177 siti wihdatul himmah

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016

Analisis Distribusi Temperatur Atmosfer Matahari saat Gerhana
Matahari Total 9 Maret 2016 di Palu, Sulawesi Tengah
SITI WIHDATUL HIMMAH1), HENDRA AGUS PRASETYO2,*), NURLATIFAH KAFILAH1), RIFKO HARNY DWI
CAHYO1), YUDYANTO2,*), SUTRISNO2), BAMBANG SETIAHADI3)
1) Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Jl. Semarang 5 Malang
E-mail: hsitiwihdatul@yahoo.co.id
2) Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri Malang. Jl. Semarang 5 Malang
E-mail: hendra_agus_prastyo@yahoo.co.id
3) Lapan, Watukosek, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur
E-mail: bambangsetiahadi@rocketmail.com
TEL: 085655443117
ABSTRAK: Gerhana Matahari total pada 9 Maret 2016, hanya dapat diamati secara optimal di
Indonesia. Saat itu merupakan kondisi terbaik untuk menganalisis distribusi temperatur
atmosfer Matahari dengan menggunakan data intensitas. Pengambilan data intensitas hanya
dapat dilakukan pada saat gerhana Matahari total karena kromosfer dan korona terlihat pada
waktu itu. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan kamera DSLR yang terhubung
dengan teleskop. Data intensitas diperoleh dengan menggunakan software IRIS dan diambil
sebanyak 500 piksel terdiri dari 250 piksel di kromosfer dan 250 piksel di korona. Pengambilan
data intensitas berada pada kisaran 1.000 km-100.000 km dari permukaan Matahari.

Berdasarkan data intensitas, temperatur atmosfer Matahari ditentukan dengan menggunakan
pendekatan hukum Stefan-Boltzmann yang menyatakan bahwa intensitas berbanding lurus
dengan temperatur pangkat empat. Berdasarkan analisis data, temperatur di kromosfer berkisar
antara 4.529,51-4.606,23 K, sedangkan di korona berkisar antara 1.237.605,80-1.412.639,26 K,
tetapi jika ketinggian lebih dari 40.000 km, temperatur akan menurun. Hal ini ditunjukkan
dengan temperatur di 100.000 km adalah 1.343.182,65 K. Oleh karena itu, metode ini hanya
dapat digunakan untuk mengukur temperatur korona sampai 40.000 km dari permukaan
Matahari.
Kata Kunci: Gerhana Matahari Total, Intensitas Citra Matahari, Temperatur Kromosfer,
Temperatur Korona.

PENDAHULUAN
Gerhana Matahari Total adalah peristiwa alam yang terjadi ketika piringan bulan
sama dengan atau tampak lebih besar daripada piringan Matahari. Peristiwa gerhana
Matahari merupakan peristiwa alam yang langka. Peristiwa gerhana Matahari terjadi
sebanyak 1-2 kali dalam satu tahun dan hanya dapat diamati pada area yang relatif
kecil. Pada tahun 2016, terjadi Gerhana Matahari Total pada tanggal 9 Maret. Gerhana
Matahari Total tersebut merupakan satu-satunya Gerhana Matahari Total yang terjadi
pada tahun 2016. Gerhana Matahari Total tersebut merupakan gerhana ke-52 dari 73
gerhana pada seri Saros 130 (Espenak, 2013).

Berdasarkan hasil analisis National Aeronautics and Space Administration (NASA),
beberapa kota di Indonesia dilewati Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016. Beberapa
kota tersebut antara lain Kota Balikpapan, Kota Palembang, Kota Ternate, dan Kota
Palu. Palu memiliki durasi Gerhana Matahari Total yang relatif lama sekitar 2 menit 2
detik (NASA, 2015). Dengan demikian, analisis temperatur di atmosfer Matahari dapat
diteliti dan dikaji secara efektif di Kota Palu. Salah satu penelitian yang dapat
dilakukan yaitu menganalisis temperatur atmosfer Matahari.
Analisis temperatur di atmosfer Matahari dapat dilakukan ketika terjadi Gerhana
Matahari Total, karena bagian utama dari struktur atmosfer Matahari, yakni kromosfer
terlihat jelas dari bumi. Keuntungan yang didapat dalam kasus ini, adalah bahwa sinar
langsung dari piringan tidak lagi tersebar oleh atmosfer dan latar belakang cahaya yang
ISBN 978-602-71279-1-9

FA-12

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
kuat tidak diproduksi. Dengan demikian, cahaya putih korona dapat diamati untuk
radius yang jauh lebih besar (Gibson et al, 1973).
Dalam melakukan analisis temperatur kromosfer dan korona Matahari, data yang
digunakan berupa citra kromosfer Matahari yang diperoleh dengan menggunakan

kamera DSLR yang terhubung dengan teleskop. Berdasarkan data citra kromosfer dan
korona tersebut, distribusi temperatur di atmosfer Matahari dapat dianalisis
berdasarkan intensitas citra kromosfer dan korona melalui pendekatan hukum StefanBoltzmann s
.

METODE PENELITIAN
Pengambilan data citra atmosfer Matahari diolah dengan menggunakan kamera
DSLR yang terhubung dengan teleskop karena lebih sederhana daripada menggunakan
koronagraf. Kemudian, format data dari citra adalah raw, sehingga data intensitas citra
atmosfer Matahari dapat tercatat. Setelah itu, data citra ini diproses menggunakan
software IRIS.
Data intensitas citra diambil sekitar 500 piksel terdiri dari 250 piksel di kromosfer
dan 250 piksel di korona. Pengambilan data intensitas di area kromosfer dan korona
berdasarkan ketinggian pada kisaran 1.000 km-100.000 km dari permukaan Matahari.
Pada kromosfer, diperoleh data di 1.176,48 km, 1.470,61 km, 1.764,73 km, and 2.058,85
km, diambil 63 piksel dari setiap ketinggian. Pada korona, diperoleh data di 4.117,69
km, 10.000,11 km, 20.000,23 km, 40.000,46 km, and 100.001,14 km, diambil 50 piksel
dari setiap ketinggian.
Temperatur atmosfer Matahari dapat ditentukan dengan menggunakan pendekatan
hukum Stefan-Boltzmann

. Dari persamaan tersebut, temperatur atmosfer
Matahari dapat dihitung berdasarkan intensitas citra atmosfer Matahari. Intensitas
standart citra atmosfer Matahari ditentukan dari rata-rata 5 piksel sampel di kromosfer
dan 5 piksel sampel di korona. Intensitas standart citra untuk kromosfer adalah 4.500 K
dan 1.257,140 K untuk korona.

Gambar 1.Citra Korona Matahari.

Gambar 2.Citra Korona Matahari.

Kemudian temperatur kromosfer dan korona dapat dihitung dari setiap ketinggian
dengan perbandingan berikut.
dimana,
intensitas standar citra
intensitas citra untuk data ke

temperatur untuk data ke - n
n

urutan data (1,2,3,...,250)


temperatur standar citra
ISBN 978-602-71279-1-9

FA-13

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
HASIL DAN PEMBAHASAN

Temperatur Kromosfer
Berdasarkan hasil perhitungan temperatur di kromosfer diketahui terdapat
perbedaan temperatur pada setiap ketinggian dari permukaan Matahari. Perbedaan
temperatur berbanding lurus dengan ketinggian dari permukaan Matahari.

Temperatur pada ketinggian 1.176,48 km adalah 4.529,52 K, sedangkan pada
ketinggian 2.058,85 km temperaturnya adalah 4.606,23 K. Dengan demikian, laju
perubahan temperatur di kromosfer adalah 5,18 K/km. Kromosfer memiliki temperatur
yang meningkat dari temperatur minimum sebesar 4.400 K (500 km dari fotosfer)
(Phillips et al, 2003). Berikut ini adalah tabel dan grafik temperatur rata-rata di
kromosfer pada setiap ketinggian tertentu.

Tabel 1.Temperatur Kromosfer pada Setiap Ketinggian Tertentu
No.

Ketinggian (km)

Temperatur (K)

1

1.176,48

4.529,52

2

1.470,61

4.563,43

3


1.764,73

4.587,13

4

2.058,85

4.606,23

Gambar 3.Temperatur Kromosfer.

Temperatur Korona

Hasil perhitungan temperatur di korona juga diketahui terdapat perbedaan
temperatur pada setiap ketinggian dari permukaan Matahari.berikut adalah tabel
temperatur rata-rata di korona pada setiap ketinggian tertentu.
Tabel 2.Temperatur Korona pada Setiap Ketinggian Tertentu
No.


Ketinggian (km)

1

4.117,69

1.237.605,80

2

10.000,11

1.334.605,71

ISBN 978-602-71279-1-9

Temperatur (K)

FA-14


SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
3

20.000,23

1.379.354,98

4

40.000,46

1.412.639,26

5

100.001,14

1.343.182,65


Gambar 4.Temperatur Korona.

Dari tabel tersebut, temperatur pada ketinggian 4.117,69 km adalah 1.237.605,80 K,
sedangkan pada ketinggian 100.001,14 km temperaturnya adalah 1.343.182,65 K. Tetapi
pada ketinggian 40.000,46 km temperaturnya lebih tinggi dibandingkan pada ketinggian
100.001,14 km, yaitu sebesar 1.412.639,26 K. Nilai ini memiliki perbedaan sekitar
100.000 K berdasarkan pengukuran dengan metode observasi tingkat tinggi ionisasi
atom koronal, yang didasarkan pada metode ini, nilainya adalah 1,5 juta K (Gibson et al,
1973). Hal ini disebabkan perhitungan temperatur di korona menggunakan data
intensitas citra, sedangkan di atas ketinggian 40.000,46 km intensitasnya mengalami
penurunan. Berikut adalah tabel perubahan intensitas citra korona pada setiap
ketinggian tertentu.
Tabel 3. Intensitas Citra Korona Rata-Rata pada Setiap Ketinggian Tertentu
No.

Ketinggian (km)

Intensitas

1


4.117,69

8.895,58

2

10.000,11

12.038,30

3

20.000,23

13.730,68

4

40.000,46

15.099,72

5

100.001,14

12.343,02

ISBN 978-602-71279-1-9

FA-15

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016

Gambar 5.Intensitas Citra Korona.

Dari tabel tersebut, intensitas pada ketinggian 10.000,11 km adalah 12.038,30
sedangkan pada ketinggian 100.001,14 km intensitasnya adalah 12.343,02. Hal ini
menunjukkan bahwa intensitas pada kedua ketinggian tersebut relatif sama, sehingga
temperaturnya mengalami penurunan dari ketinggian 40.000,46 km.
Temperatur Atmosfer Matahari
Berdasarkan data temperatur kromosfer dan temperatur korona, maka distribusi
tempeatur atmosfer Matahari dapat diperoleh. Berikut grafik distribusi temperatur
atmosfer Matahari.

Gambar 6. Temperatur atmosfer Matahari.

Grafik tersebut menggambarkan bahwa suhu meningkat sangat signifikan dari
K dari suhu kromosfer
kromosfer ke korona. Meningkatnya suhu korona ini mencapai
karena ada lebih banyak energi yang diperlukan untuk melepaskan banyak elektron
dari atom (Karttunen et al, 2007).
Selain itu, terdapat sumber energi alternatif lain yang menjelaskan bagaimana
K dari suhu kromosfer, yaitu energi mekanik
peningkatan suhu korona mencapai
ISBN 978-602-71279-1-9

FA-16

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
atau akustik. Gelombang akustik dan magnetohidrodinamik (Alfvén) akan dihasilkan
secara melimpah dari gejolak lapisan luar konveksi Matahari. Gelombang yang
merambat ke arah luar akan mengalami daerah dengan kerapatan yang semakin
rendah. Gelombang energi akan dibagi ke dalam partikel yang lebih sedikit dan lebih
sedikit. Akhirnya, partikel akan terdorong untuk memiliki kecepatan yang lebih tinggi
dari kecepatan suara. Fenomena ini dikenal sebagai efek whiplash. Gelombang menjadi
gelombang kejut, dan energi gelombang cepat disimpan ke dalam medium sebagai
gerakan acak dari partikel. Matahari mengalami deposisi energi terutama di dekat
pangkal korona, dan kerapatan partikel menjadi sangat rendah sehingga suhu kinetik
teramati dalam nilai-nilai ekstrim. (Kitchin, 1987)

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data, terdapat peningkatan temperatur di atmosfer Matahari
dengan meningkatnya ketinggian dari permukaan Matahari. Suhu pada kromosfer lebih
rendah dari fotosfer tetapi meningkat di setiap ketinggian. Suhu di korona lebih tinggi
dari fotosfer, yaitu lebih dari 1 juta Kelvin. Tapi, ketika lebih dari 40.000 km dari
permukaan Matahari, suhu korona menurun, karena metode yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan intensitas citra korona. Oleh karena itu, metode ini hanya
dapat digunakan untuk mengukur suhu korona sampai 40.000 km dari permukaan
Matahari.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (KEMENRISTEK DIKTI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara
(LAPAN), dan Universitas Negeri Malang.
DAFTAR RUJUKAN
Espenak, Fred., 2013. Solar Eclipse: 2011-2020, (Online), (http://eclipse.gsfc.
nasa.gov/SEdecade/SEdecade2011.html ), diakses 28 Oktober 2015.
Javascript Solar Eclipse Explorer. National Aeronautics and Space Administration
(NASA) United States of America (USA). (Online), (http://eclipse.gsfc.
nasa.gov/JSEX/JSEX-AU.htm l), diakses 28 Oktober 2015.
Gibson dan Edward, G., 1973. The Quiet Sun, Washington D.C, NASA.
Phillips, K. J. H. dan Dwivedi, B. N., 2003. Dynamic Sun, Cambridge, Cambridge
University Press.
Karttunen, H., dkk., 2007. Fundamental Astronomy Fifth Edition, New York, Springer.
Kitchin, C. R., 1987. Stars, Nebulae and the Interstellar Medium Observational Physics
and Astrophysics, Bristol, Hilger.

ISBN 978-602-71279-1-9

FA-17

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016

ISBN 978-602-71279-1-9

FA-18