peranan guru terhadap peningkatan mutu pendidikan

Peranan Guru Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan
Oleh:
M. Miftah. M.Pd.
Sebagian besar orang tua zaman dulu menjadikan profesi guru sebagi idaman bagi anak-anaknya, karena
posisi itu memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Ini tercermin misalnya, pada kebanyakan orang Jawa,
sebutan mas atau pak guru masa itu merupakan sebutan yang sangat istimewa sekaligus sebutan yang
mengandung makna penghormatan. Bahkan, sejak jaman penjajahan atu awal kemerdekan, profesi guru
disanjung-sanjung. Guru memiliki strata social yang begitu menjulan gsehingga mencucuk atap langit.
Apalagi di desa-desa, sosok guru bias dikatakan setara dengan kaum priayi, penuh wibawa dan cukup
disegani. Tidak mengherankan kalau waktu itu setiap orng tua menginginkan anak-anaknyamenjadi guru.
Namun hal itu berbeda sekali dibandingakn dengan posisi guru zaman sekarang.
Belakangan ini, profesi guru dipandang sebagai pelabuhan terakhir dari para lulusan sekolah guru yang
serba pas-pasan. Bahkan banyak orang tua yang ogah mendorong anaknya untuk menjadi guru. Selain
gajinya yang minim, wajh profesi ini sering kali tercoreng oleh sebagian oknum guru. Sebagi contoh, ada
guru yang memperkosa siswanya sendiri, menganiaya anak didik, pilih kasih, tidak adil, dan masih banyak
kasus yang ‘memilukan’ lainnya. Belum lagi profesionalisme guru di Indonesia umumnya tidak tampak.
Seperti disinggung mantan Mendiknas Wardiman Djoyonegoro ketika diwawancarai sebah
stasiuntelevisi, beberapa waktu lalu, bahwa sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi
syarat, tidak kompeten, dan tidak professional.Keruan saja kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan
kebutuhan. Persoalannya, banyk guru sekarang yasng malas untuk mempelajasi semua hal yang
berkaitan dengan bidangnya masing-masing, dan ini berdampak pada kemandekan kreativitas dan mutu

dalam pembelajaran. Buntutnya, pendidikan kita kurang berpengaruh langsung pada kehidupan pribadi
dan watak pesrta didik. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita saksikan (baik melalui media cetak
maupun elektronik) berbagai kejahatan yang dilakukan anak-anak yang masih berusia belasan than.
Diantara mereka telah menjadi generasi muda yang kerdil, mengambang, banyak omong tapi otaknya
ompong, tahunya Cuma obat-obatan telarang, yang kreativitsnya hanya melulu di dunia hiburan.
Memang, kondisi lingkungan sekitar selama ini kurang kondusif bagi dunia pendidikan. Lihat saja, krisis
keteladanan, moral, dan spiritual kian merebak dimana-mana. Tontonan acara-acara televise yang
menyesatkan dan tidak sesuai dengan usia anak-anak semakin memperburuk wajah pendidikan kita..
Menhadapi keadaan demikian, upaya peningkatan profesionalisme guru dalam dunia pendidikan
merupakan langkah awal yang tidak bias ditawar. Hal itu mengingat peran guru daharapkan bias
menciptakan pendidikan yang membebaskan masyarakat dari keterpurukan, kemiskinan, dan berbagi
krisis yang tengah melanda seluruh elemen bangsa ini.
Peran dan Fungsi Guru

Guru ataupun dikenali juga sebagai “pengajar”, “pendidik”, dan “pengasuh” merupakan tenaga pengajar
dalam institusi pendidikan seperti sekolah maupun tiusyen (kelas bimbinangan) yang tugas utamanya

mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Guru
sebagai pengajar Ialah orang yang memiliki kemampuan pedagogi sehingga mampu mengutarakan apa
yang ia ketahui kepada peserta didik sehingga menjadikan kefahaman bagi peserta didik tentang materi

yang ia ajarkan kepada peserta didik. Seorang pengajar akan lebih mudah mentransfer materi yang ia
ajarkan kepada peserta didik, jika guru tersebut benar menguasai materi dan memiliki ilmu atau teknik
mengajar yang baik dan sesuai dengan karakteristik pengajar yang professional. Sebagai contoh pengajar
yang kompeten sehingga berhasil mencetak siswa-siswa yang pandai dan menguasai materi adalah
Yohanes Surya. Proses pembelajaran (learning proses) yang dilakukannya dalam membimbing tim
olimpiade fisika menuju keberhasilan di tingkat internasional bias dijadikan sebagai salah satu model
pembelajaran bagi guru-guru lainnya. Tidak tanggung-tanggung, mesti para siswa itu hanya
berpendidikan SMA dan satu diantaranya berpendidikan SMP, ilmu yang dipelajari selama masa
bimbingan dalam beberapa aspek setara dengan pengetahuan pascasarjana. Sehingga dengan
kefahaman dan kesiapan yang matang, para siswa tidak canggung dalam menyelesaikan soal-soal yang
diberikan dalam kompetisi olimpade.
Guru Sebagai Pendidik

Pendidik adalah seiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat
kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnado, 1989:44). Sehinggga sebagai pendidik, seorang
guru harus memiliki kesadaran atau merasa mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik. Tugas
mendidik adalah tugas yang amat mulia atas dasar “panggilan” yang teramat suci. Sebagai komponen
sentral dalam system pendidikan, pendidik mempunyai peran utama dalam membangun fondamenfondamen hari depan corak kemanusiaan. Corak kemanusiaan yang dibangun dalam rangka
pembangunan nasional kita adalah “manusia Indonesia seutuhnya”, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya diri disiplin, bermoral dan bertanggung jawab. Untuk

mewujudkan hal itu, keteladanan dari seorang guru sebagai pendidik sangat dibutuhkan. Dapat
dikatakan bahwa guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan
pendidik. Maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan
pendidikan. Begitu besarnya peranan guru sebagi pengajar dan pendidik, maka harus diakui bahwa
kemajuan pendidikan di bidang pendidikan sebagian besar tergantung pada kewenangan dan
kemampuan staff pengajar (guru). Pendidikan Indonesia akan maju jika staff pengajar (guru) sebagai
kemampuan sentral dalam system pendidikan memiliki kualitas yang baik pula. Pendidikan Indonesia
memerlukan guru yang memiliki kompetensi mengajar dan mendidik yang inovatif, kreatif, manusiawi,
cukup waktu untuk menekuni tugas profesionalnya, dapat menjaga wibawanya di mata peserta didik dan
masyarakat (menjaga “profesionalitas conscience”) dan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Untuk
mendapatkan guru yang demikian, dua hal yang perlu mendapatkan perhatian yaitu pendidikan mereka
(terutama pada pre-service training atau pemantapan program pendidikan guru, bukan pada in training
service) dan kesejahteraan mereka .
Peningkatan kesejahteraan guru memiliki peran penting dalam usaha memperbaiki pendidikan Indonesia
yang sedang terpuruk. Bank Dunia memberikan mutu guru guna memacu mutu pendidikan tidak akan

berpengaruh maksimal jika kesejahteraan tidak terpecahkan (Suroso. 2002). Selain itu, peningkatan
kesejahteraaan bisa berdampak positif pada usaha pemberantasan korupsi di sekolah. Sebab, korupsi
yang dipraktekkan guru umumnya didorong factor kebutuhan (corruption by need). Untuk menyiasati
kecilnya gaji, mereka mengutip berbagai biaya ekstra dari murid, seperti menjual soal ujian atau

mengadakan kegiatan ekstrakurikuler.
Korban korupsi

Berkaitan dengan korupsi, sangat menarik melihat posisi guru. Pada satu sisi, masyarakat menempatkan
mereka sebagai actor utama di balik mahalnya biaya sekolah. Namun, di sisi lain, guru kerap dikerjai
pejabat di atasnya, seperti gaji atau honor kegiatan dipotong tanpa alas an. Gambaran tersebut
memberikan penjelasan bahwa sebenarnya guru merupakan pelaku sekaligus korban korupsi. Namun,
dua posisi tersebut tidak berdiri sendiri karena yang menjadi penyebab guru melakukan korupsi adalah
korupsi atau perlakuan tidak adil pejabat di atasnya. Setidaknya ada tiga kondisi yang bisa menjelaskan
hal itu. Yang pertama adalah kenyataan bahwa pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar
disbanding pengeluaran untuk mendudkung proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, sewaktu penulis
mengajar di salah satu sekolah menengah pertama swasta di Jakarta, biaya yang dikeluarkan setiap kali
datang dan membuat persiapan mengajar mencapai Rp 45 ribu, belum termasuk makan. Sedangkan
bayaran mengajar Rp 10 ribu per jam. Karena mengajar dalam semingu hanya enam jam, total
pendapatan yang diterima Rp 60 ribu setiap bulan. Jika dihitung datang ke sekolah seminggu sekali, total
pengeluaran dalam satu bulan mencapai Rp 180 ribu (4 minggu dikali Rp 45 ribu), padahal gaji hanya Rp
60 ribu. Jadi setiap bulan deficit Rp 120 ribu. Alternatif menutup deficit dan kebutuhan hidup adalah
mencari dana ekstra dari siswa atau ngobyek di tempat lain, bisa di sekolah, bisa juga di pangkalan ojek.
Kedua, guru bukan penentu kebijakan di sekolah. Umumnya guru diposisikan sebagai pengajar yang
bertugas mentransfer pengetahuan kepada murid, sedangkan dalam penentuan kebijakan akademis

apalagi financial sering diabaikan. Hasil penelitian Indonesian Corruption Watch pada beberapa kota di
Indonesia secara umum menunjukkan bahwa guru tidak mengetahui kebijakan apa saja yang digulirkan
sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum pernah melihat bentuk anggaran pendapatan dan belanja
sekolah (APBS) di sekolahnya. Padahal keuangan sekolah, baik bersumber pada pemerintah, orang tua
murid, maupun pihak lain, dicantumkan dalam APBS. Karena itu, agar bisa melakukan korupsi, terlebih
dahulu mesti mengetahui APBS. Dengan demikian, guru, yang umumnya tidak ikut merencanakan dan
mengelola keuangan, kecil kemungkinan menjadi aktor di balik maraknya korupsi di sekolah. Ketiga, guru
merupakan mata rantai terlemah di antara penyelenggara pendidikan lain sehingga selalu menjadi
korban mata rantai yang lebih kuat, seperti kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Selain guru
menjadi korban obyekan atasan, porsi anggaran atau pendapatan yang diperoleh pun biasanya kecil.
Penelitian Indonesian Corruption Watch pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang
memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengah porsi untuk kepala
sekolah. Secara ekonomi, penikmat hasil korupsi bukanlah guru. Nasibnya seperti istilah orang lain yang
makan nangka, tapi guru yang terkena getahnya. Stigma biang keladi korupsi di sekolah membuat citra
guru jatuh di hadapan orang tua dan murid. Padahal tuntutan profesinya bukan hanya kemahiran dalam
menyampaikan materi pelajaran, tapi juga keterampilan untuk menjadi contoh. Guru korup adalah guru

buruk dan guru buruk tidak bisa dijadikan contoh. Karena itu, guru sebenarnya memiliki kepentingan ikut
memberantas korupsi, khususnya di sector pendidikan. Sebab, selain dapat mengembalikan citra, apa
yang mereka lakukan akan menjadi pembelajaran sangat efektif, tidak hanya bagi murid, tapi juga bagi

masyarakat umum. Usaha memberantas korupsi bisa diawali dengan perjuangan memperbaiki nasib
guru sendiri. Peluang tersebut sangat terbuka dengan mendorong Undang-Undang Guru sesuai dengan
tujuan awal: mengangkat harkat dan derajat guru. Walau undang-undang itu sudah disahkan, peluang
perbaikan belum tertutup.
Mutu Pendidikan

Dalam rangka umum, mutu mengandung makna derajad (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil
kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam
konteks pendidikan, pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil
pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu, terlibat berbagai input, seperti bahan ajar
(kognitif, afektif dan psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah,
dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta menciptakan suasana yang
kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut. Antara
lain mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar, baik antara guru, siswa
dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler,
baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun non akademis dalam suasana yang mendukung
proses pembelajaran. Mutu dalam konteks “hasil Pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh
sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir semester, akhir tahun, 2 tahun,
atau 5 tahun bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat
berupa hasil tes kemampuan akademis (misal : ulangan harian, ujian semester atau ujian nasional).

Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olahraga, seni atau keterampilan
tambahan tertentu. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible)
seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan dan lain-lain. Antara proses dan
hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah
arah, maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus
jelas target yang akan dicapai untuk setiap kurun waktu lainnya. Beberapa input dan proses harus selalu
mengacu pada mutu hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain, tanggung jawab sekolah dlam
school based quality improvent bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada
hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang
menyangkut aspek kemampuan akademik(kognitif) dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik
acuan standar nilai). Mutu Pendidikan Indonesia Pembangunan Pendidikan Indonesia mendapat roh
baru dalam pelaksanaanya sejak disahkannya Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasinal maka Visi
Pembangunan Pendidikan Nasional adalah “Terwujudnya Manusia Indonesia Yang Cerdas, Produktif, dan
Berakhlak Mulia”. Beberapa indicator yang menjadi tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan
pendidikan nasional : a). Sistem pendidikan yang efektif, efisien. b). Pendidikan nasional yang merata dan
bermutu. c). Peran serta masyarakat dalam pendidikan. Dan lain-lain. Keberhasilan tim olimpiade di

kancah internasional dalam meraih medali, belum cukup untuk dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan
pendidikan di tanah air. Karena keberhasilan tersebut hanya dicapai oleh beberapa siswa saja dari jutaan

siswa Indonesia yang sebagian besar dapat dikatakan kualitasnya masih kurang. Kenyataan ini terindikasi
dari standar nilai kelulusan (dalam ujian nasional yang masih diperdebatkan keberadaannya) dari tiga
mata pelajaran yang diujikan (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika) nilai kelulusan yang
ditetapkan minimal 4,25. Sedangkan kita lihat negara-negara lain seperti Malaysia memakai standar nilai
kelulusan 6 dan Singapura 8 dan posisi Indonesia hanya sebanding dengan Filipina (Koran Tempo, 17 Juli
2006).
Peran Guru Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan

Guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan pendidik, maka
guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan.
Secara teoritis dalam peningkatan mutu pendidikan guru memilki peran antara lain : (a) sebagai salah
satu komponen sentral dalam system pendidikan, (b) sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam
suatu instansi pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil pendidikan dengn
mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman
danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri, disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci,
mengandung arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan
untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan, (e) sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan
meneruskan estafet pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan nasional
serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang semakin spektakuler, (f) sebagai

pelayan kemanusiaan di lingkungan masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi. Yang menjadi
pertanyaan sekarang ini adalah Benarkah guru sebagai penentu keberhasilan pendidikan Indonesia?.
Mencermati dan memperhatikan Pendidikan di Indonesia, timbullah suatu permasalahan yang menjadi
permasalahan nasional, terutama menyangkut masalah standar kelulusan siswa baik yang masuk SMP,
SMA maupun Perguruan Tinggi dan lain-lain. Kelulusan siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau
dan mendidik serta membimbing dan membina anak didik selama 3 tahun dalam proses belajar dan
mengajar, tetapi cukup ditentukan dengan hasil UN selama 2 jam yang sudah ditentukan standar nilai
minimumnya. Suatu hal yang tidak logis untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu hanya dari
satu aspek saja yaitu aspek kognitif, sedangkan intelektual yang bermoral merupakan proses yang
diamati dan dinilai oleh orang yang membmbing, orang yang membina di sini peran guru dikebirikan.
Beberapa kasus terjadi, ada seorang siswa yang sering menjuarai berbagai olimpiade sampai tingkat
Nasional, berperilaku baik dan santun namun pada saat kelulusan ia dinyatakan tidak lulus. Di sisi lain
ada seorang siswa yang kurang baik dalam berperilaku, sering bolos dan tidak sopan, namun ia mendaat
nilai tertinggi saat kelulusan. Sungguh ketidak adilan dalam hal ini sangat menonjol. Di sinilah
permasalahan pendidikan di Indonesia yang memunculkan suatu pertanyaan terhadap kelulusan siswa
yang hanya ditentukan oleh 3 materi Ujian Nasional, sedangkan materi lain dan keaktifan serta
intelektual siswa lainnya yang menyangkut aspek afekti dan psikomotorik siswa tidak dinilai. Jadi peran
guru sebagai pengajar sekaligus pendidik disini kurang menentukan hasil pendidikan jika tolok ukurnya

masih demikian. “Guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita

pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan pada saat masyarakat mulai
menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia maka akan banyak hal terkait yang harus
dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sisitem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga
pengajar (guru dan dosen), dll. Secara umum guru merupakan factor penentu tinggi rendahnya kualitas
hasil pendidikan. Namun demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan
sangat dipengaruhi oleh kemampuan professional, factor kesejahteraan, dll.
Kesimpulan
Dalam peningkatan Mutu Pendidikan, guru memiliki peran antara lain : (a) sebagai salah satu komponen
sentral dalam system pendidikan, (b) sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi
pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil pendidikan dengn mencetak
peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman danbertaqwa
kepada Tuhan YME, percaya diri, disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci, mengandung
arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk
mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan,
(e) sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet
pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan nasional serta dalam
penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang semakin spektakuler, (f) sebagai pelayan
kemanusiaan di lingkungan masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi.

DAFTAR PUSTAKA

Sumitro, dkk. 2006 . Pengantar Ilmu Pendidikan . Yogyakarta : FMIPA UNY
Rozali Ritonga . 2006 . Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010 . Jakarta : Tempo Interaktif
Naniek Setijadi . 2004 . Tantangan Profesionalisme Guru Masa Depan . Jakarta : Tempo Interaktif
http://www.kompascom/ – selasa, 17 Oktober 2006.
http://www.klik-m.com/artikel/56-peranan-guru-terhadap 17 Mai 2010