M00054

National Conference: Design and Application of Technology 2010

Penguat Kelas-D dengan RWDM
Budihardja Murtianta
Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik – Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro 52 – 60, Salatiga 50711, Indonesia
Telp. (0298) 311884 Fax. (0298) 311884
E-mail: budihardja@yahoo.com

ABSTRAK
Penguat kelas D dengan RWDM (Rectangular Wave Delta Modulation) merupakan pengembangan
dari penguat kelas D yang dapat digunakan sebagai penguat atau modulator lebar pulsa. Keluaran penguat
berupa lebar pulsa yang berbeda akan menghasilkan nilai rerata keluaran yang berbeda pula. Penguat ini
tidak memerlukan pembangkit gelombang segitiga seperti pada penguat kelas D karena gelombang segitiga
sudah dapat dihasilkan dari untai integrator yang merupakan umpan balik darikeluaran penguat. Titik kerja
penguat pada saturasi dan cut-off sehingga penguat sangat efisien karena disipasi daya sangat kecil.
Pengaruh frekuensi masukan, frekuensi pemodulasi, frekuensi penggal tapis dan histerisis
pembanding pada penguat diamati pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi penggal LPF
harus jauh di bawah frekuensi pensakelaran dan dekat dengan frekuensi harmonik tertinggi dari sinyal yang
diinginkan agar sinyal keluaran identik dengan sinyal masukan.


1.

PENDAHULUAN

Penguat kelas D memerlukan untai pembangkit gelombang segitiga tersendiri sebagai pembawa,
sedang pada RWDM gelombang segitiga itu diperoleh dari bagian keluaran penguat yang diumpan balikkan.
Untuk dapat lebih memahami prinsip RWDM yang diterapkan pada penguat kelas D maka pada tulisan ini
akan dibahas tentang penguat kelas D terlebih dahulu kemudian dibahas prinsip kerja dan karakteristik
RWDM. Pengaruh frekuensi masukan, frekuensi pemodulasi, frekuensi penggal tapis pada penguat diamati
pada penelitian ini. Pada tulisan ini juga akan diberikan hasil-hasil penelitian untuk penguat kelas D dan
penguat kelas D dengan RWDM.

2.

PENGUAT KELAS D

Penguat kelas D adalah penguat yang keluaran transistor dioperasikan sebagai sakelar. Saat transistor
off, arus yang mengalir adalah nol dan saat on, tegangan padanya sangat kecil yang secara ideal adalah nol.
Sehingga untuk tiap kondisi baik saat on maupun off disipasi daya pada penguat tersebut sangat rendah. Hal
ini meningkatkan efisiensi karena membutuhkan daya yang sedikit dari catu daya dan pendingin penguat

yang lebih kecil. Gambar 1 menunjukan untai dasar penguat kelas D secara sederhana [1]. Di situ digunakan
catu daya bipolar V+ dan V- dimana │V+│=│V-│. Penguat terdiri dari penguat MOSFET yang
dioperasikan sebagai sakelar. Pada bagian masukan penguat digunakan pembanding dengan masukan
inverting dan non-inverting dimana sinyal audio dimasukan pada masukan inverting dan pada masukan noninverting diberi sinyal masukan gelombang segitiga. Frekuensi gelombang segitiga harus relatif jauh lebih
tinggi daripada frekuensi sinyal audio. Tegangan keluaran pembanding dapat ditulis sebagai: Vc = - V untuk
Vs > Vt dan Vc = + V untuk Vs < Vt

National Conference: Design and Application of Technology 2010

+V
M1
sinyal Vs

_

Vo’ L1

Vc

Vo


Comp.

+

segitiga
Vt

C1

Rb

M2

-V
Gambar 1. Dasar penguat kelas D
Tegangan itu diumpankan ke masukan dari MOSFET. Tiap transistor beroperasi sebagai sakelar. Saat
Vc = - V, M1 on dan M2 off. Jika tegangan jatuh pada M1 diabaikan maka Vo’ = V+. Begitu pula saat Vc =
+V, M2 on dan M1 off, maka Vo’ = V-. Pada prakteknya terdapat sedikit tegangan jatuh pada MOSFET
sehingga tegangan puncak pada keluaran lebih rendah daripada tegangan catu. Saat Vs = 0, Vo’ berupa

tegangan kotak yang simetris. LPF pada keluaran penguat terdiri dari L1 dan C1 melewatkan nilai rerata dari
gelombang kotak menuju beban Rb dan dalam hal ini = 0 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Jadi Vo
= 0 untuk Vs = 0.

Vo

Gambar 2. Keluaran Vo dari LPF yang merupakan rerata dari gelombang kotak
Pada Gambar 3 berikut menunjukan bentuk sinyal keluaran jika sinyal masukan berupa sinusoida
dengan frekuensi 1 KHz dan amplitudo 2V serta gelombang segitiga dengan frekuensi 15 KHz dan amplitudo
2,5V. Tegangan catunya sebesar 5V. Saat Vs>0 duty-cycle gelombang kotak akan berubah dimana waktu saat
aras positip lebih besar daripada waktu aras negatip. Hal ini mengakibatkan Vo’ akan mempunyai nilai rerata
yang positip. Begitu pula sebaliknya saat Vs> fs atau ft >>3fs. Untuk meminimalkan riak pada keluaran, frekuensi penggal dari tapis
LC harus jauh di bawah frekuensi gelombang segitiga ft [3].
Berdasarkan ketentuan dan rumus di atas maka tapis LPF pada Gambar 1 akan diperoleh nilai L1 =
900 uH, C1 = 28 uF untuk beban Rb = 8 ohm.. Tanggapan frekuensi dari tapis tersebut ditunjukkan pada
Gambar 4 berikut.

National Conference: Design and Application of Technology 2010

0dB

-40dB

10Hz

1KHz

100KHz

Gambar 4. Tanggapan frekuensi LPF
Gambar 5 adalah bentuk isyarat pada keluaran dengan besar frekuensi pembawa 15 kali dari
frekuensi sinyal dan frekuensi penggal LPF sama dengan frekuensi sinyal masukan yaitu 1 KHz. Tampak
bentuk keluaran berupa gelombang sinusoida yang sama dengan bentuk sinyal masukan. Gambar 6 adalah
isyarat pada keluaran dimana frekuensi penggal LPF dinaikkan sebesar 5 kali frekuensi sinyal masukan
sedang frekuensi pembawa berupa gelombang segitiga tetap. Tampak bentuk sinyal keluaran berupa
sinusoida dengan riak. Riak tersebut akibat harmonisa frekuensi pensakelaran. Gambar 7 adalah sinyal pada
keluaran jika sinyal pada masukannya diganti dengan bentuk gelombang segitiga

Gambar 5. Frekuensi penggal tapis sama dengan frekuensi sinyal = 1 KHz
dan frekuensi gelombang segitiga = 15 KHz


Gambar 6. Frekuensi penggal tapis 5 kali frekuensi sinyal

National Conference: Design and Application of Technology 2010

Gambar 7. Bentuk sinyal keluaran dengan masukan gelombang segitiga
Penguat kelas D ini dapat dikembangkan dengan menggunakan teknik RWDM (Rectangular Wave
Delta Modulation ) dan RWDM ini akan menggantikan fungsi dari gelombang pembawa yang berupa
gelombang segitiga.

3.

RWDM (RECTANGULAR WAVE DELTA MODULATION )
Sinyal
Vi(t)

Er(t)

sinyal RWDM
Vm(t)


Pembanding

+++
+

Integrator
Vc(t)

∆V

Batas atas aras

Vc(t)
Vi(t)

Batas bawah aras

Sinyal
RWDM


Vm(t)
T

Gambar 8. RWDM
Prinsip operasi RWDM dapat dijelaskan dengan bagan pada Gambar 8 [4]. Sinyal masukan Vi(t)
dibandingkan dengan sinyal umpan balik atau gelombang pembawa Vc(t) yang diperoleh dengan
mengintegrasi isyarat termodulasi Vm(t), menghasilkan sinyal kesalahan ( error) Er(t). Sinyal keluaran
termodulasi Vm(t) mempunyai dua nilai yaitu +Vs dan –Vs dan selang waktu pencapaian antara kedua aras
ditentukan oleh kemiringan (slope) dari sinyal masukan Vi(t). Di sini tampak sinyal umpan balik Vc(t)
menjejak(track) sinyal masukan Vi(t) dalam batas aras atas dan aras bawah sebesar ±∆V.
Dengan asumsi frekuensi pensakelaran modulator cukup tinggi sehingga bagian kecil dari sinyal
masukan dapat digambarkan sebagai sebuah garis lurus Jika Si(t) = kemiringan sinyal masukan, Sc(t) =
kemiringan sinyal pembawa dan ±∆V = tegangan histerisis, maka durasi T dari satu perioda lengkap dari
keluaran modulator diberikan sebagai :

National Conference: Design and Application of Technology 2010

4 VSc
Sc 2 Si 2 (t )


T

(1)

Frekuensi pensakelaran pada keluaran modulator adalah :

f

1
T

Sc
1
4 V

2

Si (t )
Sc


(2)

Untuk sinyal masukan sinusoida Vi(t) = Vi sinωt kemiringan sesaat dari sinyal masukan tersebut adalah:
Si(t) = ωVi cosωt

(3)

Frekuensi pensakelaran keluaran modulator adalah:

f

V1
Sc

Sc
1
4 V

2


cos 2 t

(4)

Pada persamaan (4) menunjukkan :
- frekuensi pensakelaran modulator mencapai nilai maksimum f = Sc/4∆V pada ωt = k(∏/2) dimana k
adalah bilangan ganjil.
- frekuensi pensakelaran modulator minimum f = (Sc/4∆V)[1 –(ωVi/Sc)2] yang akan menghasilkan
pulsa yang maksimum pada keluaran modulator.
Rerata frekuensi pensakelaran modulator diperoleh dari rata-rata frekuensi pensakelaran modulator sesaat
pada beberapa perioda sinyal masukan dan diperoleh :

favg

4.

2
Sc
Vi
1
4 V
2Sc 2

2

(5)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan bagan dan prinsip kerja dari RWDM di atas maka berikut dibuat untai RWDM secara
sederhana yang ditunjukkan pada Gambar 9 dan sinyal RWDM dapat dilihat pada Gambar 10 untuk
masukan sinyal sinusoida dengan frekuensi 1KHz. Besarnya tegangan histerisis Vh ditentukan oleh :
Vh =

R1xVcc
R1 R2

(6)

Keluaran integrator adalah :
Vc(t) =

Vm(t )
t
R3.C1

(7)

National Conference: Design and Application of Technology 2010

R2
R1

Input
Vi(t)

Out
Vm(t)

C1
R4

R6

Vc(t)

R5

R3

Gambar 9. Untai RWDM

Gambar 10. Keluaran RWDM
Gambar 11, 12 dan 13 menunjukkan bentuk sinyal-sinyal pada RWDM dengan frekuensi sinyal
masukan 1KHz dan 10 KHz serta pengaruh besarnya tegangan histerisis pembanding.

Masukan
inverting
pembanding
Masukan
non-inverting
pembanding
Keluaran
pembanding
Gambar 11. Sinyal-sinyal RWDM dengan masukan sinusoida 1KHz

National Conference: Design and Application of Technology 2010

Gambar 12. Sinyal-sinyal RWDM dengan masukan sinusoida 10KHz

Gambar 13. Sinyal-sinyal RWDM dengan masukan sinusoida 1KHz
dan tegangan histerisis diperbesar

5.

KESIMPULAN
- Frekuensi pensakelaran harus relatif jauh di atas frekuensi sinyal masukan.
- Frekuensi penggal LPF relatif jauh di bawah frekuensi pensakelaran.
- Frekuensi penggal LPF relatif jauh di atas frekuensi sinyal masukan yang tidak berupa sinusoida.
- Parameter-parameter yang mempengaruhi frekuensi RWDM adalah:
- Besar histerisis ∆V, yang ditentukan langsung oleh nilai tegangan Lower Trip Point dan
Upper Trip Point pada histerisis dari pembanding.
- Bati integrator Sc, yang ditentukan oleh tetapan waktu integrator pada umpan balik.
- Amplitudo sinyal masukan.

6.

REFERENSI

[1].

Kendall/Hunt. (2001), The Class-D Amplifier , Available:[http://users.ece.gatech.edu/
~mleach/ece4435/f01/ClassD2.pdf] (1 Desember 2009)
Williams, Arthur B.&Taylor, Fred J.(1981), Electronic Filter Design Handbook, McGraw-Hill, New
York, p 5-1 – p 5-25
Krauss, Herbert L. dan Bostian, Charles W. (1990), Teknik Radio Benda Padat, Universitas Indonesia,
Jakarta, p 522.
Sooksood, Kriangkrai and Ngarmnil, Jitkasame. (2005), ‘Rectangular Wave Delta Modulation Buck
Regulator with 95.6% Efficiency’, The Journal of KMITNB, Vol. 15 No. 4.

[2].
[3].
[4].

Dokumen yang terkait