pinjaman secara harian dikarenakan
dirasa lebih ringan dalam pembayaran angsurannya, serta rentenir hampir setiap hari
melakukan sistem “jemput bola” kepada para nasabahnya sehingga hal itu yang dirasa
memudahkan oleh nasabah.
4. Relationship Lending ditinjau berdasarkan eksklusifitas lembaga keuangan informal
sebagai kreditur, menunjukkan bahwa semua nasabah yang menjadi informan pernah
memperoleh pinjaman dari kreditur lainnya, baik itu dengan meminjam kepada kreditur
lain sesama rentenir, bank harian ataupun bank konvensional. Selain itu, nasabah yang
sudah berlangganan kredit pada rentenir mendapatkan rewards dalam bentuk THR
dengan nilai yang berbeda-beda.
Implikasi Terapan
1. Berdasarkan hasil penelitian, fakta empiris mendukung statement OJK bahwa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 menunjukkan apabila di Indonesia
lembaga keuangan informal banyak beroperasi di pedesaan atau masyarakat kelompok
bawah, umumnya prosedur serta perjanjian peminjaman amat cepat, sederhana dan
berdasarkan perjanjian lisan atau tertulis yang sederhana. Untuk itu, bagi lembaga
keuangan formal apabila hendak melayani segmen tersebut hendaknya mampu untuk
terus melakukan penyesuaian agar dapat terus bersaing dengan lembaga keuangan
informal.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini seharusnya pemerintah mempermudah urusan-urusan
peminjaman bagi masyarakat kelompok bawah dengan mempermudah prosedur
peminjaman dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan beroperasi dari lembaga
keuangan informal khususnya rentenir.
19
Saran Untuk Penelitian Mendatang
1. Melakukan analisis dengan penghitungan menggunakan rasio-rasio keuangan untuk
menentukan skala manajemen risiko dari rentenir dalam memberikan kredit kepada
nasabah.
2. Melakukan analisis pada keputusan kredit dari lembaga peminjaman lainnya seperti bank,
BMT, koperasi dan sebagainya yang beroperasi di pasar tradisional dengan
membandingkan tiap lembaga peminjaman serta dilihat pula prosedur-prosedur
peminjaman yang ditetapkan.
Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini belum memasukkan kalkulasi antara kredit yang diberikan lembaga
keuangan informal dan lembaga keuangan informal.
2. Tidak tersedianya data tentang jumlah rentenir yang beroperasi di Pasar Kutoarjo dan
sifat data yang confidential sehingga menimbulkan kesulitan mencarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 2011. Pranata Gadai Sebagai Alternatif Pembiayaan Berbasis Kekuatan Sendiri
(Gagasan Pembentukan UU Pergadaian). Universitas Padjajaran.
Anonim.
2013.
Perlu
Dana
Mendesak,
Jangan
Pinjam
Ke
Rentenir.
http://www.neraca.co.id/article/33713/Perlu-Dana-Mendesak-Jangan-Pinjam-Ke-Rentenir
Arthesa, A. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta: Indeks.
Badan Pusat Statistik. 2016. Jumlah Koperasi Aktif Menurut Provinsi. Diunduh 21 Juni 2016,
dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1314
Bank Indonesia. 2009. Peranan Bank Indonesia di Dalam Mendukung Pengembangan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK).
Berger, A.N., Leora F.K, and G.F. Udell. 2001. The Ability of Banks to Lend Informally Opaque
Small Business, Journal of Banking & Finance 25, 2127-2167.
Berger, Allen N., and Gregory F. Udell. 2002. Small Business Credit Availability and
Relationship Lending: The Importance of Bank Organizational Structure. The Economic
Journal, Vol.112, pp. 32-53.
20
Berger, A. N., Miller, N.H., Petersen, M.A., Rajan, R.G., and Stein, J.C. 2005. Does Function
Follow Organizational Form ? Evidence From The Lending Practices of Large and
Small Banks. Journal of Financial Economics, Vol. 76, pp. 237-269.
Bungin, B. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Social
Lainnya. Jakarta: Kencana.
Cole, R.A., Goldberg, L.G., & White, L.J. 2004. Cookie-Cutter Versus Character: The Micro
Structure of Small-Business Lending by Large and Small Banks. Journal of Financial and
Quantitative Analysis, Vol. 39, pp. 227-251.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
______. 2006. Sosiologi Uang. Padang: Andalas University Press
David, F. 1978. The Philosophy of Money. Library of congress catalog in publication data.
Dinas Pengelolaan Pasar Kabupaten Purworejo. 2014. Data Potensi Pasar Kabupaten Purworejo.
Purworejo
Hadiwiyono. 2011. Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor.
Skripsi Tidak Diterbitkan. Bogor. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Hamka, A.A., dan T. Danarti. 2010. Eksistensi Bank Thitil dalam Kegiatan Pasar Tradisional
(Studi Kasus di Pasar Kota Batu). Journal of Indonesian Applied Economics, Vol. 4, (No.
1): 58-70.
Hari, J.F. 2009. Dampak Kredit Kredit Rentenir Terhadap Kesejahteraan Pedagang Pasar
Tradisional dalam Tinjauan Ekonomi Islam, Skripsi, Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang.
Harmono. 2011. Manajemen Keuangan Berbasis Balanced Scorecard Pendekatan Teori, Kasus,
dan Riset Bisnis (Edisi 1). Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayat dan Fadillah. 2014. ”Pengaruh Penyaluran Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) Dan Pendapatan Operasional Terhadap Laba Operasional (Kasus Pada PT Bank
Jabar Banten, Tbk.). Universitas Siliwangi.
Kartono, D.T. 2004. Pasar Modal Tradisional (Analisis Sosiologi Ekonomi Terhadap Rentenir).
Vol.17, (No.1) : 1-9.
Marcellina. 2012. “Analisis Dampak Kredit Mikro Terhadap Perkembangan Usaha Mikro Di
Kota Semarang (Studi Kasus : Nasabah Koperasi Enkas Mulia)”. Universitas
Diponegoro.
21
Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Band