BAB II PROFIL DAERAH KABUPATENKOTA PENGGAGAS PROVINSI SUMATERA TENGGARA 2.1. Kota Padangsidimpuan - Pengaruh Elit Politik Dalam Proses Pemekaran Daerah (Studi Analisis : Pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara)

BAB II PROFIL DAERAH KABUPATEN/KOTA PENGGAGAS PROVINSI SUMATERA TENGGARA

2.1. Kota Padangsidimpuan

  Kota Padangsidimpuan pada masa ini dapat didekati melalui tiga jalur utama, yakni: dari dan ke arah Tarutung/Rantau Prapat (utara), Bukit Tinggi (selatan), Sibolga (barat). Koneksi (interchange) tiga jalur utama ini terletak di Tugu Siborang pada masa ini. Pada masa lalu, jalur utara dan selatan di Siborang merupakan lalu lintas pergerakan pasukan dalam Perang Padri (1816-1833). Sebelah timur Siborang ini merupakan daerah pertanian/persawahan yang subur dan menjadi lumbung beras; sedangkan sisi sebelah barat sungai Batang Ayumi merupakan areal tegalan/kebun penduduk. Ke arah hulu kebun-kebun penduduk ini terdapat areal persawahan yang sangat luas: mulai dari Kampung Salak / Sigiring-Giring hingga wilayah Hutaimbaru/Siharangkarang. Saat itu, jalur dari dan ke Sibolga dari Siborang belum tersambung--jalur perdagangan Sipirok-Sibolga dilakukan via Batunadua-Hutaimbaru dan jalur Pijorkoling / Angkola Jae ke Sibolga dilakukan di hilir jembatan Siborang.

  Ketika Belanda menduduki wilayah Padangsidimpuan (datang dari arah Mandailing / Air Bangis), pasukan Belanda membangun jembatan Siborang dan jembatan Sigiringgiring yang mengakibatkan daerah Siborang menjadi sebuah persimpangan utama yang menghubungkan lalu lintas utara, selatan dan barat dari dan ke benteng Padangsidimpuan. Sehubungan dengan pemindahan Ibukota Keresidenan Tapanuli dari Air Bangis (daerah Pasaman) ke Padangsidimpuan pada tahun 1884 wilayah Kota Padangsidimpuan pada masa kini wilayah ini sebelumnya adalah semacam tanah ulayat dari empat area komunitas marga Harahap: yang berada di arah utara adalah Batunadua/Pargarutan, di arah selatan adalah Pijor Koling, di arah barat adalah Hutaimbaru / Angkola Julu; dan satu lagi dan merupakan inti komunitas marga Harahap yakni di arah tenggara adalah Sidangkal / Simarpinggan.

  Penduduk asli marga Harahap di Sidangkal ini sudah sejak lama melakukan aktvitas 27 berladang dan berburu di areal yang kini menjadi pusat Kota Padangsidimpuan .

2.2.1.1 Luas, Letak Geografis dan Kondisi Topografis

  Kota Padangsidimpuan merupakan salah satu Kabupaten / Kota dari 28 Kabupaten / Kota di Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis Kota

  ’ ’

  Padangsidimpuan berada pada koordinat 01

  28

  18 ,19’’ – 01 07’’ Lintang Utara dan

  ’ ’

  99

  18

  20 53’’ - 99 35’’ Bujur Timur. Kota Padangsidimpuan memiliki luas area

  • – 14.685,680 Ha, ketinggian berkisar ± 522,8 m di atas permukaan laut, dengan batas batas wilayahnya sebagai berikut :

   Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan.

   Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan.

   Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan.

  

diakses pada tanggal

21 Desember 2014 pada pukul 20.17

   Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan.

  

Gambar. 2.1. Peta Administrasi Kota Padangsidimpuan

  Sumber: BAPPEDA Kota Padangsidimpuan, 2014 Wilayah administratif Kota Padangsidimpuan terdiri dari 6 Kecamatan, 42

  Desa dan 37 Kelurahan. Posisi Kota Padangsidimpuan memiliki akses darat yang memadai dan cukup strategis, karena berada pada jalur utama bagian Barat menuju Ibukota Provinsi Sumatera Utara, terdapat dua jalur :

   Timur/Selatan : menuju IbuKota Mandailing Natal, Panyabungan dan ke Propinsi Sumatera Barat berlanjut ke IbuKota Negara, Jakarta.

   Timur/Utara : menuju Langga Payung Kabupaten Labuhan Batu yang terhubung dengan Trans Sumatera Highway jalur Timur/Utara yang dapat menghubungkan semua IbuKota Provinsi di pulau Sumatera dan ke pulau Jawa.

  Posisi Kota Padangsidimpuan yang berada pada lintas tengah Sumatera antara 9 (sembilan) Kabupaten dan Kota yaitu Kabupaten Pasaman Timur, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Padanglawas, Kabupaten Padanglawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.

  Kondisi fisik topografi Kota Padangsidimpuan sangat beragam mulai dari datar bergelombang hingga curam. Secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Wilayah yang relatif dasar hingga landai dengan kemiringan lereng berkisar

  0-8 % terdapat seluas ± 4.666,70 Ha atau 34,72 % dari luas total wilayah Kota. Wilayah ini pada umumnya terdapat pada bagian tengah Kota, seperti Kecamatan Padangsidimpuan Utara dan Padangsidimpuan Selatan serta pada areal persawahan yang terdapat di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.

  • Wilayah bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar antara 8 – 15 % terdapat 2.457,56 Ha atau 18,29 % dari luas total Wilayah Kota, yang terdapat di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.
  • Wilayah yang curam dengan kemiringan lereng berkisar antara 15 – 25 % terdapat 2 .925 Ha atau 21.76 % dari luas total wilayah Kota, yang terdapat
pada bagian Utara Kota, seperti Kecamatan Padangsidimpuan Hutaimbaru dan Padangsidimpuan Angkola Julu.

  • 2.175 Ha atau 16,18 % dari luas total Kota. Daerah ini umumnya terdapat pada bagian Timur dan Selatan Kota, seperti Kecamatan Padangsidimpuan Batunadua dan Padangsidimpuan Tenggara.

  Wilayah yang sangat curam dengan kemiringan 25 – 40 % terdapat seluas

  Wilayah yang terjal dengan kemiringan di atas 40 % terdapat seluas 1.215,66

  Ha atau 9,05 % dari luas total wilayah Kota. Daerah ini merupakan gunung 28 gunung yang terdapat pada pinggiran dan tengah Kota .

2.2.1.2 Kondisi Demografi

  Jumlah penduduk Kota Padangsidimpuan pada tahun 2012 berrdasarkan data yang dipublikasi resmi berjumlah 198.809 jiwa. Jumlah penduduk tersebut tersebar

  2

  pada wilayah seluas 146,85 km maka kepadatan penduduknya mencapai 1.354

  2

  jiwa/km . Kecamatan Padangsidimpuan Utara merupakan kecamatan yang paling

  2

  tinggi kepadatan penduduknya yang mencapai 4.339 jiwa/km disusul oleh

  2 Kecamatan Padangsidimpuan Selatan yang mencapai 3.987 jiwa/km . Sementara itu

  kecamatan lainnya memiliki tingkat kepadanya yang beragam. Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan Padangsidimpuan Angkola

2 Julu yang hanya 275 jiwa/ km . Secara lebih rinci tentang kondisi persebaran

  penduduk di Kota Padangsidimpuan dapat dilihat pada tabel berikut:

   diakses pada tanggal 21 Desember 2014 pada pukul 20.26

  Tabel. 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin menurut Kecamatan Tahun 2012 Kecamatan Lk Pr Jumlah Rasio Jenis Kelamin

  1. Padangsidimpuan Tenggara 15.194 16.322 31.526 93,03

  2. Padangsidimpuan Selatan 31.000 32.029 63.029 69,76

  3. Padangsidimpuan Batunadua 9.784 9.876 19.660 99,07

  4. Padangsidimpuan Utara 29.345 31.795 61.140 92,29

  5. Padangsidimpuan Hutaimbaru 7.706 8.007 15.713 96,24

  6. Padangsidimpuan Angkola Julu 3.812 3.929 7.741 97,02

  Jumlah/Total 2012 96.841 101.968 198.809 94,97

  Sumber: BPS Kota Padangsidimpuan, 2014 Jika dilihat dari distribusi penduduk menurut kelompok usia, terlihat jelas bahwa mayoritas penduduk Kota Padangsidimpuan masuk dalam kategori produktif yaitu mayoritas berusia di bawah 50 tahun. Secara lebih rinci data yang diperoleh menunjukkan bahwa kelompok usia 15 -19 tahun adalah kelompok usia tertinggi jumlahnya yang mencapai 24.061 jiwa. Sedangkan jumlah kelompok usia terkecil adalah kategori usia di atas 75 tahun yang hanya mencapai 1821 jiwa.

2.2.1.3. Potensi Wilayah

  Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas lapangan kerja, mengarahkan pendapatan masyarakat yang semakin merata, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan mengusahakan perluasan kegiatn ekonomi dari sektor primer menuju kesektor sekunder dan tersier. Dengan kata lain , arah dari pembangunan ekonomi adalah mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi agar pertumbuhan pendapatan masyarakat meningkat serta diikuti oleh pemerataan yang lebih baik.

  Kota Padangsidimpuan merupakan kota yang berdiri pada tahun 2001 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2001 mempunyai potensi baik dari letak geografis maupun sumber daya alamnya. Posisinya memiliki akses darat yang memadai dan sangat strategis, karena berada di jalur utama bagian barat menuju Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Terdapat dua jalur, yaitu timur/selatan menuju Ibukota Mandailing Natal, Panyabungan dan ke Provinsi Sumatera Barat, berlanjut ke Ibukota Indonesia DKI Jakarta. Sedangkan timur/utara menuju Langga Payung, Kabupaten Labuhan Batu, yang terhubung dengan Trans Sumatera Highway jalur timur/utara yang dapat menghubungkan semua ibukota provinsi di Sumatera dan Jawa. Yang dapat menghubungkan sembilan kabupaten dan kota di Sumatera, yaitu Kabupaten Pasaman Timur, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Padanglawas, Kabupaten Padanglawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.

  Dengan strategisnya letak Padangsidimpuan tersebut diharapkan dapat mempercepat pembangunan baik bidang ekonomi maupun kegiatan lainnya. Hal ini lah yang memperkuat Kota Padangsidimpuan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Tenggara.

2.2.2 Kabupaten Tapanuli Selatan

  Tapanuli Selatan adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara dengan luas wilayah 18.897 km², Ibu kota de jure-nya ialah Sipirok, menyusul dibentuknya Padang Sidempuan menjadi kota otonom. Secara adminstratif Kabupaten Tapanuli Selatan berbatasan dengan :

  1. Utara : Kabupaten Tapanuli Utara dan kabupaten Tapanuli Tengah

  2. Selatan : Kabupaten Mandailing Natal dan Provinsi Sumatera Barat

  3. Timur : Provinsi Riau dan kabupaten Batu

  4. Barat : Samudra Indonesia dan kabupaten Mandailing Natal Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan antara lain :

  1. Kecamatan Angkola Barat

  2. Kecamatan Angkola Timur

  3. Kecamatan Angkola Selatan

  4. Kecamatan Sayur Matinggi

  5. Kecamatan Batang Angkola

  6. Kecamatan Batang Toru

  7. Kecamatan Muara Batang Toru

  8. Kecamatan Marancar

  9. Kecamatan Sipirok

  10. Kecamatan Sipirok Dolok Hole

  11. Kecamatan Aek Bilah

  12. Kecamatan Arse

  13. Kecamatan Angkola Sangkunur

  14. Kecamatan Tano Tombangan Peta Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan Kecamatan seperti gambar dibawah ini:

  Gambar. 2.2. Peta Kabupaten Tapanuli Selatan

  Sumber : Website resmi Tapanuli Selatan, www.tapselkab.go.id

2.2.2.1 Luas, Letak Geografis dan Kondisi Topografis

  Secara geografis, daerah Tapanuli Selatan berada di belahan Barat Indonesia dan sebelah Selatan Pulau Sumatera yang terletak pada 0,02’ s/d 2,3’ derajat Lintang 29 Dan secara topografi daerah Utara dan 98,49’ s/d 100,22’ derajat Bujur Timur.

  Tapanuli Selatan terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit dan dataran tinggi bergunung dengan ketinggian antara 0 s/d 1500 meter di atas permukaan laut.

  Daerah ini dikelilingi oleh gunung Gongonan di Kecamatan Batang Angkola, gunung Sorik Marapi di Kecamatan Panyabungan, gunung Lubuk Raya di Kecamatan Padangsidimpuan dan gunung Sibual-buali di Kecamatan Sipirok.

  Selain memiliki gunung-gunung yang indah, Tapanuli Selatan juga memiliki panorama yang indah akan danaunya seperti Danau Tao di Kecamatan Sosopan, Danau Siais di Kecamatan Siais dan danau Marsabut di Kecamatan Sipirok. Wilayah Tapanuli Selatan juga dialiri banyak sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil.

  Bahkan aliran sungai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air, Industri maupun irigasi, di antaranya sungai Batang Pane, sungai Barumun dan lain-lain.

  2 Luas wilayah Tapanuli Selatan adalah 18.006 Km atau 1.800.600 H.A. dari

  luas Propinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah bagian terluas di Sumatera Utara dari daerah bagian lainnya. Secara administratif daerah Tapanuli sebelum 29 kemerdekaan dikenal sebagai bagaikan dari wilayah kekuasaan Hindia-Belanda yang

  Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 2012, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, hal. III. masuk dalam wilayah Keresidenan Tapanuli. Setelah masa kemerdekaan daerah Tapanuli masuk dalam wilayah propinsi Sumatera Utara dan menjadi daerah tingkat

  II Kabupaten Tapanuli Selatan yang berbatasan di sebelah Utara dengan Daerah Tingkat II Kab. Tapanuli Tengah dan Dati II Kab. Tapanuli Utara, sebelah Timur dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat, dan di sebelah Barat dengan Samudra Indonesia.

  Kondisi geografi Tapanuli Selatan dengan iklim yang selalu bergantian dan curah hujan yang merata setiap bulan membuat daerah ini sesuai sebagai daerah pertanian. Dengan adanya dukungan irigasi, pemakaian bibit unggul, pupuk, dan pengolahan tanah yang tepat dapat meningkatkan hasil pertanian. Selain itu, dengan komposisi penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, menunjukkan bahwa sebagian masyarakatnya sangat mengandalkan hidupnya pada pengelolaan tanah, antara lain sebagai petani sawah, berkebun di ladang dan beternak.

  Awalnya Tapanuli Selatan meliputi daerah Sipirok/Angkola dan Mandailing. Kedua daerah ini meskipun berada sama-sama di daerah Tapanuli Selatan, tetapi ada perbedaan yang khas di antara keduanya. Daerah Sipirok merupakan sebuah kecamatan berjarak ± 385 km dari kota Medan, sedangkan dari Padang Sidimpuan ke Kecamatan Sipirok ± 38 km. Antara Kecamatan Sipirok dengan Kecamatan Pahae Jae dengan ibukotanya Pahae, daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara jaraknya ± 42 km. Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal pada masa sekarang. Berada ± 40 km dari Padang sidimpuan ke selatan dan ± 150 km dari Bukit Tinggi ke utara. Tapanuli Selatan untuk sekarang adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara dengan luas wilayah 12.275,80 km², dengan Ibu kota de jure-nya ialah Sipirok, menyusul dibentuknya Padang Sidimpuan menjadi kota otonom dan pembentukan Kabupaten 30 Mandailing Natal.

2.2.2.2 Kondisi Demografi

  Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memiliki dua jenis suku sesuai dengan daerahnya yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat dan suku Batak Angkola yang mendiami daerah Sipirok. Kedua suku ini yaitu Batak Mandailing-Angkola mendiami sebagian besar dari keseluruhan daerah Tapanuli Selatan sejak masa tradisional, masuknya pemerintah kolonial Belanda sampai pada saat sekarang ini. Terjadi interaksi yang saling berkesinambungan antara kedua suku ini yang membuat pernyataan bahwa daerah Tapanuli Selatan itu identik dengan suku Batak Angkola-Mandailing pada masa itu, tetapi dalam kenyataannya keduanya memang berbeda.

  Mandailing sendiri dibagi dua walaupun sebenarnya adatnya sama. Pembagian itu adalah Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Daerah Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di sebelah utara Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai Muara Soma dan Amara Parlampungan di sebelah barat. Daerah Mandailing Julu, didominasi oleh marga Lubis. Wilayahnya, mulai dari Laru dan Tambangan di 30 sebelah utara. Di sebelah selatan mulai dari Kotanopan sampai Pakantan dan

  Badan Pusat Statistik, Tapanuli Selatan Dalam Angka 1999, Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. Hutanagodang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, etnis Mandailing menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari marga-marga:

  • Nasution - Daulay - Lubis - Matondang - Pulungan - Parinduri - Rangkuti - Hasibuan
  • 31<
  • Batubara - dan lain-lain Marga-marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing, ada beberapa marga yang datang dan kemudian mendiami wilayah tersebut dan dianggap sebagai warga Mandailing dan tidak mau disebut sebagai warga pendatang. Sebagai contoh, Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga Hasibuan telah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut anak boru bona

  

bulu . Demikian juga marga lainnya. Etnis Mandailing hampir 100 % penganut agama

  Islam yang taat. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam adat seperti dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.

  Kecamatan Sipirok umumnya didiami oleh etnis Sipirok/Batak Angkola. Pakar Antropologi menyatakan, kedua etnis ini sama. Terpisah dengan etnis 31 Mandailing dan etnis Batak Toba. Diperkirakan, etnis Sipirok/Angkola bermigrasi

  Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara, 2005, hal 6. dari daerah Batak, yaitu berasal dari Toba tepatnya daerah Muara dan bermarga Siregar. Mereka datang dengan jumlah yang besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik dari dua puluh generasi. Hal ini disebabkan lahan di Tanah Batak sudah tak sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar yang berkembang dengan pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok dan yang lainnya menyebar ke daerah-daerah yang dapat menampung mereka.

  Di Sipirok banyak ditemukan pohon pirdot. Tanaman ini banyak tumbuh di pinggiran sungai dan berbatang sangat keras. Pohon ini ditemukan marga Siregar, dan tempat itu lalu mereka namakan Sipirdot yang lama kelamaan menjadi Sipirok. Marga Siregar yang datang ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu yang 32 datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid. Mereka menyebar di tiga daerah, yaitu: Gelombang pertama mendarat di Pulau Nias, Mentawai, dan Siberut. Gelombang kedua mendarat di Muara Sungai Simpang atau Singkil, yaitu sub etnis Batak Gayo atau Batak Alas. Gelombang ketiga sampai di muara sungai Sorkam yaitu antara Barus dan Sibolga. Mereka masuk ke daerah 33 pedalaman dan sampai di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Danau Toba.

  Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar, penguasa ketika daerah Sipirok baru dibuka membagi kerajaan yang dipimpinnya menjadi tiga kerajaan, yaitu:

  32 33 Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan, 1964, hal. 47-48.

  Ibid., hal. 19.

  1. Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua.

  2. Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan 3.

  Kerajaan Sipirok dipimpin oleh Ompu Sutan Hatunggal.

  Untuk mempersartukan ketiga kerajaan ini, maka di suatu tempat yang bernama Dolok Pamelean dibuatlah tempat pertemuan (bukit persembahan/pengorbanan). Pada tempat itu, sebagai tempat pertemuan ditanamlah pohon Beringin. Tempat ini menjadi lokasi atau Camat Kecamatan Sipirok yang sekarang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, Etnis Sipirok/Angkola juga menganut sistem garis keturuna ayah yang terdiri dari marga- 34 marga: Harahap, Ritonga, Siregar, Hutasoit, Rambe, dll .

  Sama halnya dengan di Mandailing, marga-marga tersebut pun sebagian bukan merupakan masyarakat asli yang mendiami daerah tersebut, ada juga beberapa marga yang merupakan pendatang dan mendiami daerah tersebut.

  Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan berkebun, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan pensiunan.

  Usaha perkebunan rakyat meliputi tanaman karet, kopi, kulit manis dan kelapa. Di samping itu pertanian pangan meliputi padi, kentang, jahe, sayur-mayur dan lain-lain.

  Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari hasil usaha nelayan dan penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan umum, dan budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi peternakan 34 sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman industri,

  Ibid hal 20-21 rotan, dan kayu.

  Di samping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang seperti emas. Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan yaitu daerah ini kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan masyarakatnya yang hidup dalam kerukunan dan ketenteraman dalam hidup berdampingan walaupun berbeda adat maupun kepercayaan.

2.1.2.3 Kondisi Sosial, Budaya dan Perekonomian

  Dalam kehidupan bermasyarakat di Tapanuli Selatan mulai dari zaman tradisional sampai pada zaman sekarang ini tidak lepas dari masyarakat desa yang merupakan masyarakat asli yang tetap hidup dan bertahan selama beratus-ratus tahun walaupun telah banyak mengalami bermacam-macam gejolak perubahan sosial, peperangan, masuknya kekuasaan politik dari Kerajaan tertentu dari luar maupun dari dalam daerah Tapanuli selatan dan juga kekuasaan asing. Masyarakat tersebut banyak dijumpai dalam suatu huta, luhat maupun kampung.

  Masyarakat tersebut telah mendiami daerah Tapanuli sejak berabad-abad yang lalu. Mereka tinggal berkelompok dalam suatu kampung di dalam rumah tradisional sesuai dengan corak mereka, mempunyai rumah adat, mempunyai pemimpin kampung sesuai dengan adat istiadat setempat atau alat-alat perlengkapan pemerintahan kampung secara tradisional. Seseorang mempunyai tiga kategori keluarga: agnat atau dongan sabutuha-nya sendiri, hula-hula-nya, dan anak boru-nya.

  Begitulah pembagian kekerabatan dalam masyarakat Tapanuli pada umumnya dan juga pada masyarakat Tapanuli Selatan pada khususnya yang dikenal dengan

  

dalihan na tolu (tungku nan tiga). Dongan sabutuha (kahanggi dalam masyarakat

  Tapanuli Selatan) merupakan kelompok masyarakat yang memiliki persamaan marga menurut garis keturunan yang patrilineal, hula-hula (mora dalam masyarakat Tapanuli Selatan) yaitu kelompok marga pemberi mempelai perempuan dan anak

  boru yaitu kelompok marga penerima mempelai perempuan. Secara fungsional hula-

hula memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap boru, hal ini sangat tampak jelas

35 dalam suatu pelaksanaan adat .

  Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta (dusun) merupakan kesatuan paling kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati huta ataupun. Keberadaan suatu huta tidak lepas dari adanya faktor garis keturunan atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan antar huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap huta mempunyai raja huta sebagai pemimpin yang disebut Raja Pamusuk. Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah (genealogis) membentuk sebuah kawasan adat yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ (yang membuka huta) di dalam 35 luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain sebagai kepala

  Ibid hal 34 pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Panusunan Bulung maupun Raja Pamusuk mengacu pada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan ‘dalihan na tolu’.

  Di samping huta, sebagai wadah tempat tinggal kelompok masyarakat adat di Tapanuli Selatan, juga dikenal kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yaitu: a.

  Banjar, suatu pemukiman yang biasanya terdiri dari 4 sampai 6 kepala keluarga, terletak di tengah-tengah perladangan atau persawahan dan mempunyai ikatan adat dengan ibu kampungnya (induk).

  b.

  Lumban, kelompok masyarakat yang terdiri dari 6 sampai 10 kepala keluarga.

  c.

  Pagaran, suatu perkampungan yang terdiri dari 10 sampai 20 kepala keluarga yang diurus oleh kerapatan adat dari ibu kampungnya (induk).

  Pada masa dahulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama (tertinggi) terdiri dari golongan bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di bawah golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa (bukan bangsawan) yang disebut sebagai “halak na bahat” (orang kebanyakan), dan status yang terendah terdiri dari golongan budak yang dinamakan “hatoban”. Orang-orang yang masuk pada golongan hatoban adalah: a.

  Orang-orang yang ditawan atau dikalahkan dalam peperangan.

  b.

  Orang-orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman sebagai budak.

  c.

  Orang-orang yang karena tidak sanggup membayar hutang dijadikan budak, dan kalau hutangnya sudah lunas kembali menjadi orang bebas.

  Budak yang sudah memiliki rumah sendiri dan mengerjakan ladang atau sawah sendiri, tetapi masih terikat dengan majikannya, sehingga sewaktu -waktu dapat disuruh bekerja untuk kepentingan majikannya dinamakan “pankandangi”. Budak yang bertempat tinggal di rumah majikannya dan bertugas melayani segala keperluan majikannya dinamakan “hatoban”, atau “pangolo” (budak pelayan). Budak yang tinggal di rumah sendiri tetapi berkewajiban mengerjakan semua lahan pertanian milik majikannya dinamakan “hatoban marsaro”, budak yang sudah dibebaskan dan tidak tinggal di rumah majikannya dinamakan “ompung dalam” dan berstatus seperti kebanyakan penduduk biasa.

  Sejak tahun 1876, pemerintah kolonial Belanda menghapuskan perbudakan di kawasan Tapanuli Selatan. Meskipun perbudakan telah dihapuskan oleh pemerintah Kolonial, tetapi dalam pandangan masyarakat asli Tapanuli Selatan kedudukan mereka masih tetap sama sebagaimana mereka sebelumnya, sedapat mungkin menghindari berhubungan dengan orang yang dianggap “hatoban”, seperti menghindari perkawinan dengan bekas “hatoban” dan keturunannya. Baru pada zaman kemerdekaanlah pandangan masyarakat Tapanuli Selatan terhadap bekas “hatoban” mulai berubah. Seiring dengan perubahan zaman dan dengan datangnya kemerdekaan masyarakat tidak memandang rendah lagi terhadap mereka, orang- orang bekas hatoban sudah dianggap sebagai masyarakat yang sama dengan 36 masyarakat lainnya.

  Munculnya kelompok “hatoban” di daerah Tapanuli Selatan membawa pengaruh yang sangat besar bagi keharmonisan kehidupan antar masyarakat. Hal ini disebabkan, golongan “hatoban” merupakan orang-orang yang kalah dalam satu pertempuran/perkelahian/perselisihan. Bagi masyarakat di Tapanuli Selatan kekalahan dalam pertempuran/perkelahian/perselisihan lebih buruk dari hal-hal yang lain, seperti tidak mempunyai harta, tidak ada pendidikan bahkan tidak punya agama.

  Yang kalah, harus menjadi budak dan selalu patuh pada pihak atau kelompok yang menang sampai dia dapat memenangkan pertempuran/perkelahian/perselisihan pada si pemenang. Tetapi dalam perkembangannya, hatoban tidak hanya diakui oleh kelompok yang menang dalam suatu pertempuran, tetapi juga diakui oleh seluruh masyarakat yang mendiami wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan.

  Mengenai sistem kepercayaan yang ada dalam masyarakat Tapanuli pada mulanya dijumpai adanya kepercayaan tradisional yang pada hakikatnya kepercayaan ini muncul sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang lemah dan memiliki kekuatan dan kemampuan yang terbatas, maka manusia atau masyarakat tersebut percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar kekuasaan dirinya. Setelah masuknya agama Islam maupun Kristen ke Tapanuli memberi suatu kepercayaan 36 baru yang menjadikan masyarakat Tapanuli lebih modern, dengan cara berpikir yang

  Opcit. Pandapotan Nasution. Hal 35-38 lebih terbuka dan menjadikan masyarakat semakin sadar dan berpikir secara terbuka akan munculnya pembaharuan.

  Pembaharuan yang terjadi semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan rumah-rumah ibadah yang pada dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat setempat, melalui gotong royong masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna terlaksananya pembangunan. Selain itu, pemerintah juga turut serta mengambil bagian dalam pembangunan tersebut. Dalam perkembangannya, pembangunan dan pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli Selatan berjalan normal sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menganut suatu kepercayaan itu. Agama Islam merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang ada dalam masyarakat Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama sangat kental terjaga antara agama Islam yang mayoritas dengan agama Kristen yang minoritas. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan pedoman bagi masyarakat untuk terus menjaga toleransi antar umat beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga sikap dan perilaku masyarakat sehingga ketenteraman dan kerukuna n akan tetap terjaga dengan baik.

  Masyarakat di daerah Kabupaten Tapanuli Selatan sebagian besar secara langsung masih memperlihatkan kehidupan sebagaimana lazimnya kehidupan masyarakat Tapanuli Selatan. Masyarakat Tapanuli selatan sebagaimana masyarakat-masyarakat lainnya ditanah air juga memiliki kebudayaan- kebuda yaan yang bersifat tradisional serta juga memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan suku-suku lainnya di tanah air.

  Salah satu kebiasaan masyarakat Tapanuli Selatan lainnya bahwa tamu bagi masyarakat Tapanuli Selatan adalah seseorang yang harus merekka hormati, sebagai bentuk penghormatan itu, setiap tamu yang datang kerumah disuguhi makanan yang istimewa dan jika tamu tersebut menginap maka akan dilayani sebaik- baiknya. Kebiasaan lainnya yang ta kalah uniknya adalah apabila ada 2 orang yang belum saling kenal maka kedua orang tersebut akan saling menanyakan marga masing- masing, serta asalnya. Hal ini biasanya dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah hubungan antara keduanya apakah kerabat dekat atau kerabat jauh. Demikian juga halnya bila ada salah satu keluarga akan mengadakan pesta adat,maka seluruh keluarga ataupun sanak famili baik yang jauh maupun dekat akan diundang untuk datang menghadiri pesta tersebut dan tak terkecuali juga seluruh masyarakat kampung dimana bersangkutan tinggal/ 37 berdomisili.

  Pada Tanggal 23 November Tahun 1998, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang Undang No. 12 Tahun 1998 yaitu Undang-Undang tentang pembentukan Pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal menjadi daerah Otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dengan Kepala Daerahnya (Bupati) yang pertama yaitu H. Amru Daulay, SH dan Wakil Bupati yaitu : Ir. Masruddin Dalimunthe. H. Amru Daulay, SH memerintah Kabupaten Mandailing Natal dari tahun 1998 hingga sekarang 2007 dibantu oleh Sekretaris Daerah yakni : Drs. H. 37 Azwar Indra Nasution

  Ibid. Hal 46-51

  Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.

  Kabupaten Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat, bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara. Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis : Masyarakat etnis Mandailing dan Masyarakat etnis Pesisir.

  Masyarakat Mandailing Natal terdiri dari suku/etnis Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu dan Aceh, namun etnis mayoritas adalah etnis Mandailing 80,00 %, etnis Melayu pesisir 7,00 % dan etnis jawa 6,00 %. Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing, sedangkan etnis melayu dan minang mendiami daerah Pantai Barat.

  Seperti halnya kebanyakan daerah-daerah lain, pada zaman dahulu penduduk Mandailing hidup dalam satu kelompok-kelompok, yang dipimpin oleh raja yang bertempat tinggal di Bagas Godang. Dalam mengatur sistem kehidupan, masyarakat Mandailing Natal menggunakan sistem Dalian Na Tolu (tiga tumpuan). Artinya, mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabat pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara). Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di Negeri atau Huta asal mereka.

  Kabupaten Mandailing Natal merupakan pemecahan dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah Adminisrasi terdiri dari atas 8 Kecamatan yakni: 1. Kec. Batahan dengan 12 desa.

  2. Kec. Batang Natal dengan 40 desa.

  3. Kec. Kota Nopan dengan 85 desa.

  4. Kec. Muara Sipongi dengan 16 desa.

  5. Kec. Panyabungan dengan 61 desa.

  6. Kec. Natal dengan 19 desa.

  7. Kec. Muara Batang Gadis dengan 10 desa.

  8. Kec. Siabu dengan 30 desa. Pada Tanggal 29 Juli 2003 Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda

  No 7 dan 8 mengenai pemekaran kecamatan dan desa dengan dikeluarkannya Perda No 7 dan 8 tersebut maka Kabupaten Mandailing Natal kini memiliki 17 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 322 dan Kelurahan sebanyak 7 kelurahan. Kecamatan hasil pemekaran tersebut terdiri atas :

  1. Kecamatan Batahan

  2. Kecamatan Batang Natal

  3. Kecamatan Lingga Bayu

  4. Kecamatan Kotanopan

  5. Kecamatan Ulu Pungkut

  6. Kecamatan Tambangan

  7. Kecamatan Lembah Sorik Marapi

  8. Kecamatan Muara Sipongi

  9. Kecamatan Panyabungan

  10. Kecamatan Panyabungan Selatan

  11. Kecamatan Panyabungan Barat

  12. Kecamatan Panyabungan Utara

  13. Kecamatan Panyabungan Timur

  14. Kecamatan Natal

  15. Kecamatan Muara Batang Gadis

  16. Kecamatan Siabu

  17. Kecamatan Bukit Malintang Pada Tanggal 15 Februari 2007 Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan

  Perda No 10 Tahun 2007 tentang pembentukan kecamatan di Kabupaten Mandailing

  Natal, Kecamatan Ranto Baek, Kecamatan Huta Bargot, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kecamatan Pakantan, dan Kecamatan Sinunukan.

  Pada tanggal 7 Desember 2007 pemerintah Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda No. 45 Tahun 2007 dan No. 46 Tahun 2007 tentang pemecahan desa dan pembentukan Kecamatan Naga Juang di Kabupaten Mandailing Natal. Dengan demikian Kabupaten Mandailing Natal kini memiliki 23 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 353, kelurahan sebanyak 32 kelurahan dan 10 Unit Pemukiman Transmigrasi. Kecamatan hasil pemekaran tersebut terdiri atas :

  1. Kecamatan Batahan

  2. Kecamatan Batang Natal

  3. Kecamatan Lingga Bayu

  4. Kecamatan Kotanopan

  5. Kecamatan Ulu Pungkut

  6. Kecamatan Tambangan

  7. Kecamatan Lembah Sorik Merapi

  8. Kecamatan Muara Sipongi

  9. Kecamatan Panyabungan

  10. Kecamatan Panyabungan Selatan

  11. Kecamatan Panyabungan Barat

  12. Kecamatan Panyabungan Utara

  13. Kecamatan Panyabungan Timur

  14. Kecamatan Natal

  15. Kecamatan Muara Batang Gadis

  16. Kecamatan Siabu

  17. Kecamatan Bukit Malintang

  18. Kecamatan Ranto Baek

  19. Kecamatan Huta Bargot

  20. Kecamatan Puncak Sorik Marapi

  21. Kecamatan Pakantan

  22. Kecamatan Sinunukan

  23. Kecamatan Naga Juang

  Gambar. 2.3. Peta Kabupaten Mandailing Natal Sumber : Website resmi Kabupaten Mandailing Natal, www.madina.go.id

2.2.3.1 Luas, Letak Geografis dan Kondisi Topografis

  Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00.10’– 10050’Lintang Utara dan 98050’ - 100010’ Bujur Timur. Wilayah administrasi Mandailing Natal dibagi atas 17 kecamatan dan 392 desa/kelurahan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1998 pada tanggal 23 November 1998.

  Namun sampai pada tahun 2009, setelah terjadi pemekaran, maka jumlah kecamatan menjadi 23 kecamatan dan 395 desa/kelurahan. Daerah Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak paling selatan dari propinsi Sumatera Utara dengan batas-batas sebagai berikut :

  1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Padang Lawas 2. Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat.

  3. Sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Barat 4. Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia.

  Kabupaten Mandailing Natal mempunyai luas daerah sebesar 662.070 Ha atau 9,24 persen dari wilayah propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Muara Batang Gadis yakni 143.502 Ha (21,67%) dan terkecil yaitu Kecamatan Lembah Sorik Marapi sebesar 3.472,57 Ha (0,52%).

  Daerah Kabupaten Mandailing Natal dibedakan atas 3 bagian :

  • Dataran Rendah merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 00
    • – 20 dengan luas daerahnya sekitar 160.500 ha (24,24 %).

  • Daerah/dataran Landai dengan Kemiringan 20 - 150. Luas daerahnya 36.385 ha ( 5,49 % ).
  • Dataran Tinggi dengan kemiringan 150 - 400. Dataran tinggi dibedakan atas 2 jenis :

  a. Daerah perbukitan dengan luasnya 112.00 ha (16,91%) dengan kemiringan 150

  • – 200

  b. Daerah pergunungan dengan luas 353.185 ha ( 53,34% ) dengan kemiringan 200

  • – 400 Wilayah Mandailing Natal mempunyai iklim yang hampir sama dengan sebagian besar Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Hanya dikenal dua musim
yaitu musim hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai bulan September. Arus angin berasal dari Australia yang tidak mengandung uap air, sebaliknya musim hujan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Maret karena arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik.

  Keadaan ini seperti silih berganti setiap tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April

  • – Mei dan Oktober – November. Frekuensi curah hujan tahun 2009 lebih
  • 38 rendah jika dibandingan dengan tahun 2008 .

    2.2.3.2. Kondisi Demografi

      Kabupaten yang terdiri dari 23 kecamatan dengan kepadatannya yakni 64 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi di kecamatan Lembah Sorik Merapi yaitu 518 jiwa/km2 dan terkecil di kecamatan Muara Batang Gadis (10 jiwa/km2). Sesuai dengan nama daerahnya, penduduk mayoritas adalah suku Batak Mandailing, juga dihuni oleh suku-suku lainnya seperti, Batak, Jawa, Melayu, Minang dan lainnya.

      Pemerintah daerah merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan dapat memecahkan masalah kependudukan di daerah, dengan cara pemindahan penduduk dari Pulau Jawa melalui program transmigrasi yang terdapat di Kecamatan Natal dan Batang Natal berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah serta Program KB yang dimulai pada awal tahun 1970-an dapat menekan laju penduduk di wilayah Kabupaten Mandailing Natal.

      iakses pada tanggal 21 Desember 2014 pada pukul 20.47

      Tabel. 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin menurut Kecamatan Tahun 2012 Rasio

    Kecamatan Lk Pr Jumlah Jenis

    No

      Kelamin

      1 9.468 9.410 18.878 100,62 Batahan 2 7.237 7.187 14.424 100,70 Sinunukan 3 11.381 11.404 22.785 99,80 Batang Natal 4 10.967 11.018 21.985 99,54 Lingga Bayu 5 5.162 5.174 10.336 99,77 Ranto Baek

      14.428 15.431 29.859 93,50

    6 Kota Nopan

      7 Ulu Pungkut 2.831 2.990 5.821 94,68

      8 Tambangan 7.230 8.103 15.333 89,23 101,06

      9 Lembah Sorik Marapi 9.050 8.955 18.005

      10 Puncak Sorik Marapi 3.996 4.429 8.425 90,22

      11 Muara Sipongi 5.445 11.010 102,20 5.565 12 1.489 1.452 2.941 102,55

      Pakantan 37.146 39.336 76.482 94,43

      13 Panyabungan 14 5.050 5.660 10.710 89,22 Panyabungan Selatan 15 4.660 5.159 9.819 90,33 Panyabungan Barat 16 10.388 10.974 94,66 Panyabungan Utara 21.362

      17 Panyabungan Timur 6.633 7.040 13.673 94,22

      18 Huta Bargot 2.810 2.953 5.763 95,16

      19 Natal 13.455 13.306 26.761 101,12

      20 Muara Batang Gadis 7.546 7.530 15.076 100,21

      21 Siabu 25.708 27.790 53.498 92,51

      22 Bukit Malintang 6.439 6.588 13.027 97,74

      23 Naga Juang 1.939 1.977 3.916 98,08

      Jumlah 210.578 219.311 429.889 96,02

      Sumber: BPS Kabupaten Mandailing Natal, 2014

Dokumen yang terkait

BAB II URAIAN TEORITIS - Studi Deskriptif Fungsi Komunikasi Non Verbal Emoticon dalam Instant Messaging di kalangan Mahasiswa

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN - Studi Deskriptif Fungsi Komunikasi Non Verbal Emoticon dalam Instant Messaging di kalangan Mahasiswa

0 0 7

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

0 0 9

Partisipasi Masyarakat Dalam Menjaga Pelestarian Daerah Aliran Sungai Bahorok (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat)

1 1 6

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENJAGA PELESTARIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Pada Mayarakat Sekitar Sungai Bahorok di Desa Perkebunan Bukit Lawang Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat) Skripsi

0 1 8

PENDAHULUAN Latar Belakang - Nilai Budaya dalam Leksikon Erpangir Ku Lau Tradisi Suku Karo (Kajian Antropolinguistik)

0 0 13

ANALISIS GAYA BAHASA IKLAN ELEKTRONIK PRODUK KOSMETIK Fadlun Al fitri fadlun.alfitriyahoo.co.id Abstract - Analisis Gaya Bahasa Iklan Elektronik Produk Kosmetik

0 0 9

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 - Persepsi Mahasiswa FISIP USU Terhadap Video Parodi Vicky Prasetyo dan Zaskia Ghotic Karya Eka Gustiwana di Youtube

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Persepsi Mahasiswa FISIP USU Terhadap Video Parodi Vicky Prasetyo dan Zaskia Ghotic Karya Eka Gustiwana di Youtube

0 0 7

Analisis ―Hasan Rohani – Figur Multitalenta Menjadi Presiden Iran‖: Pendekatan Wacana Kritis

0 0 18