T1 802008044 Full Text

HUBUNGAN ANTARA SUBJECTIVE WELL-BEING DENGAN
INTERNET ADDICTION PADA REMAJA

OLEH
DINA YOHANNA KOLLOH
80 2008 044
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara subjective well-being dan internet addiction pada remaja. Subjek penelitian berjumlah
60 orang yang diperoleh dengan menggunakan teknik simple random sampling (sampel acak),

yaitu teknik penentuan sampel dari anggota populasi secara acak tanpa memperhatikan strata
(tingkatan) dalam anggota populasi tersebut. (Sugiyono, 2011). Variabel subjective well-being

diukur dengan menggunakan skala kepuasan hidup remaja (MSLSS) dari Huebner (2001)
yang terdiri dari 31 aitem terpakai dan skala afek positif dan negative (PANAS) dari Watson
(1988) yang terdiri dari 8 aitem terpakai. Internet Addiction diukur dengan menggunakan
internet addiction test dari Young (1996) yang terdiri dari 18 aitem terpakai. Data dianalisis

dengan menggunakan teknik analisis korelasi pearson product moment dan diperoleh hasil
korelasi sebesar -0,016 Dengan signifikansi 0,453 (p>0,01), menunjukkan tidak ada ada
hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dan internet addiction yang
berarti tinggi rendahnya tingkat subjective well-being tidak berpengaruh pada tinggi ataupun
rendahnya tingkat internet addiction .

Kata kunci: Subjective Well-Being, Internet Addiction , Remaja

ABSTRACT

This research is a quantitative one


that aims to determine the relationship between

subjective well-being and Internet addiction in adolescents. The subject of the study of 60
people

has

used simple random sampling technique (random sampling), that is

the

sampling technique of random members of the population regardless of the strata (levels) in
members of the population. (Sugiyono, 2011). The Variable of subjective well-being was
measured using marriageable standard of life satisfaction scale (MSLSS) from Huebner
(2001) consisting of 31 used items and the positive and negative affective scale (PANAS) of
Watson (1988) consisting of 8 used items. The Internet Addiction was measured using the
internet addiction test of Young (1996) consisting of used 18 items. Data were analyzed
using pearson product moment correlation analysis technique and the results of correlation
obtained was -0.016 With the significance of 0.453 (p> 0.01),


shows that there is no

negative correlation between subjective well-being and internet addiction, which means no
matter what the levels of subjective well-being is will not necessarily be followed by a high or
low level of internet addiction .
Keyword: Subjective Well-Being, Internet addiction, Adolescents

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan teknologi dari waktu ke waktu semakin terasa dalam berbagai
bidang kehidupan manusia. Hal tersebut ditandai dengan munculnya berbagai sarana
yang bertujuan untuk membantu aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu wujud konkret
perkembangan teknologi tersebut adalah hadirnya internet. Dengan internet, aktivitas
manusia menjadi lebih efisien. Kegiatan yang pada awalnya membutuhkan waktu,
tenaga dan biaya yang besar kini dapat dilakukan dengan mudah.
Internet dikenal secara luas sebagai sarana untuk pertukaran informasi,
penelitian akademik, hiburan, komunikasi dan promosi. Dengan internet, orang dapat

dengan mudah mengakses informasi kapan saja dan di mana saja. Internet juga dapat
digunakan sebagai salah satu sarana untuk berbisinis, ditandai dengan maraknya
perdagangan online yang mempermudah transaksi jual beli tanpa harus bertemu
langsung. Selain itu, internet juga menawarkan kemudahan akses komunikasi dan
hiburan bagi penggunanya, diantaranya layanan email, mailing list atau group diskusi,
serta berbagai jenis jejaring sosial yang saat ini banyak digunakan seperti facebook,
twitter, yahoo, youtube, online game serta berbagai layanan lainnya.

Sekalipun internet menyediakan berbagai kemudahan dan memberikan dampak
positif bagi kehidupan manusia, penyalahgunaan dalam mengakses internet juga
memiliki dampak negatif bagi para penggunanya. Salah satu dampak negatif tersebut
adalah kecanduan terhadap internet atau internet addiction. Menurut Young (1996)
kecanduan internet atau internet addiction adalah situasi di mana seorang pengguna

2

internet melupakan realitas yang ada karena merasa lebih senang berada dan
berinteraksi melalui dunia maya.
Internet addiction digolongkan oleh Young (1996;1998) sebagai penggunaan


internet secara berlebihan yang mengganggu pola tidur, produktivitas kerja, aktivitas
sehari-hari dan kehidupan sosial seseorang. Kriteria kecanduan internet sendiri antara
lain secara berlebihan memikirkan aktivitas yang dilakukan di internet; merasa perlu
untuk menggunakan internet

dengan durasi yang terus meningkat; gagal dalam

usahanya untuk mengontrol, mengurangi atau menghentikan pemakaian internetnya;
merasa gelisah, depresi, dan sensitif ketika pemakaian internetnya dikurangi atau
dihentikan sama sekali; menghabiskan lebih banyak waktu dari yang direncanakan di
internet; beresiko kehilangan kesempatan atau pendidikan atau karir; berbohong kepada
orang lain (keluarga, teman-teman, terapis, dan sebagainya) tentang durasi pemakaian
internet, menggunakan internet untuk melarikan diri dari masalah atau perasaan negatif
(seperti putus asa, rasa bersalah, kelelahan, khawatir). Dengan demikian, perilaku
kecanduan internet merupakan perilaku penggunaan internet lebih dari kebutuhan
sehingga mengganggu produktivitas kehidupan seseorang.
Gejala kecanduan terhadap internet sekarang ini mulai berkembang tanpa
disadari oleh para penggunanya. Survey yang dilakukan oleh salah satu internet
provider di Jerman menemukan dari 1900 responden, 12% diantaranya menghabiskan


waktu 10 jam sehari untuk online sementara 13% responden mengatakan
menghabiskan 6 sampai 10 jam untuk online dalam satu hari. Di China, 6,4%
mahasiswa mengalami kecanduan internet dengan rata-rata pemakaian 38,5 jam dalam
seminggu. Pada kenyataannya, menurut Greenfield, 6% dari pengguna internet
mengalami kecanduan.

3

Ada

banyak

faktor

yang

dapat

mempengaruhi


seseorang

sehingga

mengembangkan perilaku kecaduan terhadap internet. Salah satu faktor tersebut adalah
tinggi atau rendahnya level subjective well-being orang tersebut. Subjective well-being
adalah sebuah evaluasi kognitif dan afeksi seseorang terhadap hidupnya (Diener dkk,
2003). Individu dengan level subjective well-being yang tinggi, pada umumnya
memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan (Diener, 2000). Individu ini akan lebih
mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan
lebih baik. Sedangkan individu dengan subjective well-being yang rendah, memandang
rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak
menyenangkan dan oleh sebab itu timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti
kecemasan, depresi dan kemarahan (Myers & Diener, 1995).
Komponen subjective well-being sendiri terdiri dari komponen kepuasan hidup,
di mana individu menilai kualitas hidupnya secara global; kepuasan domain, di mana
individu menilai aspek khusus dalam hidupnya; dan komponen afektif, yang terdiri dari
perasaan positif dan negatif seseorang. Dengan demikian subjective well-being adalah
sebuah konsep yang luas mencakup tingginya tingkat kepuasan hidup serta pengalaman
emosi menyenangkan, dan level perasaan negatif yang rendah (Diener et al, 1999).

Untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan negatif ini, individu biasanya
akan mencari tindakan pelarian, salah satunya penggunaan internet. Young (2006),
menyatakan individu menggunakan internet untuk melarikan diri dari masalah atau
perasaan negatif (seperti putus asa, rasa bersalah, kelelahan, khawatir). Hal ini didukung
oleh pernyataan La Rose et al bahwa individu menggunakan internet untuk mengurangi
intensitas dari emosi negatif dan stres yang sedang dirasakan. Kraut et al menyatakan,
individu yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menggunakan internet

4

merupakan individu yang seringkali merasakan depresi dan kesepian (Dalam putri,
2013).
Sejalan dengan itu, penelitian Ayas dan Horzu yang berjudul “Relation Between
Depression, Loneliness, Self-esteem and Internet addiction” juga menemukan adanya

hubungan positif antara depresi dan kesepian dengan internet addiction. Studi tentang
internet addiction menunjukkan bahwa karakteristik seperti rasa malu, tanda-tanda

depresi dan self-estem yang rendah (Aydin and Sari, 2011 dalam Cardak, 2013)
dihubungkan dengan kecenderungan internet addiction (Yang & Tung, 2007 dalam

Cardak, 2013). Penelitian lain yang serupa yaitu “From the Perspective of Loneliness
and Kognitive Absorption Internet addiction as Predictor and Predicted” menyatakan

kesepian, secara positif dan berarti mempengaruhi internet addiction . Saat level
kesepian individu meningkat, individu tersebut dapat teradiksi internet, dan sebaliknya
seorang yang teradiksi internet secara bertahap dapat merasa kesepian (Celik, Korkmaz
& Usta, 2014).
Dalam penelitian “Evaluation of The Relationship Between Internet addiction
and Depression in University Students”, disebutkan bahwa ada hubungan positif antara
internet addiction dengan depresi. Hasil penelitian menunjukkan level internet
addiction lebih tinggi pada subjek yang mengalami depresi (Sahin, et al, n,d).

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan, dapat dilihat bahwa depresi,
kesepian, kecemasan, perasaan rendah diri serta rasa malu termasuk afek negatif yang
merupakan salah satu komponen subjective well-being. Individu yang sering mengalami
perasaan-perasaan negatif tersebut dapat dikatakan memiliki level subjective well-being
yang rendah. Hal inilah yang mengacu pada perilaku internet addiction sebagai cara
untuk menghindar atau mengurangi perasaan-perasaan negatif tersebut. Namun, hasil

5


penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Namzi et al (dalam Seifi dkk,
2014) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah
penggunaan internet dengan level depresi pada penggunanya. Pada penelitian lainnya
mengenai subjective well-being pada mahasiswa yang menggunakan internet secara
berlebihan ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara subjective well being dengan
problematic internet use atau internet addiction (Putri, 2013).

Fenomena kecanduan internet saat ini dialami oleh berbagai kelompok usia,
termasuk remaja sebagai pengguna internet terbanyak.

Laporan aktual pemerintah

Jerman menyangkut kasus kecanduan menyebutkan, lebih setengah juta warga pada
kisaran umur 14 hingga 64 tahun mengidap kecanduan internet. Sekitar 250.000
pecandu internet adalah remaja berusia antara 14 hingga 24 tahun. Remaja lelaki lebih
berisiko kecanduan games internet, tapi yang juga menarik, kaum perempuan lebih
banyak yang mengidap kecanduan surfing di jejaring sosial dibanding laki-laki
(Lichtenberg, 2012). Kasus kecanduan internet yang dialami oleh remaja juga terjadi di
Tiongkok di mana seorang remaja berusia 19 tahun dilaporkan nekat memotong

tangannya sendiri demi menghilangkan ketergantungannya terhadap internet (Paragian,
2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa remaja, didapatkan informasi
bahwa mereka akan merasa marah, stres dan kesepian jika penggunaan internetnya
dibatasi atau dikurangi. Para remaja tersebut menyatakan, bahwa mereka lebih senang
mengakses internet ketika menghadapi masalah atau ketika merasakan emosi-emosi
negatif. Selain itu mereka juga mengaku bahwa dalam sehari mereka bisa menghabiskan
waktu untuk mengakses internet lebih dari empat jam.
Data

dari

Kementerian

Komunikasi

dan

Informatika

(Kemkominfo)

menyatakan, pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta

6

orang. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja
berusia 15-19 tahun. Remaja memang tercatat sebagai pengguna internet terbesar.
Di Indonesia sendiri remaja pengguna internet mencapai 80% dari total 83,7 juta
pengguna internet tanah air (Paragian, 2014). Hal ini disebabkan pada usia tersebut,
remaja pada umumnya masih duduk di bangku pendidikan sehingga untuk memudahkan
proses belajar mengajar, remaja dituntut untuk menguasai teknologi, salah satunya
layanan

internet. Selain itu, tuntutan pergaulan juga mempengaruhi remaja untuk

semakin banyak mengakses internet.
Gunuc & Dongan (dalam Evren, Dalbudak, & Demirci, 2014) menyatakan
remaja cenderung lebih tertarik dengan teknologi sehingga itu membuat mereka
menggunakan internet lebih sering dibanding kelompok usia lainnya. Penggunaan
internet yang lebih sering di kalangan remaja yang belum matang secara psikologis serta
masih mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dapat menempatkan
mereka pada resiko internet addiction (Tsai & Lin, 2003 dalam Evren, Dalbudak, &
Demirci, 2014). Selain itu, para peneliti juga menemukan bahwa terdapat
kecenderungan rendahnya tingkat kepuasan hidup pada orang-orang muda (Erlich &
Isaacowitz, 2002). Remaja juga memiliki level depresi yang tinggi dibanding orang
dewasa. Pada masa remaja, umumnya akan terjadi berbagai perubahan, baik itu fisik,
psikologis maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada kesejahteraan
emosional remaja dan dapat menyebabkan stres yang luar biasa (Goldbeck, dkk, 2007).
Arnet (1999) mengemukakan bahwa remaja merasakan self-concious dan kebingungan
dua atau tiga kali lebih sering daripada orang tua mereka dan juga cenderung merasa
canggung, kesepian, cemas dan diabaikan.

7

Perasaan-perasaan negatif yang dialami oleh remaja tersebut jika terus menerus
dialami oleh remaja akan mempengaruhi rendahnya level subjective well-being pada
remaja. Hal inilah yang dapat mengacu pada perilaku internet addiction, sebagai salah
satu bentuk pelarian dari perasaan-perasaan negatif yang dialami remaja tersebut. Oleh
sebab itu penelitian yang hendak dilakukan adalah hubungan antara subjective wellbeing dengan internet addiction pada remaja.

Hubungan Subjective well-being dengan Internet addiction pada Remaja
Dampak dari kemajuan teknologi tidak selalu dirasakan dan ditanggapi secara
positif oleh manusia. Salah satu wujud kemajuan teknologi yaitu hadirnya internet justru
memiliki dampak negatif bagi penggunanya. Salah satu dampak negatif tersebut adalah
perilaku kecanduan internet. David Greenfield (dalam Ningtyas, 2012) menyatakan 6%
dari pengguna internet mengalami kecanduan. Salah satu hal yang mempengaruhi
internet addiction atau perilaku kecanduan internet adalah tingkat subjective well-being

seseorang. Subjective well-being diketahui sebagai evaluasi kognitif dan afeksi
seseorang terhadap hidupnya (Diener dkk, 2003) yang ditandai dengan tingginya
kepuasan hidup serta perasaan positif serta rendahnya perasaan negatif. Munculnya
internet addiction, dikatakan oleh Young (1996) merupakan salah satu upaya yang

dilakukan seseorang untuk menghindar atau melupakan perasaan negatif yang sering
dialaminya.
Data menunjukkan bahwa remaja merupakan kelompok usia pengguna internet
terbanyak. Selain pendidikan, hiburan juga menjadi alasan remaja mengakses internet.
Dreier, dkk (2012) menyatakan, remaja lebih tertarik menggunakan internet karena
karakteristik mereka dan keinginan mereka untuk mendapatkan feedback positif dari

8

pertemuan secara online (disukai, semakin ahli dalam bermain games, merasa sama dan
mengisi waktu kosong).
Namun di sisi lain, remaja sebagai pengguna internet terbesar juga memiliki
resiko yang besar untuk mengembangkan perilaku kecanduan internet. Tsai & Lin
(2003) menyatakan, penggunaan internet yang lebih sering di kalangan remaja yang
belum matang secara psikologis serta masih mencoba untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial, dapat menempatkan mereka pada resiko internet addiction.

Hipotesis
Ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan
internet addiction. Semakin tinggi tingkat subjective well-being maka semakin rendah

tingkat internet addiction. Sebaliknya semakin rendah tingkat subjective well-being
maka semakin tinggi tingkat internet addiction.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
metode korelasional. Variabel bebas pada penelitian ini adalah subjective well-being.
Sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah internet addiction
Populasi dan Sampel
Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15-18 tahun. Pengambilan
data penelitian ini dilakukan di SMU Kristen 1 Salatiga dengan jumlah populasi 519
orang. Sugiarto dan Siagian Sunaryo (dalam Saptanto, 2010) menyatakan, jumlah

9

sampel untuk peneliti pemula dapat berjumlah 10% dari total populasi, maka jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang.
Pengukuran
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur

variabel Subjective well-being

adalah Multidimensional Students Life Satisfaction Scale oleh Huebner (2001) serta
Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) dari Watson, Clark, dan Tellegen

(1988). Skala MSLSS dirancang untuk mengukur kepuasan hidup remaja dan kepuasan
domain tertentu mencakup sekolah, lingkungan tempa tinggal, teman, keluarga dan diri
sendiri. Skala ini terdiri dari 40 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan
reliabilitas menjadi 31 aitem terpakai dengan nilai r (corrected item total correlation)
bergerak dari 0,304 – 0,706 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,892 yang berarti
alat ukur ini tergolong reliabel.
Pada skala PANAS yang digunakan untuk mengukur afek positif dan negatif
yang dirasakan oleh remaja, terdapat 20 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan
reliabilitas menjadi 8 aitem terpakai dengan nilai r (corrected item total correlation)
bergerak dari 0,49 – 0,733 dan koefisien alpha cronbach sebesar 0,850 yang berarti alat
ukur ini tergolong reliabel. Untuk menentukan skor subjective well-being (SWB), maka
data pada aspek kepuasan hidup yang diukur dengan menggunakan MSLSS serta afek
yang diukur dengan PANAS diubah menjadi z skor dan t skor terlebih dahulu, baru
kemudian keduanya dijumlahkan sehingga menghasilkan skor SWB (Suwito,2013).
Sementara itu untuk mengukur variabel internet addiction, alat ukur yang
digunakan adalah Internet addiction Test dari Young (1996). Alat ukur ini terdiri dari
20 aitem yang setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas menjadi 18 aitem terpakai

10

dengan nilai r (corrected item total correlation ) bergerak dari 0,378 – 0,765 dan
koefisien alpha cronbach sebesar 0,906 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Penelitian ini menggunakan uji normalitas yang dilihat melalui KolmogrovSmirnov. Data berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari 0.05 (Santoso,

2000).
Tabel 1
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
internet_addictio
n
N

kepuasan_hidup

panas

60

60

60

36.4667

149.0833

21.4167

10.97372

15.64792

6.13214

Absolute

.114

.077

.110

Positive

.114

.061

.110

Negative

-.063

-.077

-.073

Kolmogorov-Smirnov Z

.883

.595

.855

Asymp. Sig. (2-tailed)

.417

.870

.457

Normal Parameters

a

Mean
Std. Deviation

Most Extreme Differences

a. Test distribution is Normal.

Berdasarkan hasil pengujian normalitas, didapatkan nilai signifikansi sebesar
0,870 (p>0,05) untuk komponen kepuasan hidup dari variabel subjective well-being,
serta 0,457 (p>0,05) untuk komponen afek dari variabel subjective well-being dan
0,417 (p>0,05) untuk variabel internet addiction. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa ketiga data berdistribusi normal.

11

b. Uji Linearitas
Uji Linearitas digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan
yang linear signifikan antara variabel. Hubungan variabel dapat dikatakan linear jika
nilai signifikansinya > 0,05.
Tabel 2
Uji Linearitas
ANOVA Table
Sum of
Squares
Internet_Addiction * SWB

Between
Groups

(Combined)
Linearity
Deviation from
Linearity

Within Groups
Total

7104.433
1.724
7102.710

Mean
df

Square

F

58 122.490 244.980
1

.051

3.448

.315

57 124.609 249.218

.050

.500

1

7104.933

59

1.724

Sig.

.500

Berdasarkan uji linearitas antara subjective well-being dan internet addiction,
terdapat signifikansi sebesar 0,315 (p>0,05). Hal ini menunjukkan hubungan
keduanya bersifat linear.
Analisis Deskriptif
a. Variabel Internet addiction
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal dan standar
deviasi sebagai standar pengukuran skala:

12

Tabel 3
Statistik Deskriptif Hasil Pengukuran Skala Internet addiction
Descriptive Statistics
N

Minimum

Internet_addiction

60

Valid N (listwise)

60

18

Maximum

Mean

69

Std. Deviation

36.47

10.974

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui skor internet addiction paling tinggi adalah
69 dan paling rendah 18. Skor rata-ratanya adalah 36,47 dengan standar deviasi 10,974.
Skala internet addiction memiliki 18 aitem dengan lima kategori jawaban yaitu jarang,
kadang-kadang, sering, sangat sering, dan selalu. Adapun kategori jawaban yang
digunakan yaitu mulai dari 1 sampai 5. Skor tertinggi yang diperoleh adalah 5 x 18 = 90
dan skor terendah yang diperoleh adalah 1 x 18 =18. Untuk mengetahui level internet
addiction digunakan interval dengan ukuran:

Tabel 4
Kategorisasi Pengukuran Internet addiction
Skor

Kategorisasi

N

%

75,6 ≤ x 0,05). Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi negatif
yang signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction pada remaja.

Tabel 7
Uji Korelasi Subjective Well- Being dan Internet addiction
Correlations
internet_addictio
SWB
SWB

Pearson Correlation

n
1

-.016

Sig. (1-tailed)

.453

N
internet_addiction

Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)

60

60

-.016

1

.453

N

60

60

Tabel 8
Uji Korelasi Kepuasan Hidup dan Internet addiction
Correlations
internet_addictio
n
internet_addiction

Pearson Correlation

kepuasan_hidup
1

Sig. (1-tailed)
N
kepuasan_hidup

Pearson Correlation

-.119
.183

60

60

-.119

1

17

Sig. (1-tailed)

.183

N

60

60

Tabel 9
Hasil Uji Korelasi Afek dan Internet addiction
Correlations
internet_addictio
n
internet_addiction

Pearson Correlation

afek
1

Sig. (1-tailed)
N
afek

.100
.224

60

60

Pearson Correlation

.100

1

Sig. (1-tailed)

.224

N

60

60

Hasil uji korelasi antara kepuasan hidup yang merupakan salah komponen
kognitif dari subjective well-being dengan internet addiction menunjukkan korelasi
sebesar -0,119 dengan signifikansi sebesar 0,183 (p>0,05) sehingga tidak ada korelasi
negatif yang signifikan antara kepuasan hidup dan internet addiction. Sedangkan uji
korelasi antara afek dengan internet addiction menunjukkan korelasi sebesar 0,100
dengan signifikansi sebesar 0,224 (p>0,05), sehingga tidak terdapat korelasi positif
yang signifikan antara afek dengan internet addiction. Sementara korelasi antara
subjective well-being dengan internet addiction adalah sebesar -0,016 dengan

signifikansi sebesar 0,453 (p>0,05) sehingga tidak terdapat korelasi negatif yang
signifikan antara subjective well-being dengan internet addiction.

18

PEMBAHASAN
Hasil perhitungan korelasi product moment antara variabel subjective well-being
dengan internet addiction didapatkan hasil r = -0,016 dengan signifikansi sebesar 0,453
(p>0,05) Data tersebut menunjukkan bahwa variabel subjective well-being dengan
internet addiction tidak memiliki hubungan negatif yang signifikan. Artinya, tinggi

ataupun rendahnya tingkat subjective well-being belum tentu akan diikuti dengan tinggi
atau rendahnya tingkat internet addiction. Dengan demikian hipotesis dalam penelitian
ini ditolak.
Berdasarkan hasil perhitungan, didapati kepuasan hidup sebagai salah satu
komponen subjective well-being, memiliki korelasi negatif yang tidak signifikan dengan
internet addiction dengan nilai r = -0,119 dan signifikansi sebesar 0,183 (p>0,05).

Tinggi ataupun rendahnya kepuasan hidup belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau
rendahnya tingkat internet addiction. Dari data yang ada, diketahui bahwa subjek
penelitian memiliki tingkat kepuasan hidup tinggi (51,67%) dan tingkat internet
addiction rendah (43,3%).

Secara umum kepuasan hidup remaja dalam penelitian kini dilaporkan positif
(Funk et al., 2006; Huebner et al ., 2000; Huebner et al, 2005; Park and Huebner, 2005
dalam Saric, dkk, 2009). Pernyataan ini didukung oleh Oladipo et al, (nd) yang
menyatakan bahwa kebanyakan remaja diketahui memiliki level kepuasan hidup yang
positif. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Ryff (1989) yang
menyatakan bahwa subjective well-being meningkat seiring bertambahnya usia. Hasil
penelitian Goldbeck, dkk (2007) menemukan adanya penurunan kepuasan hidup pada
siswa usia 11-16 tahun di Jerman (Fajarwati, 2014). Remaja dengan tingkat kepuasan

19

hidup yang tinggi pada umumnya memiliki relasi interpersonal yang baik serta sehat
secara fisik dan mental. Selain itu beberapa ilmuwan menyatakan bahwa kepuasan
hidup yang tinggi dapat mencegah gangguan psikis yang dapat muncul karena
pengalaman-pengalaman hidup yang menekan (Saric, Brajsa & Sakic, 2008).

Sementara itu hasil perhitungan juga menunjukkan adanya nilai korelasi afek
dengan internet addiction sebesar 0,100 dengan signifikansi 0,224 (p>0,05) yang berarti
ada tidak korelasi positif yang signifikan antara afek dalam hal ini afek negatif dengan
internet addiction. Dengan demikian tinggi atau rendahnya afek yang dirasakan belum

tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet addiction.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan
bahwa, variabel psikologis seperti kesepian, depresi, kecemasan dan stres diketahui
memiliki korelasi dengan penggunaan internet bermasalah. Bagi remaja, internet
digunakan untuk mengatasi stres dengan cara menghindar dari tugas kognitif dengan
melakukan aktivitas pengalihan (Panicker & Sachdev, 2014). Pendapat lain yang sejalan
dengan itu adalah penelitian yang dilakukan oleh Seifi, Ayati & Fadaei (2014) dimana
dikatakan untuk menentukan hubungan antara kecemasan dan stres dengan internet
addiction, kita dapat menetapkan bahwa kecemasan yang tinggi dan stres bisa ada

sebelum penggunakan internet, di mana individu yang merasa cemas, menggunakan
internet sebagai pelarian.
Namun Dreier et al (2012) mengatakan bahwa remaja merasa tertarik dengan
internet karena karakteristik perkembangan mereka dan keinginan mereka yang besar
untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang luas, dengan cepat mengetahui
informasi terbaru, menjaga komunikasi dan hubungan dengan teman-teman yang sudah

20

ada maupun teman baru serta untuk bersenang-senang (Flora, nd). Dengan demikian,
alasan remaja menggunakan internet tidak selalu karena ingin melarikan diri dari emosi
negatif.
Dari penelitian, didapati tingkat internet addiction yang tergolong rendah pada
subyek, yaitu 43,3%. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian dari Sazmas, Tayar
dkk (2013) yang menyatakan bahwa resiko internet addiction terbilang tinggi di
kalangan siswa SMA. Remaja pada umumnya mengalami perubahan-perubahan serius
dalam masa perkembangan sehingga mereka lebih mudah terbawa oleh lingkungan
internet yang menarik.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara subjective well-being
dengan intenet addiction pada remaja, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.

Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara subjective well-being dengan
internet addiction yang ditunjukkan oleh nilai korelasi sebesar -0,016 dengan

signifikansi 0,453 (p>0,05) yang berarti tinggi atau rendah tingkat subjective well
being belum tentu akan diikuti dengan tinggi atau rendahnya tingkat internet
addiction.

2.

Tingkat internet addiction sebagian besar subyek tergolong rendah yaitu 43,3%,
tingkat kepuasan hidup tergolong tinggi yaitu 51,67% dan tingkat afek dalam hal
ini afek negatif tergolong rendah yaitu 43,3%.

SARAN

21

Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan yang telah dipaparkan
sebelumnya, beberapa hal yang disarankan sebagai berikut:
1. Bagi Remaja
Remaja dapat mempertahankan tingkat kepuasan hidup yang dimiliki. Dengan
cara menambah aktivitas yang membangun remaja ke arah positif. Remaja juga
diharapkan dapat mengontrol penggunakan internetnya agar tidak merugikan diri
sendiri dan orang lain di sekitarnya.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dari hasil penelitian ini diketahui masih banyak kekurangan. Peneliti selanjutnya
dapat memperluas populasi dan jumlah sampel penelitian. Selain itu peneliti
selanjutnya juga dapat meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi internet
addiction seperti gender , kondisi sosial ekonomi dan alasan penggunaan

internet. Peneliti selanjutnya juga dapat meneliti secara lebih spesifik faktor
psikologis seperti kesepian, kontrol diri, self-esteem serta faktor psikologis lain
yang mempengaruhi internet addiction.

DAFTAR PUSTAKA
Arnet, J.J (1999) Adolescent Storm and Stres, Reconsidered. American Psychologist.
54(5). 317-326

Ayas, T& Horzu, M. Relation Between Depression, Loneliness,Self-Esteem And
Internet addiction. Education. 133(3)

Ben-Zur, H (2003). Happy Adolescents: The Link Between Subjective well-being,
Internal Resources, and Parental Faktors. Journal of Youth and Adolescence.
32(2), 67-79

22

Bhakti, T.(2013). Pengertian Internet Manfaat dan Kegunaan Internet Secara Umum.
Diunduh
pada
04
Mei
2015,
dari
http://karangtarunabhaktibulang.blogspot.com/2013/05/pengertian-internetmanfaat-dan-kegunaan-internet-secara-umum.html

Cardak, M. (2013). Psychological Well-Being And Internet addiction Among
University Students. TOJET: The Turkish Online Journal of Educational
Technology. 12(3)

Celik, V., Yesilyurt, E., Korkmaz, O & Usta, E (2014). From the Prespective of
Loneliness and Cognitive Absorption Internet addiction as Predictor and
Predicted. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education .
10(6): 581-594

Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bullentin. 95 (3), 542-575

Ehrlich, B. S & Isaacowitz, D. M (2002). Does Subjective well-being Increase with
Age? Perspective in Psychology. 21-26

Evren, C., Dalbudak, E., Evren, B & Demirci, A.C. (2014). High Risk of Internet
addiction and Its Relationship With Lifetime Substance Use, Psychological and
Behavioral Problems Among 10th Grade Adolescents. Psychiatria Danubina . 26
(4), 330-339

Fajarwati, D. I. (2014). Hubungan Dukungan Sosial dan Subjective well-being pada
Remaja SMP N 7 Yogyakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan. Program Studi
Psikologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga

Flora, K. Internet addiction Disorder Among Adolescents And Young Adults: The
Picture In Europe And Prevention Strategies. Perspective on Youth. 119-132

Hoorn, A. V. 2007. A Short Introduction to Subjective well-being: Its Measurement
Correlates and Policy uses. Nijmegen Center For Economics: Radbound
University Nijimegen

23

Huebner, S.E. (2001). Manual for the multidimensional student’s life satisfaction scale.
Diunduh
pada
10
September
2015
dari
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source

Isiklar, A & Sar, A. H. (2011). Internet addiction Among Adolescents and Its Relation
to Subjective well-being. International Journal of Academic Research. 3(6) II
Part

Karim, Rezaul A.K.M (2014). The Impact of Internet addiction on Life Satisfaction and
Life Engagement in Young Adults. Universal Journal of Psychology. 2(9), 273284

Lichtenberg, A (2012). Kasus Kecanduan Internet Meningkat. Diunduh pada 21 Mei
2015 dari http://www.dw.de/kasus-kecanduan-internet-meningkat/a-15995770

Moghaddam, H., & Malmir T (2015). Investigating the Relationship between
Subjective Well- being and Students’ Addiction to Internet among Female
Students (case study: Guidance Schools and High Schools of Districts 4 and 8
of Tehran). Magnt Research Report. 3 (1). 723-731

Ningtyas, S. D (2012). Hubungan Antara Self-Control dengan Internet addiction pada
Mahasiswa. Educational Psychology Journal.

Oladipo, S. E., Olapegba, P. O., Adenaike, F. A. Evidence of Low Life Satisfaction
Among Undergraduates in Southwest Nigeria. International Journal of Asian
Social Science. 2 (10), 1718-1723

S, Sahin., K, Ozdemir & A, Unsal. Evaluation of The Relationship Between Internet
addiction and Depression in University Students. Medicinski Glasnik. Str. 1427

Saptanto, H. N. (2010). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Keharmonisan Keluarga
dengan Kesepian pada Remaja. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi.
Universitas Kristen Satya Wacana

Saric, Z. R., Zganec, A. B., Sakic, M. (2008). Life Satisfaction in Adolescents: The
Effect of Perceived Family Economic Status, Self Estem & Quality of Family
& Peer Relationship. Drus.Istraz. Zagreb God. 18. Str. 547-564

24

Sazmas, T., Oner, Seva., Kurt, O. A.,& Yapici, Gulcin. (2013). Prevalence and risk
factors of Internet addiction in high school students. The European Journal of
Public Health. 24 (1), 15-20

Santoso, S. (2000). Buku Latihan SPSS Statistic Parametric. Jakarta: Alex Media
Komputindo.

Setyawan, F. A. (2014). Hubungan Antara Religiusitas Dan Subjective Well Being Pada
Remaja Islam Salatiga. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi.
Universitas Kristen Satya Wacana

Seifi, A., Ayati, M & Fadaei, M (2014). The Study of the Relationship between Internet
addiction and Depression, Anxiety and Stres among Student of Islamic Azad
University of Birjand. International Journal of Economy, Management and
Social Sciences. Vol.3(12).28-32

Smahel, D., Brown, Bradford B., & Blinka, L (2012). Associations Between Online
Friendship and Internet addiction Among Adolescents and Emerging Adults.
Developmental Psychology. 48.(2), 381-388

Sugiyono (2006). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D . Jakarta: Alfabeta
.
Suwito, L. D. (2013). Hubungan Komitmen Dalam Berpacaran Dengan Subjective wellbeing Pada Mahasiswa UKSW Salatiga yang Menjalani Hubungan Pacaran Jarak
Jauh. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi. Universitas Kristen
Satya Wacana.

Sasmaz, T., Oner, S., Kurt, A. O., Yapici, G., Bugdayci, R., & Sis, M. (2013).
Prevalence And Risk Factors Of Internet addiction In High School Students. Eur
J Public Health. 24 (1), 15-20

Panicker, J & Sachdev, R. (2014). Relation Among Lonelines, Depression, Axiety,
Stres And Problematic Internet Use.Impact. International Journal of Research in
Applied, 2(9), 1-10

Paragian, Y. (2014). Dalam 5 Tahun Terakhir, Jumlah Pengguna Internet Indonesia
Naik 430 Persen (GRAFIK). Diunduh pada 21 Mei 2015 dari

25

http://id.techinasia.com/dalam-5-tahun-terakhir-jumlah-pengguna-internetindonesia-naik-430-persen-grafik/

Putri, N. (2013). Subjective well-being Mahasiswa yang Menggunakan Internet Secara
Berlebihan. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya . 2(1)

Watson, D., Clark, L. A., & Tellegen, A. (1988). Development and validation of brief
Measures of Positive and Negative Affect: The PANAS Scales. Journal of
Personality and Social Psychology. 54(6), 1063-1070.

Yilmaz, H & Arslan, C. (2013). Subjective well-being, Positive and Negative Affect in
Turkish University Students. TOJCE, 2(2), 1-8

Young, K. (2004). Internet addiction: A New Clinical Phenomenon and Its
Consequences. American Behavioral Scientist. 48(2), 402-415

Yusuf, O. (2014). Pengguna Internet Indonesia Nomor Enam Dunia. Diunduh pada 21
Mei
2015
dari
http://tekno.kompas.com/read/2014/11/24/07430087/pengguna.internet.indonesia
. nomor.enam.dunia

Yusuf, O. (2015). Kecanduan Internet, Remaja Potong Tangan Hingga Putus. Diunduh
pada
21
mei
2015
dari
http://tekno.kompas.com/read/2015/02/08/2045006/kecanduan.internet.remaja.
potong.tangan.hingga.putus