Policy Brief 2016 Bidang KKIAN PKP2A III
Policy Brief
PUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN APARATUR III
LAN SAMARINDA
TINDAKAN NYATA DALAM
PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR
PELAYANAN PUBLIK
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif
0
Pendahuluan
0
Deskripsi Masalah
0
Rekomendasi
0
Daftar Pustaka
0
Konsep lahirnya UU
No. 30 Tahun 2014 bukan
berdasar pada konteks
hukum
semata,
kelahirannya
merupakan
perpaduan
harmonis
antara konsep ilmu administrasi negara dan
ilmu hukum (dalam hal
ini hukum administrasi
negara). Dalam konsep
ilmu administrasi negara,
memperhatikan kepentingan
masyarakat
dengan berbagai persoalan dan solusi menjadi
ruang lingkupnya. Sementara dalam konteks
Hukum
Administrasi
Negara, dapat dilihat sebagai sebuah instrumen
pengaturan,
agar
sesuatunya dapat berjalan dengan baik, teratur, dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Persoalan diskresi hingga
saat ini masih sering dimaknai sebagai sesuatu
yang berbahaya dan
menakutkan untuk dilakukan. Hal ini berimplikasi pada ketakutanketakutan untuk berbuat
disebagian para pejabat
kita, termasuk untuk bertindak nyata. Mencermati kondisi tersebut, penting untuk memahami
ketentuan perundangan
bahwa diskresi sebagai
sebuah keputusan dan
atau tindakan. Hasil
penelitian
tentang
pelaksanaan diskresi pelayanan publik di kalimantan (Kota Pontianak
dan Kabupaten Kutai
Kartanegara) menunjukkan bahwa diskresi sebagai tindakan nyata tidak sulit dan menakutkan
untuk dilakukan demi
terciptanya
pelayanan
publik yang prima. Yang
tidak kalah penting dari
upaya penerapan diskresi
adalah pemahaman yang
sama oleh semua pihak
mengenai ruang lingkup
dan
karakteristiknya,
terutama bagi aparat
penegak hukum yang
dituntut untuk lebih progresif dalam memandang
konteks diskresi tanpa
mengurangi tujuan pencapaian
kepastian
hukumnya.
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Pendahuluan
Undang-Undang
No. 30 Tahun 2014
merupakan
produk
hukum
fenomenal
yang berhasil dibuat
oleh bangsa Indonesia.
Karakteristiknya yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan
bagi
penyelenggara
pemerintah
dalam
menjalankan tugasnya
membuat UU tentang
administrasi negara ini
ditunggu kehadirannya
selama ini. Konsep lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 bukan berdasar pada konteks
hukum semata, kelahirannya merupakan
perpaduan harmonis
antara konsep ilmu
administrasi
negara
dan
ilmu
hukum
(dalam hal ini hukum
administrasi negara).
Dalam konsep ilmu administrasi
negara,
memperhatikan
kepentingan masyarakat dengan berbagai
persoalan dan solusinya merupakan ruang lingkup dari administrasi negara. Administrasi negara haruslah
mampu
menjawab
tuntutan-tuntutan
masyarakat
yang
senantiasa
berkembang tersebut. Dengan
demikian, ketidak puasan masyarakat dapat
diperkecil
dan
dipersempit
jaraknya
(Thoha, 2005). Lebih
lanjut
disampaikan
bahwa Administrator –
administrator negara
diharapkan bekerja dalam kerangka kepentingan-kepentingan
umum, tidak mengeksploitasi
jabatannya
untuk mencapai tujuan
pribadi.
Mereka
mempunyai kewajiban
patuh terhadap un-
dang-undang dan peraturan (Thoha, 2005).
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Pendahuluan
Jabatan merupakan
bagian
yang
tidak
terpisahkan dari dimensi
administrasi
negara,dengan adanya jabatan maka administrasi
negara dapat berjalan,
begitu berperannya jabatan dalam administrasi
negara, Bahsan Mustafa
mengartikan bahwa administrasi negara sebagai
gabungan
jabatanjabatan yang dibentuk
dan
disusun
secara
bertingkat yang diserahi
tugas melakukan sebagian
dari
pekerjaan
pemerintah dalam arti
luas, yang tidak diserahkan kepada badanbadan pembuat undangundang dan badan-badan
kehakiman (Mustafa dalam Ridwan, 2006). Dari
definisi Bahsan Mustafa
tersebut dapat disimpulkan
bahwa
tugas
pemerintah yang paling
utama adalah sebagai
eksekutif atau pelaksana
kebijakan
melalui
berbagai penyediaan dan
penyelenggaraan
layanan publik
untuk
mencapai kepuasan dan
kesejahteraan masyarakat dengan berbagai jabatan yang dimilikinya.
Wujud dari pelaksanaan jabatan adalah pelayanan. Pelayanan yang
berkualitas merupakan
ciri dari masyarakat yang
dinamis. Proses check
and
balance
dalam
kegiatan
pelayanan
menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai
obyek pelayanan, melainkan dapat berperan juga
sebagai subyek layanan
melalui berbagai input
yang diberikan kepada
kepada pemerintah untuk memperbaiki kulaitas
pelayanan. Mekanisme
pelayanan dimaksud harus menjamin terciptanya
makna
pemerintahan
yang responsif, yakni
sosok
pemerintahan
yang sensitif, akomodatif
dan antisipatif terhadap
kebutuhan,
keinginan,aspirasi,
kepentingan, cita-cita, harapan,
motivasi, tuntutan, dan
keluhan rakyat serta bertanggung jawab kepada
rakyat atas pelaksanaan
tugasnya
sebagai
pengemban mandat kedaulatan rakyat, sebagai
abdi negara dan pelayan
masyarakat (Napitupulu,
2007).
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Pendahuluan
Adapun
konteks
Hukum
Administrasi
Negara di dalam UU No.
30 Tahun 2014 dapat
dilihat sebagai sebuah
konsep pengaturan, agar
sesuatunya dapat berjalan dengan baik, teratur, dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Adanya harapan tersebut, tidak terlepas dari
Konsep Hukum administrasi negara sebagai
instrumen yuridis yang
digunakan
oleh
pemerintahan
untuk
secara aktiv terlibat dalam
kehidupan
kemasyarakatan, dan di sisi
lain HAN merupakan
hukum
yang
dapat
digunakan oleh anggota
masyarakat
untuk
mempengaruhi
dan
memperoleh
perlindungan dari pemerintah.
Jadi HAN memuat peraturan mengenai aktivitas
pemerintahan (Wijk dan
Konijnenbelt dalam Ridwan 2006)
Proses
meleburkan
ilmu administrasi negara
dan ilmu hukum yang
sudah
terakomodasi
dengan baik di dalam UU
No. 30 tahun 2014 dalam
penerapannya
masih
jauh dari kata maksimal.
Salah
satu
subtansi
mengenai diskresi masih
sering berujung ke kriminalisasi walaupun sebagian pendapat yang lain
berpendapat bahwa persoalan hukum tersebut
harusnya
diselesaikan
dalam ranah peradilan
tata usaha negara, bukan
peradilan umum ataupun
peradilan korupsi. Kondisi tersebut pada akhirnya menjadi momok untuk
lahirnya pelaksanaan diskresi di sektor pelayanan
publik.
Diskresi di dalam ketentuan Pasal 1 angka 9
UU No. 30 tahun 2014
didefinisikan
sebagai
Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh
Pejabat
Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak
mengatur,
tidak
lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan. Dari defin-
isi tersebut dapat terlihat
bahwa kondisi UU memberikan pilihan, tidak
lengkap/jelas dan adanya
stagnasi merupakan persoalan konkrit yang harus diselesaikan melalui
diskresi.Dari Ketiga sifat
konkrit tersebut dalam
penerapannya
‘seharusnya’
dapat
digambarkan
secara
makro dan dapat diterjemahkan sangat luas
untuk
memudahkan,memtigasi kekhawatiran, memberikan
ketenangan dan menginisiasi lahirnya diskresi
ketika diperlukan.
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Deskripsi Masalah
Persoalan diskresi
dengan lahirnya UU
No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi
Negara, masih dimaknai sebagai sesuatu
yang berbahaya dan
menakutkan untuk dilakukan,
terlebih
dengan berbagai peristiwa hukum dimana
pejabat negara yang
merasa mendasarkan
tindakannya pada diskresi justru berujung
bui. Hal ini berimplikasi
pada
ketakutanketakutan untuk berbuat apapun disebagian para pejabat kita,
termasuk untuk bertindak nyata dalam menciptakan/memberikan
pelayanan yang menjadi kewajibannya. Jika
kondisi ini terus tejadi,
menjadi kurang makna
pengaturan
diskresi
berdasar UU No. 30
Tahun 2014.
Mencermati kondisi
tersebut, penting untuk memahami ketentuan perundangan
bahwa diskresi sebagai
sebuah keputusan dan
atau
tindakan.
Pemerintah melakukan
berbagai tindakan, baik
tindakan
nyata
(faitelijkhandelingen)
maupun
tindakan
hukum
(recthshandelingen).
Tindakan nyata adalah
tindakan-tindakan
yang tidak ada relevansinya
dengan
hukum, dan oleh karenanya
tidak
menimbulkan akibat hukum
(Versteden dalam Ridawan 2007). Tindakan
nyata merupakan keharusan yang harus
dilakukan oleh Pejabat
Pemerintah
dengan
wewenang yang dimilikinya untuk menjalankan kewenangannya
berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan dan AUPB.
Fungsi pemerintahan sebagaimana tersebut di dalam Pasal 1
angka 2 UU No. 30 tahun 2014 meliputi
fungsi pengaturan, pelayanan,
pem-
bangunan,
pemberdayaan, dan pelindungan. Kelima fungsi
tersebut menuntut tindakan nyata dari para
pejabat
pemerintah
untuk dapat terealisasikan. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dari tindakan nyata
pejabat
pemerintah
dalam
menjalankan
fungsinya, dapat kita
lihat bentuknya dalam
tabel di bawah ini:
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Deskripsi Masalah
Tabel 1.1
Tindakan Nyata Pelaksanaan Diskresi di Kota Pontianak dan Kabupaten Kutai Kartanegara
No
1.
Lokus
Tindakan Nyata Pelaksanaan Diskresi
Pemerintah
Kota Pontianak
Penundaan kelengkapan persyaratan pada permohonan ijin HO
Dibuat kebijakan bahwa ketika mengurus HO tidak ada IMB aslinya, maka proses masih dapat terus berlanjut. Diberikan semacam rekomendasi (nota) yang berfungsi sebagai IMB pendahuluan
yang berlaku hanya 1 tahun saja.
Meniadakan kelengkapan aspek teknis
pemeriksaan lapangan dapat dilakuakn melalui metode self assesment. Pemohon cukup membuat pernyataan bahwa memang benar rumah kos saya dengan kualifikasi X benar adanya,
Pembekuan data penduduk
Membekukan data penduduk yang tidak bertempat tinggal/domisili sesuai dengan alamat yang
tertera di dalam Kartu Keluarga/Kartu Tanda Penduduk lebih dari 1 tahun tanpa memberikan
laporan.
Memberikan bantuan biaya transportasi
Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial, Tidak tersebut di dalamnya mengenai bantuan untuk akomodasi dan transportasi bagi keluarga pasien
tidak mampu.Sehingga dapat masuk ke dalam kualifikasi diskresi.
Rumah Sakit tanpa kelas
Pelayanan/tindakan medis yang dilaksanakan berdasarkan jenis penyakit dan berat ringannya
penyakit tersebut, bukan pada kemampuan finasial pasien serta pelayanan medis sama untuk
semua pasien berdasarkan standar prosedur operasional (SPO) pelayanan.
Pernyataan terhutang bagi pasien yang tidak mampu
Mengambil kebijakan yang meringankan masyarakat dengan memberikan kemudahan dalam
transaksi pembayaran biaya rumah sakit. Di dalam form pasien diberikan tenggat waktu pem-
2.
Kabupaten
Kutai
Kartanegara
Menandatangani blanko Kartu Keluarga yang masih kosong
Surat Edaran (SE) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 471.14/13795/ , mencabut
dan menyatakan tidak berlakunya lagi seluruh surat yang berkaitan dengan petunjuk penandatangan Kartu Keluarga menggunakan scanner atau tanda tangan berupa stempel di kecamatan. Kebijakan baru tersebut dinilai cukup menghambat pelayanan. Sehingga untuk memperlancar pelayanan dibuat kebijakan dengan menandatangi blanko Kartu Keluarga terlebih dahulu
kemudian diserahkan kepada pihak UPT dengan dibuatkan berita acaranya.
Penerbitan surat pengantar/keterangan
Untuk penerbitan surat ijin lingkungan, tidak harus menunggu dokumen itu selesai, karena waktunya pasti melebihi 7 hari untuk di lingkungan Badan Lingkungan Hidup sendiri. Maka diambillah jalan tengah melalui kesepakatan, BLH dapat menerbitkan semacam surat pengantar/ keterangan sehingga proses perijinan dapat terus bejalan di BP2T, hingga keluar surat ijin yang
dimaksud
Pemberian keringanan terkait kekurangan kelengkapan
Membuat kebijakan dengan melanjutkan terus proses pengurusan proses perizinan walaupun
persyaratannya kurang. Persyaratan yang kurang wajib dipenuhi ketika masyarakat yang
mengajukan perizinan akan mengambil dokumen perizinannya.
Penitipan sementara pasien
pihak RSUD mengambil kebijakan untuk menitipkan pasien sementara di kamar yang masih
kosong meskipun kelasnya berbeda. Dengan begitu pasien masih bisa tertangani dan biaya akomodasi dibebankan sesuai dengan standar kelas pasien tersebut.
Membangun rumah sakit tipe C tanpa kelas di Kota Bangun
Memberikan take home pay serta tunjangan dan fasilitas kesehatan kepada tenaga medis
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Deskripsi Masalah
Pada
saat diskresi dengan mudah beradaptasi
di
konteks
administrasi
negara, hukum dengan
berbagai
konteksnya
dianggap masih membelenggu penerapan diskresi. Ahmad Ali dalam
Ahmad Rivai mengatakan
secara universal, jika
ingin keluar dari situasi
keterpurukan
hukum,
maka harus membebaskan diri dari belenggu
formalisme-positivisme,
karena
jika
hanya
mengandalkan pada teori dan pemahaman
hukum secara legalistikpositivistis yang hanya
berbasis pada peraturan
tertulis belaka, maka tidak akan mampu untuk
menangkap hakikat akan
kebenaran, keadilan dan
kemanusiaan (hal 37).
Dari pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa hukum harus lebih
membuka diri, harus
lebih progresif dan adaptasi dalam konsep penyelenggaraan pemerintahan yang terus berkembang tanpa mengurangi
sifat
kepastian
hukumnya. Hukum progresif yang bertumpu
pada manusia, membawa konsekwensi pentingnya sebuah kreativitas. Kreativitas penegak
hukum dalam memaknai
hukum tidak akan berhenti pada ‘mengeja undang-undang’,
tetapi
menggunakannya secara
sadar untuk mencapai
tujuan
kemanuasiaan
(Rahardjo dalam Dey).
Diakui memang positivisme hukum telah banyak
memberi
sumbangan
besar
dalam
pembangunan hukum modern di dunia. Namun,
bukan berarti ia tidak
memiliki kekurangannya
yang antara lain adalah
telah mengabaikan subtansi hukum yaitu keadilan dan kemanfaatan
(Yusriyadi dalam Sarmadi, 2012)
Terlepas
dari
berbagai ketakutan yang
masih
mencengkeram
sebagian para penyelenggara pemerintahan
dalam melakukan diskresi,
perlu
untuk
mendapatkan perhatian
bagi kita semua bahwa,
tidak perlu khawatir dalam memandang dan
melakukan diskresi. Dis-
kresi yang dilakukan tidak
harus
berwujud
produk
hukum
(keputusan).
Tindakan
nyata
yang
dapat
menghindarkan penyelenggaraan pemerintahan dari stagnasi merupakan wujud nyata dari
sebuah
diskresi,
sebagaimana
tindakan
nyata yang telah dilakukan beberapa pejabat
pemerintah di wilayah
kalimantan yang berhasil
diinventarisasi sebagai
hasil temuan lapangan
kajian “Diskresi Pelayanan Publik di di Kalimantan”. Kalaupun harus dilakukan diskresi
yang berupa tindakan
hukum, harus dipastikan
sebelumnya bahwa diskresi tersebut dilakukan
dengan tidak bertentangan dengan UU,
itikad baik, alasan yang
obyektif, dan sesuai denagn
asas
umum
pemerintahan yang baik
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Rekomendasi
1.
Dalam konteks UU No. 30 tahun 2014 diskresi yang merupakan hasil perpaduan dari 2
(dua) konsep keilmuan, yakni
administrasi negara dan hukum
(hukum administrasi negara)
dalam penerapannya hendaknya selalu berpacu kepada
kedua konsep keilmuan tersebut, baik oleh para penegak
hukum
dan
menjalankan
fungsinya dan oleh pemerintah
(penyelenggara pemerintahan)
dalam menjalankan tugasnya.
2. Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014
merupakan
jawaban
atas
berbagai persoalan konkrit
yang selama ini menjadi masalah dalam penyelenggaraan
negara. Keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat
merupakan prioritas yang ingin
dihadirkan secara pasti dalam
undang-undang ini. Untuk
menunjang lahirnya kondisi
tersebut, maka semua praktisi
hukum
harus
mempunyai
‘keinginan’ yang sama dalam
mewujudkannya. Para praktisi
hukum yang selama ini masih
cenderung berpikir secara
legisme dan Positivisme dalam
menyorot proses dan hasil dari
penyelenggaraan pemerintahan, diharapkan mampu membuka diri ke dalam pergerakan
hukum yang progresive.
3. Diskresi dalam aturannya tidak
saja berbentuk keputusan, tindakan nyata untuk mengatasi
stagnasi
penyelenggaraan
pemerintahan
merupakan
diskresi yang harusnya dapat
lebih diekplorasi oleh Pejabat
Pemerintah, khusunya yang
mengampu pelayanan publik,
agar berbagai persolan pemberian layanan yang selama
ini masih menjadi persoalan
dapat dikurangi.
4.
Pemahaman yang bagus
mengenai konsep diskresi
sangat diperlukan, baik oleh
kepala daerah maupun oleh
Pejabat Pemerintah. Pemahaman yang bagus akan
membantu untuk mengurangi
ketakutan-ketakutan
para elemen penyelenggara
pemerintahan ( Kepala daerah ataupun pejabat) dalam
melakukan pemberian pelayanan publik dengan kualitas
di atas rata-rata melalui media diskresi.
5. Untuk lebih menguatkan Pejabat Pengambil Kebijakan
dalam membuat diskresi
(baik berupa keputusan ataupun berupa tindakan), hendaknya
harus
mulai
dibangun budaya konsultasi
“fast responsive”.Walaupun
diskresi merupakan hak
seorang pejabat berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya, tetap dimungkinkan baginya untuk mengkonsultasikan rencana pengambilan
keputusan/tindakan diskresi
dengan unit organisasi yang
mempunyai tusi tersebut
seperti
Biro/Bagian
Hukum, oleh karenanya,
wajib hukumnya bagi
Biro/bagian Hukum untuk
mengembangkan dirinya
terhadap pengetahuan/
pemahaman
mengenai
diskresi, ruang lingkup
dan implikasinya.
6. Dari hasil kajian Diskresi
Pelayanan Publik di Kalimantan dapat disimpulkan bahwa diluar konteks
keilmuan,
beberapa
faktor
internal
pemerintah daerah yang
mempengaruhi lahirnya
diskresi, antara lain :
faktor kepemimpinan, visi
dan misi daerah, dan kondisi geografis.
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Daftar Pustaka
Rifai, Ahmad.,2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, Jakarta.
HR, Ridwan., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Thoha Miftah., 2005, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Napitupulu, Paiman., 2007, Pelayanan Public dan Customer Satisfaction, PT. Alumni, Bandung, .
Ravena Dey, Mencandra Hukum Progresif dan Peran Penegakan Hukum di Indonesia.https:/
www.google.co.id
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwimjpzqqK_
QAhXELI8KHdF2CEYQFggkMAE&url=http%3A%2F%2Fdownload.
Sarmadi,A Sukris, Vol. 12 No. 2 Mei 2012, Membebaskan positivisme hukum ke ranah hukum pro
gresif (Studi Pembacaan Teks Hukum Bagi Penegak Hukum), Jurnal Dinamika Hukum,
PUSAT KAJIAN DAN PENDIDIKAN
DAN PELATIHAN APARATUR III
LAN SAMARINDA
TINDAKAN NYATA DALAM
PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR
PELAYANAN PUBLIK
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif
0
Pendahuluan
0
Deskripsi Masalah
0
Rekomendasi
0
Daftar Pustaka
0
Konsep lahirnya UU
No. 30 Tahun 2014 bukan
berdasar pada konteks
hukum
semata,
kelahirannya
merupakan
perpaduan
harmonis
antara konsep ilmu administrasi negara dan
ilmu hukum (dalam hal
ini hukum administrasi
negara). Dalam konsep
ilmu administrasi negara,
memperhatikan kepentingan
masyarakat
dengan berbagai persoalan dan solusi menjadi
ruang lingkupnya. Sementara dalam konteks
Hukum
Administrasi
Negara, dapat dilihat sebagai sebuah instrumen
pengaturan,
agar
sesuatunya dapat berjalan dengan baik, teratur, dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Persoalan diskresi hingga
saat ini masih sering dimaknai sebagai sesuatu
yang berbahaya dan
menakutkan untuk dilakukan. Hal ini berimplikasi pada ketakutanketakutan untuk berbuat
disebagian para pejabat
kita, termasuk untuk bertindak nyata. Mencermati kondisi tersebut, penting untuk memahami
ketentuan perundangan
bahwa diskresi sebagai
sebuah keputusan dan
atau tindakan. Hasil
penelitian
tentang
pelaksanaan diskresi pelayanan publik di kalimantan (Kota Pontianak
dan Kabupaten Kutai
Kartanegara) menunjukkan bahwa diskresi sebagai tindakan nyata tidak sulit dan menakutkan
untuk dilakukan demi
terciptanya
pelayanan
publik yang prima. Yang
tidak kalah penting dari
upaya penerapan diskresi
adalah pemahaman yang
sama oleh semua pihak
mengenai ruang lingkup
dan
karakteristiknya,
terutama bagi aparat
penegak hukum yang
dituntut untuk lebih progresif dalam memandang
konteks diskresi tanpa
mengurangi tujuan pencapaian
kepastian
hukumnya.
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Pendahuluan
Undang-Undang
No. 30 Tahun 2014
merupakan
produk
hukum
fenomenal
yang berhasil dibuat
oleh bangsa Indonesia.
Karakteristiknya yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan
bagi
penyelenggara
pemerintah
dalam
menjalankan tugasnya
membuat UU tentang
administrasi negara ini
ditunggu kehadirannya
selama ini. Konsep lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 bukan berdasar pada konteks
hukum semata, kelahirannya merupakan
perpaduan harmonis
antara konsep ilmu
administrasi
negara
dan
ilmu
hukum
(dalam hal ini hukum
administrasi negara).
Dalam konsep ilmu administrasi
negara,
memperhatikan
kepentingan masyarakat dengan berbagai
persoalan dan solusinya merupakan ruang lingkup dari administrasi negara. Administrasi negara haruslah
mampu
menjawab
tuntutan-tuntutan
masyarakat
yang
senantiasa
berkembang tersebut. Dengan
demikian, ketidak puasan masyarakat dapat
diperkecil
dan
dipersempit
jaraknya
(Thoha, 2005). Lebih
lanjut
disampaikan
bahwa Administrator –
administrator negara
diharapkan bekerja dalam kerangka kepentingan-kepentingan
umum, tidak mengeksploitasi
jabatannya
untuk mencapai tujuan
pribadi.
Mereka
mempunyai kewajiban
patuh terhadap un-
dang-undang dan peraturan (Thoha, 2005).
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Pendahuluan
Jabatan merupakan
bagian
yang
tidak
terpisahkan dari dimensi
administrasi
negara,dengan adanya jabatan maka administrasi
negara dapat berjalan,
begitu berperannya jabatan dalam administrasi
negara, Bahsan Mustafa
mengartikan bahwa administrasi negara sebagai
gabungan
jabatanjabatan yang dibentuk
dan
disusun
secara
bertingkat yang diserahi
tugas melakukan sebagian
dari
pekerjaan
pemerintah dalam arti
luas, yang tidak diserahkan kepada badanbadan pembuat undangundang dan badan-badan
kehakiman (Mustafa dalam Ridwan, 2006). Dari
definisi Bahsan Mustafa
tersebut dapat disimpulkan
bahwa
tugas
pemerintah yang paling
utama adalah sebagai
eksekutif atau pelaksana
kebijakan
melalui
berbagai penyediaan dan
penyelenggaraan
layanan publik
untuk
mencapai kepuasan dan
kesejahteraan masyarakat dengan berbagai jabatan yang dimilikinya.
Wujud dari pelaksanaan jabatan adalah pelayanan. Pelayanan yang
berkualitas merupakan
ciri dari masyarakat yang
dinamis. Proses check
and
balance
dalam
kegiatan
pelayanan
menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai
obyek pelayanan, melainkan dapat berperan juga
sebagai subyek layanan
melalui berbagai input
yang diberikan kepada
kepada pemerintah untuk memperbaiki kulaitas
pelayanan. Mekanisme
pelayanan dimaksud harus menjamin terciptanya
makna
pemerintahan
yang responsif, yakni
sosok
pemerintahan
yang sensitif, akomodatif
dan antisipatif terhadap
kebutuhan,
keinginan,aspirasi,
kepentingan, cita-cita, harapan,
motivasi, tuntutan, dan
keluhan rakyat serta bertanggung jawab kepada
rakyat atas pelaksanaan
tugasnya
sebagai
pengemban mandat kedaulatan rakyat, sebagai
abdi negara dan pelayan
masyarakat (Napitupulu,
2007).
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Pendahuluan
Adapun
konteks
Hukum
Administrasi
Negara di dalam UU No.
30 Tahun 2014 dapat
dilihat sebagai sebuah
konsep pengaturan, agar
sesuatunya dapat berjalan dengan baik, teratur, dan dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Adanya harapan tersebut, tidak terlepas dari
Konsep Hukum administrasi negara sebagai
instrumen yuridis yang
digunakan
oleh
pemerintahan
untuk
secara aktiv terlibat dalam
kehidupan
kemasyarakatan, dan di sisi
lain HAN merupakan
hukum
yang
dapat
digunakan oleh anggota
masyarakat
untuk
mempengaruhi
dan
memperoleh
perlindungan dari pemerintah.
Jadi HAN memuat peraturan mengenai aktivitas
pemerintahan (Wijk dan
Konijnenbelt dalam Ridwan 2006)
Proses
meleburkan
ilmu administrasi negara
dan ilmu hukum yang
sudah
terakomodasi
dengan baik di dalam UU
No. 30 tahun 2014 dalam
penerapannya
masih
jauh dari kata maksimal.
Salah
satu
subtansi
mengenai diskresi masih
sering berujung ke kriminalisasi walaupun sebagian pendapat yang lain
berpendapat bahwa persoalan hukum tersebut
harusnya
diselesaikan
dalam ranah peradilan
tata usaha negara, bukan
peradilan umum ataupun
peradilan korupsi. Kondisi tersebut pada akhirnya menjadi momok untuk
lahirnya pelaksanaan diskresi di sektor pelayanan
publik.
Diskresi di dalam ketentuan Pasal 1 angka 9
UU No. 30 tahun 2014
didefinisikan
sebagai
Keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh
Pejabat
Pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak
mengatur,
tidak
lengkap atau tidak jelas,
dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan. Dari defin-
isi tersebut dapat terlihat
bahwa kondisi UU memberikan pilihan, tidak
lengkap/jelas dan adanya
stagnasi merupakan persoalan konkrit yang harus diselesaikan melalui
diskresi.Dari Ketiga sifat
konkrit tersebut dalam
penerapannya
‘seharusnya’
dapat
digambarkan
secara
makro dan dapat diterjemahkan sangat luas
untuk
memudahkan,memtigasi kekhawatiran, memberikan
ketenangan dan menginisiasi lahirnya diskresi
ketika diperlukan.
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Deskripsi Masalah
Persoalan diskresi
dengan lahirnya UU
No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi
Negara, masih dimaknai sebagai sesuatu
yang berbahaya dan
menakutkan untuk dilakukan,
terlebih
dengan berbagai peristiwa hukum dimana
pejabat negara yang
merasa mendasarkan
tindakannya pada diskresi justru berujung
bui. Hal ini berimplikasi
pada
ketakutanketakutan untuk berbuat apapun disebagian para pejabat kita,
termasuk untuk bertindak nyata dalam menciptakan/memberikan
pelayanan yang menjadi kewajibannya. Jika
kondisi ini terus tejadi,
menjadi kurang makna
pengaturan
diskresi
berdasar UU No. 30
Tahun 2014.
Mencermati kondisi
tersebut, penting untuk memahami ketentuan perundangan
bahwa diskresi sebagai
sebuah keputusan dan
atau
tindakan.
Pemerintah melakukan
berbagai tindakan, baik
tindakan
nyata
(faitelijkhandelingen)
maupun
tindakan
hukum
(recthshandelingen).
Tindakan nyata adalah
tindakan-tindakan
yang tidak ada relevansinya
dengan
hukum, dan oleh karenanya
tidak
menimbulkan akibat hukum
(Versteden dalam Ridawan 2007). Tindakan
nyata merupakan keharusan yang harus
dilakukan oleh Pejabat
Pemerintah
dengan
wewenang yang dimilikinya untuk menjalankan kewenangannya
berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan dan AUPB.
Fungsi pemerintahan sebagaimana tersebut di dalam Pasal 1
angka 2 UU No. 30 tahun 2014 meliputi
fungsi pengaturan, pelayanan,
pem-
bangunan,
pemberdayaan, dan pelindungan. Kelima fungsi
tersebut menuntut tindakan nyata dari para
pejabat
pemerintah
untuk dapat terealisasikan. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dari tindakan nyata
pejabat
pemerintah
dalam
menjalankan
fungsinya, dapat kita
lihat bentuknya dalam
tabel di bawah ini:
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Deskripsi Masalah
Tabel 1.1
Tindakan Nyata Pelaksanaan Diskresi di Kota Pontianak dan Kabupaten Kutai Kartanegara
No
1.
Lokus
Tindakan Nyata Pelaksanaan Diskresi
Pemerintah
Kota Pontianak
Penundaan kelengkapan persyaratan pada permohonan ijin HO
Dibuat kebijakan bahwa ketika mengurus HO tidak ada IMB aslinya, maka proses masih dapat terus berlanjut. Diberikan semacam rekomendasi (nota) yang berfungsi sebagai IMB pendahuluan
yang berlaku hanya 1 tahun saja.
Meniadakan kelengkapan aspek teknis
pemeriksaan lapangan dapat dilakuakn melalui metode self assesment. Pemohon cukup membuat pernyataan bahwa memang benar rumah kos saya dengan kualifikasi X benar adanya,
Pembekuan data penduduk
Membekukan data penduduk yang tidak bertempat tinggal/domisili sesuai dengan alamat yang
tertera di dalam Kartu Keluarga/Kartu Tanda Penduduk lebih dari 1 tahun tanpa memberikan
laporan.
Memberikan bantuan biaya transportasi
Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial, Tidak tersebut di dalamnya mengenai bantuan untuk akomodasi dan transportasi bagi keluarga pasien
tidak mampu.Sehingga dapat masuk ke dalam kualifikasi diskresi.
Rumah Sakit tanpa kelas
Pelayanan/tindakan medis yang dilaksanakan berdasarkan jenis penyakit dan berat ringannya
penyakit tersebut, bukan pada kemampuan finasial pasien serta pelayanan medis sama untuk
semua pasien berdasarkan standar prosedur operasional (SPO) pelayanan.
Pernyataan terhutang bagi pasien yang tidak mampu
Mengambil kebijakan yang meringankan masyarakat dengan memberikan kemudahan dalam
transaksi pembayaran biaya rumah sakit. Di dalam form pasien diberikan tenggat waktu pem-
2.
Kabupaten
Kutai
Kartanegara
Menandatangani blanko Kartu Keluarga yang masih kosong
Surat Edaran (SE) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 471.14/13795/ , mencabut
dan menyatakan tidak berlakunya lagi seluruh surat yang berkaitan dengan petunjuk penandatangan Kartu Keluarga menggunakan scanner atau tanda tangan berupa stempel di kecamatan. Kebijakan baru tersebut dinilai cukup menghambat pelayanan. Sehingga untuk memperlancar pelayanan dibuat kebijakan dengan menandatangi blanko Kartu Keluarga terlebih dahulu
kemudian diserahkan kepada pihak UPT dengan dibuatkan berita acaranya.
Penerbitan surat pengantar/keterangan
Untuk penerbitan surat ijin lingkungan, tidak harus menunggu dokumen itu selesai, karena waktunya pasti melebihi 7 hari untuk di lingkungan Badan Lingkungan Hidup sendiri. Maka diambillah jalan tengah melalui kesepakatan, BLH dapat menerbitkan semacam surat pengantar/ keterangan sehingga proses perijinan dapat terus bejalan di BP2T, hingga keluar surat ijin yang
dimaksud
Pemberian keringanan terkait kekurangan kelengkapan
Membuat kebijakan dengan melanjutkan terus proses pengurusan proses perizinan walaupun
persyaratannya kurang. Persyaratan yang kurang wajib dipenuhi ketika masyarakat yang
mengajukan perizinan akan mengambil dokumen perizinannya.
Penitipan sementara pasien
pihak RSUD mengambil kebijakan untuk menitipkan pasien sementara di kamar yang masih
kosong meskipun kelasnya berbeda. Dengan begitu pasien masih bisa tertangani dan biaya akomodasi dibebankan sesuai dengan standar kelas pasien tersebut.
Membangun rumah sakit tipe C tanpa kelas di Kota Bangun
Memberikan take home pay serta tunjangan dan fasilitas kesehatan kepada tenaga medis
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Deskripsi Masalah
Pada
saat diskresi dengan mudah beradaptasi
di
konteks
administrasi
negara, hukum dengan
berbagai
konteksnya
dianggap masih membelenggu penerapan diskresi. Ahmad Ali dalam
Ahmad Rivai mengatakan
secara universal, jika
ingin keluar dari situasi
keterpurukan
hukum,
maka harus membebaskan diri dari belenggu
formalisme-positivisme,
karena
jika
hanya
mengandalkan pada teori dan pemahaman
hukum secara legalistikpositivistis yang hanya
berbasis pada peraturan
tertulis belaka, maka tidak akan mampu untuk
menangkap hakikat akan
kebenaran, keadilan dan
kemanusiaan (hal 37).
Dari pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa hukum harus lebih
membuka diri, harus
lebih progresif dan adaptasi dalam konsep penyelenggaraan pemerintahan yang terus berkembang tanpa mengurangi
sifat
kepastian
hukumnya. Hukum progresif yang bertumpu
pada manusia, membawa konsekwensi pentingnya sebuah kreativitas. Kreativitas penegak
hukum dalam memaknai
hukum tidak akan berhenti pada ‘mengeja undang-undang’,
tetapi
menggunakannya secara
sadar untuk mencapai
tujuan
kemanuasiaan
(Rahardjo dalam Dey).
Diakui memang positivisme hukum telah banyak
memberi
sumbangan
besar
dalam
pembangunan hukum modern di dunia. Namun,
bukan berarti ia tidak
memiliki kekurangannya
yang antara lain adalah
telah mengabaikan subtansi hukum yaitu keadilan dan kemanfaatan
(Yusriyadi dalam Sarmadi, 2012)
Terlepas
dari
berbagai ketakutan yang
masih
mencengkeram
sebagian para penyelenggara pemerintahan
dalam melakukan diskresi,
perlu
untuk
mendapatkan perhatian
bagi kita semua bahwa,
tidak perlu khawatir dalam memandang dan
melakukan diskresi. Dis-
kresi yang dilakukan tidak
harus
berwujud
produk
hukum
(keputusan).
Tindakan
nyata
yang
dapat
menghindarkan penyelenggaraan pemerintahan dari stagnasi merupakan wujud nyata dari
sebuah
diskresi,
sebagaimana
tindakan
nyata yang telah dilakukan beberapa pejabat
pemerintah di wilayah
kalimantan yang berhasil
diinventarisasi sebagai
hasil temuan lapangan
kajian “Diskresi Pelayanan Publik di di Kalimantan”. Kalaupun harus dilakukan diskresi
yang berupa tindakan
hukum, harus dipastikan
sebelumnya bahwa diskresi tersebut dilakukan
dengan tidak bertentangan dengan UU,
itikad baik, alasan yang
obyektif, dan sesuai denagn
asas
umum
pemerintahan yang baik
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Rekomendasi
1.
Dalam konteks UU No. 30 tahun 2014 diskresi yang merupakan hasil perpaduan dari 2
(dua) konsep keilmuan, yakni
administrasi negara dan hukum
(hukum administrasi negara)
dalam penerapannya hendaknya selalu berpacu kepada
kedua konsep keilmuan tersebut, baik oleh para penegak
hukum
dan
menjalankan
fungsinya dan oleh pemerintah
(penyelenggara pemerintahan)
dalam menjalankan tugasnya.
2. Lahirnya UU No. 30 Tahun 2014
merupakan
jawaban
atas
berbagai persoalan konkrit
yang selama ini menjadi masalah dalam penyelenggaraan
negara. Keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat
merupakan prioritas yang ingin
dihadirkan secara pasti dalam
undang-undang ini. Untuk
menunjang lahirnya kondisi
tersebut, maka semua praktisi
hukum
harus
mempunyai
‘keinginan’ yang sama dalam
mewujudkannya. Para praktisi
hukum yang selama ini masih
cenderung berpikir secara
legisme dan Positivisme dalam
menyorot proses dan hasil dari
penyelenggaraan pemerintahan, diharapkan mampu membuka diri ke dalam pergerakan
hukum yang progresive.
3. Diskresi dalam aturannya tidak
saja berbentuk keputusan, tindakan nyata untuk mengatasi
stagnasi
penyelenggaraan
pemerintahan
merupakan
diskresi yang harusnya dapat
lebih diekplorasi oleh Pejabat
Pemerintah, khusunya yang
mengampu pelayanan publik,
agar berbagai persolan pemberian layanan yang selama
ini masih menjadi persoalan
dapat dikurangi.
4.
Pemahaman yang bagus
mengenai konsep diskresi
sangat diperlukan, baik oleh
kepala daerah maupun oleh
Pejabat Pemerintah. Pemahaman yang bagus akan
membantu untuk mengurangi
ketakutan-ketakutan
para elemen penyelenggara
pemerintahan ( Kepala daerah ataupun pejabat) dalam
melakukan pemberian pelayanan publik dengan kualitas
di atas rata-rata melalui media diskresi.
5. Untuk lebih menguatkan Pejabat Pengambil Kebijakan
dalam membuat diskresi
(baik berupa keputusan ataupun berupa tindakan), hendaknya
harus
mulai
dibangun budaya konsultasi
“fast responsive”.Walaupun
diskresi merupakan hak
seorang pejabat berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya, tetap dimungkinkan baginya untuk mengkonsultasikan rencana pengambilan
keputusan/tindakan diskresi
dengan unit organisasi yang
mempunyai tusi tersebut
seperti
Biro/Bagian
Hukum, oleh karenanya,
wajib hukumnya bagi
Biro/bagian Hukum untuk
mengembangkan dirinya
terhadap pengetahuan/
pemahaman
mengenai
diskresi, ruang lingkup
dan implikasinya.
6. Dari hasil kajian Diskresi
Pelayanan Publik di Kalimantan dapat disimpulkan bahwa diluar konteks
keilmuan,
beberapa
faktor
internal
pemerintah daerah yang
mempengaruhi lahirnya
diskresi, antara lain :
faktor kepemimpinan, visi
dan misi daerah, dan kondisi geografis.
Policy Brief
TINDAKAN NYATA DALAM PENERAPAN DISKRESI DI SEKTOR PELAYANAN PUBLIK
Daftar Pustaka
Rifai, Ahmad.,2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, Jakarta.
HR, Ridwan., 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Thoha Miftah., 2005, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Napitupulu, Paiman., 2007, Pelayanan Public dan Customer Satisfaction, PT. Alumni, Bandung, .
Ravena Dey, Mencandra Hukum Progresif dan Peran Penegakan Hukum di Indonesia.https:/
www.google.co.id
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwimjpzqqK_
QAhXELI8KHdF2CEYQFggkMAE&url=http%3A%2F%2Fdownload.
Sarmadi,A Sukris, Vol. 12 No. 2 Mei 2012, Membebaskan positivisme hukum ke ranah hukum pro
gresif (Studi Pembacaan Teks Hukum Bagi Penegak Hukum), Jurnal Dinamika Hukum,