M01172

(1)

POTRET PETANI PADI RAWA DAN NON RAWA YANG MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL PERTANIAN

THE FARMERS PORTRAIT OF SWAMP PADDY AND NON SWAMP PADDY WHICH USE THE LOKAL KNOWLEDGE OF AGRICULTURE

Maria

Staff pengajar Fakultas Pertanian dan Bisnis Univ. Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52 – 60 Salatiga

ABSTRACT

This article aimed to know the difference pattern of farming in swamp and non-swamp that utilize non-local wisdom and to know the differences in the economic aspects of swamp paddy and non-swamp paddy which utilize local wisdom. The results showed that the respondents were classified as swamp rice fields using fermentation of water hyacinth as a fertilizer, soil treatment process in the rice swamps done with being trampled while in non-swamp rice fields using tractors. In the process of marsh rice field maintenance requires more time than non-swamp rice fields to mow weeds. For the marketing process both lowland swamp and non-swamp rice fields using slash system. The results showed that local wisdom in the Village Candirejo negative and positive impacts (technical, economic, social, and ecological).

The productivity of farmers belonging to farmer respondents swamp smaller than the productivity of non-marsh farmers. While the respondents were classified as swamp farmer has a value greater efficiency when compared with non-swamp farmers.

Key words: productivity, efficiency, local wisdom ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perbedaan pola usaha tani padi serta aspek ekonomi di lahan rawa dan non rawa yang memanfaatkan kearifan lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada petani responden yang tergolong sawah rawa menggunakan fermentasi eceng gondok sebagai pupuk. Proses pengolahan tanah di sawah rawa dilakukan dengan diinjak-injak sedangkan pada sawah non rawa menggunakan traktor. Pada proses pemeliharaan sawah rawa memerlukan waktu yang lebih banyak dibandingkan sawah non rawa untuk menyiangi gulma. Untuk proses pemasaran baik sawah rawa dan sawah non rawa menggunakan sistem tebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal di Desa Candirejo membawa dampak negatif dan positif (teknik, ekonomi, sosial, dan ekologi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada produktivitas petani responden yang tergolong petani rawa berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan produktivitas petani non rawa. Sedangkan pada petani responden yang tergolong petani rawa mempunyai nilai efisiensi yang yang tidak berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan petani non rawa.


(2)

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan wilayah perairan yang luas. Salah satunya adalah perairan air tawar. Perairan air tawar digolongkan menjadi air tenang dan mengalir. Perairan yang termasuk ekosistem air tenang salah satu diantaranya adalah rawa. Rawa memiliki berbagai macam peran dan manfaat. Ditinjau dari aspek ekologi, rawa berperan sebagai sumber cadangan air, menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering, mencegah terjadinya banjir, sumber energi, dan sumber makanan nabati maupun hewani (Eko, 2002).

Salah satu lokasi yang bisa dimanfaatkan sebagai potensi lahan rawa adalah rawa pening. Rawa pening merupakan salah satu danau alam yang ada di wilayah Kabupaten Semarang dengan luas genangan kurang lebih 2020 Ha. Rawa pening terletak pada ketinggian kurang lebih 463 meter dpl, dan berada di antara wilayah Kecamatan Banyubiru, Ambarawa, Bawen dan Tuntang. Pemanfaatan rawa pening selain untuk perikanan, juga untuk kegiatan irigasi, wisata dan pembangkit tenaga listrik (PLTA) (Anonim, 2001). Saat ini eceng gondok menutupi areal yang berbatasan dengan 6 desa di Kecamatan Banyubiru rawa pening (Arika, 2005).

Dalam memanfaatkan potensi lahan rawa sebagai usaha pertanian di Rawa Pening memiliki beberapa masalah utama yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem di rawa tersebut. Salah satu penyebab ketidakseimbangan ekosistem rawa pening adalah tidak tertatanya pertumbuhan tanaman eceng gondok. Apabila tanaman eceng gondok ini tetap tidak ditata, efek jangka pendek yang mungkin terjadi berupa pendangkalan dan penyusutan kawasan rawa. Pemandangan rawa juga akan berubah dengan tertutupnya muka perairan oleh eceng gondok. Debit air yang dapat disimpan juga akan berkurang drastis bahkan mungkin akan kehilangan fungsi sebagai tempat penyimpan air.

Hal lain yang juga menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem ini adalah kebiasaan perilaku yang terjadi pada petani lahan pasang surut setelah panen.


(3)

Yaitu sisa-sisa panen berupa jerami padi ditinggalkan di lahan tersebut sehingga seolah-olah rawa pening merupakan tempat pembuangan limbah yang sangat luas. Hal ini berdampak bagi kelestarian rawa pening, karena dengan meninggalkan sisa-sisa panen berarti ikut andil dalam peningkatan kandungan bahan organik dan keasaman lahan, disamping itu juga mempercepat proses sedimentasi yang menyebabkan wilayah perairan semakin sempit. Penggunaan pupuk anorganik meskipun relatif rendah diduga mendukung suburnya pertumbuhan berbagai spesies tumbuhan aquatik maupun semi aquatik yang ada di rawa, misalnya jenis rumput, eceng gondok, dan gulma air yang lain. Gulma air yang tumbuh subur di perairan yang banyak mengandung hara tersebut dapat menyebabkan eutrofikasi.

Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat biasanya disebut dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam Adimiharja, 1999). Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge system) adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan lingkungannya (Marzali, dalam Mumfangati, dkk., 2004).

Jadi, konsep sistem kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, atau asli, melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi ditempat tinggal mereka yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell, 2003).

Mengingat perlunya upaya menjaga keseimbangan ekosistem pada perairan rawa, dan pentingnya perilaku usaha tani yang memanfaatkan lahan rawa dan lahan non rawa di areal rawa pening, maka tulisan ini akan memaparkan produktivitas dan efisiensi usaha tani padi rawa dan non rawa yang memanfaatkan kearifan lokal pertanian.


(4)

2. METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 12 Agustus 2011 sampai dengan 12 September 2011 di Desa Candirejo, Kab. Semarang. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian penelitian eksperimental sungguhan (true-eksperimental research) dimana membandingkan hasil dengan satu atau lebih kelompok yang tidak dikenal kondisi perlakuan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung kepada petani sedangkan data sekunder diperoleh dari perangkat desa setempat. Pelaksanaan penelitian menggunakan metode penelitian survei dengan mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Teknik pengambilan sampel daerah penelitian dengan menggunakan purposive sampling (secara sengaja) sedangkan untuk pengambilan sampel petani dilakukan dengan purposive sampling (secara sengaja). Alat analisis data untuk mengetahui perbedaan produktivitas dan efisiensi usaha tani dianalisis dengan menggunakan uji beda, yaitu uji t 2 arah.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Keadaan Usahatani Padi Rawa dan Non Rawa

Pola pertanaman di sawah rawa sebenarnya hanya ada satu pola saja, yaitu tanaman padi kemudian sawah tersebut tergenang oleh air, sehingga tidak ditanami. Walaupun hanya ada satu pola saja tetapi variasi waktu penanaman dan pemanenan sangat besar. Hal ini disebabkan karena lokasi jauh dan dekatnya sawah dari rawa pening sangat menentukan terhadap mulai surut dan tergenangnya rawa.

Semakin jauh letak sawah dari rawa pening, maka bulan penanamannya akan semakin awal, sebaliknya semakin dekat dengan rawa, maka waktu penanaman dan pemanenan akan semakin lama. Adapun pola pertanaman yang umum di sawah rawa dapat dilihat pada diagram dibawah ini :


(5)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Genangan Air Rawa Pening

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv vvvvvvvv

Periode Penanaman Padi

Gambar 1. Pola Pertanaman di Sawah Rawa

Dari Gambar 1. terlihat bahwa untuk satu tahun bagi sawah rawa (yang dekat dengan rawa) dapat tergenang selama 6 bulan. Makin ketimur periode penggenangan air dapat lebih singkat. Demikian pula periode pertanaman padinya dapat mencapai waktu 6 bulan. Untuk pertanaman padi pada umumnya dilakukan pada bulan Juli dan Agustus. Semakin jauh dari rawa pening penanaman padi akan menjadi lebih awal. Hal ini disebabkan oleh karena pengolahan tanah atau tahap persiapan penanaman baru dapat dilakukan bila air sudah surut, sehingga semakin cepat daerah atau tanah itu menjadi kering, maka semakin cepat pula persiapan sawah dapat lebih cepat dilakukan. Demikian pula dengan periode penanaman.

Pola pertanaman di sawah non rawa dapat dilihat pada gambar 2.

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nov Des vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv Periode pertama penanaman padi

vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

Periode kedua penanaman padi

A B

Gambar 2. Pola Pertanaman di Sawah Non Rawa

Pada umumnya padi ditanam pada bulan Januari, pada waktu air (hujan) sudah cukup untuk areal persawahan yang akan panen pada bulan Mei. Untuk sawah yang ada disebelah barat Desa Candirejo biasanya sudah terlebih dahulu tergenang oleh air. Untuk sawah yang memperoleh air irigasi (bukan tadah hujan) tanaman padi dapat ditanam hingga dua kali. Musim tanam padi yang kedua umumnya ditanam pada bulan Juli-Agustus dan panen pada bulan


(6)

November-Desember. Untuk sawah tadah hujan, maka penanaman padi dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun. Dimana sesudah panen padi pada bulan Mei awal, sawah kemudian diistirahatkan.

Adapun tahap-tahap dalam usahatani di sawah rawa adalah sebagai berikut : 1) Mempersiapkan petak penanaman

Berbeda dengan tahapan persiapan untuk penanaman padi di sawah non rawa, maka persiapan untuk penanaman di sawah rawa tidak menggunakan traktor. Petani cukup menarik tumbuhan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dan ditumpuk di tepi sawah dengan tujuan sebagai pematang bagi calon sawah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Proses persiapan petak penanaman sangat tergantung dengan cuaca yang ada, jika terjadi hujan yang terus-menerus maka proses persiapan ini akan menjadi

semakin lama.

2) Fermentasi tumbuhan eceng gondok sebagai pupuk

Sebelum dilakukan penginjakan pada tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes), penyemprotan dilakukan untuk membusukkan eceng gondok yang akan dipakai. Adapun komposisi yang digunakan adalah campuran 15 cc Gramason ditambah dengan 15 cc DMA (Dimetil Amina), dan 12 liter air. DMA (Dimetil Amina) merupakan herbisida yang sistemik dan selektif berbentuk granule yang larut dalam air berwarna coklat muda untuk mengendalikan gulma pada pertanaman padi, karet, teh dan tebu.

Proses pembusukan ini biasanya mencapai waktu kurang lebih tiga atau empat hari sampai tanaman eceng gondok tersebut layu. Proses Pembusukan dapat dilihat seperti pada gambar 4. Pada gambar tersebut tumbuhan eceng gondok dijajarkan dipinggir pematang untuk proses pembusukkan. Penarikan dan pemupukan tumbuhan air ini dilakukan pada waktu air mulai surut, tetapi tinggi air masih mencapai sekitar setengah meter. Oleh karena penarikan dan pemupukan tanaman air ini dilakukan hanya sesuai


(7)

dengan surutnya air rawa, sehingga penggarapannya tidak sekaligus di semua sawah rawa tetapi secara bertahap. Tahapan ini dilakukan pada bulan Juli dan Agustus.

3) Persiapan tempat penanaman

Persiapan tempat tanam ini dilakukan dengan menggunakan cangkul, dimana tanah biasanya dibuat rata dan sawah dibersihkan dari semua kotoran maupun tumbuhan lainnya. Pada Gambar 5. dapat dilihat petak sawah rawa yang siap ditanam.

Tahap ini tidak pernah disertai dengan pemupukan, oleh karena tanah yang akan ditanam sudah cukup gembur.

4) Tahap penanaman

Penanaman tidak dilakukan sekaligus, tetapi bertahap sesuai dengan surutnya air. Bahkan dapat terjadi penanaman harus diulangi oleh karena luapan rawa yang naik kembali, sehingga padi akan tenggelam dan mati. Dalam hal ini dibutuhkan kecepatan menanam, sehingga penanaman di sawah rawa

tidak dengan sistem larikan yang terlalu teratur. Gambar 4. Proses pembusukan tumbuhan

eceng gondok

Gambar 5. Lahan rawa yang siap


(8)

Untuk persemaian biasanya dilakukan di tempat lain yang jarang terkena dengan genangan air rawa pening. Gambar 6. dapat menunjukkan lahan sawah rawa yang telah ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm

5) Tahap pemeliharaan tanaman

Pada umumnya petani hanya melakukan penyiangan tanpa melakukan proses pemupukan atau pemberantasan hama dan penyakit. Frekuensi penyiangan di sawah rawa lebih banyak dan lebih berat dibandingkan dengan sawah non rawa.

6) Tahap pemanenan dan pemasaran

Tahap ini juga dilakukan tidak dalam waktu yang sama, tetapi secara berurutan sesuai dengan adanya padi yang menguning, walaupun terkadang ada pula yang menunggu hingga semua padi menguning. Petani Desa Candirejo lebih memilih untuk menebaskan hasil panen mereka, sehingga para penebas yang akan memanen padi petani sendiri serta membawa langsung ke tempat awal penebas. Para penebas biasanya berasal dari Demak, Semarang, dan Banyubiru.

Proses berbudidaya padi di sawah rawa membutuhkan tenaga serta waktu yang lebih besar dan lebih lama dibandingkan dengan berbudidaya padi di sawah nonrawa. Dalam berbudidaya padi di sawah rawa hal yang perlu diperhatikan adalah waktu tanam serta kesiapan lahan untuk ditanam. Hal ini sangat penting karena lahan rawa lebih mudah terkena dampak jika air hujan datang secara terus menerus. Jika air hujan ini tidak berhenti selama beberapa hari, kemungkinan air dari rawa pening bisa masuk ke wilayah sawah rawa, dan ini menyebabkan kerugian kepada petani rawa.

Dalam sistem tebas padi jika padi kualitasnya bagus akan saling menguntungkan antara petani dan juga penebas, petani akan untung karena biaya Gambar 6. Lahan rawa yang telah ditanami


(9)

yang dikeluarkan untuk merawat padi sudah lebih dari cukup. Sementara disisi penebas padi yang bagus rendemannya akan rendah sehingga harga jualnya cukup tinggi dan ini akan membuat untung si penebas. Namun jika kualitas padi di sawah jelek misalnya dalam kondisi jatuh maka dapat dipastikan akan sulit dalam hal pemanenannya yang tentunya akan berimbas pada hasil yang didapatkan.

Kearifan Lokal Pertanian Desa Candirejo

Sistem kearifan lokal secara netral dan dinamik di kalangan dunia barat biasanya disebut dengan istilah Indigenous Knowledge (Warren, dalam Adimiharja, 2004). Kearifan lokal menurut Mitchell (2003) diartikan sebagai konsep yang berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan secara lokal ataupun tradisional, karena hubungan yang dekat dengan lingkungan dan sumberdaya alam melalui uji coba telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi ditempat tinggal merekadan lebih dianggap mempertahankan sumberdaya alam, serta hampir meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan.

Dalam konteks kearifan lokal yang ada di petani Desa Candirejo sesuai teori diatas maka penggunaan pupuk eceng gondok merupakan suatu upaya petani Desa Candirejo yang melakukan uji coba terhadap sumber daya alam dimana mereka tinggal serta berupaya untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem rawa pening. Dalam hal ini petani memberikan suatu aksi nyata dalam menggunakan sistem pertanian ramah lingkungan dimana dalam konteks sawah rawa, petani tidak menggunakan pupuk kimia sama sekali. Hal ini mereka terapkan dalam rangka menekan biaya produksi yang ada serta menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di rawa pening. Karena jika tidak ditekan laju pertumbuhan eceng gondok yang ada, maka keberadaan air rawa pening akan semakin menyusut akibat adanya sedimentasi endapan lumpur oleh akar tanaman eceng gondok.


(10)

Dari hasil wawancara dengan petani yang memanfaatkan pupuk eceng gondok banyak permasalahan yang dihadapi dilihat dari berbagai aspek. Aspek tersebut adalah :

1. Aspek teknis

Dalam hal ini terdapat keuntungan dimana keberadaan sumberdaya yang cukup banyak, tetapi disisi lain juga memerlukan tenaga serta waktu yang lebih lama dalam mengolah tanah untuk siap ditanam. Hal ini dapat diatasi bila para petani mau bekerja sama dalam memanfaatkan tumbuhan eceng gondok, atau menggunakan teknologi yang lebih modern untuk mempermudah petani.

2. Aspek ekonomi

Dimana secara satu sisi akan memberikan efisiensi kepada petani, sedangkan di sisi lain meningkatkan biaya tenaga kerja. Penambahan biaya tenaga kerja ini diakibatkan proses pengilahan yang tidak bisa ditentukan tergantung dari kondisi cuaca yang ada. 3. Aspek sosial

Walaupun terkadang ada kerjasama antar petani untuk saling membantu persiapan pemupukan tumbuhan eceng gondok, konflik dengan nelayan kadang terjadi dikarenakan nelayan membutuhkan keberadaan tumbuhan eceng gondok sebagai tempat tinggal beberapa ikan kecil. Masalah ini masih bisa diatasi oleh kepala dusun setempat dengan sering memberikan pertemuan bersama antara petani dengan nelayan untuk mengevaluasi usaha mereka.

4. Aspek ekologis

Dengan pemanfaatan tumbuhan eceng gondok dapat memberikan sedikit bantuan untuk keseimbangan ekosistem rawa pening. Proses pendangkalan rawa pening dapat diperlambat melalui kegiatan petani ini. Disisi lain hama tikus yang menjadi musuh petani sangat senang untuk tinggal di areal tumbuhan eceng gondok. Hal ini dapat menyebabkan populasi hama yang meningkat. Upaya petani dalam menyelesaikan masalah ini masih belum bisa dilakukan selain terus membasmi keberadaan hama tikus. Kerjasama antar petani rutin dilakukan untuk menjaga usahatani yang mereka jalankan.

Selain penggunaan tumbuhan eceng gondok sebagai pupuk, kearifan lokal lain dapat dilihat dalam perilaku hewan seperti ikan dan melihat keberadaan air pasang. Dalam hal ini kearifan lokal di Desa Candirejo masih terbatas dalam konteks perilaku organisme mahluk hidup yang ada serta pemanfaatan sumber


(11)

daya setempat. Kearifan lokal dengan melihat gejala alam serta keberadaan posisi bintang di langit tidak ditemukan dalam masyarakat petani Desa Candirejo.

Perbandingan Produktivitas antara Petani Rawa dan Petani Non rawa

Dari Tabel 1. dapat dibandingkan bahwa hasil produksi rata-rata per hektar dari budidaya padi non rawa lebih tinggi dibandingkan padi rawa walaupun terlihat produktivitas tertinggi berada pada petani rawa. Meskipun lebih tinggi pada petani non rawa tetapi perbedaaan yang ada tidak begitu jauh.

Tabel 1. Produktivitas Usahatani Padi Desa Candirejo

No Produktivitas Kg/ha 1. Petani Padi Rawa :

Terendah Tertinggi Rata-rata

428,57 5.000 1.689,02 2. Petani Padi Non Rawa :

Terendah Tertinggi Rata-rata

666,67 4.000 1.852 Sumber : Data Primer 2011

Dalam melakukan uji beda terhadap nilai produktivitas pada petani rawa dan petani nonrawa maka dilakukan uji statistik terhadap data yang diperoleh untuk membuktikan hipotesa penelitian. Dalam melakukan uji beda digunakan uji-t dua arah dikarenakan tidak memiliki informasi mengenai arah kecenderungan dari karakteristik populasi yang sedang diamati. Hasil uji beda produktivitas dapat dilihat pada tabel 2.


(12)

Tabel 2. Hasil Uji Beda Produktivitas Usahatani Padi di Desa Candirejo

Variabel Jumlah

Rata-rata

Sig t-hit

Produktivitas 60 650,041 0,042 1,76 Sumber : Analisis data produktivitas, uji t 2 arah

Hasil uji memperoleh nilai t hitung sebesar 1,76 dengan nilai signifikansi hasil uji sebesar 0,042. Hal ini menunjukan bahwa Ho ditolak karena nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (0,042 < 0,05) dan t hit > t tabel (1,76 > 1,67). Hal ini menunjukan bahwa hasil produktivitas di lahan rawa berbeda nyata jika dibandingkan hasil produktivitas di lahan non rawa.

Dengan varietas padi yang sama yaitu Ciherang atau IR-47 perbedaan hasil produksi itu terjadi karena petani padi nonrawa memiliki luas lahan yang lebih besar serta sedikit gangguan dari faktor hama dan cuaca. Berbeda dengan kondisi rawa yang masih sangat tergantung dengan keberadaan cuaca. Serangan hama di sawah rawa juga lebih sering dibandingkan sawah nonrawa dikarenakan lokasi sawah rawa yang sangat dekat dengan keberadaan populasi tumbuhan eceng gondok yang menjadi tempat bersarangnya tikus sawah.

Selain itu pemeliharaan yang tidak terlalu rutin di sawah rawa juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas. Petani cenderung tidak merawat secara rutin dikarenakan ketakutan mereka jika nantinya akan mengalami gagal panen akibat banjir dari luapan air rawa pening yang sangat dekat posisinya dengan sawah rawa. Dalam sisi lain walaupun sawah rawa sudah cukup gembur tetapi hal ini belum dapat mengakibatkan tingginya produksi yang dicapai. Ini tergantung dari sikap petani dalam memelihara usahatani yang dilakukan di sawah rawa.

Perbandingan Efisiensi Usahatani Petani Rawa dan Petani Nonrawa

RC Ratio diperoleh dengan membagi pendapatan dengan biaya total usaha tani pada suatu musim tanam. Rata-rata biaya produksi berbeda yaitu petani rawa sebesar Rp 1.831.212,05 dan petani non rawa sebesar Rp 2.762.032,37. Perbedaan ini dikarenakan penggunaan pupuk pada petani non rawa lebih banyak. Secara


(13)

umum penggunaan tenaga kerja pada sawah non rawa lebih banyak dibandingkan dengan sawah rawa. Rincian biaya usaha tani dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.


(14)

Tabel 3. Biaya Usaha Tani Padi per Hektar di Desa Candirejo

No Biaya Petani Rawa (Rp) Petani Non Rawa (Rp) Terendah Tertinggi Rata2 Terendah Tertinggi Rata2 1 2 3 Saprodi : Urea SP36 KCL Gramason DMA 6 Benih

Tenaga Kerja : Mencangkul Membajak Menanam Memelihara Sewa Traktor Pajak 0 0 0 0 0 168.000 66.667 0 42.857 0 0 0 180.000 0 0 100.000 36.000 273.392 1.500.00 833.333 700.000 500.000 777.778 187.500 69.861,11 0 0 66.468,25 30.923,81 206.696 496.137,57 243.167 236.246,03 331.339 127.275,13 23.098,15 73.500 84.149 90.000 0 0 140.000 100.000 0 60.000 40.000 0 14.000 348.000 387.500 500.000 50.000 18.000 322.000 1.200.000 400.000 857.143 1.428.571 1.000.000 200.000 270.000 164.300 165.450 47.278,44 14.476,19 224.280 378.365 400.000 240.755.49 430.694,44 381.825,40 44.607,41 Rata-rata Pembiayaan Usahatani satu musim tanam (Rp)

1.831.212,05 2.762.032,37

Sumber : Data Primer 2011

Dengan harga jual gabah basah Rp 2.500,00/Kg, maka didapatkan penerimaan usahatani padi per hektar yang berbeda antara petani padi rawa dan petani padi non rawa.


(15)

Dari Tabel 4. dapat dibandingkan hasil penerimaan rata-rata penelitian dari budidaya padi petani rawa lebih rendah dibandingkan petani padi non rawa. walaupun terlihat penerimaan tertinggi berada pada petani rawa. Meskipun lebih tinggi pada petani non rawa tetapi perbedaaan yang ada tidak begitu jauh.

Tabel 4. Penerimaan Usahatani Padi Desa Candirejo

No Penerimaan (Rupiah/Ha) 1. Petani rawa :

Terendah Tertinggi Rata-rata

Rp 1.071.428,57 Rp 12.500.000,00 Rp 4.222.552,91 2. Petani non rawa :

Terendah Tertinggi Rata-rata

Rp 1.666.667,00 Rp 10.000.000,00 Rp 4.630.093,00 Sumber : Data Primer 2011

Dari hasil perhitungan RC ratio usahatani padi yang meliputi usahatani padi rawa dan non rawa terdapat perbedaan. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5. RC Ratio Usahatani Padi di Desa Candirejo

No R/C ratio Petani Padi Rawa Petani Padi Non Rawa

1. Terendah 1,10 1,14 2. Tertinggi 7,63 4,89 3. Rata-Rata 2,30 1,68

Rata-rata nilai efisiensi petani padi rawa sebesar 2,30 sedangkan untuk hasil padi nonrawa sebesar 1,68. Sehingga untuk hasil RC pada petani padi rawa


(16)

lebih besar daripada petani padi nonrawa. Hasil uji beda RC ratio dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji Beda RC Ratio Kelompok Usahatani Padi di Desa Candirejo

Variabel Jumlah Rata-rata Sig t-hit

Efisiensi 60 0.245667 0,64 0,61 Sumber : Analisis data RC Ratio, uji t 2 arah

Hasil uji memperoleh nilai t hitung sebesar 0,64 dengan nilai signifikansi hasil uji sebesar 0,64. Hal ini menunjukan bahwa Ho diterima karena nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (0,64 > 0,05) dan t hit lebih kecil dari t tabel (0,64 < 1,67). Hal ini menunjukan bahwa efisiensi di lahan rawa tidak berbeda nyata jika dibandingkan efisiensi di lahan non rawa, dengan demikian hipotesa penelitian tidak terbukti. Secara penghitungan rata-rata nilai efisiensi terjadi perbedaan antara petani padi rawa sebesar 2,30 sedangkan untuk hasil padi non rawa sebesar 1,68. Sehingga secara statistik hal ini tidak menunjukkan perbedaan nyata untuk hasil efisiensi. Walaupun tidak menunjukkan perbedaan nyata secara statistik, tetapi nilai efisiensi baik di lahan rawa maupun non rawa keduanya dapat diasumsikan cukup efisien dikarenakan rata-rata nilai efisiensi lebih besar daripada 1.

Nilai RC ratio bisa sangat tinggi jika biaya usahatani sedikit dan penerimaan yang didapat cukup besar. Sebaliknya nilai RC ratio bisa sangat kecil jika biaya usaha tani besar dan penerimaan yang didapat sangat sedikit. Hernanto (1996) menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi usahatani dapat dilakukan dengan meningkatkan penerimaan. Hernanto juga berpendapat bahwa RC ratio dapat dijadikan sebagai penilaian terhadap keputusan petani dan kemungkinan pengembangan komoditi tersebut.


(17)

4. KESIMPULAN

a. Pola usaha tani di sawah rawa memiliki perbedaan dengan pola usaha tani di sawah non rawa.

b. Tingkat produktivitas antara usaha tani padi rawa berbeda secara signifikan dengan usaha tani padi non rawa, dimana produktivitas padi non rawa lebih besar dibandingkan produktivitas padi rawa.

c. Nilai efisiensi antara usaha tani padi rawa tidak berbeda secara signifikan dengan usaha tani padi non rawa.

5. DAFTAR PUSTAKA

Adimiharja, Kusnaka. 1999. Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora.

Anonim, 2009. Potensi Lahan Rawa Pasang Surut. http://www.tidal

Eko. 2002. Rawa. http://www.lablink.or.id/Eko/wetland/lhbs-rawa.thm. (Diunduh tanggal 16 April 2010).

lowlands.org/Ind /potentials.htm. (Diunduh tanggal 16 April 2010) Dr. Prajarta, dkk, 1976. Penelitian Sosial Ekonomi di Lahan Rawa Pening, Desa

Candirejo. Fakultas Biology dan Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta.

Herawati, Marina Maria. 2004. Kajian Petani Lahan Pasang Surut di Kawasan Rawa Pening. Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Rafieq, Achmad. 2004. Sosial Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat

dalam Pengembangan Pertanian Lahan Lebak di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan.


(18)

(1)

umum penggunaan tenaga kerja pada sawah non rawa lebih banyak dibandingkan dengan sawah rawa. Rincian biaya usaha tani dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.


(2)

Tabel 3. Biaya Usaha Tani Padi per Hektar di Desa Candirejo

No Biaya Petani Rawa (Rp) Petani Non Rawa (Rp)

Terendah Tertinggi Rata2 Terendah Tertinggi Rata2 1 2 3 Saprodi : Urea SP36 KCL Gramason DMA 6 Benih

Tenaga Kerja : Mencangkul Membajak Menanam Memelihara Sewa Traktor Pajak 0 0 0 0 0 168.000 66.667 0 42.857 0 0 0 180.000 0 0 100.000 36.000 273.392 1.500.00 833.333 700.000 500.000 777.778 187.500 69.861,11 0 0 66.468,25 30.923,81 206.696 496.137,57 243.167 236.246,03 331.339 127.275,13 23.098,15 73.500 84.149 90.000 0 0 140.000 100.000 0 60.000 40.000 0 14.000 348.000 387.500 500.000 50.000 18.000 322.000 1.200.000 400.000 857.143 1.428.571 1.000.000 200.000 270.000 164.300 165.450 47.278,44 14.476,19 224.280 378.365 400.000 240.755.49 430.694,44 381.825,40 44.607,41 Rata-rata Pembiayaan Usahatani satu musim tanam (Rp)

1.831.212,05 2.762.032,37

Sumber : Data Primer 2011

Dengan harga jual gabah basah Rp 2.500,00/Kg, maka didapatkan penerimaan usahatani padi per hektar yang berbeda antara petani padi rawa dan petani padi non rawa.


(3)

Dari Tabel 4. dapat dibandingkan hasil penerimaan rata-rata penelitian dari budidaya padi petani rawa lebih rendah dibandingkan petani padi non rawa. walaupun terlihat penerimaan tertinggi berada pada petani rawa. Meskipun lebih tinggi pada petani non rawa tetapi perbedaaan yang ada tidak begitu jauh.

Tabel 4. Penerimaan Usahatani Padi Desa Candirejo

No Penerimaan (Rupiah/Ha)

1. Petani rawa : Terendah Tertinggi Rata-rata

Rp 1.071.428,57 Rp 12.500.000,00 Rp 4.222.552,91 2. Petani non rawa :

Terendah Tertinggi Rata-rata

Rp 1.666.667,00 Rp 10.000.000,00 Rp 4.630.093,00 Sumber : Data Primer 2011

Dari hasil perhitungan RC ratio usahatani padi yang meliputi usahatani padi rawa dan non rawa terdapat perbedaan. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5. RC Ratio Usahatani Padi di Desa Candirejo

No R/C ratio Petani Padi Rawa Petani Padi Non Rawa

1. Terendah 1,10 1,14

2. Tertinggi 7,63 4,89

3. Rata-Rata 2,30 1,68

Rata-rata nilai efisiensi petani padi rawa sebesar 2,30 sedangkan untuk hasil padi nonrawa sebesar 1,68. Sehingga untuk hasil RC pada petani padi rawa


(4)

lebih besar daripada petani padi nonrawa. Hasil uji beda RC ratio dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji Beda RC Ratio Kelompok Usahatani Padi di Desa Candirejo

Variabel Jumlah Rata-rata Sig t-hit Efisiensi 60 0.245667 0,64 0,61 Sumber : Analisis data RC Ratio, uji t 2 arah

Hasil uji memperoleh nilai t hitung sebesar 0,64 dengan nilai signifikansi hasil uji sebesar 0,64. Hal ini menunjukan bahwa Ho diterima karena nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (0,64 > 0,05) dan t hit lebih kecil dari t tabel (0,64 < 1,67). Hal ini menunjukan bahwa efisiensi di lahan rawa tidak berbeda nyata jika dibandingkan efisiensi di lahan non rawa, dengan demikian hipotesa penelitian tidak terbukti. Secara penghitungan rata-rata nilai efisiensi terjadi perbedaan antara petani padi rawa sebesar 2,30 sedangkan untuk hasil padi non rawa sebesar 1,68. Sehingga secara statistik hal ini tidak menunjukkan perbedaan nyata untuk hasil efisiensi. Walaupun tidak menunjukkan perbedaan nyata secara statistik, tetapi nilai efisiensi baik di lahan rawa maupun non rawa keduanya dapat diasumsikan cukup efisien dikarenakan rata-rata nilai efisiensi lebih besar daripada 1.

Nilai RC ratio bisa sangat tinggi jika biaya usahatani sedikit dan penerimaan yang didapat cukup besar. Sebaliknya nilai RC ratio bisa sangat kecil jika biaya usaha tani besar dan penerimaan yang didapat sangat sedikit. Hernanto (1996) menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi usahatani dapat dilakukan dengan meningkatkan penerimaan. Hernanto juga berpendapat bahwa RC ratio dapat dijadikan sebagai penilaian terhadap keputusan petani dan kemungkinan pengembangan komoditi tersebut.


(5)

4. KESIMPULAN

a. Pola usaha tani di sawah rawa memiliki perbedaan dengan pola usaha tani di sawah non rawa.

b. Tingkat produktivitas antara usaha tani padi rawa berbeda secara signifikan dengan usaha tani padi non rawa, dimana produktivitas padi non rawa lebih besar dibandingkan produktivitas padi rawa.

c. Nilai efisiensi antara usaha tani padi rawa tidak berbeda secara signifikan dengan usaha tani padi non rawa.

5. DAFTAR PUSTAKA

Adimiharja, Kusnaka. 1999. Petani: Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora.

Anonim, 2009. Potensi Lahan Rawa Pasang Surut. http://www.tidal

Eko. 2002. Rawa. http://www.lablink.or.id/Eko/wetland/lhbs-rawa.thm. (Diunduh tanggal 16 April 2010).

lowlands.org/Ind /potentials.htm. (Diunduh tanggal 16 April 2010) Dr. Prajarta, dkk, 1976. Penelitian Sosial Ekonomi di Lahan Rawa Pening, Desa

Candirejo. Fakultas Biology dan Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta.

Herawati, Marina Maria. 2004. Kajian Petani Lahan Pasang Surut di Kawasan Rawa Pening. Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Rafieq, Achmad. 2004. Sosial Budaya dan Teknologi Kearifan Lokal Masyarakat

dalam Pengembangan Pertanian Lahan Lebak di Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan.


(6)

Dokumen yang terkait