First , the more frequent land conflicts and disputes occurring in most parts of

First , the more frequent land conflicts and

  disputes occurring in most parts of Indonesia. These land disputes can involve various parties both among/between certain governmental institution and the people, between people and institutions and the people, between people and investors, among/between governmental institution,or among the people themselves. The disputes can also take place in almost all sectors; industries,tourism, mining, forestry, etc.

  .

  Second, land ownership and land tenure are concentrated in the hands of a small group of people. In rural areas this concentration of land tenure can be seen from the results of agricultural censuses of the last few decades. The agriculture census of 1993 shows that 69% of agricultural landwas under the control of 16% of rural households while 31% of agricultural land is controlled by small and landless farmers, which contribute to 84% of rural households. On the other hand, in the last three decades, the average size of land tenure of agricultural household’s is decreasing, namely from 1.05 hectare in 1983 to 0.74 hectare in 1993, and this number is predicted to be falling sharply in agriculture census in 2003.

  Meanwhile, an illustration of the concentration of land ownership and landholding in urban areas can be seen through the increasing number of poor groups who get marginalized and even have lost their land for the various

  

Third, the weak legal guarantee over land can

  be seen through the lack of protection of people’s rights over land, especially the poor group. In the last couple of years there have been processes of land takeover, including the ulayat land controlled by a certain indigenous group, or various needs without sufficient protection. During the economic crisis, the occupation of land thathad been registered of provided its rights occurred in both rural and urban areas. Such condition at lastgives rise to poverty

  Istilah land reform mempunyai arti yang sangat luas. Di dalam artikelnya

  • Toward a Theory of Land Reform, Michael Lipton menunjukkan, jika kita

  mencoba untuk membuat definisi land reform maka akan menimbulkan tiga masalah yaitu: They may be insufficient … and an insufficient definition of land reform

  • permits something not correctly or normally counted as land reform to slip in. Definitions may be more than sufficient … A more than sufficient
  • definition of land reform excludes something correctly or normally counted as land reform. A definition can be plain wrong, specifying characteristic that do not
  • really belong to the object defined, … A plain wrong definition of land reform would both exclude things that should be out

  

“In Law it is property; in political science it is

source of power and strategy; in economics it is a factor of production and a form of capitals; in social psychology it is personalised guarantor of security; in anthropology it is an item of culture and impart of social system; in agriculture it means basically the soil; to geographers land can mean most of these things, but most of all perhaps

  

Karena pengertiannya luas, land reform diartikan berbeda-beda menurut pengertian tertentu yang berlainan pada setiap disiplin. Tetapi Russel King menunjukkan bahwa pada umumnya perbedaan pengertian dan definisi menyoroti 2 pengertian secara umum:

  

a. Land reform is invariably a more or less direct, publicly controlled

change in the existing character of land ownership.

  

b. It normally attempts a diffusion of wealth, and productive

capacity

   Dalam kasus-kasus tanah land reform, dikenal dengan agrarian reform sekedar untuk memberikan pengertian perubahan dalam gambaran secara menyeluruh.

   Sebaliknya, beberapa fihak menerjemahkan land reform secara sempit dan tradisional yaitu sebagai alat untuk mengadakan penyediaan tanah bagi penggarap , yang biasanya dikenal sebagai redistribusi tanah atau dianggap

  1. Menurut PBB agrarian reform mencakup hal sebagai berikut

  : 2. Land tenure, the legal customary system under which land is owned;

  3. The redistribution of ownership of farm property between

  large estate and peasant farms of various sizes; 4. Land tenancy, the system under which land is operated its product divided between operator and owner;

  5. The organisation of credit, production and marketing; 6.

  The mechanism through which agriculture is financed; 7. The burdens imposed on rural population by government in the form of taxation;

  8. The services supplied by government to rural populations

  such as technical advice, educational facilities, health services, water supply and communication

Land Reform secara luas di Indonesia adalah berupa Agrarian Reform (“Panca Program”), yaitu: 1. Pelaksanaan pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum; 2. Penghapusan terhadap segala macam hak-hak asing dan konsesi- konsesi kolonial atas tanah;

  yang telah banyak melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui penguasaan tanah secara berangsur-angsur; 4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaan atas tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;

  

  merupakan tindakan-tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia,

  

  melakukan perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaan atas tanah (termuat dalam butir 4 diatas).

  

  Selanjutnya dalam pengkajian ini istilah Land Reform akan digunakan dalam cara yang lebih terbatas yang mengarah ke program Pemerintah menuju pemerataan kembali pemilikan

Dewan Pertimbangan Agung-RI

  

  dalam usulnya tentang “Perombakan hak tanah dan penggunaan tanah menyatakan, bahwa land reform bertujuan: “agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup tani meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat”.

  

  Selanjutnya land reform bertujuan untuk: “memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat

   Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidatonya tanggal 12 September 1960 yang mengantarkan RUU Pokok Agraria di muka sidang Pleno DPR-GR menyatakan bahwa tujuan Land Reform di Indonesia adalah: 1. untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial; 2. untuk melaksanakan prinsip “tanah untuk tani”, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan alat pemerasan;

  3. untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perorangan dan turun temurun, tetapi berfungsi sosial;

  4. untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian mengikis sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah;

  5. untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani.

  Presiden Soekarno dalam Pidato JAREK (Jalannya

  Revolusi Kita), yaitu pidato tanggal 17 Agustus 1960, menyatakan mengenai land reform :

  

1. “Melaksanakan land reform berarti melaksanakan

satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.

  Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan omong besar tanpa isi”.

  Bangsa-Bangsa bahwa: “defects in agrarian

  structure, and in particular system of land tenure, prevent a rise in the standard of living of small farmers and agricultural labourers and impede economic development” (Keburukan-keburukan

  dalam susunan pertanahan, dan terutama sekali keburukan-keburukan dalam cara-cara pengolahan

  1. Landasan Idiil : Pancasila

  2. Landasan Konstitusional : Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 3.

  Landasan Operasional :

  4. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 7, 10, 13, 15, 17 dan 53;

  5. Undang-Undang (UU) nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;

  6. UU nomor 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian;

  

7. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian

Tanah dan Pemberian Ganti Rugi;

  8. PP nomor 41/1964 tentang Perubahan dan tambahan PP nomor 224/1961;

  9. PP nomor 4/1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri;

  10. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) nomor 15/1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Land Reform;

  11. Instruksi Presiden (Inpres) nomor 13 tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan UU no. 2/1960;

  12. Keputusan Presiden (Keppres) nomor 54/1980 tentang Kebijaksanaan Pencetakan Sawah;

  13. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) nomor 3/1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah dan Obyek Land Reform Secara Swadaya;

  14. UU nomor 24/1992 tentang Tata Ruang;

  1. Larangan penguasaan tanah melebihi batas maksimum; 2.

  Larangan pemilikan tanah secara guntai/absentee;

  

3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas

maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah- tanah Negara; 4.

  Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah- tanah pertanian yang digadaikan;

  5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian; dan

  

6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian

dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terpecahnya pemilikan tanah-tanah